DIKASTERI UNTUK KOMUNIKASI
Menuju Kehadiran Penuh
Refleksi Pastoral tentang Keterlibatan dalam Media Sosial
Pengantar
1. Kemajuan besar telah dicapai di era digital, namun salah satu permasalahan mendesak yang belum diatasi adalah bagaimana kita, sebagai individu dan komunitas gerejawi, harus hidup di dunia digital sebagai “sesama yang penuh kasih” yang benar-benar hadir dan peka terhadap satu sama lain dalam perjalanan kita bersama di sepanjang “jalan raya digital”.
Kemajuan teknologi telah memungkinkan adanya jenis interaksi baru antar manusia. Sebenarnya, pertanyaannya bukan lagi apakah kita harus ambil bagian dalam dunia digital, tapi bagaimana caranya untuk mewujudkan keterlibatan tersebut. Media sosial khususnya adalah lingkungan di mana orang berinteraksi, berbagi pengalaman, dan membina hubungan yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, pada saat yang sama, seiring dengan semakin banyaknya komunikasi yang dipengaruhi oleh kecerdasan buatan, muncul kebutuhan untuk menemukan kembali hakekat dari perjumpaan antar manusia. Selama dua dekade terakhir, hubungan kita dengan platform digital telah mengalami transformasi yang tidak dapat diubah. Telah muncul kesadaran bahwa platform-platform ini dapat berkembang menjadi ruang yang diciptakan bersama, bukan sekadar sesuatu yang kita gunakan secara pasif. Kaum muda – dan juga generasi yang lebih tua – meminta untuk ditemui di mana pun mereka berada, termasuk di media sosial, karena dunia digital adalah “bagian penting dari identitas dan cara hidup kaum muda.”[1]
2. Banyak umat Kristiani yang meminta inspirasi dan bimbingan karena media sosial, yang merupakan salah satu ekspresi budaya digital, telah memberikan dampak yang mendalam baik pada komunitas iman kita maupun perjalanan spiritual kita sebagai individu.
Contoh keterlibatan setia dan kreatif di media sosial melimpah di seluruh dunia, baik dari komunitas lokal maupun individu yang memberikan kesaksian tentang iman mereka melalui platform ini, seringkali lebih luas dibandingkan Gereja institusional. Ada juga banyak inisiatif pastoral dan pendidikan yang dikembangkan oleh Gereja lokal, gerakan, komunitas, kongregasi, universitas, dan individu.
3. Gereja universal juga telah menangani realitas digital. Sejak tahun 1967, misalnya, pesan tahunan Hari Komunikasi Sedunia telah menawarkan refleksi berkelanjutan mengenai topik tersebut. Mulai tahun 1990-an, pesan-pesan ini membahas penggunaan komputer dan sejak awal tahun 2000-an, pesan-pesan tersebut secara konsisten merefleksikan aspek-aspek budaya digital dan komunikasi sosial. Ketika mengajukan pertanyaan mendasar mengenai budaya digital, Paus Benediktus XVI, pada tahun 2009, membahas perubahan pola komunikasi, dengan mengatakan bahwa media seharusnya tidak hanya memfasilitasi hubungan antar manusia namun juga mendorong mereka untuk berkomitmen pada hubungan yang mempromosikan “budaya saling menghormati, berdialog dan persahabatan.”[2] Selanjutnya, Gereja mengkonsolidasikan gambaran media sosial sebagai “ruang”, bukan hanya “alat”, dan menyerukan agar Kabar Baik juga diwartakan dalam lingkungan digital[3] Paus Fransiskus juga mengakui bahwa dunia digital “tidak terpisahkan dari lingkup kehidupan sehari-hari,” dan hal ini mengubah cara umat manusia mengumpulkan pengetahuan, menyebarkan informasi, dan mengembangkan hubungan.[4]
4. Selain refleksi-refleksi ini, keterlibatan praktis Gereja dalam media sosial juga telah efektif.[5] Salah satu momen baru-baru ini dengan jelas menunjukkan bahwa media digital adalah alat yang ampuh dalam pelayanan Gereja.
