PEDOMAN HOMILI
(DIRETTORIO OMILETICO)
KONGREGASI UNTUK IBADAT ILAHI
DAN TATA TERTIB SAKRAMEN-SAKRAMEN
DEKRET
DEKRET
KONGREGASI UNTUK IBADAT ILAHI
DAN TATA TERTIB SAKRAMEN-SAKRAMEN
Sangat penting bahwa dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus menghendaki mendedikasikan sebagian besar pada tema homili. Aspek-aspek yang baik maupun yang buruk tentang homili telah disampaikan oleh para Uskup yang berkumpul dalam Sinode, dan petunjuk-petunjuk bagi para pengkhotbah telah diberikan dalam Seruan apostolik pasca-sinode, Verbum Domini dan Sacramentum Caritatis dari Paus Benediktus XVI.
Dalam perspektif itu, dan dengan memperhatikan ketentuan dari Sacrosanctum Concilium seperti juga Magisterium selanjutnya, dalam terang Prakata Tata Bacaan Misa dan Petunjuk Umum Misale Romawi telah disiapkan “Pedoman Homili” ini, yang dibagi menjadi dua bagian.
Pada bagian pertama, yang berjudul “Homili dan kerangka liturgi”, dijelaskan hakikat, fungsi, dan konteks khusus homili. Beberapa aspek lain yang menentukan juga disebut, yakni pelayan tertahbis yang berwenang, referensi pada Sabda Allah, persiapan dekat dan jauh, para pendengarnya.
Pada bagian kedua, Ars praedicandi (seni berkhotbah), diterangkan dengan contoh-contoh mengenai masalah-masalah pokok metodologi dan isi yang harus diketahui oleh pengkhotbah dan diperhatikan dalam mempersiapkan dan menyampaikan homili. Gagasan-gagasan pokok bacaan, sebagai petunjuk dan bukan bahan jadi, disampaikan untuk siklus Misa Mingguan-Hari Raya, mulai dari inti Tahun liturgi (Triduum dan Masa Paskah, Prapaskah, Adven, Natal, Masa sepanjang Tahun), dan juga pada Misa-misa harian, perkawinan, dan pemakaman. Dalam contoh-contoh itu, diterapkanlah kriteria-kriteria yang sudah ditunjukkan pada Bagian pertama Pedoman ini, yakni tipologi (teori hubungan) antara Perjanjian Lama dan Baru, pentingnya perikop Injil, urutan bacaan-bacaan, keterkaitan antara Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi, antara pesan biblis dan teks-teks liturgis, antara perayaan dan hidup, antara mendengarkan Allah dan jemaat tertentu.
Sesudah itu diikuti dua Lampiran. Pada lampiran pertama, dengan maksud untuk menunjukkan kaitan antara homili dan ajaran Gereja Katolik, disampaikan referensi-referensi dari Katekismus terkait dengan beberapa penekanan tematik bacaan-bacaan hari Minggu siklus tiga tahun. Dalam Lampiran kedua ditunjukkan referensi-referensi pada teks-teks Magisterium tentang homili.
Teks ini telah disampaikan kepada setiap Bapa dari Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen-sakramen, dan telah diperiksa serta disetujui dalam Sidang Biasa, 7 Februari sampai 20 Mei 2014. Teks itu kemudian disampaikan kepada Bapa Suci Fransiskus yang telah menyetujui penerbitan “Pedoman Homili” ini. Kongregasi ini dengan senang hati mempublikasikannya, dengan harapan bahwa homili bisa menjadi “pengalaman yang mendalam dan membahagiakan akan Roh, suatu perjumpaan dengan sabda Allah yang menghibur, sumber pembaruan dan pertumbuhan yang tetap” (Evangelii Gaudium 135). Setiap pengkhotbah, dengan menghidupi rasa-perasaan Rasul Paulus, membarui kembali kesadaran bahwa “Allah telah menganggap kami layak untuk mempercayakan Injil kepada kami, karena itulah kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita” (1Tes 2:4).
Terjemahan-terjemahan dalam bahasa-bahasa utama akan dikerja-kan oleh Dikasteri, sementara penerjemahan ke dalam bahasa-bahasa lain menjadi tanggung jawab Konferensi para Uskup yang berkepentingan.
Tanpa mengesampingkan sesuatu yang terjadi sebaliknya.
Dari kantor Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen-sakramen, 29 Juni 2014, pada pesta Santo Petrus dan Paulus, Rasul.
Antonio Card. Cañizares Llovera
Prefektus
+ Arthur Roche
Uskup Agung Sekretaris
PENGANTAR
1. Pedoman Homili ini bermaksud memberi jawaban kepada permintaan yang disampaikan oleh para peserta Sinode para Uskup tentang Sabda Allah, yang diadakan pada tahun 2008. Untuk menjawab permintaan itu, Paus Benediktus XVI meminta kepada otoritas-otoritas berwenang untuk menyiapkan suatu Pedoman Homili (bdk. VD 60). Untuk itu, ia telah menjadikan sebagai kepeduliannya sendiri ungkapan para Bapa Sinode sebelumnya, yaitu agar perhatian yang lebih besar diberikan pada persiapan homili (bdk. Sacramentum Caritatis 46). Juga Penerusnya, Paus Fransiskus, memandang khotbah sebagai salah satu prioritas hidup Gereja, seperti nyata dari Seruan apostoliknya yang pertama Evangelii Gaudium.
Dalam menjelaskan homili, para Bapa Konsili Vatikan II telah menggarisbawahi hakikat khusus khotbah dalam konteks liturgi suci: “Bahannya terutama hendaklah bersumber pada Kitab suci dan Liturgi, sebab khotbah merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgi” (SC 35, 2). Selama berabad-abad, khotbah telah sering menjadi pengajaran moral atau doktrinal yang disampaikan dalam kesempatan Misa Hari Minggu dan Hari Raya, namun tidak selalu diintegrasikan dalam perayaan itu sendiri. Saat ini, sebagaimana gerakan liturgis Katolik yang mulai pada akhir abad ke-19 berupaya mengintegrasikan kesalehan personal dan spiritualitas liturgi umat beriman, demikian pula ada usaha-usaha yang terarah untuk mendalami hubungan intrinsik antara Kitab Suci dan ibadat. Usaha-usaha itu, yang didorong oleh para Paus sepanjang paruh pertama abad kedua puluh, menghasilkan buah-buahnya dalam visi liturgi Gereja yang disampaikan kepada kita oleh Konsili Vatikan II. Hakikat dan fungsi homili harus dimengerti dalam pandangan ini.
2. Selama lima puluh tahun terakhir ini banyak aspek homili, sebagaimana dipikirkan oleh Konsili, telah ditelaah, baik dalam pengajaran Magisterium Gereja maupun dalam pengalaman harian dari mereka yang melaksanakan tugas berkhotbah. Pedoman ini bermaksud memaparkan tujuan homili sebagaimana telah di-jelaskan dalam dokumen-dokumen Gereja, dari Konsili Vatikan II sampai Seruan apostolik Evangelii Gaudium, dan menawarkan suatu petunjuk yang didasarkan atas sumber-sumber itu sehingga membantu para pengkhotbah melaksanakan tugas perutusannya dengan tepat dan efektif. Dalam Lampiran pada akhir Pedoman ini ditunjukkan referensi-referensi pada dokumen-dokumen yang sangat penting dengan tujuan memperlihatkan bagaimana maksud-maksud Konsili sebagian berakar dan bertumbuh selama lima puluh tahun terakhir. Namun, itu semua menunjukkan juga perlunya refleksi lebih lanjut untuk sampai pada bentuk khotbah yang diharapkan oleh Konsili.
Sebagai pengantar masuk ke dalam pokok bahasan, kita bisa mencatat empat tema penting yang tak berubah, yang secara singkat diuraikan dalam dokumen-dokumen Konsili. Yang pertama tentu saja tempat Sabda Allah dalam perayaan liturgi, dan hal itu apa artinya bagi fungsi homili (bdk. SC 24, 35, 52, 56). Yang kedua, mengenai prinsip-prinsip penafsiran biblis secara Katolik yang dinyatakan oleh Konsili, yang mendapatkan suatu ungkapan khusus dalam homili liturgis (bdk. DV 9-13, 21). Aspek yang ketiga berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensi dari pemahaman Kitab Suci itu dan liturgi bagi pengkhotbah sendiri, yang harus mem-bentuk tidak hanya pendekatannya dalam mempersiapkan homili, namun juga seluruh hidup rohaninya (bdk. DV 25, Presbyterorum Ordinis 4,18). Akhirnya, aspek keempat berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan dari para penerima khotbah Gereja, budaya dan keadaan hidup mereka, yang juga menentukan bentuk homili, karena hal itu juga memiliki peran untuk mempertobatkan para pendengar kepada Injil (bdk. Ad Gentes 6). Petunjuk-petunjuk singkat namun penting ini telah mempengaruhi khotbah Katolik selama puluhan tahun sesudah Konsili; pemahamannya telah me-nemukan ungkapan konkret dalam peraturan Gereja dan secara melimpah telah disampaikan dan dikembangkan dalam pengajaran para Paus, sebagaimana ditunjukkan dengan jelas oleh kutipan-kutipan dalam Pedoman ini dan juga daftar dokumen-dokumen yang relevan yang ditunjukkan dalam Lampiran II.
3. Pedoman Homili berusaha untuk memadukan penilaian-penilaian selama lima puluh tahun, meninjaunya kembali secara kritis, membantu para pengkhotbah untuk menghargai fungsi homili dan menawarkan kepada mereka suatu bimbingan untuk melaksanakan suatu perutusan yang begitu penting bagi hidup Gereja. Sasarannya terutama adalah homili yang disampaikan pada Ekaristi hari Minggu, namun apa yang dikatakan di sini bisa diterapkan juga untuk homili umum pada setiap perayaan liturgis dan sakramental. Oleh karena itu, saran-saran yang disampaikan di sini tentu saja umum: homili merupakan suatu bidang pelayanan yang sangat beragam, baik oleh karena perbedaan-perbedaan budaya dari jemaat yang satu dengan yang lain, maupun bakat-bakat dan keterbatasan-keterbatasan tiap-tiap pengkhotbah. Setiap pengkhotbah ingin berkhotbah dengan lebih baik, dan kadang-kadang karena tuntutan karya pastoral yang banyak, disertai dengan perasaan ketidakmampuan pribadi, bisa menimbulkan keputus-asaan. Memang benar bahwa beberapa, karena kemampuan dan pendidikan, adalah pembicara publik yang lebih hebat daripada yang lain. Namun kesadaran akan keterbatasan diri di bidang ini, bisa diatasi dengan mengingat kembali bahwa Musa juga menderita kesulitan berbicara (bdk. Kel 4:10), Yeremia merasa terlalu muda untuk berkhotbah (bdk. Yer 1:6) dan Paulus, dengan pengakuannya sendiri, merasa takut dan gentar (bdk. 1Kor 2:2-4). Untuk menjadi pengkhotbah yang baik tidak perlu menjadi orator ulung. Tentu saja, seni berpidato atau berbicara di hadapan umum, termasuk penggunaan suara yang tepat dan juga gerakan tubuh, membantu keberhasilan homili. Kendati soal ini berada di luar cakupan Pedoman ini, namun bagi siapa pun yang menyampaikan homili, ini adalah aspek penting. Akan tetapi, apa yang utama adalah bahwa pengkhotbah menempatkan Sabda Tuhan dalam pusat hidup rohaninya, mengenal umatnya dengan baik, merefleksikan peris-tiwa-peristiwa saat ini, berusaha tanpa henti mengembangkan kecakapan-kecakapan yang membantunya untuk berkhotbah dengan baik dan terutama, dengan menyadari kekurangan rohani diri sendiri, dalam iman memohon Roh Kudus yang adalah pencipta utama dalam menjadikan hati umat beriman tunduk di hadapan misteri-misteri ilahi. Paus Fransiskus mengingatkan: “Marilah kita memperbarui kepercayaan diri kita dalam berkhotbah, berdasar-kan pada keyakinan kita bahwa Allah yang berusaha menyentuh orang-orang lain melalui pengkhotbah; dan bahwa Ia memper-lihatkan kekuasaan-Nya melalui kata-kata manusia.” (EG 136)
BAGIAN I – HOMILI DAN KERANGKA LITURGI
I. Homili
4. Hakikat khusus homili dimengerti dengan baik oleh Penginjil Lukas dalam kisah tentang khotbah Kristus di sinagoga di Nazaret (bdk. Luk 4:16-30). Setelah membaca nas dari nabi Yesaya, ia memberikan gulungan kitab kepada petugas dan berkata: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Luk 4:21). Dalam membaca dan merenungkan perikop ini, kita dapat menangkap antusiasme yang memenuhi sinagoga kecil itu: pewartaan Sabda Tuhan dalam jemaat suci adalah suatu peristiwa. Demikianlah yang kita baca dalam Verbum Domini: “liturgi adalah tempat istimewa di mana Allah berbicara kepada kita di tengah kehidupan kita, Ia sekarang berbicara kepada umat-Nya, yang mendengarkan dan menjawab” (VD 52). Suatu tempat istimewa, kendati bukan satu-satunya. Tentu saja, Allah berbicara kepada kita dengan banyak cara: melalui peristiwa-peristiwa hidup, pendalaman pribadi atas Kitab Suci, saat-saat doa hening. Namun, liturgi adalah tempat istimewa karena di sana kita mendengarkan Sabda Allah sebagai bagian dari perayaan yang memuncak dalam persembahan korban Kristus kepada Bapa kekal. Katekismus menegaskan bahwa: “Ekaristi membuat Gereja” (KGK 1396), namun juga bahwa Ekaristi adalah tak terpisahkan dari Sabda Allah (bdk. KGK 1346).
Dengan menjadi bagian tak terpisahkan dari liturgi, homili bukan hanya suatu pengajaran, namun juga tindakan ibadat. Ketika membaca homili-homili para Bapa kita tahu bahwa banyak dari mereka mengakhiri khotbah dengan suatu doksologi dan kata “Amin”: mereka memahami bahwa tujuan homili bukan hanya untuk menguduskan umat, melainkan juga untuk memuliakan Allah. Homili adalah suatu himne syukur bagi magnalia Dei (karya-karya agung Allah): bukan hanya pewartaan bagi mereka yang berkumpul bahwa Sabda Allah terpenuhi pada saat mereka mendengarkan, melainkan juga memuji Allah oleh karena pemenuhannya.
Berkat hakikat liturgisnya, homili memiliki juga makna sakramen-tal: Kristus hadir baik dalam himpunan umat yang berkumpul untuk mendengarkan sabda-Nya, maupun dalam khotbah dari pemimpin. Melalui pemimpin itu Tuhan sendiri yang telah bersabda satu kali di sinagoga di Nazaret, sekarang mengajar umat-Nya. Dikatakan dalam Verbum Domini: “Sakramentalitas dari Firman dapat dimengerti melalui analogi dengan kehadiran real Kristus dalam perwujudan roti dan anggur yang dikonsekrasikan. Dengan mendekati altar dan ambil bagian dalam perjamuan Ekaristi kita sungguh ambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus. Pewartaan Firman Allah dalam perayaan menuntut pengakuan bahwa Kristus sendiri hadir, bahwa Ia berbicara kepada kita, dan Ia ingin agar didengarkan.” (VD 56).
5. Oleh karena menjadi bagian integral dari liturgi Gereja, homili harus disampaikan hanya oleh para Uskup, para imam, atau diakon. Hubungan erat antara meja Sabda dan meja altar mengakibatkan bahwa “homili biasanya disampaikan secara pribadi oleh imam selebran” (Pedoman Umum Misale Romawi, 66), atau bagaimanapun selalu oleh orang yang telah ditahbiskan untuk memimpin atau berdiri di altar. Pengajaran-pengajaran yang benar dan nasihat-nasihat yang menyentuh bisa diberikan juga oleh pemimpin-pemimpin awam yang disiapkan dengan baik, namun hal itu hendaknya dilakukan dalam kesempatan-kesempatan lain; hakikat homili secara intrinsik liturgis menuntut bahwa homili diberikan hanya oleh orang yang telah ditahbiskan untuk memimpin ibadat Gereja (bdk. Redemptoris Sacramentum 161).
6. Paus Fransiskus melihat bahwa homili “adalah suatu ragam (genre) istimewa, karena merupakan khotbah yang ditempatkan dalam kerangka perayaan liturgis; oleh karena itu homili harus singkat dan menghindari kemiripan dengan pidato atau ceramah” (EG 138). Oleh karena itu, hakikat liturgis homili menerangi fungsi khususnya. Dengan mempertimbangkan fungsi itu, maka bisa jadi berguna menjelaskan apa yang bukan homili.
Homili bukan suatu khotbah tentang tema yang abstrak; dengan kata lain, Misa bukanlah suatu kesempatan bagi seorang peng-khotbah untuk menyampaikan tema-tema yang sama sama sekali tidak berkaitan dengan perayaan liturgi dan dengan bacaan-bacaannya, atau memaksa teks-teks yang disediakan oleh Gereja untuk disesuaikan dengan ide-ide yang sudah dipikirkan. Homili juga bukan suatu tindakan eksegese biblis. Umat Allah memiliki kerinduan besar untuk mendalami Kitab-kitab Suci dan para pastor harus menyediakan kesempatan-kesempatan dan inisiatif yang memungkinkan umat beriman mendalami pemahaman Sabda Allah. Namun, homili hari Minggu bukanlah kesempatan untuk memberikan suatu eksegese biblis yang detil: ini bukanlah saat untuk melakukannya dengan baik, dan yang lebih penting adalah bahwa pengkhotbah dipanggil untuk mewartakan bagaimana agar Sabda Allah tergenapi di sini dan saat ini. Homili juga bukan pengajaran katekese, walaupun katekese juga merupakan suatu unsur yang penting. Seperti halnya eksegese biblis, ini bukanlah saat untuk menyampaikannya dengan tepat; hal itu akan menunjukkan suatu variasi praktik penyampaian ceramah dalam Misa yang tidak sungguh terpadu dengan perayaan liturgis sendiri. Akhirnya, homili hendaknya tidak digunakan sebagai saat kesaksian pribadi pengkhotbah. Tak diragukan bahwa orang-orang bisa tersentuh secara mendalam oleh kisah-kisah pribadi, namun homili harus mengungkapkan iman Gereja, dan bukan sekadar kisah pribadi pengkhotbah. Sebagaimana diingatkan oleh Paus Fransiskus, khotbah yang melulu bersifat moralistik atau doktriner, atau yang berubah menjadi pengajaran eksegese, mengurangi komunikasi dari hati ke hati yang terjadi dalam homili, dan yang memiliki sifat kuasi-sakramental, sebab iman berasal dari apa yang didengar (bdk. EG 142).
7. Dengan mengatakan bahwa homili bukanlah salah satu dari itu semua, tidak berarti bahwa dalam khotbah tidak ada tempat bagi tema-tema pokok, eksegese biblis, pengajaran doktrinal dan kesaksian pribadi. Tentu saja, semua itu bisa menjadi unsur-unsur efektif dalam suatu homili yang baik. Sangat tepat bahwa seorang pengkhotbah mampu mengaitkan bacaan-bacaan dari suatu perayaan dengan fakta-fakta dan persoalan-persoalan aktual, berbagi hasil-hasil studi untuk memahami perikop Kitab Suci dan menunjukkan kaitan antara Sabda Allah dan ajaran Gereja. Bagaikan api, semua unsur itu bisa menjadi pelayan-pelayan yang baik, tetapi juga penguasa-penguasa yang jahat: baik jika berguna untuk mendukung fungsi homili; jika menggantikannya, maka tidak baik lagi. Maka, pengkhotbah harus berbicara sedemikian rupa sehingga siapa yang mendengar bisa merasa imannya dalam kuasa Allah. Tentu, ia tidak harus mengurangi standar pesan menjadi sekadar kesaksian pribadi karena takut dituduh tidak melakukan apa yang dikhotbahkan. Karena ia tidak mewartakan diri sendiri, tetapi Kristus, ia bisa, tanpa kemunafikan, menunjukkan puncak-puncak kesucian, yang ia cita-citakan dalam peziarahan imannya, sebagaimana dicita-citakan oleh semua orang lain juga.
8. Perlu ditekankan juga bahwa homili hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan komunitas khusus, dan sungguh mengambil inspirasi darinya. Paus Fransiskus berbicara tentang hal ini dalam Evangelii Gaudium dengan indah:
“Roh yang sama yang mengilhami Injil dan yang bertindak dalam Gereja juga mengilhami pengkhotbah untuk mendengar iman umat Allah dan menemukan cara yang tepat untuk berkhotbah pada setiap Ekaristi. Maka, khotbah Kristiani menemukan di dalam kebudayaan umat sumber air hidup, yang membantu pengkhotbah untuk mengetahui apa yang harus dikatakan dan bagaimana mengatakannya. Seperti halnya kita semua senang berbicara dalam bahasa ibu kita sendiri, demikian juga dalam iman kita senang kalau orang berbicara dalam bahasa “budaya ibu” kita, bahasa daerah kita (bdk, 2Mak. 7:21, 27), lalu hati kita siap untuk mendengar dengan lebih baik. Bahasa adalah semacam musik yang mengilhami keberanian, ketenangan, kekuatan dan semangat.” (EG 139)
9. Lalu, homili itu apa? Dua paparan ringkas dari Praenotanda (Prakata) buku-buku liturgi Gereja mulai memberi suatu jawaban. Pertama-tama, kita baca dalam Pedoman Umum Misale Romawi:
“Homili merupakan bagian liturgi dan sangat dianjurkan, sebab homili itu penting untuk memupuk semangat hidup Kristen. Homili itu haruslah merupakan penjelasan tentang bacaan dari Alkitab, ataupun penjelasan tentang teks lain yang diambil dari Ordinarium atau Proprium Misa hari itu, yang bertalian dengan misteri yang dirayakan, atau yang bersangkutan dengan keperluan khusus umat yang hadir”(65).
10. Prakata pada Lectionarium (Tata Bacaan Misa) dengan jelas memperluas paparan singkat itu:
“Homili, yang dengannya sepanjang kurun tahun liturgi, berdasarkan bacaan suci, misteri-misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristen diuraikan, sebagai bagian dari liturgi Sabda secara khusus dianjurkan, (…) bahkan diwajibkan pada beberapa kesempatan. Biasanya homili disampaikan oleh pemimpin perayaan sendiri. Di dalam perayaan Ekaristi sasarannya ialah agar: bersama dengan Liturgi Ekaristi, Sabda Allah yang diwartakan itu menjadi “suatu pemakluman keajaiban-keajaiban yang dikerjakan Allah dalam Sejarah Keselamatan, yaitu dalam misteri Kristus” (SC 35,2). Sebab misteri Paska Kristus yang diwartakan dalam bacaan-bacaan serta homili itu diaktualisasikan oleh Kurban Ekaristi. Lagi pula, Kristus selalu hadir dan berkarya dalam pewartaan Gereja-Nya.
Maka dari itu homili, yang menjelaskan sabda Kitab Suci yang diwartakan ataupun naskah lain yang dipakai dalam liturgi, harus membimbing jemaat untuk melibatkan diri dalam perayaan Ekaristi, “agar mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka perolah dalam iman.” (SC 10). Dengan penjelasan yang semarak ini, Firman Allah yang dibacakan dan perayaan-perayaan Gereja yang dilaksanakan, akan mempunyai dampak lebih besar kalau homili disampaikan secara menarik dan benar-benar merupakan buah hasil perenungan, yang disiapkan baik-baik, sehingga tidak berkepan-jangan, tetapi juga tidak terlalu singkat; juga kalau dalam homili itu seluruh jemaat yang hadir diperhatikan, termasuk anak-anak dan orang-orang sederhana.” (OLM 24)
11. Baiklah menggarisbawahi beberapa unsur penting yang di-sampaikan oleh dua paparan tersebut. Dalam arti luas, homili adalah suatu ceramah tentang misteri-misteri iman dan norma-norma hidup Kristiani, yang dikembangkan secara selaras dengan kebutuhan-kebutuhan khusus para pendengar. Itulah gambaran singkat dari banyak jenis khotbah dan nasihat. Bentuk khusus homili ditunjukkan dengan kata “berdasarkan bacaan suci”, yang merujuk pada perikop-perikop Kitab Suci dan doa-doa perayaan liturgi. Hal itu tidak boleh diabaikan, karena nyatanya doa-doa memberikan suatu hermeneutika yang berguna bagi pengkhotbah untuk menafsirkan teks-teks biblis. Apa yang membedakan suatu homili dari bentuk-bentuk pengajaran lainnya adalah konteks liturgisnya. Pemahaman ini menjadi lebih krusial ketika kerangka homili adalah perayaan Ekaristi: apa yang dikatakan dokumen-dokumen di sini adalah mendasar bagi pemahaman yang tepat dari fungsi homili. Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi bersama-sama mewartakan karya agung Allah akan keselamatan kita dalam Kristus: “Misteri Paskah Kristus, yang diwartakan dalam bacaan-bacaan dan homili, diaktualkan melalui Kurban Misa”. Homili Misa “harus menuntun komunitas umat beriman berpartisipasi secara aktif dalam Ekaristi, agar ‘mengungkapkan dalam hidup apa yang telah mereka terima melalui iman’ (SC 10).” (OLM 24)
12. Penggambaran homili dalam Misa ini memberi suatu dinamika yang sederhana namun sangat menarik. Gerakan pertama diusulkan dari kata-kata: “Misteri Paskah Kristus, yang diwartakan dalam bacaan-bacaan dan homili”. Pengkhotbah menjelaskan bacaan-bacaan dan doa-doa perayaan, sehingga maknanya diterangi oleh wafat dan kebangkitan Tuhan. Betapa luar biasa erat kaitan antara “bacaan-bacaan dan homili”, sehingga suatu pewartaan buruk atas bacaan-bacaan Kitab Suci berdampak buruk juga pada pemahaman homili. Keduanya merupakan pewartaan, hal ini menegaskan kembali bahwa homili adalah tindakan liturgis; sungguh homili adalah suatu bentuk perluasan dari pewartaan bacaan-bacaan itu sendiri. Dalam menghubungkan bacaan-bacaan dengan misteri Paskah, renungan hendaknya menyinggung, dengan hasil yang memuaskan, pengajaran-pengajaran doktrinal atau moral yang diusulkan oleh teks.
13. Gerakan kedua dianjurkan dari kata-kata: “[misteri Paskah] diaktualkan melalui Kurban Misa”. Bagian kedua homili menyiapkan komunitas untuk merayakan Ekaristi dan untuk mengerti bahwa di sini mereka sungguh mengambil bagian dalam misteri wafat dan kebangkitan Tuhan. Pada hakikatnya, setiap homili hendaknya menampakkan kebutuhan implisit untuk mengulangi kata-kata Rasul Paulus: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus” (1Kor 10:16).
14. Gerakan yang ketiga, yang mungkin lebih singkat dan berfungsi sebagai penutup, menganjurkan bagaimana anggota-anggota komunitas, yang telah diubah oleh Ekaristi, bisa membawa Injil ke dalam dunia melalui kehidupan harian mereka. Tentu saja, bacaan-bacaan Kitab Suci akan memberi inspirasi isi dan arah bagi penerapannya, namun pada saat yang sama pengkhotbah harus menunjukkan juga pengaruh Ekaristi sendiri yang sedang dirayakan dan akibatnya bagi hidup sehari-hari, dalam harapan bahagia akan persatuan tak terpisahkan bersama Allah.
15. Ringkasnya, homili dibentuk dari suatu dinamika yang sangat sederhana: dalam terang misteri Paskah homili merefleksikan makna bacaan-bacaan dan doa-doa dari suatu perayaan yang diadakan, dan menuntun umat kepada liturgi Ekaristi, di mana mereka mengambil bagian dalam misteri Paskah yang sama (contoh-contoh dari jenis pendekatan homili seperti ini akan disampaikan dalam bagian kedua Pedoman ini). Hal ini dengan jelas berarti bahwa konteks liturgis adalah kunci penting yang tak boleh diabaikan untuk menafsirkan teks-teks Kitab Suci yang diwartakan dalam perayaan. Marilah sekarang kita mencermati penafsiran itu.
II. Penafsiran Sabda Allah dalam Liturgi
16. Pembaruan liturgi pasca-Konsili telah memungkinkan khotbah dalam Misa bertolak dari pilihan yang lebih kaya atas bacaan-bacaan Kitab Suci. Tapi apa yang harus dikatakan tentang bacaan-bacaan itu? Pada praktiknya, pengkhotbah sering menjawab pertanyaan itu dengan mempelajari komentar-komentar biblis untuk memberi suatu latar belakang tertentu pada bacaan-bacaan dan memberikan suatu bentuk penerapan moral secara umum. Apa yang sering kali kurang adalah kepekaan akan hakikat khusus homili sebagai bagian integral dari perayaan Ekaristi. Jika homili dimengerti sebagai bagian utuh dari Misa, maka jelas bahwa pengkhotbah dituntut untuk mempertimbangkan berbagai bacaan dan doa perayaan sebagai hal yang sangat penting untuk menafsirkan Sabda Tuhan. Inilah kata-kata Paus Benediktus XVI:
Pembaruan yang diserukan Konsili Vatikan Kedua telah menghasilkan buah dalam akses yang kaya kepada Kitab Suci, yang sekarang disajikan secara berlimpah, terutama dalam liturgi Hari Minggu. Susunan sekarang dari Lectionarium tidak hanya menghadirkan teks-teks Kitab Suci yang lebih penting dengan lebih kerap, tetapi juga membantu kita untuk memahami kesatuan dari rencana Allah berkat jalinan bacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru “di mana Kristus adalah pribadi yang sentral, diperingati dalam misteri Paskah-Nya.” (VD 57)
Lectionarium Misa Harian adalah buah dari kerinduan yang diungkapkan oleh Konsili: “Agar santapan sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada Umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar, sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting Kitab Suci dibacakan kepada Umat” (SC 51). Namun para Bapa Konsili Vatikan Kedua tidak menyampaikan kepada kita hanya Lectionarium itu: mereka menunjukkan juga prinsip-prinsip eksegese biblis yang secara khusus berkaitan dengan homili.
17. Katekismus Gereja Katolik menyampaikan tiga kriteria penafsiran Kitab Suci, yang disampaikan oleh Konsili, dengan kata-kata demikian:
-
- Memberi perhatian khusus “pada isi dan kesatuan utuh Kitab Suci.” Sungguh, meskipun banyak buku yang berbeda-beda yang membentuknya, Kitab Suci adalah satu kesatuan dalam daya kesatuan rencana Allah, di mana Yesus Kristus adalah pusat dan hati, terbuka oleh Seng-sara-Nya.
“Ungkapan ‘hati Kristus’ harus diartikan menurut Kitab Suci yang memperkenalkan hati Kristus. Hati ini tertutup sebelum kesengsaraan, karena Kitab Suci masih gelap. Tetapi sesudah sengsara-Nya Kitab Suci terbuka, agar mereka yang sekarang memahaminya, dapat mempertimbangkan dan membeda-bedakan, bagaimana nubuat-nubuat harus ditafsirkan” (Tomas Aquinas., Expositio in Psalmos 21,11: KGK 112).
- Membaca Kitab Suci “dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja.” Menurut satu semboyan para Bapa “Kitab Suci lebih dahulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas pergamen [kertas dari kulit].” Gereja menyimpan dalam tradisinya kenangan yang hidup akan Sabda Allah, dan Roh Kudus memberi kepadanya penafsiran rohani mengenai Kitab Suci… “menurut arti rohani yang dikaruniakan Roh kepada Gereja” (KGK 113).
- Memperhatikan analogi iman. Dengan “analogi iman” dimaksudkan hubungan kebenaran-kebenaran iman satu sama lain dan dalam rencana keseluruhan Wahyu. (KGK 114)
Kendati benar bahwa kriteria-kriteria ini berguna untuk penafsiran Kitab Suci dalam segala situasi, teristimewa hal itu berguna bila diterapkan dalam mempersiapkan homili untuk Misa. Marilah kita lihat masing-masing dalam kaitan dengan homili.
18. Yang pertama adalah “pada isi dan kesatuan utuh Kitab Suci.” Ungkapan sangat indah dari Santo Tomas Aquino yang dikutip oleh Katekismus menggarisbawahi relasi antara misteri Paskah dengan Kitab Suci. Misteri Paskah membuka makna dari Kitab Suci, yang “gelap” sampai saat itu (bdk. Luk 24:26-27). Dilihat dalam terang itu, tugas pengkhotbah adalah membantu umat beriman untuk membaca Kitab Suci dalam terang misteri Paskah, sehingga Kristus bisa menyingkapkan hati-Nya sendiri kepada mereka, yang menurut Santo Tomas bersesuaian di sini dengan isi dan pusat Kitab Suci.
19. Kesatuan utuh Kitab Suci itu tercakup dalam struktur Lectionarium sendiri, sedemikian rupa sehingga Kitab Suci disebarkan sepanjang tahun liturgi. Pada pusatnya kita temukan Kitab Suci yang dengannya Gereja mewartakan dan merayakan Triduum Paskah. Itu disiapkan oleh Lectionarium Prapaskah dan diperluas dalam Masa Paskah. Sama halnya terjadi dalam siklus Adven-Natal-Epifani. Dan lebih lanjut lagi, kesatuan utuh Kitab Suci juga tercakup dalam struktur Lectionarium Hari Minggu dan Lectionarium Hari Raya dan Pesta. Pada intinya terletak perikop Injil hari itu; bacaan Perjanjian Lama dipilih dalam terang Injil, sementara Mazmur Tanggapan diilhami oleh bacaan sebelumnya. Bacaan dari Surat Rasul, dalam perayaan hari-hari Minggu, menyajikan suatu bacaan yang semi-berkelanjutan dari Surat-surat dan dengan demikian biasanya tidak berkaitan secara ekplisit dengan tema bacaan-bacaan lain. Namun, berdasarkan kesatuan utuh Kitab Suci, mungkin sering ditemukan keterkaitan antara bacaan kedua dengan perikop-perikop Perjanjian Lama dan Injil. Jika keterkaitan tampak jelas, Lectionarium mendesak pengkhotbah untuk memandang bacaan-bacaan Kitab Suci sebagai saling menerangi atau, untuk menggunakan istilah dari Katekismus dan Dei Verbum, untuk melihat “isi dan kesatuan utuh Kitab Suci”.
20. Yang kedua adalah “dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja.” Dalam Verbum Domini, Paus Benediktus XVI menegaskan kriteria mendasar hermeneutika biblis: “latar utama bagi penafsiran alkitabiah adalah kehidupan Gereja” (VD 29). Relasi antara Tradisi dan Kitab Suci bersifat mendalam dan kompleks, dan tentunya liturgi merepresentasikan suatu ungkapan penting dan khusus akan relasi itu. Ada suatu kesatuan organis antara Kitab Suci dan liturgi: selama berabad-abad di saat Kitab Suci dituliskan dan kanon Kitab Suci terbentuk, umat Allah berkumpul bersama secara teratur untuk merayakan liturgi. Lebih tepat dikatakan, tulisan-tulisan itu dibuat untuk tujuan yang baik bagi pertemuan-pertemuan seperti itu (bdk. Kol. 4: 16). Pengkhotbah harus memperhitungkan asal-usul liturgis Kitab Suci dan pada akhirnya mempertimbangkannya agar membuat suatu teks dapat digunakan dalam konteks baru dari komunitas yang diberinya pewartaan. Sungguh di sini, pada saat pewartaan, bahwa teks kuno menjadi hidup kembali dan selalu aktual. Kitab Suci yang dibentuk dalam konteks liturgis, sudah menjadi Tradisi; Kitab Suci yang diwartakan dan dijelaskan dalam perayaan Ekaristi misteri Paskah adalah Tradisi juga. Selama berabad-abad telah terkumpulkan suatu harta penafsiran yang luar biasa dari perayaan liturgi dan pewartaan dalam hidup Gereja. Misteri Kristus dimengerti dan dinilai selalu lebih mendalam oleh Gereja dan pengetahuan Gereja tentang Kristus adalah Tradisi. Maka, pengkhotbah diminta untuk mendekati bacaan-bacaan dari suatu perayaan tidak sebagai suatu pilihan teks sembarangan, tetapi sebagai suatu kesempatan untuk merefleksikan makna terdalam perikop Kitab Suci dengan Tradisi hidup seluruh Gereja, sebagai Tradisi menemukan ungkapan dalam bacaan-bacaan yang dipilih dan diselaraskan, demikian juga dalam teks-teks doa liturgis. Teks doa liturgis juga merupakan monumen Tradisi dan secara organis terkait dengan Kitab Suci, sebab diambil secara langsung dari Sabda Allah atau dijiwai oleh Sabda itu.