Pada tanggal 27 Maret 2020, ketika masih dalam tahap awal pandemi COVID-19, Lapangan Santo Petrus kosong namun penuh dengan kehadiran. Sebuah transmisi yang disiarkan melalui televisi dan live-streaming memungkinkan Paus Fransiskus memimpin pengalaman global yang transformatif: doa dan pesan yang ditujukan kepada dunia yang sedang dalam masa lockdown. Di tengah krisis kesehatan yang merenggut nyawa jutaan orang, orang-orang di seluruh dunia, yang dikarantina dan dalam isolasi, merasa sangat bersatu satu sama lain dan juga bersama dengan penerus Petrus.[6]
Melalui media tradisional dan teknologi digital, doa Paus menjangkau rumah-rumah dan menyentuh kehidupan orang-orang di seluruh dunia. Barisan tiang Bernini di sekitar Lapangan Santo Petrus mampu memperluas pelukan kepada jutaan orang. Meskipun secara fisik berjauhan satu sama lain, mereka yang bergabung dengan Paus pada saat tersebut hadir satu sama lain dan dapat mengalami momen persatuan dan persekutuan.
5. Halaman-halaman berikut ini merupakan hasil refleksi yang melibatkan para pakar, guru, profesional dan pemimpin muda, umat awam, rohaniwan/rohaniwati, dan umat beriman. Tujuannya adalah untuk membahas beberapa pertanyaan utama mengenai bagaimana umat Kristiani seharusnya menggunakan media sosial. Refleksi-refleksi ini tidak dimaksudkan sebagai “pedoman” yang baku bagi pelayanan pastoral di bidang ini. Sebaliknya, harapannya adalah untuk mendorong refleksi bersama tentang pengalaman digital kita, mendorong baik individu maupun komunitas untuk mengambil pendekatan kreatif dan konstruktif yang dapat menumbuhkan budaya yang memungkinkan perjumpaan sebagai sesama.
Tantangan untuk membina hubungan yang damai, bermakna, dan penuh kepedulian di media sosial memicu diskusi di kalangan akademis dan profesional, serta di kalangan gerejawi. Manusia macam apa yang tercermin dalam kehadiran kita di lingkungan digital? Seberapa banyak hubungan digital kita merupakan buah dari komunikasi yang mendalam dan jujur, dan seberapa banyak yang hanya dibentuk oleh opini yang tidak dipertanyakan dan sikap reaktif yang menggelora? Seberapa besar iman kita menemukan ekspresi digital yang hidup dan menyegarkan? Dan siapa “sesamaku” di media sosial?
6. Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati[7], di mana Yesus membuat kita menjawab pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia ?”, dipicu oleh pertanyaan seorang ahli Taurat. Ia bertanya : “Apa yang harus kuperbuat untuk mewarisi hidup yang kekal?”. Kata kerja “mewarisi” mengingatkan kita pada warisan tanah terjanji, yang bukan sekedar wilayah geografis, namun merupakan simbol dari sesuatu yang lebih mendalam dan abadi, sesuatu yang harus ditemukan kembali oleh setiap generasi dan yang dapat membantu kita memikirkan kembali peran kita dalam dunia digital.
I. Berhati-hatilah terhadap jebakan di jalan raya digital
Belajar melihat dari sudut pandang orang yang jatuh ke tangan perampok (lih. Luk 10:36).
Tanah terjanji yang harus ditemukan kembali?
7. Media sosial hanyalah salah satu cabang dari fenomena digitalisasi yang jauh lebih luas dan kompleks, yaitu proses pengalihan banyak tugas dan dimensi kehidupan manusia ke platform digital. Teknologi digital dapat meningkatkan efisiensi, mendongkrak perekonomian, dan membantu kita memecahkan permasalahan yang sebelumnya tidak dapat diatasi. Revolusi digital memperluas akses kita terhadap informasi dan kemampuan kita untuk terhubung satu sama lain melampaui batasan ruang fisik. Proses yang telah berlangsung selama tiga dekade terakhir ini dipercepat oleh pandemi. Kegiatan-kegiatan seperti pendidikan dan pekerjaan yang biasanya dilakukan secara langsung kini dapat dilakukan dari jarak jauh. Negara-negara juga melakukan perubahan signifikan dalam sistem hukum dan legislatif mereka, dengan mengadopsi sesi online dan pemungutan suara sebagai alternatif dari pertemuan tatap muka. Kecepatan penyebaran informasi yang makin berlipat juga mengubah cara kerja politik.
8. Dengan munculnya Web 5.0 dan kemajuan komunikasi lainnya, peran kecerdasan buatan di tahun-tahun mendatang akan semakin berdampak pada pengalaman kita dalam menghadapi realitas. Kita menyaksikan perkembangan mesin yang bekerja dan mengambil keputusan untuk kita; yang dapat mempelajari dan memprediksi perilaku kita; sensor di kulit kita yang bisa mengukur emosi kita; mesin yang menjawab pertanyaan kita dan belajar dari jawaban kita atau yang menggunakan nada ironi dan berbicara dengan suara dan ekspresi orang-orang yang tidak lagi bersama kita. Dalam realitas yang terus berkembang ini, masih banyak pertanyaan yang harus dijawab.[8]
9. Perubahan luar biasa yang dialami dunia sejak munculnya Internet juga memicu ketegangan baru. Sebagian dari kita terlahir dalam budaya ini dan merupakan “digital native”; sebagian yang lain masih berusaha membiasakan diri sebagai “imigran digital”. Bagaimana pun, budaya kita sekarang menjadi budaya digital. Untuk mengatasi dikotomi lama antara “digital” versus “tatap muka”, sebagian orang tidak lagi menyebut “online” versus “offline” melainkan hanya “onlife”, yang menggabungkan kehidupan manusia dan sosial dalam berbagai ekspresinya, baik di ruang digital maupun fisik.
10. Dalam konteks komunikasi terpadu, yang terdiri dari konvergensi proses komunikasi, media sosial memainkan peran yang menentukan sebagai forum di mana nilai-nilai, keyakinan, bahasa, dan asumsi kita tentang kehidupan sehari-hari dibentuk. Terlebih lagi, bagi banyak orang, terutama di negara berkembang, satu-satunya kontak komunikasi digital adalah melalui media sosial. Lebih dari sekadar menggunakan media sosial sebagai alat, kita hidup dalam ekosistem yang pada intinya dibentuk oleh pengalaman berbagi di media sosial. Meskipun kita masih menggunakan web untuk mencari informasi atau hiburan, kita beralih ke media sosial untuk mendapatkan rasa memiliki dan penegasan, mengubahnya menjadi ruang penting tempat terjadinya komunikasi nilai-nilai inti dan keyakinan.
Dalam ekosistem ini, orang dituntut untuk memercayai keaslian dari pernyataan misi perusahaan media sosial, yang menjanjikan, misalnya, untuk mendekatkan dunia, memberi kekuatan kepada setiap orang untuk berkreasi dan berbagi ide, atau memberikan kesempatan kepada semua orang. suara. Meskipun kita menyadari fakta bahwa slogan-slogan periklanan ini hampir tidak pernah terwujup karena perusahaan jauh lebih peduli pada keuntungan mereka, kita masih cenderung mempercayai janji-janji tersebut.
11. Memang benar, ketika banyak orang mulai memanfaatkan Internet beberapa dekade yang lalu, mereka sudah berbagi versi mimpi ini: harapan bahwa dunia digital akan menjadi ruang yang menyenangkan untuk pemahaman bersama, informasi bebas, dan kolaborasi. Internet akan menjadi “tanah terjanji” di mana orang dapat mengandalkan informasi yang dibagikan berdasarkan transparansi, kepercayaan, dan keahlian.