21. Yang ketiga adalah “analogi iman”. Dalam arti teologis, hal ini menunjuk pada kaitan antara berbagai doktrin dan hierarki kebenaran iman. Inti terdalam iman kita adalah misteri Tritunggal dan undangan bagi kita untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi. Realitas itu diungkapkan dan diwujudkan melalui misteri Paskah: hal ini mengakibatkan bahwa pengkhotbah harus menafsirkan Kitab Suci sedemikian rupa sehingga misteri diwartakan, dan menuntun umat memasuki misteri melalui perayaan Ekaristi. Jenis penafsiran seperti ini merupakan bagian esensial khotbah apos-tolik sejak awal Gereja, seperti kita baca dalam Verbum Domini:
Di sini, sepertinya dalam inti dari “Kristologi dari Firman”, pentinglah untuk menekankan kesatuan rencana ilahi dalam Firman yang menjadi manusia: demikian Perjanjian Baru menghadirkan misteri Paskah sebagai sesuai dengan Kitab Suci dan sebagai pemenuhannya yang terdalam. Santo Paulus, dalam Surat Korintus Pertama, mengatakan bahwa Yesus Kristus mati untuk dosa-dosa kita “sesuai dengan Kitab Suci” (15:3) dan bahwa Ia bangkit pada hari ketiga “sesuai dengan Kitab Suci” (15:4). Demikian Rasul menghubungkan peristiwa kematian Tuhan dan kebangkitan-Nya dengan sejarah Perjanjian Lama Allah dengan umat-Nya. Tentu saja, ia memperlihatkan kepada kita bahwa peristiwa sejarah menerima makna logisnya yang terdalam dan maknanya. Dalam misteri Paskah “kata-kata Kitab Suci” terpenuhi; dengan kata lain, kematian ini yang terjadi “sesuai dengan Kitab Suci” adalah suatu peristiwa berisi logos, suatu logika batin: kematian Kristus memberi kesaksian bahwa Firman Allah menjadi sama sekali “daging” manusia, “sejarah” manusia. Begitu juga, kebangkitan Yesus terjadi “pada hari ketiga sesuai dengan Kitab Suci”: karena keyakinan Yahudi menyatakan bahwa kerusakan terjadi sesudah hari ketiga, kata-kata Kitab Suci terpenuhi dalam Yesus yang bangkit tanpa mengalami kerusakan. Demikian Santo Paulus, dengan setia menyampaikan ajaran para Rasul (bdk. 1Kor. 15:3), menekan-kan bahwa kemenangan Kristus atas maut terjadi melalui kekuatan kreatif dari Firman Allah. Kekuatan ilahi ini memberikan pengharapan dan kegembiraan: ini, dengan satu kata, adalah isi yang membebaskan dari wahyu Paskah. Waktu Paskah, Allah menyatakan diri-Nya dan kekuatan dari kasih Tritunggal yang menghancurkan kekuatan merusak dari kejahatan dan kematian. (VD 13)
Kesatuan rencana ilahi itulah yang membuat tepat bagi pengkhotbah untuk memberikan suatu katekese doktrinal dan moral selama homili. Secara doktrinal, hakikat ilahi dan manusiawi Kristus menyatu dalam satu pribadi saja, keilahian Roh Kudus, daya ontologis Roh dan Putra untuk menyatukan kita pada Bapa dalam kesatuan hidup Trinitas Kudus, hakikat ilahi Gereja di mana realitas-realitas itu diakui dan dibagikan: kebenaran-kebenaran doktrinal itu dan yang lain telah dirumuskan sebagai makna terdalam dari apa yang diwartakan oleh Kitab Suci dan dilaksanakan dalam Sakramen-sakramen. Dalam homili, doktrin-doktrin itu tidak disampaikan sebagai bagian-bagian dari suatu risalah ilmiah atau penjelasan kuliah, di mana misteri-misteri bisa dijabarkan dan digali lebih dalam. Akan tetapi, doktrin-doktrin seperti itu membimbing pengkhotbah dan menjamin bahwa, dalam berkhotbah, ia mencapai makna terdalam Kitab Suci dan Sakramen.
22. Misteri Paskah, yang secara efektif dialami dalam perayaan sakramental, menerangi tidak hanya Kitab Suci yang diwartakan, namun juga mengubah hidup mereka yang mendengarkannya. Maka, fungsi lain dari homili adalah untuk membantu umat Allah melihat bagaimana misteri Paskah tidak hanya menerangkan apa yang kita percaya, tetapi juga memampukan kita bertindak dalam terang realitas-realitas yang kita percaya. Katekismus, melalui kata-kata Santo Yohanes Eudes, menunjukkan pengidentifikasian dengan Kristus, yang adalah kondisi fundamental hidup Kristiani:
“Aku minta kepadamu, ingatlah bahwa Tuhan kita Yesus Kristus adalah Kepalamu dan bahwa engkau adalah salah satu anggota-Nya. Ia berfungsi untuk engkau, sebagaimana kepala untuk anggota-anggota. Segala sesuatu yang menjadi milik-Nya adalah milikmu: roh, hati, tubuh, jiwa, dan segala kemampuan. Engkau harus memanfaatkan semuanya, seakan-akan itu milikmu, untuk melayani, memuji, mengasihi, dan memuliakan Allah. Engkau ada untuk Kristus, sebagaimana satu anggota ada untuk kepala. Karena itu, Ia merindukan dengan sangat mempergunakan segala kemampuanmu, seakan-akan itu milik-Nya, untuk melayani Bapa dan memuliakan-Nya.” (Tractatus de admirabili Corde Iesu; yang dikutip dalam KGK 1698).
23. Katekismus Gereja Katolik adalah sumber tak ternilai bagi pengkhotbah yang menggunakan tiga kriteria penafsiran yang telah kita bahas. Ia menawarkan suatu contoh berharga dari “kesatuan utuh Kitab Suci”, dari “Tradisi hidup seluruh Gereja” dan “analogi iman”. Ini terutama menjadi jelas ketika relasi dinamis antara empat bagian pembentuk Katekismus diperhatikan. Katekismus menyajikan apa yang kita percaya, bagaimana kita merayakan ibadat, bagaimana kita hidup, dan bagaimana kita berdoa. Inilah empat tema yang berkaitan dalam suatu simfoni. Santo Yohanes Paulus II menunjukkan relasi utuh (organis) itu dalam Konstitusi Apostolik Fidei Depositum:
Liturgi adalah doa itu sendiri; pengakuan iman menemukan tempatnya yang tepat dalam perayaan ibadat. Rahmat, buah dari Sakramen-sakramen, adalah kondisi tak tergantikan dari tindakan Kristiani, demikian sebagaimana partisipasi dalam liturgi Gereja menuntut iman. Jika iman tidak berkembang dalam tindakan, ia mati (bdk. Yak 2:14-16) dan tidak bisa menghasilkan buah-buah hidup kekal.
Dengan membaca Katekismus Gereja Katolik, kita bisa memperoleh kesatuan mengagumkan dari misteri Allah, rencana penyelamatan-Nya, demikian juga sentralitas Yesus Krisus, Putera Tunggal Allah, yang diutus Bapa, menjadi manusia dalam rahim Perawan Maria yang amat suci melalui karya Roh Kudus, untuk menjadi Penyelamat kita. Dengan wafat dan bangkit, Dia selalu hadir dalam Gereja-Nya, secara khusus dalam Sakramen-sakramen; Dia adalah sumber iman, model dari perilaku Kristiani dan Guru doa kita. (3)
Referensi-referensi kecil yang menghubungkan keempat bagian Katekismus satu sama lain merupakan bantuan bagi pengkhotbah yang, dengan memperhatikan analogi iman, berusaha menafsirkan Sabda Allah dalam Tradisi hidup Gereja dan dalam terang kesatuan seluruh Kitab Suci. Begitu juga, Indeks referensi dari Katekismus menunjukkan betapa pengajaran Gereja penuh dengan kata-kata biblis. Indeks itu dapat digunakan secara tepat oleh para pengkhotbah untuk menggarisbawahi bagaimana teks-teks biblis tertentu, yang dipakai dalam homili, digunakan dalam konteks-konteks lain untuk menjelaskan pengajaran-pengajaran dogmatis dan moral. Lampiran I Pedoman ini menawarkan pada pengkhotbah bantuan untuk penggunaan Katekismus.
24. Dari apa yang telah dikatakan sejauh ini hendaknya jelas bahwa sementara metode-metode eksegese bisa berguna bagi persiapan homili, perlu juga bagi pengkhotbah untuk memperhatikan makna spiritual Kitab Suci. Definisi makna tersebut, yang diberikan oleh Komisi Kepausan Kitab Suci, mengusulkan agar metode penafsiran secara khusus diselaraskan pada liturgi: “[sensus spiritualis], seperti dipahami oleh iman Kristiani, tetap tinggal sah: yaitu ‘makna yang diungkapkan oleh teks alkitabiah bila dibaca, di bawah pengaruh Roh Kudus, dalam konteks misteri Paskah Kristus dan hidup baru yang mengalir dari pada-Nya. Konteks ini sungguh-sungguh ada. Di dalamnya Perjanjian Baru mengenal pemenuhan dari Kitab Suci. Maka, cukup dapat diterima untuk membaca kembali Kitab Suci dalam cahaya dari konteks yang baru ini, yang adalah hidup dalam Roh'”. (VD 37). Membaca Kitab Suci dengan cara demikian merupakan bagian dari hidup Katolik. Mazmur-Mazmur yang kita doakan dalam Ibadat Harian menjadi contoh yang baik: meskipun berbeda-beda situasi literal yang melahirkan tiap-tiap Mazmur, kita memahaminya dalam kaitannya dengan misteri Kristus dan Gereja dan juga sebagai ungkapan sukacita, kesedihan dan ratapan yang menandai hubungan pribadi kita dengan Allah.
25. Guru besar penafsiran rohani Kitab Suci adalah para Bapa Gereja, yang sebagian besar adalah para pastor, yang tulisan-tulisannya sering mengandung penjelasan-penjelasan Sabda Allah yang diberikan kepada umat dalam liturgi. Merupakan penyelenggaraan ilahi bahwa bersamaan dengan perkembangan-perkembangan yang telah dicapai oleh studi biblis pada abad yang lalu, juga telah ada perkembangan dalam studi-studi tentang para Bapa Gereja. Dokumen-dokumen yang diyakini hilang telah ditemukan, edisi-edisi kritis dari para Bapa Gereja telah dihasilkan, dan sekarang terjemahan-terjemahan tentang karya-karya besar eksegese para Bapa Gereja dan Abad Pertengahan telah tersedia. Revisi Ibadat Bacaan dalam Ibadat Harian telah menyediakan bagi para imam dan umat beriman tulisan-tulisan itu. Keakraban dengan tulisan-tulisan para Bapa bisa sangat membantu peng-khotbah dalam membeberkan makna spiritual Kitab Suci. Dari khotbah-khotbah para Bapa itulah kita belajar betapa mendalam kesatuan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dari mereka kita bisa mempelajari dan mencerna tak terhitung banyaknya gambaran dan model misteri Paskah yang hadir dalam dunia dari awal penciptaan dan diwahyukan lebih lanjut sepanjang seluruh sejarah Israel yang memuncak dalam diri Yesus Kristus. Dari para Bapa itulah kita belajar bahwa hampir setiap kata Kitab Suci bisa menyingkapkan kekayaan-kekayaan yang tak terduga dan tak terselami, jika dipandang dalam hati kehidupan dan doa Gereja. Dari para Bapa itulah kita mengetahui betapa misteri Sabda biblis terkait erat dengan misteri perayaan sakramental. Catena Aurea dari Santo Tomas Aquino tetap menjadi sarana cemerlang untuk masuk ke dalam kekayaan para Bapa. Konsili Vatikan Kedua telah mengakui dengan jelas bahwa tulisan-tulisan itu menggambarkan suatu sumber yang kaya bagi pengkhotbah:
Dalam upacara suci Tahbisan, para imam diingatkan oleh Uskup: agar mereka “hendaknya masak dalam pengetahuan”, dan ajaran mereka menjadi “obat rohani bagi umat Allah”. Ilmu pengetahuan pelayan kudus harus kudus juga, karena berasal dari sumber yang kudus dan diarahkan kepada tujuan yang kudus pula. Oleh karena itu, pertama-tama ditimba dari pembacaan dan renungan Kitab Suci, tetapi dipelihara juga dengan mempelajari para Bapa dan Pujangga Gereja serta khazanah-khazanah Tradisi lainnya. (Presbyterorum Ordinis, 19).
Konsili telah menyampaikan suatu pemahaman yang dibarui tentang khotbah sebagai bagian integral dari perayaan liturgi, metode efektif untuk penafsiran biblis dan dorongan agar para pengkhotbah semakin akrab dengan kekayaan-kekayaan dua ribu tahun refleksi tentang Sabda Allah, yang merupakan warisan Katolik. Bagaimana seorang pengkhotbah bisa menerjemahkan visi tersebut ke dalam praktik?
III. Persiapan
26. “Persiapan khotbah merupakan tugas yang sangat penting sehingga waktu yang lama untuk studi, doa, refleksi serta kreativitas pastoral perlu dicurahkan untuk itu.” (EG 145) Paus Fran-siskus menekankan nasihat itu dengan kata-kata yang keras: seorang pengkhotbah yang tidak menyiapkan, yang tidak berdoa, “adalah tidak jujur dan tidak bertanggung jawab” (EG 145), “seorang nabi palsu, seorang penipu, seorang pembohong yang dangkal” (EG 151). Jelaslah bahwa studi memiliki nilai amat pen-ting dalam persiapan homili, namun doa tetap yang utama. Homili disampaikan dalam suatu konteks doa, maka harus disiapkan dalam konteks doa juga. “Mereka yang memimpin liturgi Sabda mengajak umat beriman untuk ambil bagian, khususnya dalam homili, dalam makanan rohani yang dikandungnya” (bdk. OLM 38). Tindakan suci khotbah secara erat disatukan dengan hakikat suci Sabda Allah. Homili, dalam arti tertentu, bisa dipandang sejajar dengan pembagian Tubuh dan Darah Kristus kepada umat beriman dalam ritus Komuni. Sabda suci Allah “dibagikan” dalam homili bagaikan makanan umat-Nya. Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, dengan kata-kata Santo Agustinus, memperingatkan peng-khotbah untuk menghindarkan diri dari menjadi “pewarta lahiriah dan hampa akan Sabda Allah, tetapi tidak mendengarkannya sendiri dalam batin.” Lebih lanjut, dalam paragraf yang sama, semua umat beriman didorong untuk membaca Kitab Suci dalam sikap dialog penuh hormat kepada Allah sebab, menurut St. Ambrosius, “kita berbicara dengan-Nya bila berdoa; kita men-dengarkan-Nya bila membaca amanat-amanat ilahi” (DV 25). Paus Fransiskus menekankan bagaimana para pengkhotbah sendiri harus menjadi yang pertama yang terlukai oleh Sabda Allah yang hidup dan efektif, agar masuk dalam hati para pendengarnya. (bdk. EG 150).
27. Bapa Suci menganjurkan agar para pengkhotbah mengusahakan dialog mendalam dengan Sabda Allah dengan melakukan lectio divina, yang mencakup pembacaan, meditasi, doa dan kontemplasi (bdk. EG 152). Empat aspek pendekatan itu berakar dalam eksegese patristik dari makna-makna spiritual Kitab Suci dan dalam abad-abad berikutnya telah dikembangkan oleh para petapa yang, dalam doa, telah merefleksikan Kitab Suci sepanjang hidup. Paus Benediktus XVI menggambarkan tahap-tahap lectio divina dalam Seruan Apostolik Verbum Domini:
Dibuka dengan pembacaan (lectio) teks, yang mengantar kepada keinginan untuk memahami isi yang sesungguhnya: Apa yang dikatakan teks alkitabiah sendiri? Tanpa ini, ada resiko bahwa teks akan menjadi sekadar dalih untuk tidak pernah keluar dari pemikiran kita sendiri. Kemudian meditasi (meditatio), yang bertanya: apa yang dikatakan teks alkitabiah kepada kita? Di sini, masing-masing, secara individual tetapi juga sebagai anggota komunitas, harus membiarkan diri disentuh dan ditantang. Lalu dilanjutkan saat doa (oratio), yang mengajukan pertanyaan: apa yang kita katakan kepada Tuhan sebagai jawaban atas Firman-Nya? Doa, sebagai permintaan, permohonan, terima kasih dan pujian, adalah jalan utama yang dengan itu Firman mengubah diri kita. Akhirnya, lectio divina ditutup dengan kontemplasi (contemplatio), yang melaluinya kita menganggap sebagai karunia dari Allah, cara pandang-Nya sendiri dalam menilai kenyataan, dan bertanya kepada diri kita sendiri Tuhan meminta pertobatan apa dari diri kita pikiran, hati dan kehidupan? Dalam surat Roma, Santo Paulus berkata kepada kita: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (12:2). Kontemplasi bertujuan untuk menciptakan dalam diri kita suatu pandangan yang sungguh bijak dan tajam dari kenyataan, seperti Allah melihatnya, dan dalam membentuk dalam diri kita “pikiran Kristus” (1Kor. 2:16). Sabda Allah tampak di sini sebagai kriteria untuk menentukan: itu adalah “hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” (Ibr. 4:12). Kita hendaknya juga mengingat bahwa proses lectio divina tidak berakhir sampai kita mencapai tindakan (actio), yang menggerakkan umat beriman untuk membuat hidupnya sebagai karunia bagi orang lain dalam kasih. (bdk. VD 87)
28. Itu adalah metode efektif dan tepat bagi semua orang untuk berdoa dengan Kitab Suci, yang dianjurkan oleh dirinya kepada pengkhotbah sebagai cara merenungkan bacaan-bacaan Kitab Suci dan teks-teks liturgi, dalam semangat doa, dalam mempersiapkan homili. Selain itu, dinamika lectio divina menawarkan suatu paradigma efektif untuk memahami fungsi homili dalam liturgi dan bagaimana itu berpengaruh terhadap proses persiapannya.
29. Langkah pertama adalah lectio, yang menggali apa yang dikatakan oleh teks biblis itu sendiri. Pembacaan penuh doa itu harus ditandai dengan sikap rendah hati dan penghormatan agung terhadap Sabda, yang diungkapkan dengan mengambil waktu untuk mempelajarinya dengan perhatian sepenuhnya dan dengan ketakutan suci jangan sampai menyelewengkannya (bdk. EG 146). Untuk mempersiapkan diri pada langkah pertama ini, pengkhotbah harus mempelajari komentar-komentar, kamus-kamus dan bahan-bahan studi lain yang bisa membantunya untuk mengerti makna perikop Kitab Suci dalam konteks asalinya. Namun, kemudian ia harus juga mengamati dengan penuh perhatian incipit (kata-kata pembuka) dan explicit (kata-kata penutup) dari perikop yang dibahas, dengan tujuan untuk menangkap maksud mengapa dalam Lectionarium kata-kata itu ditentukan untuk memulai dan mengakhiri persis dengan cara seperti itu.
Paus Benediktus XVI mengajarkan bahwa eksegese historis-kritis adalah satu bagian esensial dari pemahaman Katolik terhadap Kitab Suci, karena terhubung dengan realisme Inkarnasi. Beliau mengingatkan bahwa “fakta historis adalah dimensi konstitutif dari iman Kristiani. Sejarah keselamatan bukanlah mitologi, melainkan sungguh-sungguh historis, dan hal itu harus dipelajari dengan metode-metode riset historis yang serius.” (VD 32). Pada langkah pertama ini tidak harus ditempuh terlalu cepat. Keselamatan kita terpenuhi lewat tindakan Allah dalam sejarah, dan teks Kitab Suci menceritakannya melalui kata-kata yang menyingkapkan makna paling dalam (bdk. DV 3). Maka, kita membutuhkan kesaksian atas peristiwa-peristiwa dan pengkhotbah memerlukan suatu arti kuat akan kenyataan mereka. “Sabda menjadi daging,” atau mungkin bahkan dikatakan “Sabda menjadi sejarah.” Praktik lectio dimulai dengan menyadari fakta yang menentukan itu.
30. Beberapa ahli Kitab Suci telah menulis, baik komentar-komentar biblis maupun refleksi bacaan-bacaan Lectionarium, dengan menerapkan sarana-sarana penelitian akademis modern pada teks-teks yang diwartakan dalam Misa. Publikasi-publikasi itu dapat menjadi bantuan berharga bagi pengkhotbah. Dalam mengawali lectio divina, ia bisa mengambil kembali gagasan-gagasan yang telah dimatangkan dengan studinya dan dalam doa merefleksikan makna teks biblis. Namun, ia harus menyadari bahwa tujuannya bukanlah untuk memahami setiap detail dari suatu teks, melainkan untuk menangkap apa yang menjadi pesan utama, yakni yang memberi struktur dan kesatuan pada teks (bdk. EG 147).
31. Oleh karena tujuan lectio itu adalah untuk mempersiapkan homili, pengkhotbah harus memperhatikan untuk menerjemahkan hasil-hasil studinya ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh para pendengarnya. Dengan mengutip ajaran Paus Paulus VI, bahwa umat akan memperoleh manfaat yang besar dari suatu khotbah yang “sederhana, jelas, langsung, selaras dengan kebutuhan” (Seruan apostolik Evangelii Nuntiandi, 43), Paus Fransiskus mengingatkan para pengkhotbah dalam penggunaan bahasa khusus teologis yang tidak akrab bagi para pendengar (bdk. EG 158). Ia menawarkan juga beberapa usulan sangat praktis:
Salah satu hal yang terpenting adalah belajar untuk menggunakan bahasa kiasan dalam berkhotbah, yaitu untuk berbicara dengan gambaran-gambaran. Kadang-kadang contoh-contoh dipergunakan untuk menjelaskan hal tertentu, tetapi contoh-contoh ini biasanya hanya menarik bagi pikiran; sebaliknya, gambaran-gambaran membantu orang dengan lebih baik untuk menghargai dan menerima pesan yang ingin disampaikan. Sebuah gambaran yang menarik membuat pesan tampak akrab, mengena, praktis dan terkait dengan kehidupan sehari-hari. Sebuah gambaran yang berhasil dapat membuat orang mencecap pesan, membangkitkan keinginan dan menggerakkan kehendak menuju Injil. (EG 157)
32. Langkah kedua, meditatio, menggali apa yang dikatakan oleh teks Kitab Suci. Paus Fransiskus mengusulkan suatu pertanyaan yang sederhana namun praktis, yang bisa mengarahkan refleksi kita: “Tuhan, teks ini mau mengatakan apa kepada saya? Apakah yang Engkau ingin ubah dari hidupku dengan teks ini? Apa yang mengganggu saya tentang teks ini? Mengapa saya tidak tertarik pada teks ini? Atau barangkali: Apa yang saya sukai dalam sabda ini? Manakah dari sabda ini yang menggerakkan saya? Apa yang membuat saya tertarik? Mengapa sabda itu menarik saya?” (EG 153). Namun sebagaimana diajarkan oleh tradisi lectio, hal itu tidak berarti bahwa, dengan refleksi pribadi kita, kita menjadi wasit akhir tentang apa yang dikatakan oleh teks. Dalam menentukan “apa yang dikatakan teks Kitab Suci kepada kita,” kita dituntun oleh Regula iman Gereja, yang merupakan prinsip penting penafsiran Kitab Suci yang membantu mencegah penafsiran yang keliru atau tidak utuh (bdk. EG 148). Maka, pengkhotbah merefleksikan bacaan-bacaan dalam terang misteri (Paskah) wafat dan kebangkit-an Kristus dan memperluas permenungannya pada bagaimana misteri itu bekerja dalam Tubuh Kristus, yakni Gereja, termasuk situasi-situasi anggota-anggota Tubuh yang akan berkumpul pada Hari Minggu. Inilah inti dari persiapan homili. Di sinilah keakraban dengan tulisan-tulisan para Bapa Gereja dan para Kudus bisa memberi inspirasi pada pengkhotbah untuk menawarkan kepada umat suatu pemahaman bacaan-bacaan Misa yang bisa sungguh memupuk hidup rohani. Masih dalam tahap persiapan ini pula bahwa ia bisa menggali implikasi-implikasi moral dan doktrinal dari Sabda Allah. Untuk itu, sebagaimana telah disebutkan, Katekismus Gereja Katolik menjadi suatu sumber yang sangat berguna.
33. Seiring dengan pembacaan Kitab Suci dalam konteks keselu-ruhan Tradisi iman Katolik, pengkhotbah harus merefleksikannya juga dalam terang konteks jemaat yang berkumpul untuk men-dengarkan Sabda Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Paus Fransiskus, “Pengkhotbah perlu juga mendengarkan umat beriman dan menemukan apa yang perlu mereka dengar. Seorang peng-khotbah hendaknya merenungkan sabda, juga merenungkan umat-nya” (EG 154). Itulah alasan mengapa berguna memulai me-nyiapkan homili hari Minggu beberapa hari sebelumnya. Seiring dengan studi dan doa, perhatian kepada apa yang terjadi di paroki juga di dalam masyarakat luas, akan menunjukkan jalan refleksi tentang apa yang Sabda Allah ingin katakan kepada umat pada saat ini. Buah permenungan itu akan menjadi penegasan roh terus-menerus, dalam terang wafat dan kebangkitan Kristus, dalam pandangan hidup umat dan dunia. Dengan demikian, isi homili akan mendapatkan bentuknya secara jelas.
34. Tahap ketiga dari lectio divina adalah oratio, yang terarah kepada Tuhan sebagai tanggapan atas Sabda-Nya. Dalam pengalaman individual lectio, ini adalah saat untuk berdialog secara spontan dengan Allah. Reaksi-reaksi terhadap bacaan-bacaan diungkapkan dengan kata-kata bernada takut dan kagum, ada orang-orang yang tergerak untuk memohon belas kasihan dan pertolongan, bisa juga sekadar sebagai letupan pujian, perwujudan-perwujudan kasih dan syukur. Peralihan dari meditasi ke doa, jika dipandang dalam kerangka liturgi, menggarisbawahi keterkaitan struktural antara bacaan-bacaan Kitab Suci dan bagian lain dari Misa. Doa-doa umat yang menutup liturgi Sabda dan, lebih dalam lagi, liturgi Ekaristi yang mengikutinya, menunjukkan tanggapan kita terhadap Sabda Allah dalam bentuk permohohan, seruan, syukur, dan pujian. Pengkhotbah hendaknya menggunakan kesempatan itu untuk memberi penekanan terhadap relasi erat itu, sehingga umat Allah sampai pada pengalaman lebih mendalam dari dinamika internal liturgi.
Hubungan ini bisa diperjelas juga dengan cara-cara lain. Peran pengkhotbah tidak dibatasi pada homili itu sendiri: seruan-seruan dalam Ritus Tobat (jika digunakan rumus ketiga) dan permohonan-permohonan dalam Doa Umat, bisa mengacu pada bacaan-bacaan Kitab Suci atau pada suatu pokok dari homili. Antifon Pembuka dan Antifon (sesudah) Komuni, yang ditunjukkan dalam Misale Romawi untuk tiap perayaan, biasanya diambil dari teks-teks Kitab Suci atau secara jelas bersumber darinya, dan demikian memberikan suara pada doa kita dengan kata-kata dari Kitab Suci. Jika tidak ada antifon-antifon itu, nyanyian-nyanyian harus dipilih dengan teliti dan imam harus membimbing mereka yang bertugas dalam meng-animasi nyanyian. Ada cara lain yang dengannya imam bisa menegaskan kesatuan perayaan liturgi: melalui penggunaan yang bijaksana kesempatan-kesempatan yang disediakan oleh Pedoman Umum Misale Romawi untuk memberikan komentar-komentar singkat pada bagian-bagian dalam liturgi: sesudah salam pembuka, sebelum liturgi Sabda, sebelum doa Syukur Agung dan sebelum penutup (bdk. 31). Dalam hal ini hendaknya dilakukan dengan sangat hati-hati dan cermat. Harus hanya ada satu homili dalam Misa. Apabila imam memutuskan untuk mengatakan sesuatu pada bagian-bagian tersebut, hendaknya ia mempersiapkan sebelumnya satu atau dua frase singkat yang membantu umat yang hadir untuk menangkap kesatuan perayaan liturgi, tanpa jatuh dalam penjelasan-penjelasan panjang.
35. Langkah terakhir dari lectio adalah contemplatio, yang melaluinya, menurut kata-kata Paus Benediktus XVI, “kita terima sebagai anugerah Allah, cara-Nya melihat dan menilai kenyataan, dan kita mohon: pertobatan budi, hati dan hidup seperti apakah yang Tuhan minta dari kita?” (VD 87). Dalam tradisi monastik, tahap keempat ini, yakni kontemplasi, dilihat sebagai anugerah persatuan dengan Allah: tidak sepantasnya diterima, lebih besar dari apa yang bisa dicapai oleh daya upaya kita, semata-mata anugerah. Proses itu dimulai dari suatu teks tertentu, akan tetapi tujuan akhirnya bergerak mengatasi kekhususannya masing-masing, hingga mencapai visi iman keseluruhan, yang dipahami dalam pandangan intuitif dan unitif. Para Kudus memperlihatkan bagi kita keagungan itu, namun apa yang diberikan kepada para Kudus bisa untuk kita semua.
Ketika tahap keempat ini, kontemplasi, dilihat dalam kerangka liturgi, bisa menjadi penghiburan dan pengharapan bagi peng-khotbah, karena menyadarkan pada fakta bahwa, pada akhirnya Allah-lah yang bertindak untuk mewujudkan Sabda-Nya dan bahwa proses pembentukan sikap mental Kristus dalam diri kita terpenuhi sepanjang hidup. Pengkhotbah dipanggil untuk berusaha mewartakan Sabda Allah secara efektif, namun dengan menyadari bahwa pada akhirnya terjadi seperti apa yang dikatakan Santo Paulus: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan” (1Kor 3:6). Selain itu, hendaknya ia memohon Roh Kudus agar meneranginya dalam mempersiapkan homili, namun juga sering dan dengan tekun berdoa agar benih Sabda Allah jatuh pada tanah yang baik untuk menguduskan dirinya dan mereka yang mendengarkannya, dengan cara-cara yang melampaui apa yang mampu ia katakan dan bahkan bayangkan.
36. Paus Benediktus XVI menambahkan suatu tambahan pada empat tahap tradisional lectio divina: “Kita hendaknya juga mengingat bahwa proses lectio divina tidak berakhir sampai kita mencapai tindakan (actio), yang menggerakkan umat beriman untuk membuat hidupnya sebagai karunia bagi orang lain dalam kasih” (VD 87). Dalam konteks liturgi, hal itu menyatakan “ite missa est“, yakni perutusan umat Allah yang telah diajar oleh Sabda dan dipuaskan oleh partisipasi mereka pada misteri Paskah berkat Ekaristi. Pentinglah bahwa Seruan Apostolik Verbum Domini ditutup dengan permenungan panjang tentang Sabda Allah di dunia; khotbah, yang digabungkan dengan makanan rohani Sakramen-sakraman yang diterima dengan iman, membukakan anggota-anggota jemaat liturgis kepada ungkapan-ungkapan konkret cinta kasih. Dengan mengutip ajaran Paus Yohanes Paulus II, bahwa “persekutuan dan perutusan terkait secara mendalam” (Seruan Apostolik Christifideles Laici, 32), Paus Fransiskus menyerukan kepada semua umat beriman:
Dalam kesetiaan kepada teladan Sang Guru, sungguh penting bagi Gereja saat ini untuk pergi keluar dan memberitakan Injil kepada semua orang: ke setiap tempat, dalam segala kesempatan, tanpa ragu-ragu, enggan atau takut. Sukacita Injil adalah bagi semua orang: tak seorang pun dikecualikan. (EG 23)
BAGIAN II – ARS PRAEDICANDI
37. Ketika menjelaskan tugas berkhotbah, Paus Fransiskus mengajarkan bahwa “inti pesan ini akan selalu sama: Allah yang telah menyatakan kasih-Nya yang amat besar dalam Kristus yang disalib dan bangkit.” (EG 11). Tujuan bagian kedua Pedoman Homili adalah menyampaikan contoh-contoh konkret dan usulan-usulan untuk membantu pengkhotbah mempraktikkan prinsip-prinsip yang telah disampaikan dalam dokumen ini, dengan memperhatikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang ditunjukkan oleh liturgi melalui lensa misteri Paskah Kristus, yang wafat dan bangkit. Itu bukan contoh-contoh homili, melainkan kerangka yang memberikan cara-cara untuk mendekati tema-tema dan teks-teks dalam alur tahun liturgi. Prakata dari Lectionarium memberikan gambaran-gambaran singkat tentang pilihan bacaan-bacaan “untuk membantu para gembala umat untuk memahami Tata Susunan Bacaan, sedemikian rupa sehingga mereka tidak sekadar memakai, tetapi juga menghayatinya, dan dengan demikian para umat Kristen pun dapat menikmati buahnya” (OLM 92). Beberapa akan dikutip. Sejauh yang diusulkan tentang suatu teks Kitab Suci, perlu selalu ingat bahwa “bacaan Injil merupakan puncak Liturgi Sabda. Bacaan-bacaan lain yang menurut pola tradisional beranjak dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru, menyiapkan himpunan umat untuk mendengarkan Injil” (OLM 13).
38. Pemaparan akan mulai dari Lectionarium Triduum Paskah, karena ini merupakan inti tahun liturgi dan beberapa perikop terpenting dari kedua Perjanjian diwartakan di hari-hari sangat suci itu. Dilanjutkan dengan refleksi-refleksi tentang Masa Paskah dan Pentekosta; berikutnya, Minggu-Minggu masa Prapaskah diperhatikan. Contoh-contoh lain diambil dari siklus Adven-Natal-Epifania. Cara melakukannya mengikuti apa yang telah dirumuskan Paus Benediktus XVI “pedagogi bijaksana Gereja yang mewartakan dan mendengarkan Kitab Suci dengan mengikuti irama tahun liturgi.” Selanjutnya: “Pada pusat segalanya misteri Paskah bersinar, dan di sekitarnya bercahayalah semua misteri Kristus dan sejarah keselamatan yang menjadi hadir secara sakramental” (VD 52). Apa yang disampaikan di sini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua yang bisa dikatakan tentang perayaan yang dibicarakan atau memperhatikan setiap detail seluruh tahun liturgi. Dalam terang sentralitas misteri Paskah, petunjuk-petunjuk ditawarkan tentang bagaimana teks-teks tertentu bisa digunakan dalam suatu homili yang diberikan. Model yang ditawarkan dalam contoh-contoh bisa disesuaikan untuk hari-hari Minggu Masa Biasa dan untuk kesempatan-kesempatan lainnya. Model itu bisa tepat dan berguna juga bagi Ritus-ritus Gereja Katolik lainnya yang menggunakan Lectionarium yang berbeda dari Ritus Romawi.
I. Triduum Paskah dan Masa Paskah
A. Bacaan dari Perjanjian Lama pada Kamis Putih
39. “Pada hari Kamis Putih, pada Misa sore hari, memperingati Perjamuan Tuhan, kenangan akan perjamuan malam Paskah diwarnai secara istimewa oleh teladan Kristus yang membasuh kaki para murid, dan oleh ajaran Paulus mengenai Ekaristi sebagai perwujudan Paskah Kristen.” (OLM 99). Triduum Paskah mulai dengan Misa Sore, di mana liturgi mengingatkan diadakannya Ekaristi oleh Tuhan. Yesus masuk ke dalam Sengsara dengan perayaan Perjamuan Malam seperti diceritakan dalam bacaan pertama: setiap kata dan gambar menunjuk pada apa yang Kristus sendiri telah ramalkan pada meja, wafat-Nya yang membawa hidup. Kata-kata yang disampaikan dari Kitab Keluaran (Kel 12:1-8, 11-14) menemukan makna akhirnya dalam perjamuan Malam Paskah Yesus, perjamuan yang sama yang sekarang sedang kita rayakan.
40. “Setiap keluarga bersama-sama dengan tetangganya yang terdekat ke rumahnya haruslah mengambil seekor anak domba.” Kita semua banyak keluarga yang berkumpul di dalam satu tempat yang sama dan kita mendapatkan satu anak domba. “Anak dombamu itu harus jantan, tidak bercela, berumur setahun.” Anak domba kita yang tidak bercela adalah Yesus sendiri, Sang Anak Domba Allah. “Lalu seluruh jemaah Israel yang berkumpul, harus menyembelihnya pada waktu senja.” Dengan mendengarkan kata-kata itu, kita tahu bahwa kita adalah seluruh jemaat Israel baru, yang berkumpul pada waktu senja; Yesus membiarkan diri-Nya dikorbankan sementara Ia menyerahkan tubuh dan darah-Nya bagi kita. “Kemudian dari darahnya haruslah diambil sedikit dan dibubuhkan pada kedua tiang pintu dan pada ambang atas, pada rumah-rumah di mana orang memakannya. Dagingnya harus dimakan mereka pada malam itu juga; yang dipanggang.” Kita harus memenuhi perintah-perintah itu ketika kita membawa darah Yesus pada bibir-bibir kita dan kita makan daging Anak Domba dalam roti yang dikonsekrasikan.
41. Kita diperintahkan untuk makan makanan itu dengan “pinggangmu berikat, kasut pada kakimu dan tongkat di tanganmu; buru-burulah kamu memakannya.” Itu adalah gambaran hidup kita di dunia ini. Pinggang terikat menandakan kesiap-sediaan untuk berangkat, namun sekaligus menggambarkan peristiwa “mandatum” (perutusan) yang digambarkan dalam Injil pada sore hari ini dan dalam simbol sesudah homili: kita dipanggil untuk melayani dunia, sebagai peziarah, yang rumahnya yang sesungguhnya bukan di sini. Inilah pokok dalam bacaan itu, ketika kita diperintah untuk makan dengan tergesa-gesa seperti orang yang sedang siap me-larikan diri, bahwa Tuhan menamakan pesta itu dengan meriah: “Itulah Paskah (dalam bahasa Ibrani pesach) bagi TUHAN. Sebab pada malam ini Aku akan menjalani tanah Mesir, dan semua anak sulung, … akan Kubunuh. Apabila Aku melihat darah itu, maka Aku akan lewat dari pada kamu.” Tuhan berperang untuk kita, agar kita bisa mengalahkan musuh-musuh kita, dosa dan kematian, dan Ia menjaga kita melalui darah Anak Domba.
42. Pewartaan meriah Paskah ditutup dengan suatu perintah terakhir: “Hari ini akan menjadi hari peringatan bagimu. Kamu harus merayakannya sebagai hari raya.” Bukan hanya kesetiaan kepada perintah ini menjaga Paskah tetap hidup dalam setiap generasi dari zaman Yesus dan zaman selanjutnya, melainkan kesetiaan kita pada perintah-Nya, “Buatlah ini sebagai kenangan akan Daku”, menjadikan setiap generasi orang-orang Kristen selanjutnya tetap dalam persekutuan dengan Paskah Yesus. Inilah persisnya apa yang kita lakukan dalam momen itu, sementara kita memulai Triduum pada tahun ini. Inilah suatu “pesta kenangan” yang dilakukan oleh Tuhan, suatu “ritus kekal”, suatu re-aktualisasi liturgi pemberian diri sendiri Yesus.
B. Bacaan dari Perjanjian Lama pada Jumat Agung
43. “Upacara liturgis pada hari Jumat Agung memperingati Sengsara Tuhan, mencapai puncaknya dalam Kisah Sengsara Tuhan menurut Yohanes. Dialah yang dalam Kitab Yesaya dinubuatkan sebagai Hamba Tuhan, namun benar-benar menjadi Imam Tunggal ketika mempersembahkan diri kepada Bapa” (OLM 99). Perikop Yesaya (Yes 52:13-53:12) adalah satu dari bagian Perjanjian Lama dimana, untuk pertama kalinya, orang-orang Kristen melihat nabi-nabi menunjukkan kematian Kristus, dan dalam mengaitkannya dengan Sengsara, kita mengikuti suatu tradisi apostolik yang sungguh kuno, karena inilah yang dibuat Filipus dalam percakapannya dengan sida-sida Etiopia (bdk. Kis 8:26-40).
44. Jemaat sadar akan tujuan berkumpul bersama hari ini: me-ngenang wafat Yesus. Kata-kata Nabi mengomentari, katakanlah demikian, dari cara pandang Allah, peristiwa Yesus yang tergantung pada Salib. Kita diundang untuk memandang kemuliaan yang tersembunyi dalam Salib: “Sesungguhnya, hamba-Ku akan berhasil, ia akan ditinggikan, disanjung dan dimuliakan.” Yesus sendiri, dalam Injil Yohanes, dalam berbagai kesempatan berbicara tentang ditinggikan. Jelaslah, dalam Injil itu bahwa tiga dimensi “peninggian” saling terjalin: pada Salib, dalam Kebangkitan, dan dalam Kenaikan kepada Bapa.
45. Segera sesudah awal yang mulia dari “komentar” Bapa, sampailah kepada pewartaan yang menjadi titik balik: penderitaan penyaliban. Sang Hamba digambarkan seperti seseorang yang “begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi.” Dalam Yesus, Sabda kekal tidak hanya mengenakan kedagingan manusiawi kita, namun juga memeluk kematian dalam bentuknya yang paling mengerikan dan tidak manusiawi. “Demikianlah ia akan membuat tercengang banyak bangsa, raja-raja akan mengatupkan mulutnya melihat dia.” Kata-kata itu, yang menggambarkan sejarah dunia dari awal Jumat Agung sampai sekarang: sejarah Salib telah mencengangkan bangsa-bangsa dan mempertobatkannya, sebagaimana itu juga telah mencengangkan yang lain-lain dengan menariknya, bukan untuk memalingkan muka. Kata-kata kenabian berlaku juga pada komunitas dan budaya kita, seperti kepada sejumlah besar “bangsa-bangsa” yang hadir di dalam setiap diri kita – energi kita dan kecenderungan-kecenderungan yang harus dipertobatkan kepada Tuhan.
46. Apa yang selanjutnya bukan lagi suara Allah, melainkan Nabi yang berkata: “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar?” Dia kemudian melanjutkan dengan suatu penggambaran yang detail-detailnya menuntun kita kepada kontemplasi lebih lanjut pada Salib yang mempertautkan kesengsaraan dan peralihan, penderitaan dan kemuliaan. Intensitas penderitaan digambarkan lebih lanjut dengan tepat yang membuat kita memahami betapa alami bagi umat Kristen perdana membaca teks-teks semacam ini dan menafsirkannya sebagai ramalan kenabian tentang Kristus, dengan memahami kemuliaan yang tersembunyi di dalamnya. Demikianlah, seperti dikatakan oleh Nabi, sosok yang tragis itu penuh makna bagi kita: “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, … dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh”.
47. Telah diramalkan juga sikap batin Yesus berhadapan dengan kesengsaraan-Nya: “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas … seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian …ia tidak membuka mulutnya.” Itu semua pengalaman menakjubkan dan mengagumkan. Namun, nyatanya juga Kebangkitan secara tidak langsung diramalkan seperti apa yang dikatakan Nabi: “Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut.” Semua orang beriman adalah keturunan itu; “hidupnya yang panjang” adalah hidup kekal yang diberikan Bapa kepadanya dengan mem-bangkitkannya dari mati. Dan sekarang didengar kembali suara Bapa, yang terus mewartakan janji Kebangkitan: “Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas;… Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut… sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak.”
C. Bacaan-bacaan Perjanjian Lama pada Malam Paskah
48. “Untuk perayaan suci Malam Paskah disediakan tujuh bacaan dari Perjanjian Lama, yang mengenangkan keajaiban-keajaiban yang dikerjakan Allah dalam sejarah keselamatan; lalu menyusul dua bacaan dari Perjanjian Baru, yakni warta kebangkitan menurut Injil-Injil sinoptik dan ajaran Rasul Paulus mengenai pembaptisan sebagai sakramen kebangkitan Kristus” (OLM 99). Vigili Paskah, sebagaimana ditunjukkan oleh Misale Romawi, “adalah yang paling penting dan paling luhur di antara semua Hari Raya” (Vigilia Paschalis, 2). Panjangnya Vigili tidak mengizinkan adanya komentar panjang pada tujuh bacaan dari Perjanjian Lama, tetapi baik diperhatikan bahwa bacaan-bacaan itu sentral, dengan menjadi bacaan-bacaan representatif yang mewartakan bagian-bagian esensial teologi Perjanjian Lama, dari penciptaan ke korban Abraham, sampai pada bacaan yang paling penting, Kitab Keluaran. Empat bacaan berikut mewartakan tema-tema penting dari para nabi. Suatu pemahaman terhadap bacaan-bacaan itu dalam kaitan dengan misteri Paskah, yang begitu jelas dalam Vigili Paskah, bisa menginspirasi pengkhotbah ketika bacaan-bacaan itu atau bacaan yang serupa disampaikan di saat-saat lain dalam tahun liturgi itu.
49. Dalam konteks liturgi malam ini, melalui bacaan-bacaan itu, Gereja membawa kita kepada saat puncaknya dengan kisah Injil kebangkitan Tuhan. Kita ditenggelamkan dalam arus sejarah keselamatan melalui sakramen-sakramen inisiasi yang dirayakan pada Vigili ini, sebagaimana kita ingat perikop indah Paulus tentang Pembaptisan. Pada malam ini sangat jelas hubungan antara penciptaan dan hidup baru dalam Kristus, antara Keluaran historis dan Keluaran definitif dari misteri Paskah Yesus, yang padanya semua umat beriman mengambil bagian melalui Pembaptisan, antara janji-janji para Nabi dan perwujudannya dalam misteri liturgi yang dirayakan. Itulah kaitan-kaitan yang bisa selalu diulang sepanjang tahun liturgi.
50. Satu sumber yang sangat kaya untuk memahami kaitan antara tema-tema Perjanjian Lama dan penggenapannya dalam misteri Paskah Kristus diberikan oleh doa-doa sesudah setiap bacaan. Doa-doa itu mengungkapkan dengan sederhana dan jelas makna mendalam kristologis dan sakramental dari bacaan-bacaan Perjanjian Lama, karena bacaan-bacaan itu berbicara tentang penciptaan, korban, keluaran, pembaptisan, belas kasih Allah, perjanjian kekal, pembersihan dari dosa, penebusan, dan hidup dalam Kristus. Semua itu bisa menjadi sekolah doa bagi pengkhotbah, tidak hanya dalam persiapan Vigili Paskah namun juga sepanjang tahun, ketika ada bacaan-bacaan yang mirip dengan yang diwartakan pada malam ini. Sumber lain yang berguna untuk menafsirkan perikop-perikop Kitab Suci adalah Mazmur Tanggapan sesudah tiap-tiap tujuh bacaan, puisi-puisi yang dinyanyikan oleh orang-orang Kristen yang mati bersama Kristus dan yang sekarang mengambil bagian dengan Dia dalam hidup kebangkitan-Nya. Hendaknya jangan diabaikan juga Mazmur-Mazmur dalam sisa tahun, karena Mazmur-Mazmur itu menunjukkan bagaimana Gereja menafsirkan semua Kitab Suci dalam terang Kristus.
D. Lectionarium Paskah
51. “Untuk Misa hari raya Paskah disediakan kisah Yohanes mengenai ditemukannya makam kosong. Tetapi secara fakultatif, boleh juga dibacakan kutipan Injil yang disediakan untuk Malam Paskah, atau Injil dari Misa Sore –kalau ada–, yakni cerita Lukas mengenai penampakan kepada murid yang menuju Emaus. Bacaan pertama diambil dari Kisah Para Rasul; selama Masa Paskah buku ini menggantikan bacaan dari Perjanjian Lama, sedang bacaan dari tulisan Para Rasul berkisar pada misteri Paskah sebagaimana dihayati dalam Gereja. Sampai dengan Minggu Paskah III, bacaan-bacaan Injil menceritakan penampakan-penampakan Kristus yang telah bangkit. Bacaan-bacaan mengenai Gembala baik ditentukan untuk hari Minggu Paskah IV. Sedangkan pada hari Minggu Paskah V, VI dan VII dibacakan kutipan-kutipan dari amanat serta doa Tuhan sesudah Perjamuan Terakhir.” (OLM 99-100). Serangkaian bacaan yang kaya dari Perjanjian Lama dan Baru yang diperdengarkan dalam Triduum menghadirkan satu dari saat-saat paling intens pewartaan tentang Tuhan yang bangkit dalam hidup Gereja dan dimaksudkan sebagai pengajaran dan pendidikan bagi umat Allah sepanjang tahun liturgi. Sepanjang Minggu Suci dan Masa Paskah, dengan mendasarkan pada bacaan-bacaan biblis sendiri, pengkhotbah akan memiliki kesempatan-kesempatan berulang kali untuk menekankan Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Kristus yang merupakan isi pokok Kitab Suci. Itulah waktu liturgis istimewa dimana pengkhotbah bisa dan harus menggemakan kembali iman Gereja yang merupakan inti dari pewartaannya: Yesus Kristus wafat untuk dosa-dosa kita “menurut Kitab Suci” (1Kor 15:3), dan dibangkitkan pada hari ketiga “menurut Kitab Suci” (1Kor 15:4).
52. Pertama, ada kesempatan, khususnya dalam tiga Minggu pertama, untuk menyampaikan berbagai dimensi lex credendi (apa yang dipercaya) Gereja pada waktu istimewa seperti itu. Paragraf-paragraf Katekismus Gereja Katolik yang berbicara tentang kebangkitan (KGK 638-658) sesungguhnya merupakan penjelasan banyak ragam teks-teks pokok Kitab Suci yang diwartakan pada Masa Paskah. Paragraf-paragraf itu bisa menjadi suatu panduan pasti bagi pengkhotbah yang mempunyai tugas untuk menjelaskan kepada umat Kristen, berdasarkan bacaan-bacaan Kitab Suci, apa yang oleh Katekismus disebut, dalam banyak bab, “kejadian historis dan transenden” kebangkitan, makna “penampakan-penampakan Yang Bangkit”, “keadaan kemanusiaan Kristus yang bangkit” dan “Kebangkitan – karya Tritunggal Mahakudus”.
53. Kedua, dalam hari-hari Minggu Masa Paskah, bacaan pertama tidak diambil dari Perjanjian Lama, namun dari Kisah Para Rasul. Banyak perikop memperlihatkan contoh-contoh khotbah paling awal dari para Rasul, dimana kita bisa mengetahui bagaimana para Rasul sendiri menggunakan Kitab Suci untuk mewartakan makna wafat dan kebangkitan Yesus.
Perikop-perikop lain menceritakan konsekuensi kebangkitan Yesus dan pengaruhya terhadap hidup komunitas Kristen. Berdasarkan perikop-perikop itu, pengkhotbah memiliki beberapa sarana yang sangat kuat dan mendasar. Dia melihat bagaimana para Rasul menggunakan Kitab Suci untuk mewartakan wafat dan kebangkitan Yesus, dan dia melakukan yang sama, tidak hanya untuk perikop yang sedang di tangan, tetapi menerapkan corak yang sama itu untuk keseluruhan tahun liturgi. Dia juga mengakui kuasa dari hidup Tuhan yang bangkit yang berkarya dalam komunitas-komunitas perdana dan mewartakan dengan iman kepada jemaatnya bahwa kuasa yang sama masih bekerja di antara kita.
54. Ketiga, intensitas Pekan Suci dengan Triduum Paskah, yang dilanjutkan dengan perayaan sukacita lima puluh hari yang mencapai puncaknya pada Pentekosta, merupakan saat yang sangat baik bagi para pengkhotbah untuk merangkai hubungan antara Kitab Suci dan Ekaristi. Persis dalam gerak tindakan “memecah roti” itu –yang mengingatkan pemberian diri Yesus secara total dalam Perjamuan Terakhir dan kemudian pada salib– para murid menyadari betapa hati mereka berkobar sewaktu Tuhan membuka pikiran mereka untuk mengerti Kitab Suci. Sekarang juga pola pemahaman seperti itu masih diharapkan. Pengkhotbah bekerja dengan tekun untuk menjelaskan Kitab Suci, namun makna yang lebih dalam tentang apa yang ia katakan akan muncul dalam “pemecahan roti” pada liturgi yang sama jika pengkhotbah telah mampu memperlihatkan hubungannya (bdk. VD 54). Pentingnya hubungan itu telah dikatakan dengan jelas oleh Paus Benediktus XVI dalam Verbum Domini:
Dari cerita-cerita ini jelaslah bahwa Kitab Suci sendiri menunjuk kepada penghargaan atas ikatannya yang tak terpisahkan dengan Ekaristi. “Tak dapat terlupakan bahwa Firman ilahi yang dibacakan dan diwartakan oleh Gereja, mempunyai satu tujuan korban dari perjanjian yang baru dan perjamuan kasih karunia, yaitu Ekaristi.” Firman dan Ekaristi begitu dalam terikat bersama sehingga kita tidak dapat memahami yang satu tanpa yang lain: Firman Allah secara sakramental menjadi daging dalam peristiwa Ekaristi. Ekaristi membuka kita agar memahami Kitab Suci, sama seperti Kitab Suci dari dirinya menyinari dan menjelaskan misteri Ekaristi. (VD 55)
55. Keempat, dari Minggu Paskah V dinamika bacaan-bacaan Kitab Suci beralih dari perayaan kebangkitan Tuhan kepada persiapan puncak Masa Paskah, yakni kedatangan Roh Kudus pada Pentekosta. Fakta bahwa perikop-perikop Injil pada hari-hari Minggu itu semua diambil dari amanat-amanat Kristus pada akhir Perjamuan Malam Terakhir, mengungkap makna terdalam Ekaristi. Bacaan-bacaan dan doa-doa menawarkan pada pengkhotbah ke-sempatan untuk menjelaskan apa peran Roh Kudus dalam peziarahan yang hidup dari Gereja. Paragraf-paragraf Katekismus mengenai “Roh dan Sabda Allah di zaman janji-janji” (KGK 702-716) merujuk pada bacaan-bacaan Vigili Paskah, dilihat dalam hubungan dengan karya Roh Kudus, sementara paragraf-paragraf tentang “Roh Kudus dan Gereja dalam liturgi” (KGK 1091-1109) bisa menjadi bantuan bagi pengkhotbah dalam menggambarkan bagaimana Roh Kudus menghadirkan misteri Paskah Kristus dalam litugi.
56. Dengan homiletika yang menjelmakan prinsip-prinsip dan cara pandang yang muncul sepanjang Masa Paskah, umat Kristen akan siap untuk merayakan Hari Raya Pentekosta, di mana Allah Bapa, “dalam Sabda-Nya yang menjadi manusia, yang mati untuk kita dan bangkit lagi Ia menyelubungi kita dengan berkat-berkat-Nya. Melalui Sabda-Nya Ia meletakkan di dalam hati kita anugerah di atas segala anugerah, yakni Roh Kudus.” (KGK 1082). Bacaan pada hari itu, yang diambil dari Kisah Para Rasul, menceritakan peristiwa Pentekosta, sementara Injil menyampaikan kisah yang terjadi pada sore Minggu Paskah. Tuhan yang bangkit menghembusi para murid dan berkata: “Terimalah Roh Kudus” (Yoh 20:22). Paskah adalah Pentekosta. Paskah sudah merupakan karunia Roh Kudus. Namun Pentekosta adalah perwujudan yang meyakinkan dari Paskah bagi semua bangsa, karena menyatukan berbagai bahasa dalam satu bahasa baru yang mengerti “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (Kis 2:11) yang dinyatakan dan diwahyukan dalam wafat dan kebangkitan Yesus. Lalu dalam perayaan Ekaristi, Gereja berdoa: “Utuslah, ya Bapa, Roh Kudus yang telah dijanjikan Putera-Mu, agar mewahyukan sepenuhnya kepada kami misteri korban ini, dan bukalah kami agar mengerti semua kebenaran” (Doa Persembahan). Bagi umat beriman, partisipasi pada Komuni Kudus pada hari itu menjadi peristiwa Pentekosta mereka. Sementara umat berbaris untuk menerima Tubuh dan Darah Tuhan, antifon Komuni meletakkan pada bibir mereka nyanyian ayat-ayat Kitab Suci yang bercerita tentang Pentekosta, yang mengatakan: “Mereka semua dipenuhi Roh Kudus, dan memaklumkan karya-karya agung Allah, alleluia.” Ayat ini menemukan pemenuhannya dalam diri umat beriman yang menerima Ekaristi. Ekaristi adalah Pentekosta.
II. Hari-Hari Minggu Prapaska
57. Jika Triduum Paskah dan Limapuluh Hari berikutnya merupakan pusat cemerlang tahun liturgi, maka Masa Prapaskah adalah masa yang mempersiapkan akal budi dan hati umat Kristiani kepada perayaan yang pantas untuk hari-hari itu. Masa ini juga menjadi waktu persiapan akhir para katekumen yang akan dibaptis pada Vigili Paskah. Perjalanan mereka perlu didampingi oleh iman, oleh doa, dan kesaksian seluruh komunitas gerejawi. Bacaan-bacaan Kitab Suci pada Masa Prapaskah menemukan maknanya yang terdalam dalam hubungannya dengan misteri Paskah. Oleh bacaan-bacaan itulah kita dipersiapkan untuk merayakan Paskah. Bacaan-bacaan itu menawarkan juga kesempatan-kesempatan penting untuk mempraktikkan prinsip dasar yang disampaikan dalam Pedoman ini: mengarahkan bacaan-bacaan Misa ke pusatnya yang adalah Misteri Paskah Yesus, yang di dalamnya kita masuk secara lebih dalam melalui perayaan Sakramen-sakramen Paskah. Prakata menunjukkan, untuk dua hari Minggu Prapaskah, penggunaan tradisional cerita-cerita Injil tentang Pencobaan dan Transfigurasi, dengan membicarakannya dalam kaitan dengan bacaan-bacaan lainnya: “Bacaan Perjanjian Lama berkisar pada sejarah keselamatan yang merupakan salah satu bahan khas untuk katekese Prapaskah. Untuk masing-masing tahun tersedia suatu rangkaian kutipan yang menyajikan tonggak-tonggak utama sejarah keselamatan, dari awal sampai janji akan adanya Perjanjian Baru. Bacaan-bacaan dari tulisan para Rasul dipilih sedemikian rupa sehingga cocok dengan bacaan Injil dan Perjanjian Lama, dan sejauh mungkin membuat hubungan antara kedua bacaan itu lebih serasi.” (OLM 97)
A. Injil Minggu I Prapaskah
58. Tidaklah sulit bagi umat beriman untuk mengaitkan empat-puluh hari yang dijalani Yesus di padang gurun dengan empatpuluh hari Masa Prapaskah. Bergunalah bagi pengkhotbah untuk mempertegas hubungan itu, sehingga umat Kristen memahami bagaimana setiap tahun Masa Prapaskah menjadikan umat beriman berpartisipasi secara misteri pada empatpuluh hari Yesus ini dan pada apa yang Dia derita dan peroleh, melalui berpuasa dan dicobai. Sementara sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang Katolik untuk melakukan berbagai praktik pertobatan dan devosi selama masa ini, pentinglah menggarisbawahi realitas sakramental yang mendalam dari seluruh Masa Prapaskah. Dalam Doa Pembuka hari Minggu I Prapaskah muncul ungkapan penting ini: “per annua quadragesimalis exercitia sacramenti” (melalui pelaksanaan sakramen Prapaskah setiap tahun). Kristus sendiri hadir dan berkarya dalam Gereja pada masa suci ini, dan inilah karya penyucian-Nya pada anggota-anggota Tubuh-Nya untuk memberi nilai penyelamatan pada praktik-praktik pertobatan kita. Prefasi pada Minggu ini menekankan ide cemerlang ini dengan mengatakan: “Sebab, selama empatpuluh hari, dengan berpantang dan berpuasa dari makanan sehari-hari, Ia menyucikan bentuk pertobatan ini dengan puasa.” Bahasa Prefasi menjembatani antara Kitab Suci dan Ekaristi.
59. Empatpuluh hari Yesus mengingatkan kembali empatpuluh tahun perjalanan bangsa Israel di padang gurun; seluruh cerita bangsa Israel terpusat kepada-Nya. Maka, tampak seperti suatu adegan di mana terpusat satu dari tema-tema besar Pedoman: sejarah Israel, yang berhubungan dengan sejarah hidup kita, menemukan makna definitifnya dalam Sengsara yang diderita Yesus. Sengsara mulai, dalam arti tertentu, sudah sejak di padang gurun, pada awal, dengan berbicara secara metaforis, tentang hidup publik Yesus. Karena itu, sejak awal Yesus menghadapi Sengsara dan segala sesuatu sesudahnya menarik maknanya dari sini.
60. Sebuah paragraf dari Katekismus Gereja Katolik bisa berguna dalam mempersiapkan homili, khususnya dalam menghadapi tema-tema doktrinal yang berakar dalam teks biblis. Berkaitan dengan pencobaan Yesus, Katekismus menyatakan:
Para Penginjil menunjukkan arti keselamatan dari kejadian yang penuh rahasia ini. Yesus adalah Adam baru, yang tetap setia, sedangkan Adam pertama menyerah kepada percobaan. Yesus melaksanakan perutusan Israel secara sempurna. Bertentangan dengan mereka yang dulu selama empat puluh tahun di padang gurun menantang Allah, Kristus mengungkapkan Diri-Nya sebagai Hamba Allah, yang taat sepenuhnya kepada kehendak Allah. Dengan demikian, Yesus adalah pemenang atas setan: ia sudah “mengikat orang kuat”, untuk merampas kembali darinya jarahannya. Kemenangan Kristus atas penggoda di padang gurun mendahului kemenangan kesengsaraan, bukti ketaatan cinta-Nya yang paling tinggi sebagai anak kepada Bapa-Nya. (KGK 539)
61. Cobaan-cobaan yang telah dikalahkan oleh Yesus menggambarkan perjuangan melawan penyimpangan pemahaman terhadap misi mesianis-Nya. Iblis menggoda-Nya untuk menunjukkan diri-Nya sebagai Mesias yang memperlihatkan kuasa-kuasa ilahi: “Jika Engkau Anak Allah…” sang pencoba memulai. Ini meramalkan perjuangan nyata yang akan dihadapi Yesus di atas salib, ketika Ia mendengar kata-kata sindiran: “Selamatkanlah dirimu sendiri dengan turun dari salib!” Yesus tidak menyerah pada cobaan-cobaan Setan, juga tidak turun dari salib. Tepatlah bahwa dengan cara demikian Yesus membuktikan bahwa Dia sungguh masuk dalam padang gurun eksistensi manusia dan tidak menggunakan kuasa ilahi-Nya demi kepentingan-Nya sendiri. Dia benar-benar menemani peziarahan kita di dunia dan menyingkapkan kuasa Allah yang nyata, yaitu mengasihi kita “sampai pada ke-sudahannya” (Yoh 13:1).
62. Pengkhotbah hendaknya menekankan bahwa Yesus mengalami pencobaan dan kematian demi solidaritas dengan kita. Tetapi, Kabar Baik yang diwartakan pengkhotbah bukan hanya solidaritas Yesus dengan kita dalam penderitaan; namun diwartakan juga kemenangan Yesus terhadap pencobaan dan kematian, kemenangan yang dibagikan-Nya kepada kita semua yang percaya kepada-Nya. Jaminan pasti bahwa kemenangan itu dibagikan kepada semua umat beriman adalah perayaan sakramen-sakramen (Paskah) di Malam Paskah. Minggu pertama Prapaskah sudah terarahkan ke sana. Pengkhotbah bergerak ke arah yang sama.
63. Yesus melawan godaan setan yang memerintahkan Dia mengubah batu-batu menjadi roti, namun pada akhirnya dan dengan cara yang tak terbayangkan oleh pikiran manusia, dengan kebangkitan-Nya Dia mengubah “batu” kematian menjadi “roti” bagi kita. Melalui kematian Ia menjadi roti Ekaristi. Pengkhotbah hendaknya ingat umat yang makan dari roti surgawi itu, yakni kemenangan Yesus terhadap godaan dan kematian, yang dibagikan melalui sakramen, mengubah “hati yang membatu menjadi hati dari daging”, sebagaimana dijanjikan Tuhan melalui sang Nabi, hati yang berusaha menjadikan cinta Allah yang berbelas kasih nyata dalam hidup mereka sehari-hari. Maka, iman Kristiani bisa menjadi ragi di dunia yang lapar akan Allah dan batu-batu sungguh diubah menjadi makanan yang memuaskan kerinduan hati manusia.
B. Injil Minggu II Prapaskah
64. Injil Minggu II Prapaskah selalu merupakan kisah Transfigurasi. Menarik bahwa transfigurasi tubuh Yesus yang mulia dan tak terduga dalam kehadiran tiga orang murid pilihan, ditempatkan segera sesudah pemberitahuan pertama tentang Sengsara-Nya. (Murid yang sama –Petrus, Yakobus, Yohanes– akan bersama Yesus selama kepedihan-Nya di taman Getsemani, demikian juga pada malam Sengsara-Nya). Dalam konteks keseluruhan narasi masing-masing dari ketiga Injil, Petrus baru saja mengakui imannya pada Yesus sebagai Mesias. Yesus menerima pengakuan itu, namun segera memandang para murid dan menjelaskan kepada mereka Mesias seperti apakah Dia. “Ia mulai mengajar mereka bahwa Anak manusia harus banyak menderita dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli Taurat, dibunuh dan, sesudah tiga hari, bangkit”. Kemudian, Ia mengajar bagaimana mengikuti Mesias itu: “Setiap orang yang mau mengikuti aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti aku.” Sesudah peristiwa itu Yesus mengajak tiga murid itu dan membawa mereka ke atas gunung yang tinggi, dan di sana dari tubuh-Nya memancar kemuliaan ilahi; dan tampaklah kepada mereka Musa dan Elia, yang bercakap-cakap dengan Yesus. Ia masih berbicara, ketika awan, tanda kehadiran ilahi, seperti yang pernah ada di atas gunung Sinai, menyelimuti Yesus dan para murid. Dari dalam awan terdengarlah sebuah suara, persis seperti di Sinai guruh menandai bahwa Allah sedang berbicara dengan Musa dan memberinya Hukum, Taurat. Itulah suara Bapa, yang menyingkapkan identitas terdalam Yesus dan memberi kesaksian dengan berkata: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia” (Mrk 9:7).
65. Banyak tema dan model yang telah disoroti dalam Pedoman ini terpusat pada adegan yang mengagumkan ini. Dengan jelas, salib dan kemuliaan dikaitkan. Dengan jelas, keseluruhan Perjanjian Lama, yang diwakili oleh Musa dan Elia, memberi kesaksian bahwa salib dan kemuliaan berkaitan. Pengkhotbah harus mengangkat tema itu dan menjelaskannya. Mungkin sintesis paling baik dari makna misteri itu diberikan oleh kata-kata indah dalam prefasi Minggu ini. Ketika memulai Doa Syukur Agung, imam atas nama semua umat, bersyukur kepada Allah melalui Kristus Tuhan kita oleh karena misteri Transfigurasi: “Setelah menubuatkan kematian-Nya sendiri di hadapan murid-murid-Nya, Ia menampakkan kemuliaan-Nya kepada mereka di gunung yang kudus. Dengan menghadirkan Hukum dan Nabi sebagai saksi, Ia menegaskan kepada mereka, bahwa hanya melalui Sengsara, kita akan sampai kepada kemuliaan kebangkitan.” Dengan kata-kata ini, pada hari itu, komunitas membuka Doa Syukur Agung.
66. Dalam setiap perikop Sinoptik suara Bapa menunjukkan Yesus sebagai Anak-Nya terkasih dan memerintahkan: “Dengarkanlah Dia.” Di pusat adegan kemuliaan transenden ini, perintah Bapa menarik perhatian kepada jalan yang membawa kepada kemuliaan. Seolah Ia mengatakan: “Dengarkanlah Dia, dalam Dia ada kepenuhan cinta-Ku, yang akan disingkapkan pada salib.” Ajaran ini adalah Taurat baru, Hukum baru dari Injil, yang diberikan di atas gunung suci yang pada pusatnya terdapat rahmat Roh Kudus, yang diberikan kepada mereka yang menaruh kepercayaan pada Yesus dan pada jasa-jasa salib-Nya. Karena Dia mengajarkan jalan ini, kemuliaan memancar dari tubuh Yesus dan diwahyukan oleh Bapa sebagai Anak terkasih. Bukankah kita di sini dimasukkan ke dalam hati misteri Trinitaris? Dalam kemuliaan Bapa, kita melihat kemuliaan Putra, disatukan dengan erat pada salib. Putra yang diwahyukan dalam transfigurasi adalah “terang dari terang”, seperti ditegaskan Credo; dan tentu momen itu, dalam Kitab Suci adalah salah satu dari otoritas paling kuat untuk rumusan Credo.
67. Transfigurasi mendapat tempat utama dalam Masa Prapaskah, karena keseluruhan Lectionarium Masa Prapaskah merupakan suatu panduan yang menyiapkan orang-orang yang terpilih dari antara para katekumen untuk menerima sakramen-sakramen inisiasi dalam Malam Paskah, sekaligus mempersiapkan semua umat beriman untuk membarui diri dalam hidup baru yang kepadanya mereka dilahirkan kembali. Jika Minggu I Prapaskah secara khusus mengingatkan solidaritas Yesus dengan kita dalam pencobaan, Minggu II Prapaskah mengingatkan kita bahwa kemuliaan yang memancar dari tubuh Yesus adalah kemuliaan yang sama yang ingin dibagikan-Nya kepada semua saja yang telah dibaptis dalam wafat dan kebangkitan-Nya. Pengkhotbah, untuk memberikan dasar padanya, bisa dengan tepat mengambil kata-kata dan otoritas Santo Paulus, yang menegaskan bahwa “Kristus akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia” (Flp 3:21). Ayat itu ditemukan dalam bacaan kedua siklus Tahun C, namun bisa menekankan secara singkat apa yang telah digarisbawahi di setiap tahun.
68. Pada hari Minggu ini, sementara umat beriman berbaris untuk Komuni, Gereja menyanyikan dalam Antifon kata-kata Bapa yang didengar dalam Injil: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia!” Apa yang didengar dan direnungkan oleh ketiga murid terpilih dalam transfigurasi, sekarang persis bertemu dengan peristiwa liturgis, di mana umat beriman menerima Tubuh dan Darah Tuhan. Dalam Doa Sesudah Komuni, kita bersyukur kepada Allah sebab “meskipun masih berada di dunia, kami telah Engkau ikut sertakan dalam kebahagiaan surgawi.” Sementara masih di bumi, umat beriman menerima Tubuh-Nya dan Darah-Nya dan mendengar suara Bapa yang berkata kepada mereka di dalam kedalaman hati mereka: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia!”.
C. Minggu III, IV, dan V Prapaskah
69. “Untuk ketiga hari Minggu berikutnya, Injil berbicara mengenai wanita Samaria, mengenai orang buta sejak lahir dan mengenai pembangkitan Lazarus. Ketiga Injil itu ditentukan untuk Tahun A, tetapi boleh juga dipakai dalam Tahun B dan C, khususnya bilamana dilaksanakan upacara katekumenat bertahap. Sebab ketiga bacaan Injil ini sangat penting dalam hubungannya dengan inisiasi kristen. Kendatipun demikian, untuk Tahun B dan C disediakan pula kutipan lain, yakni untuk Tahun B dari Yohanes tentang pemuliaan Kristus di masa mendatang berkat Salib dan kebangkitan-Nya; sedangkan untuk Tahun C dari Lukas mengenai tobat. (…) Karena bacaan tentang wanita Samaria, orang buta sejak lahir, dan pembangkitan Lazarus kini dibacakan pada hari-hari Minggu, -hanya dalam Tahun A, tetapi boleh juga dipakai dalam Tahun lainnya-, diberikan kesempatan supaya dapat dipakai juga pada hari-hari biasa. Maka pada permulaan Pekan Prapaskah III, IV, dan IV, disisipkan ‘Bacaan fakultatif’ yang menyajikan kutipan-kutipan di atas; bacaan-bacaan itu boleh dipakai pada salah satu hari dalam pekan yang bersangkutan, menggantikan bacaan-bacaan misa harian” (OLM 97 dan 98). Kekuatan katekese dari Masa Prapaskah khususnya ditekankan oleh bacaan-bacaan dan doa-doa hari-hari Minggu Tahun A. Jelas sekali keterkaitan antara tema-tema air, terang, dan hidup dengan pembaptisan: melalui perikop-perikop Kitab Suci dan doa-doa liturgis. Gereja membimbing para terpilih ke dalam inisiasi sakramental pada Paskah. Persiapan akhir mereka sangat penting, seperti tampak dari teks-teks doa yang digunakan dalam Ibadat-ibadat Scrutini(: Tiga ibadat pertobatan bagi para calon baptis pada Minggu III, IV dan V Prapraskah).