Jebakan yang harus dihindari
12. Namun harapan-harapan tersebut tidak sepenuhnya terpenuhi.
Pertama-tama, kita masih berhadapan dengan “kesenjangan digital”. Meskipun evolusi ini bergerak lebih cepat dari kemampuan kita untuk memahaminya dengan baik, banyak orang masih kekurangan akses tidak hanya terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, air, pakaian, perumahan dan layanan kesehatan, namun juga terhadap teknologi komunikasi informasi. Hal ini menyebabkan banyak kelompok marginal yang terlantar di pinggir jalan.
Selain itu, “kesenjangan media sosial” menjadi semakin tajam. Platform yang berjanji untuk membangun komunitas dan mendekatkan dunia malah memperdalam berbagai bentuk perpecahan.
13. Ada beberapa jebakan yang harus diwaspadai di “jalan raya digital”, yang memungkinkan kita untuk memahami dengan lebih baik bagaimana hal ini bisa terjadi.
Saat ini tidak mungkin membicarakan “media sosial” tanpa mempertimbangkan nilai komersialnya, yaitu tanpa kesadaran bahwa revolusi sebenarnya terjadi ketika merek dan institusi menyadari potensi strategis dari platform sosial, berkontribusi pada konsolidasi bahasa dan praktik yang cepat yang selama bertahun-tahun mengubah pengguna menjadi konsumen. Selain itu, individu adalah baik konsumen maupun komoditas: sebagai konsumen, mereka disuguhi iklan berbasis data dan konten bersponsor dengan cara yang disesuaikan dengan kebutuhan. Sebagai komoditas, profil dan data mereka dijual ke bisnis lain dengan tujuan yang sama. Dengan berpegang pada pernyataan misi perusahaan media sosial, orang juga menerima “syarat dan ketentuan” yang biasanya tidak mereka baca atau pahami. Pemahaman tentang “syarat dan ketentuan” ini menjadi populer berdasarkan pepatah lama yang mengatakan, “Jika Anda tidak membayarnya, Andalah produknya”. Dengan kata lain, layanan ini tidak gratis: kita membayar dengan perhatian kita dalam hitungan menit dan byte data kita.
14. Meningkatnya penekanan pada distribusi dan perdagangan pengetahuan, data, dan informasi telah menimbulkan sebuah paradoks: dalam masyarakat di mana informasi memainkan peran penting, semakin sulit untuk memverifikasi sumber dan keakuratan informasi yang beredar secara digital. Kelebihan konten diatasi dengan algoritma kecerdasan buatan yang terus-menerus menentukan apa yang akan ditampilkan kepada kita berdasarkan faktor-faktor yang sulit kita rasakan atau sadari: tidak hanya pilihan, kesukaan, reaksi, atau preferensi kita sebelumnya, namun juga ketidakhadiran dan gangguan, jeda, dan rentang perhatian kita. Lingkungan digital yang dilihat setiap orang – dan bahkan hasil pencarian online – tidak pernah sama dengan yang dilihat orang lain. Dengan mencari informasi di browser, atau menerimanya di feed untuk platform dan aplikasi yang berbeda, kita biasanya tidak sadar akan filter yang menentukan hasilnya. Konsekuensi dari personalisasi hasil yang semakin canggih ini adalah paparan paksa terhadap informasi parsial, yang mengukuhkan ide-ide kita sendiri, memperkuat keyakinan kita, dan dengan demikian membawa kita ke dalam isolasi “gelembung filter (filter bubbles)”.
15. Komunitas online di media sosial adalah “titik pertemuan”, yang biasanya dibentuk berdasarkan kepentingan bersama dari “individu yang berjejaring”. Mereka yang hadir di media sosial disapa berdasarkan karakteristik, asal usul, selera, dan kesukaan mereka, karena algoritma di balik platform online dan mesin pencari cenderung mempertemukan orang-orang yang “sama”, mengelompokkan mereka, dan menarik perhatian mereka untuk membuat mereka tetap online. Akibatnya, platform media sosial berisiko menghalangi penggunanya untuk benar-benar bertemu dengan “orang lain” yang berbeda.