Dan bagi yang lain? Bisa berguna bagi pengkhotbah untuk mengajak para pendengarnya melihat Prapaskah sebagai waktu untuk meneguhkan kembali rahmat pembaptisan dan untuk memurnikan iman yang telah diterima. Proses seperti itu bisa dijelaskan dalam terang pemahaman bahwa Israel telah memiliki pengalaman Exodus. Peristiwa krusial untuk pembentukan Israel sebagai umat Allah, untuk menemukan keterbatasan-keterbasan diri dan ketidakpercayaan, namun juga cinta Allah yang setia dan tak berubah. Hal itu berguna untuk memberi paradigma penafsiran terhadap perjalanan dengan Allah sepanjang seluruh sejarah berikutnya dari bangsa Israel. Maka bagi kita, Prapaskah adalah waktu dimana dalam padang gurun kehidupan kita sekarang, dengan kesulitan, ketakutan dan ketidakpercayaannya, kita menemukan kedekatan Allah yang, kendati semuanya itu, sedang menuntun kita menuju Tanah Terjanji. Ini adalah momen sangat penting untuk hidup iman, yang menantang kita. Rahmat-rahmat pembaptisan, yang diterima segera setelah kelahiran, tidak bisa dilupakan, walaupun dosa-dosa yang terkumpul dan kesalahan-kesalahan manusiawi bisa membuat rahmat itu hilang. Padang gurun adalah tempat yang menguji iman kita, tetapi juga memurnikan dan meneguhkannya jika kita belajar bertumpu pada Allah, terlepas dari pengalaman-pengalaman yang sebaliknya. Tema pokok, dalam tiga hari Minggu ini, membahas cara bagaimana mana iman harus dipelihara terus-menerus, kendati ada dosa (perempuan Samaria), ketidaktahuan (si buta), dan kematian (Lazarus). Itulah “padang gurun” yang kita lewati dalam perjalanan hidup dan di dalamnya kita mengetahui bahwa kita tidak sendirian, karena Allah ada bersama kita.
70. Keterkaitan antara semua yang bersiap untuk pembaptisan dan umat beriman lainnya meningkatkan dinamika Masa Prapaskah, dan pengkhotbah hendaknya berusaha menghubungkan seluruh komunitas dengan jalan persiapan orang-orang yang terpilih. Ketika dirayakan Pelantikan (katekumen), baiklah diambil Doa Syukur Agung yang terdapat rumus yang berkaitan dengan Santo-santa Pelindung; hal ini bisa membantu mengingatkan bahwa tiap-tiap anggota umat memiliki peran aktif sebagai “sponsor” dari yang terpilih dan dalam menuntun yang lain kepada Kristus. Kita yang percaya ini dipanggil, seperti wanita Samaria, untuk membagikan iman kita dengan yang lain. Karena itu, pada Paskah anggota-anggota baru bisa mengatakan kepada anggota-anggota lain di komunitas: “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juru Selamat dunia.”
71. Hari Minggu III Prapaskah membawa kita kembali ke padang gurun, dengan Yesus dan dengan Israel, sebelum Dia. Bangsa Israel kehausan, dan rasa haus itu membuat mereka meragukan kebenaran perjalanan yang mereka lakukan atas undangan Allah. Situasinya tampak tanpa harapan, namun bantuan datang dari suatu sumber yang sungguh mengagumkan: pada saat Musa memukul batu yang keras, memancarlah air dari padanya! Namun ada materi yang masih lebih keras dan kaku, yakni hati manusia. Mazmur Tanggapan menyampaikan ajakan lembut kepada semua yang menyanyikan dan mendengarkannya: “Pada hari ini, kalau kamu mendengar suara Tuhan, janganlah bertegar hati.” Dalam bacaan kedua, Paulus memberitahu kita bahwa tongkat yang harus kita pegang adalah iman, yang memberikan pada kita jalan masuk melalui Kristus ke dalam kasih karunia Allah, pada gilirannya sebagai tanda pengharapan. Kemudian, pengharapan itu tidak mengecewakan karena cinta kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita, yang membuat kita mampu mengasihi. Cinta kasih ilahi ini tidak diberikan kepada kita sebagai balasan atas jasa-jasa kita, karena telah diberikan kepada kita sementara kita masih berdosa, dan Kristus telah wafat bagi kita orang berdosa. Dalam beberapa ayat ini, Paulus mengundang kita untuk merenungkan misteri Tritunggal maupun keutamaan iman, harapan, dan kasih.
Dalam konteks ini terjadilah perjumpaan antara Yesus dan perempuan Samaria, suatu percakapan mendalam karena berbicara tentang realitas mendasar dari hidup kekal dan ibadat yang sejati. Ini adalah sebuah percakapan yang mencerahkan, karena mewujudkan pedagogi iman. Pada awalnya Yesus dan perempuan itu berbicara pada level yang berbeda. Ketertarikan praktis dan konkret perempuan itu terpusat pada air dan sumur. Yesus, seolah mengabaikan perhatian konkret-Nya, terus berbicara tentang rahmat air hidup. Sampai pada akhirnya pembicaraan mereka bertemu. Yesus menyentuh kenyataan paling menyakitkan dari hidup perempuan itu: keadaan perkawinannya yang tidak beres. Setelah mengakui kerapuhannya dan dengan segera membuka pikirannya kepada misteri Allah, ia kemudian mengajukan pertanyaan tentang ibadah. Ketika ia menerima undangan untuk percaya kepada Yesus sebagai Mesias, ia dipenuhi dengan rahmat dan bergegas membagikan apa yang telah ia peroleh dengan orang-orang sedaerahnya.
Iman, yang dipelihara oleh Sabda Allah, oleh Ekaristi, dan dengan melaksanakan kehendak Bapa, membuka kepada misteri rahmat, yang digambarkan dengan air hidup. Musa memukul batu dan memancarlah air; serdadu menikam lambung Kristus dan memancarlah darah dan air. Menyadari hal itu, Gereja meletakkan kata-kata ini pada bibir mereka yang berbaris untuk menerima Komuni: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya.”
72. Bukan kita saja yang haus. Prefasi Misa hari ini mengatakan: “Ketika Ia minta minum kepada perempuan Samaria, Ia sudah menumbuhkan karunia iman dalam diri perempuan itu. Ia berkenan membangkitkan kehausan iman akan diri-Nya begitu kuat sehingga berkobar api kasih Ilahi dalam diri perempuan itu.” Yesus yang duduk di dekat sumur itu lelah dan haus. (Sebenarnya, Pengkhotbah bisa memperlihatkan bagaimana perikop-perikop Injil pada tiga hari Minggu itu menggarisbawahi kemanusiaan Kristus: kelelahan-Nya sementara duduk dekat sumur, tindakan-Nya mengaduk ludah-Nya dengan tanah untuk menyembuhkan orang buta, dan air mata-Nya di makam Lazarus). Kehausan Yesus akan mencapai puncaknya pada saat-saat akhir hidup-Nya, ketika dari atas salib Ia berseru: “Aku haus!” Inilah artinya bagi Yesus untuk melakukan kehendak Dia yang mengutus-Nya dan melaksanakan karya-Nya. Maka, dari Hati-Nya yang tertombak mengalirlah kehidupan kekal yang menghidupi kita dalam sakramen-sakramen, dengan memberi kita, yang menyembah dalam roh dan kebenaran, makanan yang kita butuhkan untuk melanjutkan peziarahan kita.
73. Minggu IV Prapaskah diliputi dengan cahaya, suatu cahaya yang ditunjukkan pada Minggu “Laetare” dengan pakaian-pakaian liturgi yang berwarna lebih terang dan dengan bunga-bunga yang menghiasi gereja. Hubungan antara misteri Paskah, pembaptisan dan cahaya, dipahami dengan ringkas oleh suatu ayat dari bacaan kedua: “Bangunlah hai kamu yang tidur, dan bangkitlah dari antara orang mati, maka Kristus akan bercahaya atas kamu.” Hubungan itu menemukan gema dan penjabaran dalam Prefasi: “Dengan misteri penjelmaan-Nya, Ia menuntun umat manusia yang berjalan dalam kegelapan, masuk ke dalam terang iman, dan lewat sakramen-sakramen kelahiran kembali, Ia mengangkat semua yang lahir sebagai budak dosa lama, menjadi anak angkat Allah”. Penerangan itu, yang dimulai dengan pembaptisan, diteguhkan setiap kali kita menerima Ekaristi, saat yang digaribawahi oleh kata-kata si buta yang merujuk pada Antifon Komuni: “Tuhan mengolesi mataku, lalu aku pergi, dan aku membasuh muka, dan aku melihat, dan aku percaya kepada Allah.”
74. Tetapi, ini bukanlah langit tanpa kabut yang kita renungkan pada Minggu ini. Proses “melihat”, pada praktiknya, jauh lebih sulit daripada yang digambarkan dalam cerita singkat tentang si buta. Kita diingatkan dalam bacaan pertama: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, …; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” Ini adalah peringatan yang menyelamatkan baik bagi yang terpilih, yang penantiannya tumbuh sewaktu mendekati Paskah, maupun bagi para anggota komunitas lain. Doa sesudah Komuni menegaskan bahwa Allah menerangi siapa pun yang datang ke dunia: tetapi tantangannya berasal dari fakta bahwa, dalam cara yang lebih atau kurang intens, kita menuju terang atau kita menjauhinya. Pengkhotbah bisa mengajak pendengar untuk memperhatikan proses melihat dari orang yang lahir buta dan kebutaan yang berkembang dari para lawan Yesus. Orang yang disembuhkan mulai menggambarkan penyembuhnya sebagai “manusia Yesus”; lalu mengakui bahwa Ia adalah nabi; dan pada akhirnya ia berseru: “Aku percaya, Tuhan!” dan menyembah Yesus. Orang-orang Farisi, dari pihak mereka, menjadi semakin buta: pada awalnya mereka mengakui bahwa terjadi mukjizat, lalu menolak bahwa telah terjadi mukjizat, dan akhirnya mereka mengusir orang yang disembuhkan itu keluar dari sinagoga. Dalam seluruh cerita, orang-orang Farisi terus mempertahankan dengan teguh apa yang mereka ketahui, sementara si buta mengakui ketidak-tahuannya. Perikop Injil ditutup dengan Yesus yang mengingatkan bahwa kedatangan-Nya membawa krisis, dalam arti harfiah istilah itu, sebuah penghakiman: Ia memberikan penglihatan kepada si buta, tetapi kepada mereka yang melihat menjadi buta. Menjawab keberatan orang-orang Farisi, Ia bersabda: “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa. Tetapi karena kamu berkata ‘Kami melihat’, maka tetaplah dosamu.” Penerangan yang diberikan dalam baptisan harus menyebar di antara terang dan gelap perjalanan kita dan dengan demikian, sesudah Komuni, kita berdoa: “Ya Allah, Engkau menerangi setiap orang yang lahir di dunia. Kami mohon terangilah hati kami dengan sinar rahmat-Mu agar kami mampu memikirkan hal-hal yang pantas dan layak bagi keagungan-Mu serta mencintai Engkau dengan sungguh-sungguh.”
75. “Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya.” Seruan Santo Paulus pada hari Minggu sebelumnya, untuk membangunkan mereka yang tidur, menemukan ungkapan yang hidup dalam “tanda-tanda” Yesus yang terakhir dan terbesar di dalam Injil Keempat, pembangkitan Lazarus. Hakikat definitif kematian, yang ditekankan oleh kenyataan bahwa Lazarus telah mati selama empat hari, tampaknya menciptakan halangan yang lebih besar lagi untuk memancarkan air dari batu, atau untuk memulihkan penglihatan kepada yang buta sejak lahir. Namun, berhadapan dengan situasi seperti itu, Marta membuat pengakuan iman yang sama dengan Petrus: “Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia.” Imannya tidak terletak pada apa yang Allah bisa lakukan kelak, namun pada apa yang Allah sedang kerjakan sekarang: “Aku ini kebangkitan dan kehidupan.” Ungkapan “Aku ini”, yang terdapat banyak dalam kisah Injil Yohanes, kiasan yang jelas terhadap pewahyuan-diri Allah kepada Musa, dan itu tampak dalam perikop-perikop Injil semua hari Minggu itu. Ketika perempuan Samaria berbicara tentang Mesias, Yesus menjawabnya: “Aku ini, yang sedang berbicara denganmu.” Dalam kisah tentang si buta, Yesus mengatakan: “Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia.” Dan hari ini Dia berkata: “Aku ini kebangkitan dan kehidupan.” Kunci untuk menerima hidup itu adalah iman: “Apakah engkau percaya itu?” Namun, bahkan Marta bimbang sesudah membuat pengakuan iman yang kuat, ketika Yesus memintanya untuk memindahkan batu makam, ia berkeberatan karena akan menimbulkan bau busuk. Di sini sekali lagi kita diingatkan bahwa mengikuti Kristus adalah suatu komitmen sepanjang hidup, baik apakah kita akan menerima sakramen-sakramen dalam waktu dua minggu, maupun apakah kita telah menghayati bertahun-tahun sebagai orang Katolik, kita harus berjuang terus-menerus untuk menyegarkan kembali dan memperdalam iman kita kepada Kristus.
76. Pembangkitan Lazarus adalah pemenuhan janji Allah yang diwartakan dalam bacaan pertama melalui nabi Yehezkiel: “Sungguh, Aku akan membuka kubur-kuburmu dan membangkitkan kamu dari dalamnya.” Inti misteri Paskah terletak pada kenyataan bahwa Kristus datang untuk wafat dan bangkit kembali, untuk melakukan bagi kita persis seperti apa yang telah Ia buat pada Lazarus: “Bukalah kain-kain itu, dan biarkan ia pergi.” Dia membebaskan kita tidak hanya dari kematian fisik, tetapi dari banyak kematian lain yang menimpa dan membutakan kita: dosa, kemalangan, perpecahan relasi. Maka, penting bagi kita orang-orang Kristiani untuk membenamkan diri kita terus-menerus ke dalam misteri Paskah. Sebagaimana diserukan oleh Prefasi hari ini: “Sebab, sebagai manusia sejati, Ia meratapi Lazarus sahabat-Nya, dan sebagai Allah yang kekal, Ia membangkitkan dia dari kubur. Tergerak oleh belas kasih kepada bangsa manusia, Ia mengantar kami kepada kehidupan baru, lewat perayaan misteri kudus.” Perjumpaan mingguan dengan Tuhan yang disalibkan dan bangkit mengungkapkan iman kita bahwa Dia ADALAH, di sini dan sekarang, kebangkitan dan kehidupan kita. Keyakinan inilah yang memampukan kita untuk menemani Dia, pada Minggu berikutnya, ketika Ia memasuki Yerusalem, dengan mengatakan bersama-sama Tomas, “Marilah kita juga pergi dan mati bersama Dia.”
D. Minggu Palma dan Sengsara Tuhan
77. “Pada ‘Hari Minggu Palma Memperingati Sengsara Tuhan’, untuk perarakan dipilih kutipan dari Injil Sinoptik yang mengisahkan perjalanan meriah Tuhan masuk Yerusalem; sedangkan dalam Misa dibacakan Kisah Sengsara Tuhan” (OLM 97). Dua tradisi kuno membentuk perayaan liturgi ini: kebiasaan prosesi di Yerusalem, dan pembacaan Kisah Sengsara di Roma. Kegembiraan yang mengelilingi masuknya Kristus sebagai Raja, digantikan segera dengan Nyanyian Hamba yang Menderita dan pewartaan Sengsara Tuhan. Dan liturgi ini dilaksanakan pada hari Minggu, hari yang selalu dikaitkan dengan Kebangkitan Kristus. Bagaimana pemimpin bisa menyatukan berbagai unsur teologis dan emosional hari ini, khususnya ketika pertimbangan pastoral menganjurkan suatu homili yang agak pendek? Kuncinya terletak pada bacaan kedua, himne yang sangat indah dari Surat Santo Paulus kepada Jemaat di Filipi, yang merangkum seluruh misteri Paskah secara mengagumkan. Pengkhotbah bisa menunjukkan secara singkat bahwa pada saat Gereja memasuki Pekan Suci, kita akan menghayati Misteri itu dengan cara yang bisa berbicara kepada hati kita. Berbagai kebiasaan dan tradisi lokal mengantar umat untuk merenungkan peristiwa-peristiwa hari-hari terakhir Yesus. Tetapi, kerinduan paling besar Gereja pada Pekan ini bukanlah untuk sekadar menggerakkan emosi-emosi kita, melainkan untuk memperdalam iman kita. Dalam perayaan-perayaan liturgi awal Pekan Suci, kita tidak membatasi diri untuk sekadar mengenangkan apa yang dilakukan Yesus; kita dimasukkan ke dalam misteri Paskah itu sendiri, untuk mati dan bangkit bersama Kristus.
III. Hari-Hari Minggu Adven
78. “Bacaan-bacaan Injil menampilkan tema khusus: Kedatangan Tuhan pada akhir zaman (Hari Minggu Adven I), Yohanes Pembaptis (Hari Minggu II dan III), dan peristiwa-peristiwa yang langsung menyiapkan kelahiran Tuhan (Hari Minggu IV). Bacaan-bacaan dari Perjanjian Lama merupakan nubuat-nubuat tentang Almasih serta zaman mesianik, khususnya dari Kitab Yesaya. Bacaan-bacaan dari tulisan Para Rasul menyajikan anjuran serta pewartaan yang selaras dengan tema masa ini” (OLM 93). Adven merupakan waktu yang mempersiapkan umat Kristiani untuk rahmat-rahmat yang akan diberikan lagi tahun ini dalam perayaan agung Hari Raya Natal. Sejak hari Minggu Pertama Adven pengkhotbah mendorong umat untuk melakukan persiapan yang memiliki berbagai bentuk, yang masing-masing diusulkan oleh perikop-perikop Kitab Suci dari Lectionarium masa ini. Tahap pertama masa Adven mengundang kita untuk mempersiapkan Natal dengan memberanikan kita tidak hanya untuk melihat waktu kedatangan pertama Tuhan kita, ketika, seperti dikatakan Prefasi Adven I, Dia mengenakan “kerendahan kodrat manusiawi kita”, namun juga untuk menantikan dengan siap sedia kedatangan-Nya “dalam kemuliaan-Nya dan keagungan-Nya,” ketika “Ia akan memanggil kita untuk memiliki kerajaan yang dijanjikan”.
79. Maka, ada dua makna Adven – dua makna kedatangan Tuhan. Masa ini mempersiapkan kita kepada kedatangan-Nya dalam rahmat Pesta Natal dan kepada kedatangan-Nya kembali untuk pengadilan pada akhir zaman. Teks-teks Kitab Suci hendaknya dijelaskan dengan menyadari makna ganda ini. Tergantung pada teks, teks yang satu atau yang lain tentang kedatangan ini dapat diletakkan di depan, bahkan jika, pada kenyataannya, sering kali perikop yang sama menyampaikan kata-kata dan gambaran-gambaran untuk merenungkan kedua makna kedatangan itu. Ada kedatangan yang lain lagi: kita mendengarkan bacaan-bacaan itu dalam jemaat Ekaristis, di mana Kristus sungguh hadir. Pada awal masa Adven, Gereja mengingatkan pengajaran Santo Bernardus, bahwa di antara kedua kedatangan Kristus yang kelihatan, dalam sejarah dan pada akhir zaman, ada kedatangan yang tak kelihatan di sini dan sekarang (bdk. Ibadat Bacaan, Rabu, Pekan pertama Adven); sebagaimana Gereja membuat kata-kata Santo Bernardus menjadi miliknya:
Misteri ini.. .mengajar kita bahwa kedatangan Tuhan tidak hanya bagi mereka, yang nanti atau kemudian berada di dunia ketika Ia datang, namun keutamaannya tetap tinggal selalu untuk kebaikan kita semua juga, jika melalui iman yang suci dan sakramen-sakramen ilahi kita ingin menerima rahmat yang telah Ia bawa bagi kita, dan seturut apa yang mengatur hidup kita dibawah ketaatan-Nya (Ibadat Bacaan, Senin, Pekan I Adven).
A. Minggu I Adven
80. Injil Minggu I Adven, dalam tiga siklus, adalah kisah-kisah Sinoptik yang mewartakan kedatangan kembali Anak Manusia dalam kemuliaan, pada suatu hari dan waktu yang tidak diketahui. Kita didorong untuk berjaga-jaga dan waspada, untuk menantikan tanda-tanda mengejutkan di langit dan bumi, untuk tidak terkejut. Selalu menimbulkan kesan tertentu untuk memulai Adven dengan cara demikian, karena masa itu mau tidak mau mengingatkan tentang Natal, dan di banyak tempat, perasaan masyarakat sudah berkecamuk dengan gambaran-gambaran manis tentang kelahiran Yesus di Betlehem. Tetapi, liturgi menyajikan pada kita gambaran-gambaran dalam terang yang lain, yang mengingatkan kita bagaimana Tuhan yang sama lahir di Betlehem “Ia akan datang kembali dalam kemuliaan untuk mengadili orang yang hidup dan yang mati”, sebagaimana dikatakan Credo. Pada Minggu ini merupakan tanggung jawab pengkhotbah untuk mengingatkan umat Kristiani bahwa mereka harus selalu mempersiapkan diri untuk kedatangan itu dan pengadilan. Sungguh, Adven sendiri adalah persiapan itu sendiri: kedatangan Yesus pada Natal secara erat terkait dengan kedatangan-Nya pada akhir zaman.
81. Pada semua tiga Tahun, bacaan dari Kitab Nabi bisa ditafsirkan sebagai petunjuk, baik kedatangan akhir yang mulia dari Tuhan, maupun kedatangan-Nya yang pertama “dalam kerendahan kodrat manusiawi,” yang dinyatakan oleh Natal sendiri. Baik Yesaya (Tahun A) maupun Yeremia (Tahun C), mewartakan bahwa “akan datang hari-hari itu.” Dalam konteks liturgi ini, kata-kata yang mengikuti menunjukkan dengan jelas zaman akhir; namun menunjuk juga pada hari raya Natal yang akan datang.
82. Apa yang akan terjadi pada akhir zaman? Yesaya berkata (Tahun A): “Pada hari-hari yang terakhir akan terjadilah hal-hal ini: gunung-gunung tempat rumah Tuhan akan berdiri tegak di puncak gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit. Segala bangsa akan berduyun-duyun ke sana.” Pengkhotbah memiliki berbagai kemungkinan penafsiran, yang bisa dikembangkan dari ayat seperti itu. “Gunung-gunung tempat rumah Tuhan” mungkin baik dijelaskan sebagai gambaran tentang Gereja, yang dipanggil untuk menyatukan semua bangsa. Tetapi ini dapat juga membantu sebagai pewartaan pertama tentang kedatangan Pesta Natal. “Segala bangsa akan berduyun-duyun” ke bayi di palungan, adalah teks yang akan digenapi, khususnya pada Epifani ketika para Majus datang untuk menyembah-Nya. Pengkhotbah hendaknya meng-ingatkan umat beriman bahwa mereka juga berada di antara para bangsa yang bergerak menuju Kristus, suatu perjalanan yang dimulai dengan intensitas yang dibarui dalam Minggu I Adven. Kata-kata yang sama, kaya akan inspirasi, berlaku juga pada kedatangan pada akhir zaman, yang dikutip secara eksplisit oleh Injil. Nabi melanjutkan: “Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa.” Kata-kata penutup perikop kenabian sekaligus merupakan suatu panggilan mengagumkan kepada perayaan Natal dan juga untuk menantikan kedatangan Anak Manusia dalam kemuliaan: “Hai kaum keturunan Yakub, mari kita berjalan dalam terang Tuhan!”
83. Bacaan pertama dari Kitab Yesaya pada Tahun B hadir dalam bentuk doa yang mengajar Gereja tentang sikap tobat pada masa ini. Bacaan itu mulai dengan menyampaikan suatu masalah, yakni dosa kita. “Ya Tuhan, mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalan-Mu? Mengapa Engkau tegarkan hati kami sehingga kami tidak takut kepada-Mu?” Jelaslah bahwa pertanyaan seperti itu harus dihadapi. Siapakah yang mampu memahami misteri kedurhakaan manusia? (bdk. 2Tes 2:7). Pengalaman kita, baik dalam diri kita sendiri maupun di dunia sekitar kita –pengkhotbah bisa memberi contoh– hanya bisa membangkitkan dari kedalaman hati suatu jeritan kuat yang ditujukan kepada Allah: “Sudilah Engkau mengoyakkan langit dan turun sehingga gunung-gunung goyang di hadapan-Mu.” Jeritan yang memilukan itu mendapat jawaban definitifnya dalam Yesus Kristus. Dalam Dia Allah telah mengoyakkan langit dan turun di antara kita. Dan dalam Dia, sebagaimana diminta oleh Nabi, Allah “melakukan hal-hal yang mengagumkan yang tidak kita nantikan, Engkau turun sehingga gunung-gunung goyang di hadapan-Mu. Karena sejak dahulu kala orang tidak pernah mendengar.” Natal adalah perayaan karya-karya mengagumkan yang dilakukan Allah dan yang tidak pernah berani kita harapkan.
84. Namun, pada Minggu I Adven ini juga Gereja menantikan kedatangan kembali Yesus dalam kemuliaan dan keagungan. “Sudilah Engkau mengoyakkan langit dan turun sehingga gunung-gunung goyang di hadapan-Mu.” Dengan nada yang sama itu para Penginjil menggambarkan kedatangan akhir. Dan apakah kita semua siap? Tidak, kita tidak siap, dan sungguh, kita membutuhkan masa persiapan. Doa Nabi berlanjut: “Engkau menyongsong mereka yang melakukan kebenaran, dan yang menginginkan jalan yang Kautunjukkan!” Sesuatu yang serupa diserukan dalam Doa Pembuka Minggu ini: “Ya Allah, Bapa kami, bangkitkanlah dalam diri kami kehendak untuk berjumpa, melalui perbuatan-perbuatan baik, dengan Kristus yang datang”.
85. Dalam Injil Lukas, yang digunakan pada Tahun C, gambaran-gambarannya sangat hidup. Di antara begitu banyak tanda mengerikan yang tampak, Yesus meramalkan bahwa akan ada tanda yang melebihi semua tanda yang lain, yakni penampakannya sebagai Tuhan Kemuliaan. Ia bersabda: “pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya.” Bagi kita yang merupakan milik-Nya, hal itu tidak harus menjadi hari yang menakutkan kita. Sebaliknya, Dia bersabda: “Apabila semuanya itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab penyelamatanmu sudah dekat.” Seorang pengkhotbah bisa bertanya dengan lantang mengapa kita harus menghidupi sikap percaya pada hari akhir? Tentu, hal itu menuntut persiapan yang tepat, menuntut beberapa perubahan dalam hidup kita. Inilah yang dituntut oleh masa Adven, yakni agar kita melaksanakan apa yang dinasihatkan Tuhan: “Jagalah dirimu, jangan sampai hatimu sarat dengan pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi. Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa supaya kamu mendapat kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kami tahan berdiri di hadapan Anak Manusia.”
86. Tentu, Ekaristi yang akan kita rayakan, adalah persiapan paling intens dari komunitas untuk kedatangan Tuhan, karena Ekaristi sendiri menandakan kedatangan itu. Dalam Prefasi yang membuka Doa Syukur Agung hari Minggu ini, komunitas me-nunjukkan dirinya di hadapan Allah sebagai “siap dalam penantian.” Kita yang bersyukur, hari ini telah memohon untuk bisa bernyanyi bersama semua malaikat: “Kudus, Kudus, Kudus, Kuduslah Tuhan Allah segala kuasa.” Dalam aklamasi “Misteri iman” kita mengungkapkan roh penantian yang sama: “Setiap kali kami makan roti ini dan minum dari piala ini, kami mewartakan wafat-Mu ya Tuhan, sambil menantikan kedatangan-Mu.” Dalam Doa Syukur Agung, langit terbuka dan Allah turun. Sekarang kita menerima Tubuh dan Darah Anak Manusia yang akan datang di atas awan-awan dengan kekuasaan dan kemuliaan yang agung. Dengan rahmat-Nya, yang dianugerahkan dalam Komuni kudus, kita hanya dapat berharap bahwa masing-masing dari kita bisa berseru: “Aku akan berdiri tegak dan mengangkat kepala, sebab penyelamatanku sudah dekat.”
B. Minggu II dan III Adven
87. Dalam tiga siklus, perikop Kitab Suci Minggu II dan III Adven didominasi oleh tokoh Yohanes Pembaptis.
Tidak hanya itu, Yohanes Pembaptis juga sering menjadi tokoh utama kutipan-kutipan Injil bacaan harian pada pekan berikutnya sesudah hari-hari Minggu itu. Selain itu, semua kutipan Injil tanggal 19, 21, 23 dan 24 Desember terpusat pada kejadian-kejadian sekitar kelahiran Yohanes. Akhirnya, perayaan pembaptisan Yesus melalui tangan Yohanes menutup keseluruhan siklus Natal. Apa yang dikatakan di sini bertujuan untuk membantu pengkhotbah dalam semua kesempatan ketika, dari teks biblis, ditampilkan secara menonjol tokoh Yohanes Pembaptis.
88. Origenes, guru teologi abad III, telah menggarisbawahi suatu pola yang mengungkapkan misteri besar: kapan pun Yesus datang, Dia didahului dalam kedatangan itu oleh Yohanes Pembaptis (bdk. Homili tentang Injil Lukas, IV, 6). Maka, sudah sejak dalam rahim ibunya, Yohanes melonjak untuk mewartakan kehadiran Tuhan. Di padang gurun, di sungai Yordan, Yohanes berkhotbah mewartakan Dia yang akan datang sesudah dia. Ketika membaptis-Nya di sungai Yordan, terbukalah langit, Roh Kudus turun di atas Yesus dalam bentuk yang kelihatan dan suara dari surga menyatakan bahwa Dia adalah Putra terkasih Bapa. Kematian Yohanes dibaca oleh Yesus sebagai tanda untuk mengarahkan pandangan-Nya ke Yerusalem, di mana Ia tahu bahwa kematian-Nya menunggu-Nya. Yohanes adalah yang terakhir dan terbesar dari antara semua nabi; sesudah dia, datang dan bertindaklah demi keselamatan kita, Dia yang telah diramalkan oleh semua nabi.
89. Sabda ilahi yang pada suatu saat menjadi daging di Palestina, mencapai juga setiap generasi umat beriman Kristiani. Yohanes mendahului kedatangan Yesus dalam sejarah dan masih mendahului kedatangan-Nya di tengah kita. Dalam persekutuan para Kudus, Yohanes hadir di dalam jemaat-jemaat kita hari-hari ini, ia mewartakan kepada kita Dia yang akan datang dan oleh karena itu menyerukan pertobatan. Untuk itu, setiap hari dalam Ibadat Pagi, Gereja mengidungkan Kidung Zakaria, ayah Yohanes, yang menyanyikan kelahiran anaknya: “Dan engkau anakku, engkau akan disebut nabi Allah Yang Mahatinggi, sebab engkau akan mendahului Tuhan untuk menyiapkan jalan-Nya. Untuk menanamkan pengertian akan keselamatan dalam umat-Nya, berkat pengampunan dosa mereka” (Luk 1:76-77).
90. Pengkhotbah hendaknya yakin bahwa umat Kristiani, sebagai bagian dari persiapan pada kedua kedatangan Tuhan, mendengar undangan-undangan tiada hentinya dari Yohanes kepada pertobatan, yang dinyatakan secara khusus dalam Injil Minggu II dan III Adven. Namun, kita tidak mendengar suara Yohanes hanya dalam Injil: suara semua nabi Israel disatukan bersama dalam suara Yohanes: “Dan jika kamu mau menerimanya — dialah Elia yang akan datang itu” (Mat 11:14). Bisa dikatakan juga, mengingat semua bacaan pertama dari tiga siklus Minggu itu, bahwa dia adalah Yesaya, Barukh, Zefanya. Setiap ramalan para nabi yang diwartakan dalam jemaat liturgis hari-hari ini, bagi Gereja merupakan suatu gema suara Yohanes, yang sekarang dan di sini menyiapkan jalan bagi Tuhan. Kita disiapkan untuk kedatangan Anak Manusia dalam kemuliaan dan keagungan hari terakhir. Kita disiapkan untuk pesta Natal tahun ini.
91. Sebagai contoh, setiap jemaat di mana Kitab Suci diwartakan adalah “Yerusalem” dari teks Nabi Barukh (Minggu II, C): “Hai Yerusalem, hendaknya engkau menanggalkan pakaian kesedihan dan kesengsaraanmu, lalu mengenakan perhiasan kemuliaan Allah selama-lamanya.” Inilah nabi yang mengundang kita kepada persiapan yang tepat dan memanggil kita kepada pertobatan: “Hendaklah engkau berselubungkan kampuh kebenaran Allah, dan memasang di atas kepalamu tajuk kemuliaan dari Yang Kekal.” Dalam Gereja akan tinggallah Sabda yang menjadi daging, dan dengan demikian ditujukan kepadanya kata-kata ini: “Bangkitlah hai Yerusalem, hendaklah engkau berdiri tegak di ketinggian! Tengoklah ke timur! Lihatlah anak-anakmu sudah berkumpul atas Firman dari Yang Kudus; mereka berkumpul dari tempat matahari terbenam sampai ke tempat terbitnya. Bersukarialah sebab Allah telah ingat kepada mereka.”
92. Pada hari-hari Minggu ini dibacakan berbagai nubuat mesianik kuno Yesaya. “Sebuah tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah” (Yes 11:1, Minggu II, A). Warta nubuat itu digenapi dalam kelahiran Yesus. Di Tahun yang lain: “Ada suara berseru-seru: Siapkanlah di padang gurun jalan bagi Tuhan, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita!” (Yes 40:3, Minggu II, B). Keempat Penginjil mengakui bahwa kata-kata itu digenapi dalam khotbah Yohanes di padang gurun. Dalam Yesaya ditulis: “Maka, kemuliaan Tuhan akan dinyatakan dan seluruh umat manusia akan melihatnya bersama-sama. Sungguh Tuhan sendiri telah mengatakannya” (Yes 40:5). Ini dikatakan tentang hari terakhir. Ini dikatakan tentang pesta Natal.
93. Sangat mengesankan bahwa dalam berbagai kesempatan ketika Yohanes Pembaptis muncul dalam Injil, sering diulang inti pesannya tentang Yesus: “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus” (Mrk 1:8, Minggu II, B). Pembaptisan Yesus dalam Roh Kudus adalah keterhubungan langsung antara teks-teks yang selama ini disampaikan dan pusat yang menjadi perhatian Pedoman ini, yakni Misteri Paskah, yang digenapi dalam Pentakosta dengan turunnya Roh Kudus di atas mereka yang percaya kepada Kristus. Misteri Paskah disiapkan oleh kedatangan Putra Tunggal yang lahir dalam daging, dan kekayaannya yang tak terhingga akan disingkapkan lebih lanjut pada hari terakhir. Tentang bayi yang lahir di kandang dan tentang Dia yang akan datang dalam awan-awan, dikatakan oleh Yesaya: “Roh Tuhan akan ada padanya.” (Yes 11:2, Minggu II, A); dan juga, dengan menggunakan kata-kata yang akan dinyatakan Yesus sendiri, digenapi di dalam Dia: “Roh Tuhan ada padaku, sebab ia telah mengurapi aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara” (Yes 61:1, Minggu III, B, bdk. Luk 4:16-21).
94. Lectionarium masa Adven sesungguhnya adalah suatu kumpulan menarik dari teks-teks Perjanjian Lama yang secara misterius menemukan kegenapannya dalam kedatangan Anak Allah dalam daging. Lagi dan lagi pengkhotbah bisa menggunakan (bait-bait) puisi para nabi untuk menjelaskan misteri-misteri itu kepada umat Kristiani, di mana mereka sendiri dimasukkan melalui perayaan-perayaan liturgi. Kristus terus datang dan dimensi-dimensi kedatangan-Nya bermacam-macam. Dia telah datang. Dia akan datang lagi dalam kemuliaan. Dia datang pada Natal. Dia sudah datang sekarang ini dalam setiap Ekaristi yang dirayakan selama Adven. Pada semua dimensi itu daya puisi para nabi bisa diterapkan: “Lihatlah, Allahmu akan datang dengan membawa pembalasan dan ganjaran ilahi” (Yes 35:4, Minggu III, A). “Janganlah takut, hai Sion! Janganlah tanganmu menjadi lemah dan lunglai. Tuhan Allahmu ada di tengah-tengahmu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan” (Zef 3:16-17, Minggu III, C). “Hiburlah, hiburlah umat-Ku! Tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya bahwa perhambaannya sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni” (Yes 40:1-2, Minggu II, B).
95. Maka, tidaklah mengherankan, bagaimana roh penantian yang menggelisahkan tumbuh selama minggu-minggu Adven, bagai-mana dalam Minggu III para selebran mengenakan pakaian warna sukacita, merah muda, dan bagaimana Minggu ini disebut dengan kata-kata pertama dari antifon pembuka yang selama berabad-abad telah dinyanyikan pada hari ini, kata-kata yang diambil dari surat Santo Paulus kepada Jemaat di Filipi: “Bersukacitalah senan-tiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Tuhan sudah dekat.”