16. Kita semua telah menyaksikan sistem otomatis yang berisiko menciptakan “ruang” individualistis dan terkadang mendorong perilaku ekstrem. Perkataan yang agresif dan negatif tersebar dengan mudah dan cepat, sehingga menjadi lahan subur bagi kekerasan, pelecehan, dan informasi yang salah. Di media sosial, berbagai aktor, sering kali menggunakan nama samaran, terus-menerus bereaksi satu sama lain. Interaksi ini biasanya sangat berbeda dengan interaksi di ruang fisik, di mana tindakan kita dipengaruhi oleh masukan verbal dan nonverbal dari orang lain.
17. Menyadari jebakan-jebakan ini membantu kita memahami dan membongkar logika yang mencemari lingkungan media sosial dan mencari solusi terhadap ketidakpuasan digital tersebut. Penting untuk mengapresiasi dunia digital dan mengenalinya sebagai bagian dari kehidupan kita. Namun, kehidupan dan perjalanan manusia dibangun melalui pengalaman digital dan fisik yang saling melengkapi.
18. Di sepanjang “jalan raya digital” banyak orang yang tersakiti oleh perpecahan dan kebencian. Kita tidak bisa mengabaikannya. Kita tidak bisa hanya menjadi pejalan kaki yang diam saja. Untuk memanusiakan lingkungan digital, kita tidak boleh melupakan mereka yang “tertinggal”. Kita hanya dapat melihat apa yang sedang terjadi jika kita melihat dari sudut pandang orang yang terluka dalam perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati. Seperti dalam perumpamaan tersebut, di mana kita diberitahu tentang apa yang telah dilihat oleh orang yang terluka, perspektif orang-orang yang terpinggirkan dan terluka secara digital membantu kita untuk memahami dengan lebih baik dunia yang semakin kompleks saat ini.
Membina hubungan
19. Di saat kita semakin terpecah, ketika setiap orang masuk ke dalam gelembung terfilternya sendiri, media sosial menjadi jalan yang membawa banyak orang ke arah ketidakpedulian, polarisasi, dan ekstremisme. Ketika individu-individu tidak memperlakukan satu sama lain sebagai manusia tetapi hanya sebagai ekspresi dari sudut pandang tertentu yang tidak mereka sepakati, kita menyaksikan ekspresi lain dari “budaya membuang” yang memperbanyak “globalisasi” – dan normalisasi – “sikap mengabaikan (indifference).” Mengurung diri dalam isolasi kepentingan sendiri bukanlah cara untuk mengembalikan harapan. Sebaliknya, jalan ke depan adalah penanaman “budaya perjumpaan”, yang mengedepankan persahabatan dan perdamaian di antara orang-orang yang berbeda.[9]
20. Oleh karena itu, ada kebutuhan yang semakin mendesak untuk terlibat dalam platform media sosial dengan cara yang melampaui isolasi diri, keluar dari kelompok “orang yang sama” untuk berjumpa dengan orang lain yang berbeda.
Menerima “orang lain”, yang posisinya berlawanan dengan saya, atau yang terkesan “berbeda”, tentu bukan perkara mudah. “Mengapa saya harus peduli?” mungkin itu adalah reaksi pertama kita. Kita bahkan dapat menemukan sikap ini dalam Alkitab, dimulai dengan penolakan Kain untuk menjadi penjaga saudaranya (lih. Kej 4:9) dan berlanjut dengan ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus, “Siapakah sesamaku ?” (Luk 10:29). Ahli Taurat tersebut ingin menetapkan batasan mengenai siapa yang merupakan sesamaku dan siapa yang bukan sesamaku. Tampaknya kita ingin mencari pembenaran atas ketidakpedulian kita sendiri; kita selalu berusaha menarik garis antara “kita” dan “mereka”, antara “seseorang yang harus saya perlakukan dengan hormat” dan “seseorang yang dapat saya abaikan.” Dengan cara ini, hampir tanpa disadari, kita menjadi tidak mampu lagi berbelas kasih terhadap orang lain, seolah-olah penderitaan mereka adalah tanggung jawab mereka sendiri dan bukan urusan kita.[10]
21. Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati, sebaliknya, menantang kita untuk menghadapi “budaya membuang” dalam dunia digital dan membantu satu sama lain untuk keluar dari zona nyaman dengan melakukan upaya sukarela untuk menjangkau satu sama lain. Hal ini hanya mungkin terjadi jika kita mengosongkan diri kita sendiri, memahami bahwa masing-masing dari kita adalah bagian dari kemanusiaan yang terluka, dan mengingat bahwa seseorang telah memperhatikan kita dan menaruh belas kasihan kepada kita.