C. Minggu IV Adven
96. Dengan Minggu IV Adven, Natal sudah makin dekat. Suasana liturgi beralih dari seruan kepada pertobatan kepada peristiwa-peristiwa sekitar kelahiran Yesus. Peralihan itu ditegaskan dalam Prefasi II Adven. “Lihatlah, perawan akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki”, adalah judul dari bacaan pertama Tahun A. Tentu saja semua bacaan, – dari Kitab Nabi-nabi, Surat-surat Rasul-Rasul dan Injil – berkisar tentang misteri yang diwartakan kepada Maria oleh Malaikat Gabriel. (Apa yang disampaikan pada Injil-Injil hari Minggu dan teks-teks Perjanjian Lama, bisa diterapkan juga pada Lectionarium harian dari 12 hingga 23 Desember).
97. Kisah tentang Pewartaan (Kabar Sukacita) pada Injil Lukas adalah Injil yang dibacakan pada Tahun B; diikuti, dalam Injil yang sama, dengan Kunjungan (kepada Elizabet), yang dibacakan pada Tahun C. Peristiwa-peristiwa itu mendapat tempat istimewa dalam devosi banyak orang Katolik. Bagian pertama doa yang dipandang sangat luhur, Doa Salam Maria, disusun dari kata-kata yang disampaikan kepada Maria oleh Malaikat Gabriel dan oleh Elizabet. Pewartaan Kabar Sukacita adalah misteri sukacita pertama dari Rosario, Kunjungan adalah yang kedua. Doa Angelus adalah renungan yang diperluas tentang Kabar Sukacita, yang didoakan oleh banyak umat beriman setiap hari – pagi, tengah hari, dan sore. Perjumpaan antara Malaikat Gabriel dan Maria, yang kepadanya turunlah Roh Kudus, dilukiskan dalam mahakarya-mahakarya seni Kristen. Pada Minggu IV Adven, pengkhotbah hendaknya bekerja berdasarkan landasan kuat devosi Kristen ini dan menuntun umat beriman kepada pemahaman mendalam akan peristiwa-peristiwa mengagumkan itu.
98. “Malaikat Tuhan memberi kabar kepada Maria. Dan ia mengandung oleh karya Roh Kudus”. Daya dan kuasa saat itu tidak pernah berkurang. Hal itu dirasakan secara baru sekarang, meresap ke dalam persekutuan umat di mana Injil diwartakan. Hal itu membentuk waktu khusus untuk perayaan bersama. Kita masuk dalam misterinya. Dengan cara tertentu kita hadir dalam peristiwa itu. Kita melihat seorang malaikat hadir di hadapan Perawan Maria di Nazaret yang di Galilea – Gereja juga sedang merenungkan adegan itu, mengikuti dengan kagum drama perjumpaan mereka, percakapan mereka. Pesan ilahi, jawaban manusiawi. Namun sementara kita mengamati, kita menyadari bahwa kita tidak boleh sekadar menjadi para penonton pada penglihatan itu. Apa yang ditawarkan kepada Maria –yang akan menerima Putra Allah dalam rahimnya– dengan cara tertentu, dalam liturgi Minggu IV Adven, ditawarkan kepada persekutuan umat beriman dan pada tiap-tiap orang beriman. Natal, yang tinggal beberapa hari, sedang akan diberikan kepada kita. Sebagaimana yang dikatakan Yesus: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (Yoh 14:23).
99. Bacaan pertama Tahun B, dari Kitab II Samuel, mengajak kita untuk melangkah ke belakang dari adegan itu, dengan tetap mengarahkan pandangan padanya. Bacaan itu memberi kita suatu gambaran lebih luas, sejarah keturunan Daud. Maksudnya adalah untuk membantu kita melihat dengan saksama sepanjang abad sejarah itu, hingga pada akhirnya, melihat malaikat yang berdiri di hadapan Maria. Maka, bergunalah bagi pengkhotbah untuk membantu umat mencermati keseluruhan skenario peristiwa. Daud yang murah hati diilhami oleh pemikiran luhur, yakni membangun rumah bagi Tuhan. Mengapa, tanya Daud, dia sekarang telah menetap di rumahnya dan telah mendapat penghentian (perang) dari semua musuh yang mengelilinginya berkat campur tangan Tuhan, mengapa Tuhan harus tetap tinggal di bawah tenda? Mengapa bukan sebuah rumah, suatu Kenisah, untuk Tuhan? Namun Tuhan memberikan jawaban yang sama sekali tak terduga kepada Daud. Terhadap tawaran murah hati Daud, Tuhan menjawab dengan kemurahan hati ilahi-Nya, yang sepenuhnya melampaui apa yang ditawarkan atau tak pernah bisa dibayangkan oleh Daud. Membalas tawaran Daud, Tuhan berkata: “Engkau tidak akan membangun rumah untuk-Ku”, “karena Tuhan akan memberikan rumah kepadamu” (bdk. 2Sam 7:11), dan dengan itu Ia memaksudkan keturunan bagi Daud yang “lanjut umurnya selama ada matahari, dan selama ada bulan, turun-temurun” (Mzm 72:5).
100. Kembali kepada adegan utama kisah ini, kita melihat bagaimana janji yang dibuat kepada Daud itu terpenuhi secara definitif dan, sekali lagi, dengan cara tak terduga. Maria adalah “seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud” (Luk 1:27). Malaikat memberi kabar kepada Maria bahwa ia akan melahirkan seorang anak laki-laki, dengan berkata: “Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya” (Luk 1:32). Maka, Maria sendiri adalah rumah yang Tuhan bangun untuk Anak Daud yang sesungguhnya. Atau juga kerinduan Daud untuk membangun sebuah rumah untuk Tuhan, secara misterius terpenuhi: dengan kata-kata “jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38), Puteri Sion, melalui persetujuan imannya, dalam sekejap membangun suatu kenisah yang pantas bagi Putra Allah yang Mahatinggi.
101. Misteri pengandungan Maria tetap perawan juga merupakan tema Injil Tahun A, tetapi dalam kasus ini narasi disampaikan dari sudut pandang Yusuf, seperti diceritakan Matius. Bacaan pertama adalah kutipan singkat Kitab Yesaya, di mana Nabi menyampaikan frase yang terkenal: “Seorang perawan akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, yang akan dinamai Imanuel.” Bacaan ini bisa memberi pengkhotbah suatu kesempatan untuk menjelaskan bagaimana Gereja melihat dengan benar pemenuhan teks-teks Perjanjian Lama dalam peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus. Dalam perikop Matius, jemaat mendengar detail-detail seputar kelahiran Yesus, yang disampaikan dengan hati-hati, yang diakhiri dengan kalimat: “Semua itu terjadi supaya terpenuhilah apa yang Tuhan sabdakan melalui para nabi-Nya.” Seorang nabi berbicara dalam sejarah, dalam lingkungan konkret. Pada tahun 734 SM, raja Ahas harus menghadapi musuh yang kuat; nabi Yesaya mendesaknya untuk memiliki iman pada kuasa yang Allah miliki untuk membebaskan Yerusalem, dan menawarkan kepada raja suatu tanda dari Tuhan. Ketika raja dengan munafik menolak, Yesaya dengan jengkel mengabarkan bahwa bagaimanapun suatu tanda akan diberikan kepadanya, tanda berupa seorang perawan, yang anaknya akan dinamai Imanuel. Namun sekarang melalui Roh Kudus, yang berbicara melalui nabi itu, apa yang memiliki maknanya dalam situasi-situasi historis persis demikian itu meluas untuk mencakup suatu situasi historis yang lebih besar: yakni kedatangan Anak Allah yang menjadi daging. Semua nubuat dan seluruh sejarah secara definitif berbicara tentang hal itu.
102. Dengan memikirkan semua itu, pengkhotbah bisa melihat cerita Matius yang disusun dengan baik. Penginjil berusaha menyeimbangkan dua kebenaran tentang Yesus: bahwa Dia adalah Anak Daud dan Anak Allah. Kedua kebenaran itu penting untuk memahami siapa Yesus. Baik Maria maupun Yusuf memainkan peran yang tepat dalam pemenuhan jalinan harmonis misteri itu.
103. Sebagaimana telah kita lihat Pewartaan Kabar Gembira dalam konteks sejarah Israel, demikian juga suatu silsilah yang mendahului Injil ini menawarkan kunci penting bagi penafsirannya. (Silsilah dibacakan pada 17 Desember dan pada Misa Malam Natal). Injil Matius mulai secara meriah dengan kata-kata ini: “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham.” Selanjutnya adalah kisah tradisional dari semua generasi: Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, dan seterusnya, sampai pada Daud dan keturunannya, sampai pada Yusuf, di mana gaya bahasanya berubah secara tiba-tiba dan kentara. “Yakub memperanakkan Yusuf, suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.” Hal ini istimewa dan luar biasa, mengapa teks tidak dilanjutkan dengan berkata: “Yusuf memperanakkan Yesus,” tetapi hanya bahwa Yusuf adalah suami Maria, yang melahirkan Yesus. Persis di sinilah terletak penekanan yang ditempatkan oleh Minggu IV Adven, dan hal ini menunjukkan bagaimana ayat pertama dimengerti: “Kelahiran Yesus Kristus adalah sebagai berikut.” Maksudnya, dalam suasana yang sungguh berbeda dari semua kelahiran sebelumnya, maka menuntut juga kisah khusus itu.
104. Informasi pertama berkaitan dengan fakta bahwa Maria, sebelum hidup bersama Yusuf, ditemukan mengandung oleh karya Roh Kudus. Maka jelas bagi para pendengar dan pembaca perikop ini, bahwa Sang Bayi bukanlah dari Yusuf, melainkan Putra Allah sendiri. Kendati demikian, dalam cerita hal itu belum jelas bagi Yusuf. Pengkhotbah bisa memperhatikan drama yang dihadapi Yusuf itu. Apakah ia mencurigai Maria tidak setia dan demikian memutuskan “menceraikannya secara diam-diam”? Atau mungkin ia memiliki beberapa praduga akan campur tangan ilahi, sehingga membuat dia takut mengambil Maria sebagai istrinya? Yang membingungkan juga adalah sikap diam Maria. Sesungguhnya, Maria menjaga rahasia yang ada antara dia dan Allah, dan itu diserahkan kepada Allah untuk bertindak menjelaskan situasinya. Perkataan manusia tidak akan cukup untuk menjelaskan misteri yang begitu besar itu. Sementara Yusuf mempertimbangkan hal-hal itu, seorang malaikat menyingkapkan kepadanya dalam mimpi bahwa Maria telah mengandung berkat karya Roh Kudus dan ia tidak perlu takut. Liturgi Adven mengundang umat beriman untuk tidak takut dan untuk menerima, seperti Yusuf, misteri ilahi yang sedang terjadi dalam hidup mereka.
105. Seorang malaikat meneguhkan dalam mimpi kepada Yusuf bahwa Maria telah mengandung berkat karya Roh Kudus. Dengan demikian, sekali lagi semuanya dijelaskan: Yesus adalah Putra Allah. Namun Yusuf harus melakukan dua hal, dua tindakan yang mengesahkan kelahiran Yesus dalam pandangan budaya dan iman Yudaisme. Malaikat menyampaikan kepadanya secara ekplisit dengan kata-kata: “Yusuf, anak Daud”, dan memerintahkan dia untuk mengambil Maria ke dalam rumahnya, dengan membiarkan misteri Maria mengubah dia. Kemudian dia harus menamai bayi itu. Kedua tindakan itu membuat Yesus “Anak Daud.” Kisah Matius seharusnya bisa diteruskan dengan kata-kata: “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan Malaikat Tuhan itu kepadanya,” tetapi sebaliknya narasinya disela oleh nubuat Nabi Yesaya: “Hal itu terjadi supaya genaplah Firman Tuhan yang disampaikan nabi”, untuk kemudian mengutip ayat profetis yang diperdengarkan dalam bacaan pertama. Apa yang telah dikatakan Yesaya kepada Ahas, sedikit dalam perbandingan. Kini kata “perawan” diambil secara harfiah, dan dia mengandung berkat karya Roh Kudus. Dan nama apakah yang akan mereka berikan kepada sang bayi, Imanuel? Matius, berbeda dari Yesaya, menjelaskan maknanya: “Allah beserta kita.” Juga kata-kata itu, sebagaimana ditunjukkan oleh suasana kepada kita, harus dimengerti secara harfiah. Yusuf, anak Daud, akan menamai Dia Yesus; tetapi misteri terdalam dari nama-Nya adalah “Allah beserta kita.”
106. Pada hari Minggu yang sama ini, dalam bacaan kedua dari Surat Santo Paulus kepada orang-orang Roma, kita mendengarkan bahasa teologis yang lebih kuno dan primitif daripada yang diperdengarkan Matius, namun yang sudah mengungkapkan pentingnya keseimbangan harmonis dalam gelar-gelar yang menyatakan misteri Yesus. Santo Paulus berbicara tentang “Injil yang pokok isinya ialah tentang Anak Allah, yang menurut daging dilahirkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan sebagai Anak Allah yang berkuasa oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati.” Santo Paulus melihat gelar “Anak Allah” diteguhkan dalam kebangkitan Yesus. Santo Matius, sebagaimana kita lihat, ketika menjelaskan nama Imanuel dalam arti “Allah beserta kita”, mengungkapkan pemahaman akan Tuhan yang bangkit dengan merujuk kepada awal kehidupan-Nya sebagai manusia!
107. Namun demikian, Pauluslah yang menunjukkan kepada kita secara langsung dengan cara menghubungkan apa yang kita dengarkan di dalam teks-teks itu. Sesudah menyebut secara khidmat Dia yang menjadi pusat Injilnya “Anak Daud dan Anak Allah,” Paulus kemudian menyebut Bangsa-bangsa (kafir) sebagai mereka “yang telah dipanggil menjadi milik Kristus.” Lebih lanjut, mereka dikatakan “yang dikasihi Allah, yang dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus.” Pengkhotbah harus memperlihatkan bagaimana pembahasaan ini juga berlaku untuk kita. Orang-orang Kristen mendengar kisah mengagumkan tentang kelahiran Yesus Kristus yang secara ajaib menggenapi apa yang telah dijanjikan melalui para nabi, namun kemudian mereka mendengar bahasa tentang mereka: mereka telah dipanggil menjadi milik Kristus, mereka dikasihi Allah, mereka dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus.
108. Injil pada Tahun C, terhubung dengan apa yang Maria lakukan segera sesudah perjumpaannya dengan Malaikat yang mengabarkan pengandungan Anak Allah. “Beberapa waktu kemudian bergegaslah Maria ke pegunungan”, untuk menemui saudaranya, Elisabet yang sedang mengandung Yohanes Pembaptis. Dan ketika mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang ada di dalam rahim Elisabet. Inilah yang pertama dari banyak peristiwa di mana Yohanes mewartakan kehadiran Yesus. Namun, itu juga mengajak untuk merenungkan tentang bagaimana Maria bersikap ketika ia menyadari bahwa ia membawa Anak Allah di dalam rahimnya. Dia “bergegas” pergi mengunjungi Elisabet, sehingga ia bisa melihat bahwa “tidak ada yang mustahil bagi Allah”; dan dengan melakukan demikian, ia membawa sukacita besar kepada Elisabet dan anak yang di dalam rahimnya.
109. Pada hari-hari terakhir Adven ini, Gereja semesta mengenakan kembali gambaran-gambaran Maria. Wajah Gereja menampakkan tanda-tanda istimewa sang Perawan. Roh Kudus bekerja sekarang dalam Gereja, sebagaimana selalu sudah bekerja. Maka, sementara jemaat pada Minggu ini masuk dalam misteri Ekaristi, imam berdoa dalam doa persembahan: “Terimalah ya Allah, persembahan yang kami persembahkan di altar, dan sucikanlah dengan kuasa Roh-Mu, yang telah menyucikan rahim Perawan Maria.” Pengkhotbah harus bisa menarik keterkaitan yang sama dari doa itu: melalui Ekaristi, berkat kuasa Roh Kudus, umat beriman membawa dalam tubuhnya sendiri apa yang dibawa Maria dalam rahimnya. Seperti dia, mereka hendaknya “bergegas” melakukan kebaikan bagi sesama. Maka tindakan-tindakan baik mereka, yang dilakukan seturut teladan Maria, akan mengejutkan bagi yang lain dengan kehadiran Kristus, dan menyebabkan sesuatu dalam diri mereka melonjak kegirangan.
IV. Masa Natal
A. Perayaan-perayaan Natal
110. “Untuk Vigili (Misa sore menjelang Natal) dan untuk tiga Misa Natal, baik nubuat-nubuat maupun bacaan-bacaan lain dipilih menurut tradisi Romawi” (OLM 95). Sifat khusus kemeriahan Natal Tuhan adalah kebiasaan merayakan tiga Misa yang berbeda: tengah malam, fajar dan siang. Dengan pembaruan berikutnya sejak Konsili Vatikan Kedua ditambahkan lagi Misa Sore dalam Vigili. Di luar komunitas-komunitas monastik, rasanya tidak mungkin bahwa setiap orang akan mengikuti semua tiga (atau empat) perayaan; sebagian besar umat beriman akan ikut serta dalam satu liturgi, yang akan menjadi “Misa Natal” mereka. Itulah mengapa dimungkinkan untuk memilih bacaan-bacaan untuk setiap satu perayaan. Kendati demikian, sebelum mempertimbangkan beberapa tema menyeluruh yang umum bagi teks-teks liturgi dan Injil, perlulah memperhatikan urutan empat misa itu.
111. Natal adalah pesta cahaya. Pada umumnya diyakini bahwa perayaan kelahiran Tuhan dulu ditetapkan pada akhir Desember untuk memberikan makna Kristiani pada pesta kafir Sol invictus (Matahari tak terkalahkan). Bisa jadi tidaklah demikian; jika sudah pada bagian pertama abad ketiga Tertulianus menulis bahwa Kristus dikandung pada 25 Maret, hari di mana di beberapa Kalender ditandai sebagai hari pertama dalam tahun. Maka, bisa jadi bahwa pesta Natal dihitung dari tanggal itu. Bagaimanapun juga, dari abad keempat dan selanjutnya, banyak Bapa Gereja telah mengakui nilai simbolik dari kenyataan bahwa bagi mereka hari-hari menjadi lebih lama sesudah pesta Kelahiran. Pesta-pesta kafir yang mengangkat cahaya dalam kegelapan musim dingin tidaklah jarang, dan pesta-pesta cahaya pada musim dingin kadang-kadang masih dirayakan saat ini oleh orang-orang yang tidak beriman. Berbeda dengan semua itu, bacaan-bacaan dan doa-doa dari beragam liturgi Natal menggarisbawahi tema Terang sejati yang datang kepada kita dalam Yesus Kristus. Prefasi pertama Natal menyerukan, yang terarah kepada Allah Bapa: “Dalam misteri Sabda menjadi daging, telah bersinar pada mata akal budi kami terang baru kemuliaan-Mu.” Pengkhotbah hendaknya memberi perhatian pada dinamika ini, yakni terang dalam kegelapan, yang meliputi hari-hari sukacita ini. Berikut ini adalah suatu ringkasan keistimewaan tiap-tiap liturgi.
112. Misa Malam Natal. Meskipun perayaan Natal mulai dengan Misa ini, doa-doa dan bacaan-bacaan membangkitkan rasa penantian yang penuh semangat; dalam arti bahwa Misa ini merupakan inti sari seluruh masa Adven. Hampir semua doa terhubung dengan masa depan: “Besok kalian akan melihat kemuliaan-Nya” (antifon pembuka); “berilah agar kami bisa memandang tanpa takut, ketika akan datang Sang Hakim, Kristus Putera-Mu yang kami terima dalam pesta sebagai Penebus” (pembuka); “Besok akan dihancurkan dosa-dosa dunia” (bait pengantar Injil); “Berilah umat-Mu, Tuhan, untuk merayakan dengan semangat baru kurban ini, dalam vigili hari yang besar, yang telah memberikan awal bagi penebusan kami” (doa persembahan); “Besok akan diwahyukan kemuliaan Tuhan” (Antifon Sesudah Komuni). Bacaan-bacaan dari Nabi Yesaya pada Misa-misa Natal lain menggambarkan apa yang sedang terjadi, sementara perikop yang diwartakan pada Misa ini menceritakan apa yang akan terjadi. Bacaan kedua dan perikop Injil berbicara tentang Yesus sebagai Anak Daud dan tentang nenek-moyang yang telah menyiapkan jalan bagi kedatangan-Nya. Silsilah dari Injil Matius, dalam garis besar yang menggambarkan sketsa jalan panjang sejarah keselamatan yang memimpin kepada peristiwa yang akan kita rayakan, mirip dengan bacaan-bacaan dari Perjanjian Lama dalam Malam Paskah. Litani nama-nama meningkatkan perasaan penantian. Pada Misa Malam, kita bagaikan anak-anak yang menggenggam hadiah Natal, sambil menanti aba-aba yang mengizinkan kita untuk membukanya.
113. Misa Tengah Malam. Di tengah malam, sementara yang lain dari dunia ini sedang tidur, orang-orang Kristiani membuka hadiah itu, anugerah dari Sabda yang menjadi daging. Nabi Yesaya menyerukan: “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan telah melihat terang yang besar!” Ia melanjutkan dengan menunjuk pada kemenangan mulia pahlawan penakluk yang telah mematah-matahkan tongkat si penindas dan telah menjadikan alat-alat perang sebagai umpan api. Ia mewartakan bahwa kekuasaan dari Dia yang meraja akan luas dan dalam damai selamanya, dan akhirnya ia memberikan kepada-Nya gelar-gelar: “Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa Yang Kekal, Raja Damai.” Awal Injil menggarisbawahi keluhuran tokoh besar seperti itu dengan menyebut nama kaisar dan gubernur yang memerintah ketika Dia muncul dalam cerita. Narasi berlanjut dengan pemberitaan menakjubkan bahwa Raja Agung telah lahir di desa sederhana di pinggiran kekaisaran Romawi dan ibu-Nya “membungkus-Nya dengan lampin dan membaringkan-Nya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” Kekontrasan antara sang pahlawan penakluk yang digambarkan oleh Yesaya dan Sang Bayi yang tak berdaya dalam palungan, memunculkan semua paradoks Injil. Kesadaran akan paradoks ini secara mendalam berakar dalam hati semua umat beriman dan mendorong mereka ke gereja pada tengah malam ini. Jawaban yang tepat adalah untuk menyatukan rasa syukur kita dengan rasa syukur para malaikat yang nyanyiannya menggema di langit pada malam ini.
114. Misa Fajar. Bacaan-bacaan yang diusulkan untuk liturgi ini cukup singkat. Kita bagaikan mereka yang bangun pada terang fajar yang dingin, dengan bertanya-tanya apakah penampakan para malaikat pada tengah malam tadi hanyalah mimpi. Para gembala, dengan kebaikan bawaan khas dari orang-orang miskin, berkata satu sama lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” Mereka bergegas pergi dan menemukan persis seperti apa yang telah diwartakan oleh malaikat: pasangan yang miskin dan Anak mereka yang baru saja lahir, terbaring di palungan. Apa reaksi mereka pada pemandangan kemiskinan yang hina ini? Mereka kembali sambil memuliakan dan memuji Allah atas apa yang telah mereka lihat dan dengar dan semua yang mendengarnya terheran-heran atas apa yang telah mereka katakan. Para gembala melihat dan kita juga diundang untuk melihat sesuatu yang jauh lebih penting dari adegan yang sentimental ini, yang telah menjadi tema begitu banyak pertunjukan seni. Namun, realitas itu dapat dipahami hanya dengan mata iman dan terbit bersama terang hari, dalam liturgi berikutnya.
115. Misa Siang. Seperti matahari bersinar tinggi di atas langit, Prolog Injil Yohanes menerangi identitas Bayi di palungan. Penginjil menegaskan: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Sebelumnya, sebagaimana diingatkan oleh bacaan kedua, Allah telah berbicara dengan berbagai cara melalui para nabi, akan tetapi sekarang “pada zaman akhir ini, Allah telah berbicara kepada kita dengan pengantaraan Anak-Nya. Anak-Nya itulah yang ditetapkan-Nya sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dialah Allah menjadikan alam semesta, Dialah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.” Demikianlah kebesaran-Nya, sehingga para malaikat menyembah-Nya. Inilah undangan agar semua bersatu dengan mereka: “Hari ini cahaya gemilang turun ke dunia, dan fajar suci menyinari kita; marilah kita menyembah Tuhan.” (Bait pengantar Injil).
116. Sabda sudah menjadi daging untuk menebus kita berkat darah-Nya yang tertumpah dan meninggikan kita dengan Dia dalam kemuliaan kebangkitan. Murid-murid pertama mengakui kaitan erat antara Inkarnasi dan Misteri Paskah, sebagaimana ditunjukkan dalam himne yang dikutip dari Surat Santo Paulus kepada jemaat Filipi (2:5-11). Terang dari Misa Tengah Malam adalah terang yang sama dari Malam Paskah. Doa pembuka dari dua Hari Raya besar ini mulai dengan rumusan yang sangat mirip. Pada Natal, imam berdoa: “Allah dan Bapa kami, Engkau menjadikan malam yang amat kudus ini bermandikan sinar Terang Sejati”; dan pada Paskah: “Ya Allah, Engkau menyemarakkan malam yang amat suci ini dengan kebangkitan mulia Kristus Tuhan kami.” Bacaan kedua pada Misa Fajar menyajikan sintesis yang mengagumkan dari pewahyuan misteri Tritunggal dan keikutsertaan kita ke dalam misteri itu melalui pembaptisan: “Ketika kerahiman dan kasih Alah serta Juru Selamat kita telah nyata kepada manusia, kita diselamatkan oleh Allah… berkat permandian kelahiran kembali dan berkat pembaruan yang dikerjakan Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita lantaran Yesus Kristus, Juru Selamat kita. Dengan demikian, kita sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya berhak menerima hidup yang kekal sesuai dengan pengharapan kita.” Doa-doa yang diperuntukkan bagi Misa Siang berbicara tentang Kristus sebagai pencipta keturunan ilahi bagi kita dan tidak tentang bagaimana kelahiran-Nya menghadirkan rekonsiliasi yang membuat kita berkenan di mata Tuhan. Doa persiapan pembukaan, salah satu kekayaan paling kuno dari doa-doa Gereja, mengungkapkan secara sistematis mengapa Sabda menjadi daging: “Ya Allah, secara mengagumkan Engkau menciptakan manusia dengan martabat yang luhur, dan secara lebih mengagumkan lagi Engkau membaruinya dan menebus. Kami mohon perkenankanlah kami ikut serta dalam keilahian Kristus yang sudah berkenan menjadi manusia seperti kami.” Tujuan dasar homili adalah, sebagaimana sering dikatakan oleh Pedoman ini, untuk mewartakan misteri Paskah Kristus. Teks-teks Natal menawarkan kesempatan nyata untuk melakukannya.
117. Tujuan lain homili adalah untuk membimbing jemaat kepada korban Ekaristi, di mana misteri Paskah dihadirkan. Hal itu ditunjukkan dengan jelas dengan kata “hari ini”, yang sering terdapat dalam teks-teks liturgi Misa Natal. Misteri kelahiran Kristus hadir dalam perayaan ini, namun seperti pada kedatangan pertama, itu bisa dilihat hanya dengan mata iman. Bagi para gembala, “tanda” besar ini hanyalah kanak-kanak miskin yang terbaring di kandang, namun ketika pulang mereka memuliakan dan memuji Allah atas semua yang telah mereka lihat.
Dengan mata iman, kita harus memahami Kristus yang sama, yang hari ini lahir dalam rupa roti dan anggur. Doa pembuka Natal Siang menyebut “admirabile commercium” (pertukaran yang mengagumkan), di mana Kristus mengambil bagian dalam kemanusiaan kita dan kita ikut serta dalam keilahian-Nya, yang dinyatakan secara khusus dalam Ekaristi, sebagaimana ditunjukkan oleh doa-doa perayaan. Pada Tengah Malam kita mendoakan doa persembahan: “Ya Allah, berkenanlah menerima persembahan yang kami unjukkan pada hari raya ini. Semoga oleh pertukaran yang amat suci ini kami menjadi serupa dengan Kristus, dan dalam Dia kami bersatu dengan Dikau.” Pada Misa Fajar: “Ya Allah, kami mohon, semoga persembahan ini pantas bagi misteri kelahiran yang kami rayakan hari ini. Engkau yang dalam Natal telah mewahyukan kepada kami Kristus manusia dan Allah, buatlah agar dalam roti dan anggur yang dipersembahkan kepada-Mu, kami mengambil bagian dalam hidup kekal-Nya.” Dan sekarang dalam Prefasi III Natal: “Dalam Dia sekarang bersinarlah dengan terang yang sepenuhnya pertukaran suci yang telah menebus kami: kelemahan kami dikenakan oleh Sang Sabda, manusia yang dapat mati diangkat pada martabat kekal, dan kami, bersatu dengan-Mu dalam persekutuan mengagumkan, mengambil bagian dalam hidup-Mu yang tak dapat mati.”
118. Referensi pada kekekalan itu menyentuh tema lain yang terus berulang dalam teks-teks Natal: perayaan hanyalah suatu jeda sejenak dalam peziarahan kita. Pesan eskatologis, yang begitu jelas dalam Masa Adven, menemukan pengungkapannya juga di sini. Dalam doa pembuka Malam Natal kita berdoa kepada Allah: “berilah agar kami bisa memandang tanpa takut, ketika Ia datang sebagai Hakim, Kristus Putra-Mu yang kami terima dalam pesta sebagai Penebus.” Dalam bacaan kedua Misa Tengah Malam, Rasul Paulus berseru “supaya meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi, dan supaya kita hidup bijaksana, adil, dan beribadah, di dalam dunia sekarang ini, dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia, dan penyataan kemuliaan Allah Yang Mahabesar dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” Dan pada akhirnya, dalam Doa Sesudah Komuni pada Misa Natal Siang, kita mohon agar Kristus, yang telah menjadikan kita anak-anak Allah, yang lahir pada hari ini, “memberi kita hidup abadi.”
119. Bacaan-bacaan dan doa-doa perayaan Natal menawarkan suatu santapan yang kaya kepada umat Allah peziarah dalam hidup ini; mewahyukan Kristus yang adalah Terang dunia dan mengundang kita masuk ke dalam misteri Paskah penebusan kita melalui “hari ini”-nya perayaan Ekaristi. Pengkhotbah bisa menyajikan perjamuan itu kepada umat Allah yang berkumpul untuk merayakan kelahiran Tuhan, dengan mengajak untuk meneladan Maria, Bunda Yesus, yang “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Injil, Misa Natal Fajar).
B. Pesta Keluarga Kudus
120. “Pada hari Minggu pada oktaf Natal, yang merupakan Pesta Keluarga Kudus, Injil menyoroti masa kanak-kanak Yesus, dan bacaan-bacaan lainnya menyoroti keutamaan-keutamaan hidup berkeluarga” (OLM 95). Para Penginjil, sebenarnya tidak menceritakan apa pun tentang hidup Yesus dari kelahiran sampai awal pelayanan publik-Nya; sedikit yang disampaikan kepada kita, kita dengarkan dalam perikop-perikop Injil yang disampaikan untuk pesta ini. Keajaiban-keajaiban sekitar kelahiran Penyelamat perlahan menghilang, dan Keluarga Kudus menghayati kehidupan rumah tangga yang sangat biasa, menawarkan kepada keluarga-keluarga sebuah model untuk diteladan, sebagaimana disampaikan oleh doa-doa perayaan ini.
121. Saat ini, di berbagai belahan dunia, institusi keluarga menghadapi tantangan-tantangan besar dan tepatlah bagi pengkhotbah untuk berbicara tentang hal ini. Namun, lebih dari sekadar memberikan seruan moral tentang nilai-nilai keluarga, pengkhotbah hendaknya, bertolak dari bacaan-bacaan hari ini, berbicara tentang keluarga Kristiani sebagai sekolah pemuridan. Kristus, yang kelahiran-Nya kita rayakan, datang ke dunia untuk melakukan kehendak Bapa: suatu ketaatan, patuh-setia akan bisikan Roh Kudus, harus menemukan tempat di dalam setiap keluarga Kristiani. Yusuf taat kepada malaikat dan memimpin Anak dan Ibunya ke Mesir (Tahun A); Maria dan Yusuf taat pada Hukum dengan mempersembahkan Bayinya ke Bait Allah (Tahun B) dan dengan berjalan menuju Yerusalem untuk perayaan pesta Paskah Ibrani (Tahun C). Yesus, di lain pihak, taat kepada orangtua duniawi-Nya, namun keinginan-Nya untuk tinggal di rumah Bapa lebih besar (Tahun C). Sebagai orang-orang Kristiani kita adalah anggota dari keluarga yang lain, yang berkumpul sekeliling meja keluarga altar untuk diberi makan dari korban yang telah terlaksana karena Kristus telah taat sampai mati. Hendaknya kita memandang keluarga-keluarga kita sebagai Gereja rumah tangga, dimana dihidupi model kasih persembahan diri, yang kita timba dari Ekaristi. Dengan demikian, semua keluarga Kristiani terbuka ke luar untuk mengambil bagian dalam keluarga Yesus yang baru dan lebih besar: “Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Mrk 3:35).
122. Pemahaman akan makna Kristiani hidup berkeluarga membantu pengkhotbah menjelaskan bacaan yang diambil dari Surat Santo Paulus kepada jemaat di Kolose. Perintah Rasul bahwa istri-istri hendaknya taat kepada suaminya dapat mengguncangkan orang-orang zaman sekarang; jika pengkhotbah berpikir untuk tidak berbicara tentang perintah itu, akan lebih bijaksana mengambil versi pendek bacaan ini. Namun, bagian-bagian Kitab Suci yang sulit sering kali pada sebagian besar kasus banyak mengajar kita dan kasus khusus itu menawarkan kepada pengkhotbah kesempatan untuk menghadapi suatu tema yang mungkin tidak sesuai dengan pendengar modern, namun yang nyatanya menyajikan sesuatu yang bernilai dan perlu jika dipahami dengan tepat. Rujukan pada suatu teks yang serupa, yang diambil dari Surat Santo Paulus kepada jemaat di Efesus (5:21–6:4), memungkinkan kita untuk mendalami maknanya. Di situ Paulus membicarakan tanggung jawab timbal balik dalam hidup keluarga. Kalimat kunci adalah: “rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus” (Ef 5:21). Keaslian ajaran Rasul tidak terletak pada fakta bahwa istri-istri harus tunduk kepada suaminya; kondisi yang diterima begitu saja dalam budaya waktu itu. Apa yang baru, dan khas Kristiani adalah, pertama bahwa ketundukan itu hendaknya timbal balik: jika istri harus taat kepada suaminya, suaminya harus demikian juga sebaliknya, seperti Kristus, menyerahkan hidupnya sendiri untuk istrinya. Kedua, alasan ketundukan timbal balik itu bukan sekadar demi keharmonisan dalam keluarga atau kebaikan masyarakat: melainkan dilakukan oleh karena hormat pada Kristus. Dengan kata lain, ketundukan timbal balik dalam keluarga merupakan ungkapan pemuridan Kristiani; rumah keluarga adalah, atau hendaknya, menjadi tempat di mana kita mengungkapkan cinta kita untuk Allah dengan mengorbankan hidup kita kepada satu sama lain. Pengkhotbah bisa melontarkan tantangan kepada para pendengar agar mereka menyadari kasih persembahan diri ini dalam relasi mereka, yang merupakan inti dari hidup dan perutusan Kristus, yang dirayakan dalam “perjamuan kekeluargaan” Ekaristi.
C. Hari Raya Santa Maria Bunda Allah
123. “Pada Oktaf Natal dan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah, bacaan-bacaan berbicara tentang Perawan Bunda Allah dan pemberian Nama Amat Suci Yesus” (OLM 95). Pesta ini menutup pekan perayaan pesta Natal dan di banyak tempat di dunia menandai juga awal Tahun Baru. Bacaan-bacaan dan doa-doa menawarkan kesempatan untuk mempertimbangkan, sekali lagi, identitas sang Bayi yang kelahiran-Nya sedang kita rayakan. Dia sungguh Allah dan sungguh Manusia. Gelar kuno Theotokos (Bunda Allah) menegaskan baik kodrat kemanusiaan maupun keilahian Kristus. Dia adalah Penyelamat kita (Yesus, nama yang diterima-Nya saat disunat, tapi sudah diberikan kepada-Nya oleh Malaikat sebelum dikandung). Dia menyelamatkan kita dengan lahir di bawah Hukum dan menebus kita melalui darah-Nya yang tertumpah. Ritus sunat merayakan masuknya Yesus ke dalam perjanjian dan meramalkan “Darah dari perjanjian baru dan kekal, yang akan ditumpahkan bagimu dan bagi banyak orang demi pengampunan dosa.” Peran Maria di dalam karya penyelamatan juga menjadi tema sentral liturgi ini, baik dalam relasinya dengan Kristus yang menerima kodrat kemanusiaan darinya, maupun relasi dengan anggota-anggota Tubuh-Nya: ia adalah Bunda Gereja yang menjadi pengantara kita. Akhirnya, perayaan Tahun Baru menawarkan kesempatan untuk bersyukur atas berkat-berkat yang diterima dalam tahun yang baru lewat, dan berdoa agar di tahun depan kita, seperti Maria, akan bekerja sama dengan Allah dalam penerusan perutusan Kristus. Doa persembahan menyatukan dengan baik berbagai untaian itu: “Ya Allah, yang dalam penyelenggaraan-Mu memberi awal dan pemenuhan bagi semua yang baik di dunia ini, buatlah agar dalam perayaan Maria Bunda Allah ini kami mengecap awal dari cinta belaskasih-Mu untuk menikmati buah-buahnya dengan sukacita. Demi Kristus Tuhan kami.”
D. Hari Raya Penampakan Tuhan
124. Tiga dimensi Hari Raya Penampakan (kunjungan para Majus, Pembaptisan Kristus dan Mukjizat di Kana) sangat jelas dalam Ibadat Harian Penampakan, dan hari-hari sekitar Hari Raya itu. Namun dalam tradisi Latin, liturgi Ekaristi terpusat pada Injil tentang para Majus. Minggu berikutnya, pesta Pembaptisan Tuhan memberi perhatian khusus pada dimensi Penampakan Tuhan. Pada Tahun C, Hari Minggu sesudah Pembaptisan, disampaikan Injil tentang kisah perkawinan di Kana.
125. Tiga bacaan pada Misa Penampakan menyajikan tiga jenis (genre) kesusastraan Kitab Suci. Bacaan pertama dari Yesaya adalah puisi sorak kegembiraan. Bacaan kedua, dari surat Santo Paulus kepada jemaat di Efesus, adalah suatu pernyataan teologis yang tepat yang disampaikan dalam bahasa yang nyaris teknis dari Paulus. Bacaan Injil adalah suatu narasi dramatis dari peristiwa-peristiwa, di mana tiap-tiap detailnya dipenuhi makna simbolis. Bersama-sama semuanya itu mengungkapkan pesta dan menggambarkan Epifania. Mendengarkan pewartaan mereka dan, dengan bantuan Roh, memahami mereka lebih dalam, itulah perayaan Epifani. Sabda Suci Allah membuka kepada dunia seluruhnya makna fundamental kelahiran Yesus Kristus. Natal, yang berawal pada 25 Desember, mencapai puncaknya hari ini dalam Epifani: Kristus menampakkan diri kepada semua bangsa.
126. Pengkhotbah bisa mulai dengan perikop dari Santo Paulus, cukup pendek namun sangat kuat, yang menawarkan pernyataan tepat tentang apa itu Epifania. Paulus menyampaikan perjumpaan pribadinya dengan Yesus yang bangkit dalam perjalanan ke Damsyik, dan dari situ mengalir semuanya. Ia menjelaskan apa yang terjadi padanya sebagai suatu “pewahyuan”, yakni suatu pemahaman baru dan tak terduga akan kejadian-kejadian, yang disampaikan dengan kuasa ilahi dalam perjumpaan dengan Tuhan Yesus, maka bukan sekadar suatu pendapat pribadi. Santo Paulus menyebut pewahyuan itu juga “rahmat” dan “perutusan”, suatu harta yang dipercayakan kepadanya demi kebaikan orang lain. Selain itu, ia menggambarkan apa yang telah dikomunikasikan kepadanya sebagai “misteri”. “Misteri” itu adalah sesuatu yang tidak diketahui pada masa lalu, sesuatu yang tersembunyi dari pemahaman kita, dengan cara tertentu tersembunyi dalam peristiwa-peristiwa, namun sekarang –persis inilah pewartaan Paulus!– sekarang disingkapkan, sekarang menjadi diketahui. Apa artinya tersembunyi bagi generasi-generasi yang lalu dan sekarang disingkapkan? Itulah persisnya penegasan Epifania: “Bangsa-bangsa telah dipanggil, dalam Kristus Yesus, untuk ambil bagian (dengan bangsa Yahudi), warisan yang sama, untuk membentuk tubuh yang sama, dan telah diikutsertakan pada janji yang sama dengan pengantaraan Injil.” Hal ini merupakan titik balik yang amat besar dalam cara pemahaman Saulus, seorang Farisi yang bersemangat, yang pernah yakin bahwa ketaatan yang teliti pada Hukum Yahudi adalah satu-satunya jalan keselamatan. Namun sekarang Paulus mewartakan “Injil”, kabar baik yang tak terduga dalam Kristus Yesus. Ya, Yesus adalah penggenapan semua janji Allah kepada bangsa Yahudi; sungguh, Dia tidak bisa dipahami tanpa janji-janji itu. Namun sekarang, “Bangsa-bangsa telah dipanggil, dalam Kristus Yesus, untuk ambil bagian (dengan bangsa Yahudi), warisan yang sama, untuk membentuk tubuh yang sama, dan telah diikutsertakan pada janji yang sama dengan pengantaraan Injil.”
127. Nyatanya, peristiwa-peristiwa yang ditunjukkan dalam cerita Matius, yang dipilih untuk Hari Raya Penampakan, merupakan aktualisasi dari apa yang dikatakan Paulus dalam suratnya. Dibimbing oleh bintang, para Majus, orang-orang bijak religius dari Bangsa asing, sampai ke Yerusalem. Mereka adalah orang-orang terpelajar dalam tradisi-tradisi kebijaksaan yang luhur, dimana segenap umat manusia dengan kerinduan besar mencari kembali Pencipta yang tak dikenal dan Tuhan dari segala hal. Mereka mewakili semua bangsa, dan mereka telah menemukan jalan mereka ke Yerusalem, tidak dengan mengikuti Kitab Suci Yahudi, tetapi suatu tanda mengagumkan di langit, yang telah menunjukkan bahwa sesuatu peristiwa kosmik penting telah terjadi. Kebijaksanaan mereka yang bukan Yahudi telah memungkinkan para Majus untuk mengerti banyak hal. “Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.” Namun demikian, pada tahap akhir perjalanan mereka, untuk sampai pada kesimpulan yang tepat dari pencarian mereka, mereka membutuhkan Kitab Suci Yahudi, petunjuk-petunjuk Nabi tentang Betlehem, tempat kelahiran Mesias. Setelah belajar tentang hal ini dari Kitab Suci Yahudi, tanda kosmik sekali lagi menunjukkan jalan kembali. “Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada.” Di dalam diri para Majus, kerinduan akan Allah dari seluruh umat manusia sampai ke Betlehem, dengan menjumpai “Kanak-kanak Yesus dengan Maria, ibu-Nya.”
128. Pada narasi Matius inilah puisi Yesaya bisa dimasukkan sebagai komentar. Nada sukacita membantu mengerti keajaiban momen ini. Yesaya berseru “Bangkitlah, menjadi teranglah, hai Yerusalem! sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu.” Teks ini menurut aslinya terbentuk dalam konteks sejarah di mana orang-orang Israel membutuhkan kebangkitan dari masa kegelapan sejarah mereka. Namun sekarang, dengan diterapkan kepada para Majus di hadapan Yesus, pengharapan itu mencapai pemenuhannya dengan cara yang tak terbayangkan. Terang, kemuliaan, dan kecemerlangan: inilah bintang yang menuntun para Majus. Atau, lebih-lebih, Yesus sendiri adalah “terang segala bangsa dan kemuliaan bagi umat-Nya Israel.” “Bangkitlah hai Yerusalem”, kata Nabi. Ya, namun sekarang kita tahu melalui pewahyuan Santo Paulus, bahwa jika seruan itu tertuju pada Yerusalem –dan ini prinsip yang bisa diterapkan di manapun dalam Kitab Suci– referensi ini tidak semata-mata berarti kota historis dan duniawi. “Sebab bangsa-bangsa telah dipanggil untuk ambil bagian (dengan bangsa Yahudi), warisan yang sama.” Dan demikianlah, di bawah gelar “Yerusalem” seruan itu ditujukan kepada semua bangsa. Gereja, yang terkumpul dari berbagai bangsa, dipanggil “Yerusalem.” Setiap orang yang dibaptis, di kedalaman hatinya dipanggil “Yerusalem.” Dengan demikian terpenuhilah apa yang diramalkan dalam Mazmur: “Hal-hal yang mulia dikatakan tentang engkau, ya kota Allah” dan “Segala mata airku ada di dalammu” (Mzm 87:3,7).
129. Dan begitulah pada Hari Raya Penampakan kata-kata Nabi Yesaya yang menyentuh tertuju kepada setiap jemaat orang-orang Kristiani yang percaya. “Terangmu datang, hai Yerusalem!” Setiap orang beriman, dengan bantuan pengkhotbah, hendaknya merasakan kata itu di kedalaman hatinya! “Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi…; tetapi terang Tuhan terbit atasmu.” Pengkhotbah harus mendesak umat untuk meninggalkan jalan-jalan kemalasan dan pandangan-pandangan yang sempit terhadap pengharapan. “Angkatlah mukamu dan lihatlah ke sekeliling! Mereka semua datang berhimpun kepadamu.” Yakni, orang-orang Kristiani telah diberi apa yang dicari oleh seluruh dunia. Banyak bangsa akan datang kepada rahmat di mana kita telah menemukannya. Dengan tepat kita wartakan dalam Mazmur tanggapan: “Kiranya segala bangsa menyembah Engkau, ya Tuhan!”
130. Refleksi kita bisa kembali dari puisi Yesaya kepada narasi Matius. Para Majus merupakan contoh bagaimana mendekati sang Bayi. “Mereka… melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia.” Kita telah masuk dalam liturgi suci untuk melakukan hal yang sama. Pengkhotbah akan melakukan dengan baik untuk mengingatkan umat beriman, bahwa, ketika maju Komuni pada Hari Raya Penampakan, mereka hendaknya berpikir bahwa mereka akhirnya sampai ke tempat itu, dan di hadapan Pribadi, yang kepada-Nya bintang dan Kitab Suci telah menuntun mereka. Dan kemudian mempersembahkan kepada Yesus emas dari cinta kasih mereka satu sama lain, dupa dari iman mereka, yang dengannya mereka mengenal-Nya sebagai Allah-beserta-kita, dan mur yang melambangkan kehendak mereka untuk mati terhadap dosa dan dikuburkan dengan Dia untuk bangkit kepada kehidupan kekal. Dan lagi, seperti para Majus, mereka merasa disarankan untuk pulang melalui jalan lain. Mereka bisa melupakan Herodes, penipu yang kejam, dan apa saja yang dimintanya untuk dilakukan. Pada pesta ini mereka telah melihat Tuhan! “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu.” Pengkhotbah bisa lagi menyerukan kepada mereka, sebagaimana dibuat oleh Santo Leo berabad-abad lalu, untuk mencontoh pelayanan si bintang. Seperti bintang dengan terangnya membawa bangsa-bangsa kepada Kristus, demikian pula umat berkat terang imannya, pujian, dan perbuatan-perbuatan yang baik hendaknya bersinar di dalam kegelapan dunia seperti sebuah bintang terang. “Kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang Tuhan terbit atasmu”.
E. Pesta Pembaptisan Tuhan
131. Pesta Pembaptisan Tuhan, perpanjangan dari Hari Raya Penampakan, menutup Masa Natal dan membuka Masa Biasa. Sementara Yohanes membaptis Yesus di sungai Yordan, terjadilah sesuatu yang hebat. Langit terbelah, terdengar suara Bapa dan Roh Kudus turun dalam bentuk kelihatan di atas Yesus. Itulah perwujudan misteri Tritunggal Kudus. Akan tetapi mengapa penglihatan itu terjadi pada saat Yesus dibaptis? Pengkhotbah harus menjawab pertanyaan ini.
132. Penjelasan terletak dalam tujuan Yesus datang kepada Yohanes dan dibaptis olehnya. Yohanes sedang mengajarkan suatu baptisan pertobatan. Yesus menerima tanda pertobatan itu bersama dengan orang banyak yang datang kepada Yohanes. Pada mulanya, Yohanes berusaha mencegah-Nya, namun Yesus tetap mendesak. Desakan-Nya ini mengungkapkan maksud-Nya: menjadi solider dengan para pendosa. Ia bermaksud berdiri di mana mereka berdiri. Hal yang sama diungkapkan oleh Santo Paulus dengan bahasa yang berbeda: “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” (2Kor 5:21).
133. Persis pada momen solidaritas mendalam dengan para pendosa, epifania Trinitaris terjadi. Suara Bapa bergemuruh dari surga menyatakan: “Engkaulah Anak yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” Kita harus mengerti bahwa apa yang menyenangkan Bapa terletak persis dalam kehendak Putra untuk menjadi solider dengan para pendosa. Dengan cara ini Ia menyatakan diri sebagai Anak dari Bapa itu, yakni Bapa yang “begitu mengasihi dunia sehingga memberikan Anak-Nya yang tunggal” (Yoh 3:16). Pada saat itu juga Roh Kudus tampak seperti seekor burung merpati, yang turun atas Sang Putra, dengan memeteraikan semacam persetujuan dan pemberian kuasa pada peristiwa yang tak terduga.
134. Roh Kudus yang telah membentuk adegan itu, dengan mempersiapkannya selama berabad-abad yang panjang dari sejarah Israel – “telah berbicara dengan perantaraan para nabi”, sebagaimana kita nyatakan dalam Credo – hadir pada pengkhotbah dan para pendengarnya: membuka pikiran mereka bagi suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang apa yang terjadi. Roh yang sama telah mendampingi Yesus pada setiap saat kehidupan-Nya di dunia, dengan memberikan pada setiap tindakan-Nya pewahyuan Bapa. Maka, kita bisa mendengarkan teks Nabi Yesaya hari ini sebagai perluasan kata-kata Bapa di dalam hati Yesus: “Engkau adalah Anakku, yang Kukasihi.” Dialog kasih mereka berlanjut: “Engkau adalah orang pilihan-Ku, yang kepada-Nya Aku berkenan. Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya. Aku, Tuhan, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan. Aku telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa.”
135. Dalam Mazmur Tanggapan pada pesta ini diperdengarkan kata-kata dari Mazmur 29: “Suara Tuhan di atas air.” Gereja menyanyikan Mazmur itu sebagai perayaan kata-kata Bapa di mana kita mendapat keistimewaan untuk mendengarkannya dan mendengarkannya itu adalah pesta kita. “Anakku, yang Kukasihi: pada-Mu Aku berkenan!” – inilah “suara Tuhan di atas air, Tuhan di atas air yang besar. Suara TUHAN penuh kekuatan, suara TUHAN penuh semarak” (Mzm 29:3-4).
136. Sesudah pembaptisan, Roh Kudus menuntun Yesus ke dalam padang gurun untuk dicobai Setan. Selanjutnya Yesus, masih dan selalu dipimpin oleh Roh, pergi ke Galilea di mana Ia mewartakan Kerajaan Allah. Selama khotbah-Nya yang memukau, ditandai dengan mukjizat-mukjizat mengagumkan, Yesus berkata sekali lagi: “Aku harus menerima baptisan, dan betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung!” (Luk 12:50). Dengan kata-kata ini Dia menunjuk pada kematian-Nya yang segera datang di Yerusalem. Dengan cara ini kita mengetahui bahwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes bukan pembaptisan definitif, melainkan suatu tindakan simbolis dari apa yang akan disempurnakan dalam pembaptisan dari penderitaaan terakhir dan kematian-Nya di kayu salib. Karena di atas saliblah Yesus mewahyukan diri-Nya, tidak dalam bentuk-bentuk simbol, namun secara konkret dan dalam solidaritas penuh dengan para pendosa. Di atas saliblah bahwa “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” (2Kor 5:21) dan bahwa “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita” (Gal 3:13). Di sanalah Ia turun ke dalam khaos air di bawah bumi dan membasuh dosa-dosa kita selamanya. Namun dari salib dan dari kematian, Yesus juga diangkat keluar dari air, dipanggil kepada kebangkitan oleh suara Bapa yang berkata: “Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini?” dan “Aku akan menjadi Bapa-Nya, dan Ia akan menjadi Anak-Ku?” (Ibr 1:5). Adegan wafat dan kebangkitan adalah suatu mahakarya yang ditulis dan diarahkan oleh Roh. Suara Tuhan di atas air bah kematian, dengan kekuatan dan kekuasaan, membangkitkan kembali Anak-Nya dari kematian. “Suara Tuhan adalah kekuatan, suara Tuhan adalah kekuasaan”.
137. Pembaptisan Yesus adalah model juga bagi pembaptisan kita. Dalam pembaptisan, kita diturunkan bersama dengan Kristus ke dalam air kematian, di mana dosa-dosa kita dibersihkan. Dan sesudah ditenggelamkan bersama Dia, dengan Dia kita diangkat keluar dari air dan mendengar –dengan kuat dan kuasa– suara Bapa yang tertuju juga kepada kita, di relung terdalam hati kita, mengucapkan sebuah nama baru kepada tiap-tiap kita: “Yang terkasih! Kepadanya Aku berkenan.” Kita merasa nama itu seperti nama kita, bukan karena perbuatan-perbuatan baik yang telah kita lakukan, namun karena Kristus, dalam kasih-Nya yang tanpa batas, Ia sungguh ingin berbagi dengan kita relasi-Nya dengan Bapa.
138. Ekaristi yang dirayakan pada pesta ini mengambil inspirasinya dari, dengan cara tertentu, peristiwa-peristiwa yang sama. Roh muncul melayang-layang di atas persembahan roti dan anggur yang dibawa umat beriman. Kata-kata Yesus –”Inilah Tubuh-Ku, inilah Darah-Ku”– mewartakan maksud-Nya untuk menerima pembaptisan kematian untuk keselamatan kita. Dan umat berdoa “Bapa Kami” bersama dengan Putra, sebab dengan Dia ia merasa ditujukan kepadanya suara Bapa yang menyebut Sang Anak “Yang Terkasih.”
139. Suatu saat, dalam perjalanan pelayanan-Nya, Yesus berkata: “Barangsiapa percaya kepada-Ku; seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.” Air hidup itu telah mulai mengalir di dalam diri kita dengan pembaptisan, dan menjadi aliran yang semakin besar di setiap perayaan Ekaristi.
V. Hari-Hari Minggu Masa Biasa
140. Masa Adven, Natal, Prapaskah dan Paskah memiliki karakter khusus, dan bacaan-bacaan yang disediakan untuk masa-masa ini memiliki keharmonisan melekat yang mengalir dari karakter itu. Hal itu berbeda dengan Hari-hari Minggu Masa Biasa, sebagaimana tampak jelas dalam Prakata Lectionarium: “Sebaliknya, dalam hari-hari Minggu Biasa, yang tidak menampakkan ciri khas, di situ baik bacaan dari tulisan para rasul maupun bacaan Injil diatur menurut susunan semi kontinu, sedangkan bacaan dari Perjanjian Lama secara tematis berkaitan dengan Injil” (OLM 67).
Para penyusun Lectionarium dengan sengaja menolak ide untuk memberikan suatu “tema” pada tiap-tiap hari Minggu dalam tahun dan untuk memilih bacaan-bacaan yang sesuai: “Sebab penyusunan tematis itu bertentangan dengan pengertian asli mengenai perayaan liturgis, yakni selalu merayakan misteri Kristus. Secara tradisional perayaan liturgis menggunakan Kitab Suci, bukan hanya tergerak oleh kecemasan atau pertimbangan ekstrem, melainkan oleh rasa tanggung jawab harus mewartakan Injil dan menuntun para beriman kepada seluruh kebenaran” (OLM 68).
Setia kepada perintah Konsili Vatikan Kedua, yang telah menunjukkan bagaimana “naskah-naskah dan upacara-upacara harus diatur sedemikian rupa sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkan” (SC 21), Lectionarium tiga tahunan dari Masa Biasa menyajikan kepada umat beriman misteri Kristus sedemikian seperti diceritakan dalam Injil Matius, Markus, dan Lukas. Pengkhotbah, dengan memberi perhatian pada struktur bacaan-bacaan Masa Biasa, bisa memperoleh suatu bantuan bagi persiapannya. Pedoman, pada poin ini, mengingatkan apa yang dikatakan oleh Prakata tentang struktur ini, yang bertolak dari Injil.
141. Setelah menandai kembali bahwa hari Minggu II Masa Biasa melanjutkan tema Penampakan Tuhan, yang dirayakan dengan Hari Raya Penampakan dan Pesta Pembaptisan Tuhan, Prakata meneruskan:
“Dari hari Minggu Biasa III mulailah bacaan semi-kontinu dari Injil-Injil Sinoptik. Bacaan-bacaan itu diatur sedemikian rupa, agar menampilkan ajaran yang khas bagi tiap-tiap Injil selama hidup dan pewartaan Tuhan.
Di samping itu, lewat pembagian ini diperoleh keselarasan antara amanat tiap-tiap Injil dengan alur Tahun Liturgi. Sebab sesudah Penampakan dibacakan awal pewartaan Tuhan, yang langsung berkaitan dengan Pembaptisan dan penampilan-penampilan pertama Kristus. Sedangkan pada akhir Tahun Liturgi dengan sendirinya muncul tema eskatologis yang mewarnai hari-hari Minggu terakhir; sebab tema ini dibahas cukup luas dalam bab-bab Injil yang mendahului Kisah Sengsara” (OLM 105).
Maka, ada pola umum yang diikuti oleh tiga siklus: minggu-minggu pertama menyajikan awal misi publik Kristus, minggu-minggu terakhir memiliki tema eskatologis, dan minggu-minggu di antaranya menyajikan berbagai peristiwa dan pengajaran dari hidup Tuhan kita.
142. Setiap tahun adalah khas, karena menyampaikan pengajaran yang tepat untuk setiap Injil sinoptik. Pengkhotbah hendaknya bertahan terhadap godaan untuk mempertimbangkan perikop-perikop Injil hari Minggu sebagai kesatuan mandiri: kesadaran akan struktur keseluruhan dan unsur-unsur khas tiap-tiap Injil bisa memperdalam pemahamannya terhadap teks.
143. Tahun A: Matius menyampaikan pelayanan publik Yesus dengan cara yang tersusun dengan amat baik. Ada lima khotbah, masing-masing didahului dengan materi naratif. Lectionarium setia pada struktur ini.
1 – Khotbah di Bukit (Minggu Biasa IV sampai IX) didahului oleh panggilan murid-murid pertama (Minggu Biasa III).
2 – Khotbah perutusan (Minggu XI – XIII) didahului dengan panggilan Matius.
3 – Khotbah dalam perumpamaan (Minggu XV – XVII) didahului pewartaan Kabar Baik yang diwahyukan kepada orang-orang sederhana.
4 – Khotbah tentang hidup dalam Gereja (Minggu XXIII – XXIV) didahului narasi tentang mukjizat-mukjizat, tentang pengakuan Petrus dan pewartaan Sengsara.
5 – Khotbah eskatologis (Minggu XXXII –XXXIV), didahului dengan narasi tentang perumpamaan dan peristiwa-peristiwa yang mencakup penerimaan atau penolakan terhadap Kerajaan Allah.
Kesadaran akan struktur ini memampukan pengkhotbah untuk mengaitkan apa yang dikatakannya dalam homili-homili selama periode beberapa minggu, dan juga membantu umatnya menghargai relasi absolut antara hidup dan pengajaran Yesus, seperti telah dijelaskan penginjil pertama melalui pola narasi dan ceramahnya.
144. Tahun B: Meskipun tidak memiliki pengaturan yang kompleks dari dua Injil sinoptik lainnya, cerita Markus memiliki dinamismenya sendiri, dan dapat ditampilkan oleh pengkhotbah dari waktu ke waktu dalam berbagai kesempatan dalam tahun. Awal pelayanan Yesus disambut dengan antusiasme tinggi (Minggu III – IX), namun pertentangan segera muncul (Minggu X). Bahkan para pengikut-Nya sendiri salah mengerti tentang Dia, karena harapan-harapan mereka diletakkan pada Mesias duniawi. Titik balik pelayanan publik Yesus dalam cerita Markus datang dari pengakuan iman Petrus, pewartaan pertama akan Sengsara-Nya, dan penolakan Petrus terhadap rencana itu (Minggu XXIV –XXV). Kesalahpahaman yang terjadi dalam Injil ini, karena Yesus terus mengatakan dan melakukan hal-hal yang membingungkan dan menjadi skandal bagi para pendengarnya, memberi pelajaran yang bermanfaat bagi umat Kristiani yang berkumpul setiap minggu untuk mendengarkan Sabda Tuhan – misteri Kristus selalu menantang harapan-harapan kita. Ciri khas penting lain pada Tahun B adalah penyajian kisah Santo Yohanes tentang penggandaan roti dan ikan, dengan khotbah berikutnya tentang roti hidup (Minggu XVII – XXI). Ini menawarkan kepada pengkhotbah kesempatan untuk mewartakan Kristus selama beberapa minggu, sebagai roti hidup yang memberi kehidupan kepada kita, baik dengan sabda-Nya maupun tubuh dan darah-Nya.
145. Tahun C: pengajaran yang tepat dari Injil Lukas pertama-tama adalah kelembutan dan belas kasih, ciri khas pelayanan Kristus. Dari awal perutusan-Nya sampai mendekati Yerusalem, mereka yang bertemu Yesus, dari Petrus (Minggu V) sampai Zakheus (Minggu XXXI), menjadi sadar bahwa mereka mem-butuhkan pengampunan dan belas kasih Allah. Banyak kisah Injil Lukas, sepanjang Tahun, menggambarkan tema-tema belas kasih ilahi: wanita pendosa (Minggu XI), orang Samaria yang baik hati (Minggu XV), domba yang hilang dan anak yang hilang (Minggu XXIV), pencuri yang baik (Minggu XXXIV). Ada juga nasihat-nasihat bagi mereka yang tidak menunjukkan belas kasih: sabda kutukan dan sabda bahagia (Minggu VI), orang kaya yang bodoh (Minggu XVIII), orang kaya dan Lazarus (Minggu XXVI). Ditulis untuk bangsa-bangsa lain, Injil Lukas menekankan bagaimana belas kasih Allah menjangkau melampaui bangsa pilihan-Nya untuk merangkul mereka yang sebelumnya dikecualikan. Tema ini sering muncul pada hari-hari Minggu ini, dan sebagai peringatan bagi kita yang berkumpul untuk merayakan Ekaristi: kita telah menerima belas kasih melimpah dari Kristus, maka dari itu kita tidak bisa membatasi belas kasih kita kepada sesama.
146. Berkaitan dengan bacaan-bacaan dari Perjanjian Lama pada Masa Biasa, Prakata Lectionarium mengatakan:
“Bacaan-bacaan ini dipilih dalam hubungan dengan kutipan Injil, dengan tujuan: Supaya dalam masing-masing misa bacaan-bacaannya jangan terlalu simpang siur; dan terutama supaya kesatuan antara kedua Perjanjian itu ditampakkan. Hubungan antara bacaan-bacaan Misa yang bersangkutan ditunjukkan dengan mencantumkan di atas masing-masing bacaan semacam judul yang dipilih dan dirumuskan dengan cermat.
Diusahakan supaya dipilih bacaan yang singkat dan mudah. Di samping itu, juga diusahakan supaya sebanyak mungkin kutipan pokok yang penting dari Perjanjian Lama dibacakan pada hari-hari Minggu. Kutipan-kutipan ini dipencarkan seturut keperluan Injil, tanpa urutan logis. Jadi, khazanah Firman Allah menjadi begitu terbuka, sehingga hampir semua kutipan pokok Perjanjian Lama dapat dikenal oleh semua orang beriman yang pada hari-hari Minggu ikut merayakan Ekaristi” (OLM 106).
Contoh-contoh yang telah diberikan dalam Pedoman untuk Masa Adven/Natal dan Prapaskah/Paskah menggambarkan cara-cara pengkhotbah dapat menghubungkan bacaan-bacaan dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dengan menunjukkan bagaimana semua itu menyatu pada pribadi dan perutusan Yesus Kristus. Hendaknya tidak mengabaikan Mazmur Tanggapan, karena ini juga dipilih selaras dengan bacaan Injil dan Perjanjian Lama. Pengkhotbah tidak boleh mengandaikan bahwa umat dengan sendirinya mengetahui kaitan-kaitan itu, namun sebaliknya harus ditunjukkan dalam homili. Prakata Lectionarium menarik perhatian juga pada judul-judul yang dipilih untuk tiap-tiap bacaan, dengan menjelaskan bahwa itu telah dipilih dengan saksama baik untuk menunjukkan tema utama dari bacaan, maupun juga, jika dibutuhkan, untuk menekankan kaitan antara bacaan-bacaan Misa yang sama itu (bdk. OLM 123)
147. Akhirnya, ada bacaan-bacaan dalam Masa Biasa yang diambil dari Kisah Para Rasul:
“Untuk epistola disediakan bacaan semi-kontinyu dari surat-surat Paulus dan Yakobus (Surat-surat Petrus dan Yohanes dibacakan dalam Masa Paskah dan Natal).
Surat Pertama kepada Umat di Korintus cukup panjang dan mengenai aneka masalah; maka surat ini dijabarkan ke dalam ketiga lingkaran Tahun, pada awal Masa Biasa. Begitupun dirasa baik membagi Surat kepada orang Ibrani dalam dua bagian, sebagian dibacakan dalam Tahun B, sebagian lagi dalam Tahun C.
Hanya bacaan-bacaan yang singkat dan tidak terlalu sulit untuk dimengerti oleh umat beriman yang dipilih” (OLM 107).
Sebagai tambahan dari semua yang sudah dikatakan oleh Prakata, perlulah dua tinjauan lain tentang susunan teks dari Para Rasul. Pertama, selama minggu-minggu terakhir Tahun Liturgi kita mendengarkan Surat Pertama dan Kedua kepada Jemaat Tesalonika, dimana disampaikan tema-tema eskatologis yang selaras dengan bacaan-bacaan dan teks-teks liturgi Minggu-Minggu ini. Kedua, Surat pengajaran Santo Paulus kepada jemaat Roma merupakan bagian utama pada Siklus A dari Minggu IX sampai XXV. Mengingat pentingnya Surat ini, dan tempat khususnya dalam Lectionarium, pengkhotbah bisa memberi perhatian khusus terhadapnya pada hari-hari Minggu Masa Biasa ini.
148. Harus diakui bahwa bacaan-bacaan dari surat para Rasul menimbulkan semacam dilema, karena tidak dipilih untuk diselaraskan dengan Injil maupun Perjanjian Lama. Ada kesempatan-kesempatan di mana bacaan-bacaan itu secara eksplisit mempunyai kesesuaian dengan bacaan-bacaan lain, kendati itu tidak sering terjadi, dan pengkhotbah tidak harus memaksa untuk mencari kesesuaian dengan bacaan-bacaan lain. Namun, sah-sah saja bahwa kadangkala ia berkhotbah pertama-tama tentang bacaan kedua, mungkin dengan menggunakan beberapa hari Minggu untuk mendalami salah satu Surat Rasul.
149. Fakta bahwa hari-hari Minggu pada Masa Biasa tidak mempunyai keharmonisan intrinsik, bisa memberikan tantangan bagi pengkhotbah, namun tantangan itu menawarkan kepadanya kesempatan untuk sekali lagi menggarisbawahi tujuan utama homili: “Misteri Paskah Kristus yang diwartakan dalam bacaan-bacaan serta homili itu diaktualisasikan oleh kurban Ekaristi” (OLM 24). Pengkhotbah tidak harus merasa perlu untuk menyinggung setiap bacaan, atau membuat jembatan penghubung di antaranya: prinsip pemersatu adalah pewahyuan dan perayaan misteri Paskah Kristus bagi jemaat liturgis. Pada hari Minggu tertentu, jalan masuk ke dalam misteri disampaikan oleh bacaan Injil, yang dilihat dalam terang ajaran Penginjil sendiri; ini juga bisa diteguhkan dengan refleksi tentang keterkaitan antara perikop Injil, bacaan Perjanjian Lama dan Mazmur Tanggapan. Atau juga, pengkhotbah bisa memilih mendasarkan homilinya terutama pada bacaan dari surat Rasul. Bagaimanapun juga, tujuannya tidak untuk membuat suatu tour de force yang menyatukan, secara menyeluruh, berbagai simpul bacaan, tetapi untuk mengikuti satu simpul yang menuntun umat Allah ke dalam inti misteri hidup, wafat dan kebangkitan Kristus, yang diaktualisasikan dalam perayaan liturgis.
VI. Berbagai Kesempatan
A. Misa Harian
150. Kebiasaan merayakan Ekaristi setiap hari adalah suatu sumber kekudusan yang besar bagi orang-orang Katolik Ritus Romawi, dan para imam hendaknya mendorong umat untuk berpartisipasi, sejauh mungkin, pada Misa harian. Paus Benediktus menyerukan agar “tanpa melalaikan, juga pada misa harian dengan umat kita sajikan suatu refleksi yang pendek dan sesuai waktunya, yang dapat membantu umat untuk menyambut Firman yang diwartakan dan membiarkan itu memberikan buah dalam hidup mereka” (VD 59). Ekaristi harian itu kurang meriah daripada liturgi Mingguan dan hendaknya dirayakan sedemikian rupa sehingga mereka yang memiliki tanggung jawab keluarga dan pekerjaan bisa mendapat kesempatan berpartisipasi dalam Misa harian. Oleh karena itu, perlulah bahwa dalam kesempatan seperti itu homili hendaknya pendek. Di lain pihak, karena banyak orang berpartisipasi secara teratur dalam Misa harian, ada kesempatan untuk memberi homili tentang satu Kitab khusus dari Kitab Suci pada hari-hari berikutnya, yang tidak diperbolehkan pada perayaan hari Minggu.
151. Homili pada Misa harian secara khusus dianjurkan pada masa Adven/Natal dan Prapaskah/Paskah. Bacaan-bacaan pada masa-masa ini telah dipilih dengan saksama, dan prinsip-prinsipnya sudah diberikan dalam Prakata Lectionarium: untuk Adven, no. 94, untuk Natal, no. 96, untuk Prapaskah, no. 98, untuk Masa Paskah, no. 101. Pengenalan dengannya bisa membantu pengkhotbah dalam mempersiapkan komentar-komentar singkat tiap hari.
152. Prakata yang sama memberikan suatu poin pada bacaan-bacaan Masa Biasa yang harus diperhatikan oleh pengkhotbah ketika mempersiapkan liturgi harian:
“Dalam penataan bacaan untuk hari-hari biasa, disediakan kutipan untuk masing-masing hari dalam setiap pekan sepanjang seluruh Tahun. Maka, pada umumnya bacaan-bacaan ini hendaknya dipakai pada hari yang bersangkutan, kecuali bila hari itu bertepatan dengan hari raya, pesta atau peringatan yang mempunyai bacaan-bacaan khusus.
Dalam pemakaian Lectionarium Misa pada hari-hari biasa, harap diperhatikan kalau ada satu-dua bacaan dari pekan yang bersangkutan harus dihilangkan karena ada perayaan tertentu. Dalam hal ini imam hendaknya mengambil kebijaksanaan dalam kerangka tata susunan bacaan selama seluruh pekan. Untuk itu ia dapat menghilangkan bagian-bagian yang tidak begitu penting, atau bila dianggap perlu, menggabungkan bagian-bagian itu sebaik mungkin dengan bacaan lainnya, untuk memberi gambaran lengkap tentang isi seluruh buku” (OLM 82).
Maka, pengkhotbah didorong untuk melihat kembali bacaan-bacaan seluruh minggu dan membuat penyelarasan pada kesinambungannya ketika hal itu terputus oleh suatu perayaan khusus. Meskipun homili harian itu pendek, sering harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh. Pengalaman mengajarkan bahwa homili singkat sering membutuhkan persiapan tambahan.