22. Hanya dengan cara inilah kita dapat – dan seharusnya – menjadi orang-orang yang mengambil langkah pertama dalam mengatasi ketidakpedulian, karena kita percaya pada “Tuhan yang tidak mengabaikan”.[11] Kita bisa dan harus menjadi orang yang berhenti bertanya, “Seberapa besar saya harus peduli terhadap orang lain?”, dan mulai bertindak sebagai sesama, menolak logika pengucilan dan membangun kembali logika komunitas.[12] Kita bisa dan harus menjadi orang yang beralih dari pemahaman media digital sebagai pengalaman individu ke pemahaman yang didasarkan pada pertemuan bersama, yang mendorong pembangunan komunitas.
23. Daripada bertindak sebagai individu, memproduksi konten atau bereaksi terhadap informasi, ide, dan gambar yang dibagikan oleh orang lain, kita perlu bertanya: Bagaimana kita bisa bersama-sama menciptakan pengalaman online yang lebih sehat di mana orang dapat terlibat dalam percakapan dan mengatasi perbedaan pendapat dengan semangat saling mendengarkan?
Bagaimana kita dapat memberdayakan komunitas untuk menemukan cara mengatasi perpecahan dan mendorong dialog serta rasa hormat di platform media sosial?
Bagaimana kita dapat mengembalikan lingkungan online ke kondisi yang seharusnya: tempat berbagi, berkolaborasi, dan merasa memiliki, berdasarkan rasa saling percaya?
24. Setiap orang dapat berpartisipasi dalam mewujudkan perubahan ini dengan berinteraksi dengan orang lain, dan dengan menantang diri mereka sendiri saat bertemu dengan orang lain. Sebagai orang beriman, kita dipanggil untuk menjadi komunikator yang bergerak dengan sengaja menuju perjumpaan. Dengan cara ini, kita dapat mencari perjumpaan yang bermakna dan bertahan lama, bukan sekedar pertemuan dangkal dan singkat. Memang benar, dengan mengarahkan koneksi digital untuk bertemu dengan orang-orang nyata, membentuk hubungan nyata, dan membangun komunitas nyata, kita sebenarnya memupuk hubungan kita dengan Tuhan. Meskipun demikian, hubungan kita dengan Tuhan juga harus dipupuk melalui doa dan kehidupan sakramental Gereja, yang karena hakikatnya tidak pernah bisa hanya direduksi menjadi ranah “digital”.
II. Dari Kesadaran Menuju Perjumpaan Sejati
Belajar dari Dia yang berbelas kasih (lih. Luk 10:33).
Pendengar yang penuh perhatian
25. Refleksi keterlibatan kita dalam media sosial dimulai dengan kesadaran tentang cara kerja jaringan ini serta peluang dan tantangan yang kita hadapi di dalamnya. Jika jejaring sosial online mengandung godaan terhadap individualisme dan sikap mengagung-agungkan diri sendiri, seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya, kita tidak akan begitu saja terjerumus ke dalam sikap-sikap tersebut. Murid yang telah melihat tatapan penuh kasih dari Kristus telah mengalami sesuatu yang lain. Dia tahu bahwa berkomunikasi dengan baik dimulai dengan mendengarkan dan kesadaran bahwa ada orang lain di hadapan saya. Mendengarkan dan menyadari hal tersebut bertujuan untuk memupuk perjumpaan dan mengatasi hambatan-hambatan yang ada, termasuk hambatan ketidakpedulian. Mendengarkan dengan cara ini merupakan langkah penting dalam melibatkan orang lain; ini adalah unsur pertama yang sangat diperlukan dalam komunikasi dan syarat bagi dialog yang sejati.[13]
26. Dalam perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati, orang yang dipukuli dan dibiarkan mati ditolong oleh orang yang paling tidak diharapkan: pada zaman Yesus, orang Yahudi dan orang Samaria sering kali berselisih. Jika ada pertemuan antara mereka, perilaku bermusuhanlah yang akan muncul. Namun, orang Samaria dalam perumpamaan tersebut tidak memandang orang yang dipukuli itu sebagai “orang lain”, melainkan hanya sebagai seseorang yang membutuhkan pertolongan. Dia merasa kasihan, menempatkan dirinya sendiri di posisi orang lain; dan memberikan dirinya, waktunya, dan sumber dayanya untuk mendengarkan dan menemani seseorang yang ditemuinya[14].