153. Ketika Lectionarium menyediakan bacaan khusus untuk perayaan Orang Kudus, ini haruslah digunakan. Kemudian, bacaan-bacaan bisa dipilih dari Rumus Umum Para Kudus jika ada alasan untuk memberi perhatian lebih besar pada perayaan orang Kudus itu. Dalam Prakata OLM diingatkan:
“Bila seorang imam merayakan Ekaristi bersama umat, ia hendaknya mengutamakan manfaat rohani para beriman, dan jangan memaksakan minat pribadinya kepada mereka. Khususnya, hendaklah ia berusaha agar bacaan-bacaan yang ditentukan dalam Lectionarium untuk setiap hari biasa, jangan terlalu sering atau tanpa cukup alasan dihilangkan. Sebab Gereja menghendaki agar kepada umat beriman disuguhkan santapan Firman Allah secara lebih melimpah” (OLM 83).
B. Perkawinan
154. Berkaitan dengan homili pada perayaan perkawinan, Liturgi Perkawinan mengingatkan: “Imam mengadakan homili bertolak dari Kitab Suci, dengan menjelaskan misteri perkawinan Kristiani, martabat cinta perkawinan, rahmat sakramen dan kewajiban-kewajiban pasangan, lebih-lebih dengan memperhatikan situasi-situasi konkret pasangan dan lingkungan” (64). Homili pada suatu perkawinan menghadirkan dua tantangan khusus. Yang pertama memperhatikan fakta bahwa sekarang ini, bahkan bagi banyak orang Kristen, perkawinan tidak dipandang sebagai panggilan; “misteri perkawinan Kristiani” harus diwartakan dan diajarkan. Tantangan kedua adalah para hadirin dalam perayaan, yang di antaranya ada yang tidak Kristen dan tidak Katolik: karena itu pengkhotbah tidak bisa mengandaikan bahwa para pendengar sudah tahu unsur-unsur dasar iman Kristiani. Namun, tantangan-tantangan ini juga menjadi kesempatan bagi pengkhotbah untuk memaparkan pandangan hidup dan perkawinan yang berakar dalam kemuridan Kristiani dan dalam misteri Paskah, yakni wafat dan kebangkitan Kristus. Pengkhotbah harus menyiapkan dengan sungguh, sehingga bisa berbicara tentang “misteri Perkawinan Kristiani”, namun “dengan memperhatikan situasi-situasi konkret pasangan dan mereka yang hadir” pada saat yang sama.
C. Pemakaman
155. Ibadat Pemakaman menjelaskan secara singkat nilai dan makna homili pada pemakaman. Dalam terang Sabda Allah, sementara harus ingat bahwa homili harus menghindari “bentuk dan gaya pidato pemakaman” (70), “para imam hendaknya memperhatikan bukan hanya pada orang yang meninggal dan peristiwa kematiannya, melainkan juga akan kesedihan keluarga, tanpa mengabaikan kewajiban untuk meneguhkan mereka, dengan belas kasih yang lembut, dalam kebutuhan-kebutuhan hidup Kristiani mereka” (Premesse Generali 18). Kasih Allah yang dinyatakan di dalam Kristus yang wafat dan bangkit, menghidupkan kembali iman, harapan dan cinta kasih. Kehidupan kekal dan persekutuan para Kudus membawa penghiburan bagi mereka yang berduka. Situasi pemakaman menyediakan kesempatan untuk merenungkan misteri hidup dan kematian, makna peziarahan di dunia, pengadilan belas kasih Allah, dan hidup yang tidak mati.
156. Pengkhotbah memperlihatkan perhatian khusus juga bagi mereka yang hadir dalam perayaan liturgi pada kesempatan pemakaman, baik mereka itu bukan Katolik maupun Katolik atau juga orang Katolik yang hampir tidak pernah berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi, atau tampaknya kehilangan iman (bdk. Premesse Generali 18). Mendengarkan Kitab Suci, doa-doa, dan nyanyian liturgi pemakaman memelihara dan mengungkapkan iman Gereja.
LAMPIRAN I
Homili dan Katekismus Gereja Katolik
157. Perhatian khusus yang sering disuarakan dalam tahun-tahun sesudah Konsili Vatikan Kedua, secara khusus dalam Sinode-sinode para Uskup, dikaitkan dengan perlunya ajaran yang lebih banyak dalam khotbah. Katekismus Gereja Katolik menunjukkan dalam hal ini suatu sumber yang sungguh berguna bagi pengkhotbah, namun penting bahwa itu hendaknya digunakan sesuai dengan tujuan homili.
158. Katekismus Romawi dulu diterbitkan di bawah bimbingan para Bapa Konsili Trente dan, dalam beberapa edisi mencakup juga suatu Praxis Catechismi, yang membagi isi Katekismus Romawi sesuai dengan Injil-Injil untuk hari-hari Minggu dalam Tahun. Maka, tidak mengherankan bahwa dengan penerbitan katekismus yang baru dalam semangat Konsili Vatikan Kedua, telah diusulkan untuk membuat sesuatu yang mirip dengan Katekismus Gereja Katolik. Inisiatif serupa harus menghadapi berbagai halangan praktis, namun yang lebih penting adalah keberatan fundamental bahwa liturgi hari Minggu bukanlah suatu “kesempatan” untuk menyampaikan khotbah tentang tema yang tidak selaras dengan masa liturgi dan tema-temanya. Namun demikian, mungkin ada alasan-alasan pastoral khusus yang menuntut penjelasan tentang aspek khusus dari pengajaran moral dan doktrinal. Keputusan-keputusan seperti itu membutuhkan kehati-hatian pastoral.
159. Di lain pihak, pengajaran-pengajaran yang sangat penting diberikan oleh makna paling dalam dari Kitab-Kitab, yang terungkap persis ketika Sabda Allah diwartakan dalam jemaat liturgis. Tugas pengkhotbah bukan untuk menyesuaikan bacaan-bacaan pada Misa dengan skema tematis yang telah ditentukan, melainkan untuk mengajak para pendengarnya merenungkan iman Gereja karena itu muncul secara alami dari Kitab-Kitab dalam konteks perayaan liturgi.
160. Mengingat hal itu, dalam Lampiran akan disampaikan suatu tabel yang menunjukkan nomor-nomor Katekismus Gereja Katolik yang bersesuaian dengan bacaan-bacaan Kitab Suci untuk hari-hari Minggu dan Hari-hari Raya. Nomor-nomor telah dipilih karena mengutip atau menyinggung bacaan-bacaan tertentu, atau karena berkaitan dengan topik-topik yang terdapat dalam bacaan-bacaan. Pengkhotbah didorong untuk menggali bahan dari Katekismus tidak dengan cara sederhana dan tergesa-gesa, namun dengan merenungkan tentang bagaimana empat bagiannya itu terkait satu sama lain. Sebagai contoh, dalam Minggu V A Masa Biasa, bacaan pertama berbicara tentang perhatian pada orang-orang miskin, bacaan kedua tentang kebodohan Salib, dan yang ketiga tentang murid-murid sebagai garam dan terang dunia. Kutipan-kutipan dari Katekismus mengaitkannya dengan beberapa tema penting:
- Kristus yang disalib adalah kebijaksanaan Allah, yang dikontemplasikan sehubungan dengan masalah kejahatan dan ketidakberdayaan nyata Allah (KGK 272);
- orang-orang Kristen dipanggil menjadi terang dunia, meskipun ada kejahatan, dan perutusannya adalah untuk menjadi benih kesatuan, pengharapan dan keselamatan untuk seluruh umat manusia (KGK 782);
- dalam mengambil bagian pada misteri Paskah Kristus, yang dilambangkan dengan lilin Paskah, yang terangnya diberikan kepada para baptisan baru, kita sendiri menjadi terang itu (KGK 1243);
- “berita keselamatan dapat menunjukkan kepada manusia kekuatan kebenaran dan kekuatan sinarnya di hadapan manusia, ia harus disahkan oleh kesaksian hidup orang-orang Kristen” (KGK 2044);
- kesaksian akan hal ini menemukan ungkapan khusus dalam kasih kita kepada orang-orang miskin (KGK 2443-2449).
Dengan menggunakan Katekismus Gereja Katolik secara demikian, pengkhotbah bisa membantu umat untuk mengintegrasikan Sabda Allah, iman Gereja, tuntutan-tuntutan moral dari Injil, dan spiritualitas personal dan liturgis.
Siklus A
Minggu I Adven
KGK 668-677, 769: kesusahan akhir dan kedatangan Kristus dalam kemuliaan.
KGK 451, 671, 1130, 1403, 2817: « Datanglah, Tuhan Yesus! »
KGK 2729-2733: kewaspadaan hati yang rendah hati
Minggu II Adven
KGK 522, 711-716, 722: para nabi dan penantian akan Mesias
KGK 523, 717-720: perutusan Yohanes Pembaptis
KGK 1427-29: pertobatan orang-orang yang dibaptis
Minggu III Adven
KGK 30, 163, 301, 736, 1829, 1832, 2015, 2362: sukacita
KGK 227, 2613, 2665, 2772: kesabaran
KGK 439, 547-550, 1751: penyataan Yesus sebagai Mesias
Minggu IV Adven
KGK 496-507, 495: Keibuan Perawan Maria
KGK 437, 456, 484-486, 721-726: Maria, Bunda Allah berkat karya Roh Kudus
KGK 1846: Yesus diwahyukan sebagai Penyelamat kepada Yusuf
KGK 445, 648, 695: Kristus Putra Allah dalam Kebangkitan-Nya
KGK 143-149, 494, 2087: « ketaatan iman »
Hari Raya Natal
KGK 456-460, 466: « Mengapa Sabda menjadi daging? »
KGK 461-463, 470-478: Inkarnasi
KGK 437, 525-526: misteri Natal
KGK 439, 496, 559, 2616: Yesus anak Daud
KGK 65, 102: Allah telah mengatakan segala sesuatu dalam Sabda-Nya
KGK 333: Kristus yang menjelma disembah para malaikat
KGK 1159-1162, 2131, 2502: inkarnasi dan gambaran-gambaran Kristus
Keluarga Kudus
KGK 531-534: Keluarga Kudus
KGK 1655-1658, 2204-2206: keluarga Kristiani, suatu Gereja rumah tangga
KGK 2214-2233: kewajiban-kewajiban para anggota keluarga
KGK 333, 530: pengungsian ke Mesir
Hari Raya Santa Maria Bunda Allah
KGK 464-469: Yesus Kristus, sungguh Allah sungguh manusia
KGK 495, 2677: Maria adalah Bunda Allah
KGK 1, 52, 270, 294, 422, 654, 1709, 2009: pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah
KGK 527, 577-582: Yesus melaksanakan Hukum dan menyempurnakannya
KGK 580, 1972: hukum baru membebaskan kita dari pembatasan-pembatasan Hukum Lama
KGK 683, 689, 1695, 2766, 2777-2778: melalui Roh Kudus kita bisa menyebut Allah “Abba”
KGK 430-435, 2666-2668, 2812: nama Yesus
Minggu II sesudah Natal
KGK 151, 241, 291, 423, 445, 456-463, 504-505, 526, 1216, 2466, 2787: prolog Injil Yohanes
KGK 272, 295, 299, 474, 721, 1831: Kristus, Kebijaksanaan Allah
KGK 158, 283, 1303, 1831, 2500: Allah memberi kita Kebijaksanaan
Hari Raya Penampakan Tuhan
KGK 528, 724: Penampakan Tuhan
KGK 280, 529, 748, 1165, 2466, 2715: Kristus, terang bangsa-bangsa
KGK 60, 442, 674, 755, 767, 774-776, 781, 831: Gereja, sakramen kesatuan umat manusia
Minggu I Prapaskah
KGK 394, 538-540, 2119: Yesus dicobai
KGK 2846-2849: « Jangan masukkan kami ke dalam pencobaan »
KGK 385-390, 396-400: Kejatuhan
KGK 359, 402-411, 615: Adam, dosa asal; Kristus Adam baru
Minggu II Prapaskah
KGK 554-556, 568: Transfigurasi
KGK 59, 145-146, 2570-2571: ketaatan Abraham
KGK 706: janji Allah kepada Abraham terpenuhi dalam Kristus
KGK 2012-2014, 2028, 2813: panggilan kepada kekudusan
Minggu III Prapaskah
KGK 1214-1216, 1226-1228: pembaptisan, kelahiran baru dari air dan Roh
KGK 727-729: Yesus mewahyukan Roh Kudus
KGK 694, 733-736, 1215, 1999, 2652: Roh Kudus, air hidup, anugerah Allah
KGK 604, 733, 1820, 1825, 1992, 2658: Allah mengambil inisiatif; pengharapan oleh Roh
Minggu IV Prapaskah
KGK 280, 529, 748, 1165, 2466, 2715: Kristus, terang para bangsa
KGK 439, 496, 559, 2616: Yesus anak Daud
KGK 1216: Pembaptisan adalah penerangan (iluminasi)
KGK 782, 1243, 2105: orang-orang Kristen dipanggil menjadi terang dunia.
Minggu V Prapaskah
KGK 992-996: pewahyuan progresif kebangkitan
KGK 549, 640, 646: tanda-tanda mesianis yang meramalkan kebangkitan Kristus
KGK 2603-2604: doa Yesus sebelum kebangkitan Lazarus
KGK 1002-1004: pengalaman kita saat ini akan kebangkitan
KGK 1402-1405, 1524: Ekaristi dan kebangkitan
KGK 989-990: kebangkitan tubuh
Minggu Palma dan Sengsara Tuhan
KGK 557-560: Yesus memasuki Yerusalem
KGK 602-618: Sengsara Kristus
KGK 2816: kekuasaan Kristus diperoleh melalui kematian dan kebangkitan-Nya
KGK 654, 1067-1068, 1085, 1362: misteri Paskah dan liturgi
Kamis Suci – Perjamuan Malam Tuhan
KGK 1337-1344: penetapan Ekaristi
KGK 1359-1361: Ekaristi sebagai tindakan syukur
KGK 610, 1362-1372, 1382, 1436: Ekaristi sebagai korban
KGK 1373-1381: kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi
KGK 1384-1401, 2837: Komuni
KGK 1402-1405: Ekaristi “jaminan kemuliaan yang akan datang”
KGK 611, 1366: penetapan imamat dalam Perjamuan Terakhir Jumat Agung – Sengsara Tuhan
KGK 602-618, 1992: Sengsara Kristus
KGK 612, 2606, 2741: doa Yesus
KGK 467, 540, 1137: Kristus Imam Agung
KGK 2825: ketaatan Kristus dan ketaatan kita
Minggu Paskah – kebangkitan Tuhan
KGK 638-655, 989, 1001-1002: kebangkitan Kristus dan kebangkitan kita
KGK 647, 1167-1170, 1243, 1287: Paskah, Hari Tuhan
KGK 1212: sakramen-sakramen inisiasi Kristen
KGK 1214-1222, 1226-1228, 1234-1245, 1254: Pembaptisan
KGK 1286-1289: Penguatan
KGK 1322-1323: Ekaristi
Minggu II Paskah
KGK 448, 641-646: penampakan Yang Bangkit
KGK 1084-1089: kehadiran yang menguduskan dari Kristus yang bangkit dalam liturgi
KGK 2177-2178, 1342: Ekaristi hari Minggu
KGK 654-655, 1988: kelahiran kita kepada suatu hidup baru dalam kebangkitan Kristus
KGK 976-983, 1441-1442: « Aku percaya akan penghapusan dosa »
KGK 949-953, 1329, 1342, 2624, 2790: persekutuan dalam hal-hal rohani
Minggu III Paskah
KGK 1346-1347: Ekaristi dan pengalaman murid-murid Emmaus.
KGK 642-644, 857, 995-996: para rasul dan para murid saksi-saksi kebangkitan
KGK 102, 601, 426-429, 2763: Kristus, kunci untuk menafsirkan Kitab Suci
KGK 457, 604-605, 608, 615-616, 1476, 1992: Yesus, Anak Domba yang dipersembahkan untuk dosa-dosa kita
Minggu IV Paskah
KGK 754, 764, 2665: Kristus, Gembala domba-domba dan Pintu kawanan domba
KGK 553, 857, 861, 881, 896, 1558, 1561, 1568, 1574: Paus dan para Uskup sebagai gembala-gembala
KGK 874, 1120, 1465, 1536, 1548-1551, 1564, 2179, 2686: para imam sebagai gembala-gembala
KGK 14, 189, 1064, 1226, 1236, 1253-1255, 1427-1429: pertobatan, iman, dan pembaptisan
KGK 618, 2447: Kristus, teladan dalam menanggung dengan sabar
Minggu V Paskah
KGK 2746-2751: doa Yesus dalam Perjamuan Terakhir
KGK 661, 1025-1026, 2795: Kristus membuka bagi kita jalan ke surga
KGK 151, 1698, 2614, 2466: percaya pada Yesus
KGK 1569-1571: tahbisan diakon
KGK 782, 803, 1141, 1174, 1269, 1322: « bangsa terpilih, imamat rajawi »
Minggu VI Paskah
KGK 2746-2751: doa Yesus pada Perjamuan Malam terakhir
KGK 243, 388, 692, 729, 1433, 1848: Roh Kudus, Penghibur/Pembela
KGK 1083, 2670-2672: memohon kepada Roh Kudus
Hari Raya Kenaikan Tuhan
KGK 659-672, 697, 792, 965, 2795: Kenaikan
Minggu VII Paskah: doa dan hidup rohani
KGK 2746-2751: doa Yesus pada Perjamuan Malam Terakhir
KGK 312, 434, 648, 664: Bapa memuliakan Kristus
KGK 2614, 2741: Yesus berdoa untuk kita
KGK 726, 2617-2619, 2673-2679: berdoa bersama Maria
Hari Raya Pentekosta
KGK 696, 726, 731-732, 737-741, 830, 1076, 1287, 2623: Pentekosta
KGK 599, 597,674, 715: kesaksian para Rasul tentang Pentekosta
KGK 1152, 1226, 1302, 1556: misteri Pentekosta diteruskan dalam Gereja
KGK 767, 775, 798, 796, 813, 1097, 1108-1109: Gereja, persekutuan dalam Roh
Hari Raya Tritunggal Mahakudus
KGK 202, 232-260, 684, 732: misteri Tritunggal
KGK 249, 813, 950, 1077-1109, 2845: dalam Gereja dan dalam liturgi
KGK 2655, 2664-2672: Tritunggal dan doa
KGK 2205: keluarga, gambaran Tritunggal
Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus yang Mahakudus
KGK 790, 1003, 1322-1419: Ekaristi Kudus
KGK 805, 950, 2181-2182, 2637, 2845: Ekaristi dan persekutuan umat beriman
KGK 1212, 1275, 1436, 2837: Ekaristi sebagai roti rohani
Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus
KGK 210-211, 604: belas kasih dan kerahiman Allah
KGK 430, 478, 545, 589, 1365, 1439, 1825, 1846: cinta kasih Kristus kepada sesama
KGK 2669: Hati Kristus yang patut disembah
KGK 766, 1225:Gereja lahir dari lambung Kristus yang terbuka
KGK 1432, 2100: cinta kasih Kristus menggerakkan hati kita
Minggu II Masa Biasa
KGK 604-609: Yesus Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia
KGK 689-690: perutusan sang Putra dan Roh Kudus
Minggu III Masa Biasa
KGK 551, 765: panggilan Keduabelas Murid
KGK 541-543: kerajaan Allah memanggil dan mengumpulkan orang-orang Yahudi dan Bangsa-bangsa lain
KGK 813-822: kesatuan Gereja
Minggu IV Masa Biasa
KGK 459, 520-521: Yesus, model Sabda Bahagia bagi kita semua
KGK 1716-1724: panggilan kepada Sabda Bahagia
KGK 64, 716: orang-orang miskin, orang-orang rendah hati, dan orang-orang “yang terakhir” membawa pengharapan Mesias
Minggu V Masa Biasa
KGK 782: umat Allah, garam dunia dan terang dunia
KGK 2044-2046: hidup moral dan kesaksian misioner
KGK 2443-2449: perhatian pada karya-karya belas kasih, cinta bagi orang-orang miskin
KGK 1243: para baptisan baru dipanggil menjadi terang dunia
KGK 272: Kristus yang tersalib adalah kebijaksanaan Allah
Minggu VI Masa Biasa
KGK 577-582: Yesus dan Hukum
KGK 1961-1964: Hukum lama
KGK 2064-2068: Dekalog dalam Tradisi Gereja
Minggu VII Masa Biasa
KGK 1933, 2303: kasih kepada sesama tidak sebanding dengan kebencian musuh
KGK 2262-2267: larangan berbuat jahat kepada sesama dengan perkecualian untuk pembelaan diri
KGK 2842-2845: doa dan pengampunan kepada musuh-musuh
KGK 2012-2016: kesempurnaan Bapa surgawi memanggil kita kepada kekudusan
KGK 1265: kita menjadi kenisah Roh Kudus melalui pembaptisan
KGK 2684: para kudus adalah kenisah Roh Kudus
Minggu VIII Masa Biasa
KGK 302-314: Penyelenggaraan Ilahi dan perannya dalam sejarah
KGK 2113-2115: penyembahan berhala menghancurkan nilai-nilai; percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi dan bukan kepada ramalan
KGK 2632: doa umat beriman, permohonan untuk kedatangan Kerajaan Allah
KGK 2830: percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi tidak berarti bermalas-malasan
Minggu IX Masa Biasa
KGK 2822-2827: « jadilah kehendak-Mu! »
KGK 2611: doa iman adalah menyiapkan hati untuk melakukan kehendak Allah
KGK 1987-1995: pembenaran
Minggu X Masa Biasa
KGK 545, 589: Yesus memanggil dan mengampuni para pendosa
KGK 2099-2100: kurban yang berkenan kepada Allah
KGK 144-146, 2572: Abraham model iman
Minggu XI Masa Biasa
KGK 551, 761-766: Gereja telah disiapkan oleh Umat Allah Perjanjian Lama
KGK 783-786: Gereja: bangsa imami, kenabian dan rajawi
KGK 849-865: perutusan rasuli Gereja
Minggu XII Masa Biasa
KGK 852: Roh Kristus menopang perutusan kristiani
KGK 905: menginjili dengan kesaksian hidup
KGK 1808, 1816: kesaksian iman yang berani mengatasi ketakutan dan kematian.
KGK 2471-2474: menjadi saksi kebenaran
KGK 359, 402-411, 615: Adam, dosa asal, Kristus Adam baru.
Minggu XIII Masa Biasa
KGK 2232-2233: panggilan pertama umat Kristen adalah untuk mengikuti Kristus
KGK 537, 628, 790, 1213, 1226-1228, 1694: baptis, pengorbanan diri, hidup untuk Kristus
KGK 1987: rahmat membenarkan kita melalui baptisan dan iman
Minggu XIV Masa Biasa
KGK 514-521: pengetahuan misteri-misteri Kristus, persekutuan kita dengan misteri-misteri-Nya
KGK 238-242: Bapa diwahyukan oleh Putra
KGK 989-990: kebangkitan badan
Minggu XV Masa Biasa
KGK 546: Kristus mengajar melalui perumpamaan
KGK 1703-1709: kemampuan mengetahui dan menjawab suara Allah
KGK 2006-2011: Allah mengikutsertakan manusia dalam karya rahmat-Nya
KGK 1046-1047: penciptaan, bagian alam semesta yang baru
KGK 2707: nilai meditasi
Minggu XVI Masa Biasa
KGK 543-550: Kerajaan Allah
KGK 309-314: kebaikan hati Allah dan skandal kejahatan
KGK 825, 827: alang-alang dan benih Injil di dalam setiap diri kita dan dalam Gereja
KGK 1425-1429: perlunya pertobatan terus-menerus
KGK 2630: doa permohonan melalui Roh Kudus
Minggu XVII Masa Biasa
KGK 407: tidak boleh mengabaikan dosa asal dalam menimbang situasi manusia
KGK 1777-1785: memilih sesuai hati nurani selaras dengan kehendak Allah
KGK 1786-1789: menegaskah kehendak Allah yang terungkap dalam Hukum dan situasi-situasi sulit
KGK 1038-1041: pemisahan yang baik dan yang jahat dalam pengadilan tearkhir
KGK 1037: Allah tidak menetapkan siapa pun untuk pergi ke neraka
Minggu XVIII Masa Biasa
KGK 2828-2837: « berilah kami rejeki pada hari ini »
KGK 1335: mukjizat penggandaan roti yang melambangkan Ekaristi
KGK 1391-1401: buah-buah Komuni
Minggu IX Masa Biasa
KGK 164: iman bisa diuji
KGK 272-274: hanya iman yang mampu mematuhi jalan-jalan misterius Penyelenggaraan Ilahi
KGK 671-672: pada saat-saat sulit, memupuk kepercayaan agar semua tunduk pada Kristus
KGK 56-64, 121-122, 218-219: sejarah perjanjian, cinta Allah bagi Israel
KGK 839-840: hubungan Gereja dengan bangsa Yahudi
Minggu XX Masa Biasa
KGK 543-544: Kerajaan Allah diwartakan pertama-tama kepada bangsa Israel, sekarang untuk semua yang percaya
KGK 674: kedatangan Kristus pengharapan Israel; penerimaan terakhirnya terhadap Mesias
KGK 2610: kekuatan doa permohonan yang dilakukan dengan iman yang tulus
KGK 831, 849: Gereja adalah katolik
Minggu XXI Masa Biasa
KGK 551-553: kunci-kunci Kerajaan
KGK 880-887: dasar kesatuan: kolegialitas Para Uskup dan Kepalanya, pengganti Petrus
Minggu XXII Masa Biasa
KGK 618: Kristus memanggil para murid-Nya untuk memanggul salib dan mengikuti-Nya
KGK 555, 1460, 2100: salib adalah jalan untuk masuk ke dalam kemuliaan Kristus
KGK 2015: jalan kesempurnaan melewati jalan salib.
KGK 2427: memanggul salib dalam hidup sehari-hari
Minggu XXIII Masa Biasa
KGK 2055: Dekalog terangkum dalam perintah untuk mengasihi
KGK 1443-1445: rekonsiliasi dengan Gereja
KGK 2842-2845: « seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami »
Minggu XXIV Masa Biasa
KGK 218-221: Allah adalah kasih
KGK 294: Allah menyatakan kemuliaan-Nya melalui kebaikan-Nya
KGK 2838-2845: « ampunilah kesalahan kami »
Minggu XXV Masa Biasa
KGK 210-211: Allah berbelas kasih dan Rahim
KGK 588-589: Yesus mengindentifikasi bela rasa-Nya kepada para pendosa dengan bela rasa Allah
Minggu XXVI Masa Biasa
KGK 1807: orang benar dibedakan dari kebiasaan jujur terhadap sesama
KGK 2842: hanya Roh Kudus bisa membuat kita seperasaan dengan Kristus
KGK 1928-1930, 2425-2426: kewajiban terhadap keadilan sosial
KGK 446-461: kekuasaan Kristus
KGK 2822-2827: « jadilah kehendak-Mu »
Minggu XXVII Masa Biasa
KGK 755: Gereja adalah kebun anggur Allah
KGK 1830-1832: karunia-karunia dan buah-buah Roh Kudus
KGK 443: para nabi adalah para abdi, Kristus adalah Anak
Minggu XXVIII Masa Biasa
KGK 543-546: Yesus mengundang para pendosa, namun menuntut pertobatan
KGK 1402-1405, 2837: Ekaristi adalah pralambang Perjamuan Surgawi
Minggu XXIX Masa Biasa
KGK 1897-1917: partisipasi di bidang sosial
KGK 2238-2244: kewajiban-kewajiban warga negara
Minggu XXX Masa Biasa
KGK 2052-2074: Sepuluh Perintah Allah yang ditafsirkan melalui cinta kasih
KGK 2061-2063: tindakan moral sebagai jawaban atas inisiatif cinta Allah
Minggu XXXI Masa Biasa
KGK 2044: tindakan moral dan kesaksian kristiani
KGK 876, 1550-1551: imamat adalah pelayanan; kelemahan manusiawi para pemimpin
Minggu XXXII Masa Biasa
KGK 671-672: kita menantikan segala sesuatu ditaklukkan kepada Kristus
KGK 988-991: orang-orang benar akan hidup selamanya dengan Kristus yang bangkit
KGK 1036, 2612: kita berjaga dengan tekun menantikan kedatangan Tuhan
Minggu XXXIII Masa Biasa
KGK 2006-2011: jasa kita untuk pekerjaan-pekerjaan baik berasal dari rahmat Allah
KGK 1038-1041: Pengadilan Terakhir akan memperlihatkan jasa kita
KGK 1048-1050: bertekun menantikan kedatangan kembali Tuhan
KGK 1936-1937: keragaman talenta
KGK 2331, 2334: martabat perempuan
KGK 1603-1605: perkawinan dalam tata penciptaan
Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam
KGK 440, 446-451, 668-672, 783, 786, 908, 2105, 2628: Kristus, Tuhan dan Raja
KGK 678-679, 1001, 1038-1041: Kristus, Hakim
KGK 2816-2821: « Datanglah kerajaan-Mu »
Siklus B
Minggu I Adven
KGK 668-677, 769: kesengsaraan akhir dan kedatangan kembali Kristus dalam kemuliaan
KGK 451, 671, 1130, 1403, 2817: « Datanglah, Tuhan Yesus! »
KGK 35: Allah memberi manusia rahmat untuk bisa menerima pewahyuan dan menyambut Mesias
KGK 827, 1431, 2677, 2839: mengakui bahwa kita semua adalah para pendosa
Minggu II Adven
KGK 522, 711-716, 722: nabi-nabi dan penantian akan Mesias
KGK 523, 717-720: perutusan Yohanes Pembaptis
KGK 1042-1050: langit yang baru dan bumi yang baru
Minggu III Adven
KGK 30, 163, 301, 736, 1829, 1832, 2015, 2362: sukacita
KGK 713-714: ciri-ciri Mesias yang dinantikan
KGK 218-219: cinta Allah bagi Israel
KGK 772, 796: Gereja, mempelai Kristus
Minggu IV Adven
KGK 484-494: Kabar Gembira
KGK 439, 496, 559, 2616: Yesus Anak Daud
KGK 143-149, 494, 2087: « ketaatan iman »
Hari Raya Natal
KGK 456-460, 466: « mengapa Sang Sabda menjadi daging? »
KGK 461-463, 470-478: Inkarnasi
KGK 437, 525-526: misteri Natal
KGK 439, 496, 559, 2616: Yesus Anak Daud
KGK 65, 102: Allah telah mengatakan segala sesuatu dalam Sang Sabda
KGK 333: Kristus yang menjelma disembah oleh para malaikat
KGK 1159-1162, 2131, 2502: Inkarnasi dan gambaran-gambaran tentang Kristus
Keluarga Kudus
KGK 531-534: Keluarga Kudus
KGK 1655-1658, 2204-2206: keluarga Kristiani, Gereja rumah tangga
KGK 2214-2233: kewajiban-kewajiban anggota keluarga
KGK 529, 583, 695: Yesus dipersembahkan di Bait Allah
KGK 144-146, 165, 489, 2572, 2676: Abraham dan Sara, adalah teladan iman
Hari Raya Santa Maria Bunda Allah
KGK 464-469: Yesus Kristus, sungguh Allah, sungguh manusia
KGK 495, 2677: Maria adalah Bunda Allah
KGK 1, 52, 270, 294, 422, 654, 1709, 2009: pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah
KGK 527, 577-582: Yesus melaksanakan Hukum dan menyempurnakannya
KGK 580, 1972: Hukum yang baru membebaskan kita dari pembatasan-pembatasan Hukum Lama
KGK 683, 689, 1695, 2766, 2777-2778: melalui Roh Kudus, kita bisa memanggil Allah “Abba”
KGK 430-435, 2666-2668, 2812: nama Yesus
Minggu II Natal
KGK 151, 241, 291, 423, 445, 456-463, 504-505, 526, 1216, 2466, 2787: prolog Injil Yohanes
KGK 272, 295, 299, 474, 721, 1831: Kristus, Kebijaksanaan Allah
KGK 158, 283, 1303, 1831, 2500: Allah memberi kita kebijaksanaan
Hari Raya Penampakan Tuhan (Epifani)
KGK 528, 724: Penampakan Tuhan
KGK 280, 529, 748, 1165, 2466, 2715: Kristus terang para bangsa
KGK 60, 442, 674, 755, 767, 774-776, 781, 831: Gereja, sakramen kesatuan umat manusia
Minggu I Prapaskah
KGK 394, 538-540, 2119: Yesus dicobai
KGK 2846-2849: « jangan masukkan kami ke dalam pencobaan »
KGK 56-58, 71: perjanjian dengan Nuh
KGK 845, 1094, 1219: perahu Nuh melambangkan Gereja dan pembaptisan
KGK 1116, 1129, 1222: perjanjian dan sakramen-sakramen (khususnya pembaptisan)
KGK 1257, 1811: Allah menyelamatkan melalui pembaptisan
Minggu II Prapaskah
KGK 554-556, 568: Transfigurasi
KGK 59, 145-146, 2570-2572: ketaatan Abraham
KGK 153-159: tanda-tanda iman
KGK 2059: Allah menyatakan kemuliaan-Nya untuk memberitahukan kehendak-Nya kepada kita
KGK 603, 1373, 2634, 2852: Kristus untuk kita semua
Minggu III Prapaskah
KGK 459, 577-582: Yesus dan Hukum
KGK 593, 583-586: Kenisah melambangkan Kristus; Dia adalah Kenisah
KGK 1967-1968: Hukum baru melengkapi Hukum Lama
KGK 272, 550, 853: kekuatan Kristus dinyatakan dalam Salib
Minggu IV Prapaskah
KGK 389, 457-458, 846, 1019, 1507: Kristus Penyelamat
KGK 679: Kristus adalah Tuhan hidup kekal
KGK 55: Allah ingin memberikan manusia hidup kekal
KGK 710: pengasingan bangsa Israel menandakan Sengsara
Minggu V Prapaskah
KGK 606-607: hidup Kristus dipersembahkan kepada Bapa
KGK 542, 607: kerinduan Kristus untuk memberikan hidup-Nya demi keselamatan kita
KGK 690, 729: Roh memuliakan Anak, dan Anak memuliakan Bapa
KGK 662, 2853: kenaikan Kristus dalam kemuliaan adalah kemenangan kita
KGK 56-64, 220, 715, 762, 1965: sejarah perjanjian
Minggu Palma dan Sengsara Tuhan
KGK 557-560: Yesus memasuki Yerusalem
KGK 602-618: Sengsara Kristus
KGK 2816: kekuasaan Kristus datang dari kematian dan kebangkitan-Nya
KGK 654, 1067-1068, 1085, 1362: misteri Paskah dan liturgi
Kamis Suci – Perjamuan Tuhan
KGK 1337-1344: penetapan Ekaristi
KGK 1359-1361: Ekaristi sebagai tindakan syukur
KGK 610, 1362-1372, 1382, 1436: Ekaristi sebagai korban
KGK 1373-1381: kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi
KGK 1384-1401, 2837: Komuni
KGK 1402-1405: Ekaristi “tanda kemuliaan yang akan datang”
KGK 611, 1366: penetapan imamat dalam Perjamuan Terakhir
Jumat Suci – Sengsara Tuhan
KGK 602-618, 1992: Sengsara Kristus
KGK 612, 2606, 2741: doa Yesus
KGK 467, 540, 1137: Kristus sang Imam Agung
KGK 2825: ketaatan Kristus dan ketaatan kita
Minggu Paskah – Kebangkitan Tuhan
KGK 638-655, 989, 1001-1002: kebangkitan Kristus dan kebangkitan kita
KGK 647, 1167-1170, 1243, 1287: Paskah, Hari Tuhan
KGK 1212: sakramen-sakramen inisiasi Kristen
KGK 1214-1222, 1226-1228, 1234-1245, 1254: Pembaptisan
KGK 1286-1289: Penguatan
KGK 1322-1323: Ekaristi
Minggu II Paskah
KGK 448, 641-646: penampakan Kristus yang bangkit
KGK 1084-1089: kehadiran yang menguduskan dari Kristus yang bangkit dalam liturgi
KGK 2177-2178, 1342: Ekaristi Minggu
KGK 654-655, 1988: kelahiran kita kepada hidup baru dalam kebangkitan Kristus
KGK 976-983, 1441-1442: « aku percaya akan penghapusan dosa »
KGK 949-953, 1329, 1342, 2624, 2790: persekutuan dalam hal-hal rohani
Minggu III Paskah
KGK 1346-1347: Ekaristi dan pengalaman murid-murid Emaus
KGK 642-644, 857, 995-996: para rasul dan para murid saksi-saksi kebangkitan
KGK 102, 601, 426-429, 2763: Kristus, kunci untuk menafsirkan Kitab Suci
KGK 519, 662, 1137: Kristus, Pembela kita di surga
Minggu IV Paskah
KGK 754, 764, 2665: Kristus, Gembala domba-domba dan Pintu kawanan domba
KGK 553, 857, 861, 881, 896, 1558, 1561, 1568, 1574: Paus dan para uskup sebagai gembala-gembala
KGK 874, 1120, 1465, 1536, 1548-1551, 1564, 2179, 2686: imam-imam sebagai gembala-gembala
KGK 756: Kristus batu sendi
KGK 1, 104, 239, 1692, 1709, 2009, 2736: kita adalah anak-anak angkat Allah
Minggu V Paskah
KGK 2746-2751: doa Kristus pada Perjamuan Terakhir
KGK 736-737, 755, 787, 1108, 1988, 2074: Kristus adalah pokok anggur dan kita adalah ranting-rantingnya
KGK 953, 1822-1829: cinta kasih
Minggu VI Paskah
KGK 2746-2751: doa Yesus pada Perjamuan Terakhir
KGK 214, 218-221, 231, 257, 733, 2331, 2577: Allah adalah kasih
KGK 1789, 1822-1829, 2067, 2069: kasih kepada Allah dan kepada sesama adalah pemenuhan Hukum
KGK 2347, 2709: persahabatan dengan Kristus
Hari Raya Kenaikan Tuhan
KGK 659-672, 697, 792, 965, 2795: Kenaikan
Minggu VII Paskah
KGK 2746-2751: doa Yesus pada Perjamuan Malam Terakhir
KGK 2614, 2741: Yesus berdoa untuk kita
KGK 611, 2812, 2821: doa Yesus menguduskan kita, khususnya dalam Ekaristi
Hari Raya Pentekosta
KGK 696, 726, 731-732, 737-741, 830, 1076, 1287, 2623: Pentekosta
KGK 599, 597,674, 715: kesaksian para Rasul tentang Pentekosta
KGK 1152, 1226, 1302, 1556: misteri Pentekosta terus berlangsung dalam Gereja
KGK 767, 775, 798, 796, 813, 1097, 1108-1109: Gereja, persekutuan dalam Roh
Hari Raya Tritunggal Mahakudus
KGK 202, 232-260, 684, 732: misteri Tritunggal
KGK 249, 813, 950, 1077-1109, 2845: dalam Gereja dan dalam liturginya
KGK 2655, 2664-2672: Tritunggal dan doa
KGK 2205: keluarga, gambaran Tritunggal
Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus Yang Mahakudus
KGK 790, 1003, 1322-1419: Ekaristi Kudus
KGK 805, 950, 2181-2182, 2637, 2845: Ekaristi dan persekutuan umat beriman
KGK 1212, 1275, 1436, 2837: Ekaristi sebagai roti rohani
Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus
KGK 210-211, 604: belas kasih Allah
KGK 430, 478, 545, 589, 1365, 1439, 1825, 1846: kasih Kristus terhadap sesama
KGK 2669: Hati Kristus yang patut disembah
KGK 766, 1225: Gereja lahir dari lambung Kristus yang terbuka
KGK 1432, 2100: kasih Kristus menggerakkan hati kita
Minggu II Masa Biasa
KGK 462, 516, 2568, 2824: kehendak Bapa terpenuhi dalam Kristus
KGK 543-546: menerima Kerajaan Allah, menerima sabda Allah
KGK 873-874: Kristus sumber panggilan Kristiani
KGK 364, 1004: martabat tubuh
KGK 1656, 2226: membantu anak-anak menemukan panggilan mereka
Minggu III Masa Biasa
KGK 51-64: rencana pewahyuan Allah
KGK 1427-1433: pertobatan hati dan terus-menerus
KGK 1886-1889: pertobatan dan masyarakat
Minggu IV Masa Biasa
KGK 547-550: Yesus menyertai kata-kata-Nya dengan mukjizat-mukjizat
KGK 447, 438, 550: kekuasaan Yesus terhadap setan-setan
KGK 64, 762, 2595: peran Nabi
KGK 922, 1618-1620: keperawanan demi Kerajaan Allah
Minggu V Masa Biasa
KGK 547-550: penyembuhan-penyembuhan, tanda-tanda zaman mesianis
KGK 1502-1505: Kristus, Penyembuh
KGK 875, 1122: perlunya khotbah
Minggu VI Masa Biasa
KGK 1474: hidup dalam Kristus mempersatukan semua orang beriman di dalam Dia
KGK 1939-1942: solidaritas manusia
KGK 2288-2291: menghargai kesehatan
Minggu VII Masa Biasa
KGK 1421, 1441-1442: Kristus Penyembuh jiwa dan raga
KGK 987, 1441, 1741: Kristus mengampuni para pendosa
KGK 1425-1426: rekonsiliasi sesudah pembaptisan
KGK 1065: Kristus “Amin” kita
Minggu VIII Masa Biasa
KGK 772-773, 796: Gereja, misteri persekutuan dengan Allah
KGK 796: Gereja, mempelai Kristus
Minggu IX Masa Biasa
KGK 345-349, 582, 2168-2173: Hari Tuhan
KGK 1005-1014, 1470, 1681-1683: hidup dan mati dalam Kristus
Minggu X Masa Biasa
KGK 410-412: « Protoevangelium »
KGK 374-379: manusia di Taman Eden
KGK 385-409: manusia jatuh dalam dosa
KGK 517, 550: Kristus Pengusir setan
Minggu XI Masa Biasa
KGK 543-546: pewartaan Kerajaan Allah
KGK 2653-2654, 2660, 2716: mendengarkan Sabda membuat Kerajaan Allah berkembang
Minggu XII Masa Biasa
KGK 423, 464-469: Yesus, sungguh Allah sungguh manusia
KGK 1814-1816: iman, anugerah Allah dan jawaban manusia
KGK 671-672: mempertahankan iman dalam kemalangan
Minggu XIII Masa Biasa
KGK 548-549, 646, 994: Kristus membangkitkan orang-orang mati
KGK 1009-1014: kematian diubah oleh Kristus
KGK 1042-1050: harapan akan langit yang baru dan bumi yang baru
Minggu XIV Masa Biasa
KGK 2581-2584: para nabi dan pertobatan hati
KGK 436: Kristus adalah Nabi
KGK 162: bertahan dalam iman
KGK 268, 273, 1508: kekuatan disempurnakan dalam kelemahan
Minggu XV Masa Biasa
KGK 1506-1509: para murid mengambil bagian dalam misi penyembuhan Kristus
KGK 737-741: Gereja dipanggil untuk mewartakan dan bersaksi
KGK 849-856: asal dan cakupan misi Gereja
KGK 1122, 1533: panggilan kepada misi
KGK 693, 698, 706, 1107, 1296: Roh Kudus, janji dan meterai Allah
KGK 492: Maria, dipilih sebelum penciptaan dunia
Minggu XVI Masa Biasa
KGK 2302-2306: Kristus damai kita
KGK 2437-2442: bersaksi dan bekerja bagi perdamaian dan keadilan
Minggu XVII Masa Biasa
KGK 1335: mukjizat roti dan ikan melambangkan Ekaristi
KGK 814-815, 949-959: berbagi anugerah dalam komunitas Gereja
Minggu XVIII Masa Biasa
KGK 1333-1336: tanda-tanda ekaristis roti dan anggur
KGK 1691-1696: hidup dalam Kristus
Minggu XIX Masa Biasa
KGK 1341-1344: « lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku »
KGK 1384-1390: « makanlah dan minumlah kamu semua »: Komuni
Minggu XX Masa Biasa
KGK 1402-1405: Ekaristi: “janji kemuliaan yang akan datang”
KGK 2828-2837: Ekaristi, roti keseharian kita
KGK 1336: skandal
Minggu XXI Masa Biasa
KGK 796: Gereja, mempelai Kristus
KGK 1061-1065: kesetiaan dan cinta absolut Allah
KGK 1612-1617, 2360-2365: perkawinan dalam Kristus
Minggu XXII Masa Biasa
KGK 577-582: Kristus dan Hukum
KGK 1961-1974: Hukum Lama dan Injil
Minggu XXIII Masa Biasa
KGK 1503-1505: Kristus Penyembuh
KGK 1151-1152: tanda-tanda yang digunakan oleh Kristus, tanda-tanda sakramental
KGK 270-271: belas kasih Allah
Minggu XXIV Masa Biasa
KGK 713-716: ciri-ciri Mesias ditampilkan dalam nyanyian Hamba Allah
KGK 440, 571-572, 601: Yesus menderita dan wafat demi keselamatan kita.
KGK 618: keikutsertaan kita dalam kurban Kristus
KGK 2044-2046: perbuatan-perbuatan baik mengungkapkan iman
Minggu XXV Masa Biasa
KGK 539, 565, 600-605, 713: Kristus, Hamba Allah yang taat
KGK 786: “melayani” di dalam Kristus adalah “meraja”
KGK 1547, 1551: imamat jabatan adalah pelayanan
KGK 2538-2540: dosa iri hati
KGK 2302-2306: memelihara perdamaian
Minggu XXVI Masa Biasa
KGK 821, 1126, 1636: dialog ekumenis
KGK 2445-2446, 2536, 2544-2547: bahaya nafsu berlebihan terhadap kekayaan
KGK 1852: iri hati
Minggu XXVII Masa Biasa
KGK 1602-1617, 1643-1651, 2331-2336: kesetiaan perkawinan
KGK 2331-2336: perceraian
KGK 1832: kesetiaan, buah Roh
KGK 2044, 2147, 2156, 2223, 2787: kesetiaan orang-orang yang dibaptis
Minggu XXVIII Masa Biasa
KGK 101-104: Kristus, Sabda unik Kitab Suci
KGK 131-133: Kitab Suci dalam hidup Gereja
KGK 2653-2654: Kitab-kitab sumber doa
KGK 1723, 2536, 2444-2447: cinta kepada orang-orang miskin
Minggu XXIX Masa Biasa
KGK 599-609: wafat Kristus yang menebus dalam rencana keselamatan
KGK 520: perendahan diri Kristus merupakan contoh bagi kita untuk diteladani
KGK 467, 540, 1137: Kristus Imam Agung
Minggu XXX Masa Biasa
KGK 547-550: Yesus menyatakan tanda-tanda mesianis
KGK 1814-1816: iman adalah rahmat Allah
KGK 2734-2737: kepercayaan sebagai anak dalam doa
Minggu XXXI Masa Biasa
KGK 2083: perintah-perintah mendesak jawaban kasih
KGK 2052, 2093-2094: perintah pertama
KGK 1539-1547: sakramen tahbisan dalam tata keselamatan
Minggu XXXII Masa Biasa
KGK 519-521: Kristus telah menyerahkan hidup-Nya bagi kita
KGK 2544-2547: kemiskinan hati
KGK 1434, 1438, 1753, 1969, 2447: sedekah
KGK 2581-2584: Elia dan pertobatan hati
KGK 1021-1022: pengadilan khusus
Minggu XXXIII Masa Biasa
KGK 1038-1050: pengadilan terakhir, pengharapan akan langit yang baru dan bumi yang baru
KGK 613-614, 1365-1367: wafat Kristus adalah korban yang unik dan definitif; Ekaristi
Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam
KGK 440, 446-451, 668-672, 783, 786, 908, 2105, 2628: Kristus, Tuhan dan Raja
KGK 678-679, 1001, 1038-1041: Kristus Hakim
KGK 2816-2821: « datanglah kerajaan-Mu »
Siklus C
Minggu I Adven
KGK 668-677, 769: kesengsaraan akhir dan kedatangan kembali Kristus dalam kemuliaan
KGK 451, 671, 1130, 1403, 2817: « datanglah, Tuhan Yesus! »
KGK 439, 496, 559, 2616: Yesus adalah anak Daud
KGK 207, 210-214, 270, 1062-1063: Allah adalah setia dan berbelas kasih
Minggu II Adven
KGK 522, 711-716, 722: para nabi dan penantian Mesias
KGK 523, 717-720: perutusan Yohanes Pembaptis
KGK 710: pembuangan Israel melambangkan Kesengsaraan
KGK 2532, 2636: kesunyian Paulus
Minggu III Adven
KGK 30, 163, 301, 736, 1829, 1832, 2015, 2362: sukacita
KGK 523-524, 535: Yohanes menyiapkan jalan bagi Mesias
KGK 430-435: Yesus Penyelamat
Minggu IV Adven
KGK 148, 495, 717, 2676: Kunjungan
KGK 462, 606-607, 2568, 2824: Sang Putra menjelma untuk melaksanakan kehendak Bapa
Hari Raya Natal
KGK 456-460, 466: « mengapa Sabda menjadi daging? »
KGK 461-463, 470-478: Inkarnasi
KGK 437, 525-526: misteri Natal
KGK 439, 496, 559, 2616: Yesus Anak Daud
KGK 65, 102: Allah telah mengatakan semuanya dalam Sabda
KGK 333: Kristus yang menjelma disembah oleh para malaikat
KGK 1159-1162, 2131, 2502: Inkarnasi dan gambaran-gambaran Kristus
Keluarga Kudus
KGK 531-534: Keluarga Kudus
KGK 1655-1658, 2204-2206: keluarga kristen, Gereja rumah tangga
KGK 2214-2233: kewajiban-kewajiban anggota keluarga
KGK 534, 583, 2599: Yesus ditemukan di Kenisah
KGK 64, 489, 2578: Anna dan Samuel
KGK 1, 104, 239, 1692, 1709, 2009, 2736: kita semua adalah anak-anak angkat Allah
KGK 163, 1023, 1161, 2519, 2772: kita akan melihat Allah « dari muka ke muka» «seperti Dia apa adanya »
Hari Raya Santa Maria Bunda Allah
KGK 464-469: Yesus Kristus, sungguh Allah sungguh Manusia
KGK 495, 2677: Maria adalah Bunda Allah
KGK 1, 52, 270, 294, 422, 654, 1709, 2009: pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah
KGK 527, 577-582: Yesus melaksanakan Hukum dan menyempurnakannya
KGK 580, 1972: Hukum baru membebaskan kita dari pembatasan-pembatasan Hukum lama
KGK 683, 689, 1695, 2766, 2777-2778: melalui Roh Kudus, kita bisa menyebut Allah “Abba”
KGK 430-435, 2666-2668, 2812: nama Yesus
Minggu II Natal
KGK 151, 241, 291, 423, 445, 456-463, 504-505, 526, 1216, 2466, 2787: prolog Injil Yohanes
KGK 272, 295, 299, 474, 721, 1831: Kristus, Kebijaksanaan Allah
KGK 158, 283, 1303, 1831, 2500: Allah memberi kita Kebijaksanaan
Hari Raya Penampakan Tuhan (Epifani)
KGK 528, 724: Penampakan Tuhan
KGK 280, 529, 748, 1165, 2466, 2715: Kristus terang bangsa-bangsa
KGK 60, 442, 674, 755, 767, 774-776, 781, 831: Gereja, sakramen kesatuan umat manusia
Minggu I Prapaskah
KGK 394, 538-540, 2119: pencobaan-pencobaan Yesus
KGK 2846-2849: « jangan masukkan kami ke dalam pencobaan»
KGK 1505: Kristus membebaskan kita dari yang jahat
KGK 142-143, 309: iman adalah ketundukan kepada Allah, persetujuan kepada Allah, jawaban atas kejahatan.
KGK 59-63: Allah membentuk bangsa imami melalui Abraham dan Keluaran
Minggu II Prapaska
KGK 554-556, 568: Transfigurasi
KGK 59, 145-146, 2570-2572: ketaatan Abraham
KGK 1000: iman membuka bagi kita jalan untuk memahami misteri Kebangkitan
KGK 645, 999-1001: kebangkitan badan
Minggu III Prapaskah
KGK 210, 2575-2577: Allah memanggil Musa, mendengar doa-doa bangsa
KGK 1963-1964: pelaksanaan Hukum menyiapkan untuk pertobatan
KGK 2851: si jahat dan perbuatan-perbuatannya menghambat jalan keselamatan
KGK 128-130, 1094: bacaan tipologis Perjanjian Lama menyingkapkan Perjanjian Baru
KGK 736, 1108-1109, 1129, 1521, 1724, 1852, 2074, 2516, 2345, 2731: menghasilkan buah
Minggu IV Prapaskah
KGK 1439, 1465, 1481, 1700, 2839: anak yang hilang
KGK 207, 212, 214: Allah setia kepada janji-janji-Nya
KGK 1441, 1443: Allah mengampuni dosa-dosa; para pendosa disatukan kembali ke dalam komunitas
KGK 982: pintu pengampunan selalu terbuka bagi mereka yang bertobat
KGK 1334: roti sehari-hari bangsa Israel adalah buah tanah terjanji
Minggu V Prapaskah
KGK 430, 545, 589, 1846-1847: Yesus menyatakan belas kasih Bapa
KGK 133, 428, 648, 989, 1006: kekayaan melimpah pengenalan akan Kristus
KGK 2475-2479: pengadilan sembarangan
Minggu Palma dan Sengsara Tuhan
KGK 557-560: Yesus memasuki Yerusalem
KGK 602-618: Sengsara Kristus
KGK 2816: kekuasaan Kristus berasal dari kematian dan kebangkitan-Nya
KGK 654, 1067-1068, 1085, 1362: misteri Paskah dan liturgi
Kamis Suci – Perjamuan Malam Tuhan
KGK 1337-1344: penetapan Ekaristi
KGK 1359-1361: Ekaristi sebagai tindakan syukur
KGK 610, 1362-1372, 1382, 1436: Ekaristi sebagai korban
KGK 1373-1381: kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi
KGK 1384-1401, 2837: Komuni
KGK 1402-1405: Ekaristi « jaminan kemuliaan yang akan datang»
KGK 611, 1366: penetapan imamat dalam Perjamuan Malam Terakhir
Jumat Suci – Sengsara Tuhan
KGK 602-618, 1992: Sengsara Kristus
KGK 612, 2606, 2741: doa Yesus
KGK 467, 540, 1137: Kristus Imam Agung
KGK 2825: ketaatan Kristus dan ketaatan kita
Minggu Paskah – Kebangkitan Tuhan
KGK 638-655, 989, 1001-1002: kebangkitan Kristus dan kebangkitan kita
KGK 647, 1167-1170, 1243, 1287: Paskah, Hari Tuhan
KGK 1212: sakramen-sakramen inisiasi Kristen
KGK 1214-1222, 1226-1228, 1234-1245, 1254: Pembaptisan
KGK 1286-1289: Penguatan
KGK 1322-1323: Ekaristi
Minggu II Paskah
KGK 448, 641-646: penampakan Kristus yang bangkit
KGK 1084-1089: kehadiran yang menguduskan dari Kristus yang bangkit dalam liturgi
KGK 2177-2178, 1342: Ekaristi hari Minggu
KGK 654-655, 1988: kelahiran kita kepada hidup baru dalam kebangkitan Kristus
KGK 976-983, 1441-1442: « aku percaya akan pengampunan dosa »
KGK 949-953, 1329, 1342, 2624, 2790: persekutuan dalam hal-hal rohani
KGK 612, 625, 635, 2854: Kristus, “Yang Hidup” memegang kunci-kunci kematian
Minggu III Paskah
KGK 642-644, 857, 995-996: para rasul dan para murid saksi-saksi kebangkitan
KGK 553, 641, 881, 1429: Kristus yang bangkit dan Petrus
KGK 1090, 1137-1139, 1326: liturgi surgawi
Minggu IV Paskah
KGK 754, 764, 2665: Kristus, gembala domba-domba dan pintu kawanan domba
KGK 553, 857, 861, 881, 896, 1558, 1561, 1568, 1574: Paus dan para uskup sebagai gembala-gembala
KGK 874, 1120, 1465, 1536, 1548-1551, 1564, 2179, 2686: para imam sebagai gembala-gembala
KGK 60, 442, 543, 674, 724, 755, 775, 781: Gereja terdiri dari orang-orang Yahudi dan Bangsa-bangsa lain
KGK 957, 1138, 1173, 2473-2474: persekutuan dengan para martir
Minggu V Paskah
KGK 2746-2751: doa Kristus pada Perjamuan Terakhir
KGK 459, 1823, 2074, 2196, 2822, 2842: « seperti Aku telah mengasihi kalian »
KGK 756, 865, 1042-1050, 2016, 2817: langit yang baru dan bumi yang baru
Minggu VI Paskah
KGK 2746-2751: doa Kristus pada Perjamuan Terakhir
KGK 243, 388, 692, 729, 1433, 1848: Roh Kudus, Penasihat/Penghibur
KGK 1965-1974: Hukum baru menyempurnakan Hukum lama
KGK 865, 869, 1045, 1090, 1198, 2016: Yerusalem surgawi
Hari Raya Kenaikan Tuhan
KGK 659-672, 697, 792, 965, 2795: Kenaikan
Minggu VII Paskah
KGK 521: melalui Kristus kita hidup dalam persekutuan dengan Bapa
KGK 787-790, 795, 1044-1047: Gereja adalah persekutuan dalam Kristus dan dengan Kristus
Hari Raya Pentekosta
KGK 696, 726, 731-732, 737-741, 830, 1076, 1287, 2623: Pentekosta
KGK 599, 597,674, 715: kesaksian rasuli tentang Pentekosta
KGK 1152, 1226, 1302, 1556: misteri Pentekosta terus berlangsung dalam Gereja
KGK 767, 775, 798, 796, 813, 1097, 1108-1109: Gereja, persekutuan Roh
Hari Raya Tritunggal Mahakudus
KGK 202, 232-260, 684, 732: misteri Tritunggal
KGK 249, 813, 950, 1077-1109, 2845: dalam Gereja dan dalam liturgi
KGK 2655, 2664-2672: Tritunggal dan doa
KGK 2205: keluarga sebagai gambaran Tritunggal
Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus yang Mahakudus
KGK 790, 1003, 1322-1419: Ekaristi Kudus
KGK 805, 950, 2181-2182, 2637, 2845: Ekaristi dan persekutuan umat beriman
KGK 1212, 1275, 1436, 2837: Ekaristi, roti rohani
Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus
KGK 210-211, 604: belas kasih Allah
KGK 430, 478, 545, 589, 1365, 1439, 1825, 1846: kasih Kristus terhadap sesama
KGK 2669: Hati Kristus pantas disembah
KGK 766, 1225: Gereja lahir dari lambung Kristus yang terbuka
KGK 1432, 2100: kasih Kristus menggerakkan hati kita
Minggu II Masa Biasa
KGK 528: di Kana, Kristus menyatakan diri sebagai Mesias, Anak Allah, Penyelamat
KGK 796: Gereja, mempelai Kristus
KGK 1612-1617: perkawinan di dalam Tuhan
KGK 2618: pengantaraan Maria di Kana
KGK 799-801, 951, 2003: karisma-karisma untuk pelayanan Gereja
Minggu III Masa Biasa
KGK 714: penantian Mesias dan Roh dalam Perjanjian Lama
KGK 1965-1974: Hukum baru dan Injil
KGK 106, 108, 515: Allah menginspirasi para pengarang Injil dan para pembaca
KGK 787-795: Gereja, Tubuh Kristus
Minggu IV Masa Biasa
KGK 436, 1241, 1546: Kristus sang Nabi
KGK 904-907: keikutsertaan kita pada tugas kenabian Kristus
KGK 103-104: iman, awal hidup kekal
KGK 1822-1829: cinta kasih
KGK 772-773, 953: persekutuan dalam Gereja
KGK 314, 1023, 2519: mereka di surga akan melihat Allah « dari muka ke muka »
Minggu V Masa Biasa
KGK 520, 618, 923, 1618, 1642, 2053: kita semua dipanggil untuk mengikuti Kristus
KGK 2144, 2732: ketakutan akan kehadiran Allah melawan praduga
KGK 631-644: Para Rasul saksi-saksi kebangkitan
Minggu VI Masa Biasa
KGK 1820: pengharapan Kristiani berkembang dalam pewartaan Sabda Bahagia
KGK 2544-2547: kemiskinan hati; Tuhan bersedih atas orang-orang kaya
KGK 655, 989-991, 1002-1003: pengharapan dalam kebangkitan
Minggu VII Masa Biasa
KGK 210-211: Allah yang berbelas kasih
KGK 1825, 1935, 1968, 2303, 2647, 2842-2845: pengampunan terhadap musuh-musuh
KGK 359, 504: Kristus, Adam Baru
Minggu VIII Masa Biasa
KGK 2563: hati adalah tempat kediaman kebenaran
KGK 1755-1756: perbuatan-perbuatan baik dan buruk
KGK 1783-1794: pembentukan hati nurani dan keputusan menurut hati nurani
KGK 2690: bimbingan rohani
KGK 1009-1013: makna kematian Kristiani
Minggu IX Masa Biasa
KGK 543-546: semua orang dipanggil untuk masuk Kerajaan Allah
KGK 774-776: Gereja, sakramen keselamatan universal
KGK 2580: doa pemberkatan Kenisah Salomo
KGK 583-586: Yesus dan Kenisah
Minggu X Masa Biasa
KGK 646, 994: dalam membangkitkan orang mati Yesus mewartakan kebangkitan-Nya
KGK 1681: makna kematian Kristiani dikaitkan dengan kebangkitan
KGK 2583: Elia dan janda
KGK 2637: Kristus membebaskan ciptaan dari dosa dan kematian
Minggu XI Masa Biasa
KGK 1441-1442: Hanya Allah mengampuni dosa
KGK 1987-1995: pembenaran
KGK 2517-1519: pemurnian hati
KGK 1481, 1736, 2538: Daud dan Natan
Minggu XII Masa Biasa
KGK 599-605: wafat penebusan Kristus dalam rencana keselamatan Allah
KGK 1435: memanggul salib, setiap hari, dan mengikuti Yesus
KGK 787-791: Gereja dalam persekutuan dengan Kristus
KGK 1227, 1243, 1425, 2348: « mengenakan Kristus »; pembaptisan, kemurnian
Minggu XIII Masa Biasa
KGK 587: Yesus pergi ke Yerusalem untuk wafat dan kebangkitan-Nya
KGK 2052-2055: « Guru, apakah yang harus kuperbuat…? »
KGK 1036, 1816: keharusan sebagai murid
Minggu XIV Masa Biasa
KGK 541-546: Kerajaan Allah sudah dekat
KGK 787, 858-859: para Rasul digabungkan dalam perutusan Kristus
KGK 2122: « seorang pekerja patut mendapat upahnya »
KGK 2816-2821: « datanglah kerajaan-Mu »
KGK 555, 1816, 2015: jalan untuk mengikuti Kristus melewati salib
Minggu XV Masa Biasa
KGK 299, 381: manusia diciptakan sesuai gambaran Allah; sang anak sulung
KGK 1931-1933: sesama hendaknya dipandang sebagai « dirinya yang lain »
KGK 2447: karya-karya belas kasihan di bidang jasmani
KGK 1465: dalam perayaan sakramen Tobat seorang imam seperti orang Samaria yang baik hati.
KGK 203, 291, 331, 703: Sabda dan penciptaan, yang kelihatan dan tak kelihatan
Minggu XVI Masa Biasa
KGK 2571: penerimaan dari Abraham
KGK 2241: menerima orang asing
KGK 2709-2719: kontemplasi
KGK 618, 1508: keikut-sertaan dalam penderitaan Tubuh Kristus
KGK 568, 772: « harapan akan kemuliaan » dalam Gereja dan sakramen-sakramen
Minggu XVII Masa Biasa
KGK 2634-2636: doa permohonan/syafaat
KGK 2566-2567: panggilan umum kepada doa
KGK 2761-2772: doa Tuhan, ringkasan seluruh Injil
KGK 2609-2610, 2613, 2777-2785: kembali kepada Allah dengan kegigihan dan kepercayaan sebagai anak
KGK 2654: lectio divina
KGK 537, 628, 1002, 1227: dikuburkan dan dibangkitkan dalam pembaptisan
Minggu XVIII Masa Biasa
KGK 661, 1042-1050, 1821: pengharapan akan langit yang baru dan bumi yang baru
KGK 2535-2540, 2547, 2728: kekacauan dari keserakahan
Minggu XIX Masa Biasa
KGK 144-149: ketaatan iman
KGK 1817-1821: keutamaan pengharapan
KGK 2729-2733: doa sebagai kesiapsiagaan s hati yang rendah hati
KGK 144-146, 165, 2572, 2676: Abraham teladan iman
Minggu XX Masa Biasa
KGK 575-576: Kristus, « tanda pertentangan »
KGK 1816: murid harus memberi kesaksian imannya dengan kejujuran dan keberanian
KGK 2471-2474: memberi kesaksian akan kebenaran
KGK 946-957, 1370, 2683-2684: persekutuan kita dengan para kudus
KGK 1161: gambar-gambar suci menyatakan « jumlah besar saksi-saksi »
Minggu XXI Masa Biasa
KGK 543-546: semua orang dipanggil untuk masuk Kerajaan Allah
KGK 774-776: Gereja, sakramen keselamatan universal
KGK 2825-2827: melakukan kehendak Bapa untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga
KGK 853, 1036, 1344, 1889, 2656: jalan yang sempit
Minggu XXII Masa Biasa
KGK 525-526: Inkarnasi sebagai misteri perendahan diri
KGK 2535-2540: kekacauan dari keserakahan
KGK 2546, 2559, 2631, 2713: doa memanggil kita kepada kerendahan hati dan kemiskinan dalam roh
KGK1090, 1137-1139: partisipasi kita dalam liturgi surgawi
KGK 2188: hari Minggu menjadikan kita ikut serta dalam jemaat yang meriah di surga
Minggu XXIII Masa Biasa
KGK 273, 300, 314: transendensi Allah
KGK 36-43: pengetahuan akan Allah menurut Gereja
KGK 2544: mengutamakan Kristus daripada semua orang dan segala hal
KGK 914-919, 931-932: mengikuti Kristus dalam hidup bakti
Minggu XXIV Masa Biasa
KGK 210-211: Allah yang berbelas kasih
KGK 604-605, 1846-1848: Allah memiliki inisiatif Penebusan
KGK 1439, 1700, 2839: anak yang hilang, contoh pertobatan
KGK 1465, 1481: anak yang hilang dan sakramen Tobat
Minggu XXV Masa Biasa
KGK 2407-2414: hormat kepada milik orang lain
KGK 2443-2449: cinta kasih kepada orang-orang miskin
KGK 2635: berdoa bagi kepentingan orang lain, bukan bagi kepentingan diri sendiri
KGK 65-67, 480, 667: Kristus, Pengantara kita
KGK 2113, 2424, 2848: tak seorang pun dapat melayani dua tuan
KGK 1900, 2636: doa permohonan untuk para penguasa
Minggu XXVI Masa Biasa
KGK 1939-1942: solidaritas manusiawi
KGK 2437-2449: solidaritas antar bangsa, cinta kasih kepada orang-orang miskin
KGK 2831: kelaparan di dunia; solidaritas dan doa
KGK 633, 1021, 2463, 2831: Lazzarus
KGK 1033-1037: Neraka
Minggu XXVII Masa Biasa
KGK 153-165, 2087-2089: iman
KGK 84: “pusaka suci” iman (depositum fidei) yang dipercayakan kepada Gereja
KGK 91-93: makna adikodrati iman
Minggu XXVIII Masa Biasa
KGK 1503-1505, 2616: Kristus Sang Penyembuh
KGK 543-550, 1151: tanda-tanda Kerajaan Allah
KGK 224, 2637-2638: tindakan rahmat
KGK 1010: makna kematian Kristen
Minggu XXIX Masa Biasa
KGK 2574-2577: Musa dan doa pengantaraan
KGK 2629-2633: doa permohonan
KGK 2653-2654: Sabda Allah, sumber doa
KGK 875: perlunya berkhotbah
Minggu XXX Masa Biasa
KGK 588, 2559, 2613, 2631: kerendahan hati adalah dasar dari doa
KGK 2616: Yesus mendengarkan doa yang beriman
KGK 2628: adorasi, sikap manusia yang mengakui diri sebagai ciptaan di hadapan Tuhan
KGK 2631: doa mohon pengampunan adalah bentuk pertama dari doa permohonan
Minggu XXXI Masa Biasa
KGK 293-294, 299, 341, 353: alam semesta telah diciptakan demi kemuliaan Allah
KGK 1459, 2412, 2487: pemulihan
Minggu XXXII Masa Biasa
KGK 992-996: pewahyuan progresif akan kebangkitan
KGK 997-1004: kebangkitan kita dalam Kristus
KGK 1023-1029: surga
KGK 1030-1032: penyucian akhir atau api penyucian
Minggu XXXIII Masa Biasa
KGK 162-165: bertahan dalam iman; iman merupakan awal hidup kekal
KGK 675-677: ujian akhir Gereja
KGK 307, 531, 2427-2429: pekerjaan manusia yang menebus
KGK 673, 1001, 2730: hari akhir
Hari Raya Yesus Kristus sebagai Raja semesta alam
KGK 440, 446-451, 668-672, 783, 786, 908, 2105, 2628: Kristus, Tuhan dan Raja
KGK 678-679, 1001, 1038-1041: Kristus Hakim
KGK 2816-2821: « datanglah kerajaan-Mu »
Hari-Hari Pesta Lain
Maret: Hari Raya Santo Yusuf
KGK 437, 497, 532-534, 1014, 1846, 2177: Santo Yusuf
KGK 2214-2220: kewajiban-kewajiban anak-anak dan orang tua
29 Juni: Hari Raya Santo Petrus dan Paulus
KGK 153, 424, 440, 442, 552, 765, 880-881: Santo Petrus
KGK 442, 601, 639, 642, 1508, 2632-2633, 2636, 2638: Santo Paulus
15 Agustus: Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga
KGK 411, 966-971, 974-975, 2853: Maria, Hawa baru, diangkat ke surga
KGK 773, 829, 967, 972: Maria, ikon eskatologis Gereja
KGK 2673-2679: berdoa dengan Maria
November: Hari Raya Semua Orang Kudus
KGK 61, 946-962, 1090, 1137-1139, 1370: Gereja, persekutuan Para Kudus
KGK 956, 2683: kepengantaraan para Kudus
KGK 828, 867, 1173, 2030, 2683-2684: para Kudus, teladan kesucian
8 Desember: Hari Raya Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa
KGK 411, 489-493, 722, 2001, 2853: Dikandung Tanpa Noda Dosa
LAMPIRAN II
Sumber-sumber Gerejawi Pasca-Konsili yang Relevan Tentang Khotbah
Konsili Vatikan II
Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium: 7, 24, 35, 52, 56
Konstitusi dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium: 25
Konstitusi dogmatik tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum: 7-13, 21, 25
Konstitusi pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini Gaudium et Spes: 58
Dekret tentang kegiatan misioner Gereja Ad Gentes: 6
Dekret tentang Hidup dan Pelayanan para Imam Presbyterorum Ordinis: 4,18
Magisterium Para Paus
Paulus VI
Ensiklik Mysterium Fidei: 36
Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi: 43, 75-76, 78-79
Yohanes Paulus II
Seruan Apostolik Catechesi Tradendae: 48
Seruan Apostolik Pastores Dabo Vobis: 26
Seruan Apostolik Pastores Gregis: 15
Surat Apostolik Dies Domini: 39-41
Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte: 39-40
Benediktus XVI
Seruan Apostolik Sacramentum Caritatis: 45-46
Seruan Apostolik Verbum Domini: 52-71
Fransiskus
Seruan Apostolik Evangelii Gaudium: 135-159
Buku-buku Liturgi
Pedoman Umum Misale Romawi: 29, 57, 65-66
Lectionarium Misa, Prakata: 4-31, 38-48, 58-110
Rito delle Esequie, Premesse generali: 18
Rito del Matrimonio: 64
Kitab Hukum Kanonik
Kanon 762, 767-769
Dokumen-dokumen dari Kongregasi Suci Kuria Romawi
Kongregasi Suci untuk Ritus, Instruksi Inter Oecumenici (26 November 1964): 53-55
Kongregasi Suci untuk Ritus, Instruksi Eucharisticum Mysterium (25 Mei 1967): 10
Kongregasi Suci untuk Ibadat Ilahi, Instruksi Liturgicae Instaurationes (5 September 1970): 2
Kongregasi untuk Para Imam, Direttorio Catechetico Generale (11 April 1971): 13
Kongregasi untuk Para Imam, Direttorio per il ministero e la vita dei presbiteri (31 Januari 1994): 45-46
Kongregasi untuk Para Uskup, Apostolorum Successores (22 Februari 2004): 119-122
DAFTAR SINGKATAN
KGK | Katekismus Gereja Katolik |
DV | Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatik tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum |
EG | Paus Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium |
OLM | Ordo Lectionum Missae, Praenotanda (Tata Bacaan Misa, Prakata) |
SC | Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium |
VD | Paus Benediktus XVI, Seruan Apostolik Verbum Domini |
Sumber Teks ini :
Seri Dokumen Gerejawi, Dokpen KWI
#evangelisasi #katekese #liturgi #homili #pedoman_homili