27. Perumpamaan ini dapat menginspirasi hubungan di media sosial karena menggambarkan kemungkinan pertemuan yang sangat bermakna antara dua orang asing. Orang Samaria meruntuhkan “kesenjangan sosial”: ia melampaui batas-batas setuju dan tidak setuju. Sementara imam dan orang Lewi melewati orang yang terluka itu, pengembara Samaria itu melihatnya dan merasa kasihan (lih. Luk 10:33). Belas kasih berarti merasa bahwa orang lain adalah bagian dari diri saya. Orang Samaria itu mendengarkan kisah orang tersebut; dia mendekat karena dia tergerak dari dalam.
28. Injil Lukas tidak memuat dialog apa pun antara kedua orang itu. Kita dapat membayangkan orang Samaria menemukan orang yang terluka dan, mungkin, bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi padamu?” Namun bahkan tanpa kata-kata, melalui sikap keterbukaan dan keramahtamahannya, sebuah perjumpaan dimulai. Sikap pertama tersebut merupakan ekspresi kepedulian, dan ini sangat penting. Kemampuan untuk mendengarkan dan terbuka untuk menerima kisah orang lain tanpa mempedulikan prasangka budaya pada saat itu mencegah orang yang terluka untuk dibiarkan mati.
29. Interaksi kedua orang tersebut mendorong kita untuk mengambil langkah pertama di dunia digital. Kita diajak untuk melihat nilai dan martabat orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita. Kita juga diajak untuk melihat lebih jauh dari sekedar jaring pengaman, persembunyian, dan gelembung kita. Menjadi sesama di lingkungan media sosial memerlukan kesengajaan. Dan itu semua dimulai dengan kemampuan mendengarkan dengan baik, membiarkan realitas orang lain menyentuh kita.
Merampas perhatian kita
30. Mendengarkan adalah keterampilan mendasar yang memungkinkan kita menjalin hubungan dengan orang lain dan tidak hanya terlibat dalam pertukaran informasi. Namun, perangkat kita penuh dengan informasi. Kita mendapati diri kita tertanam dalam jaringan informasi, terhubung dengan orang lain melalui postingan bersama berupa teks, gambar, dan suara. Platform media sosial memungkinkan kita menelusuri konteks ini tanpa henti. Meskipun video dan suara telah meningkatkan kekayaan media komunikasi digital, interaksi kita satu sama lain masih terbatas. Kita sering menemukan informasi dengan cepat dan tanpa konteks yang lengkap dan diperlukan. Kita dapat bereaksi dengan mudah dan cepat terhadap informasi di layar tanpa mencari cerita lengkapnya.
31. Kelimpahan informasi ini mempunyai banyak manfaat: ketika kita menjadi bagian dari jaringan, informasi dapat diakses dengan cepat dan luas serta disesuaikan dengan kepentingan kita. Kita dapat memperoleh informasi praktis, memelihara hubungan sosial, mengeksplorasi sumber daya, serta memperdalam dan memperluas pengetahuan kita. Kemudahan akses terhadap informasi dan komunikasi juga berpotensi menciptakan ruang inklusif yang memberikan suara bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan karena ketidakadilan sosial dan ekonomi.
32. Pada saat yang sama, ketersediaan informasi yang tiada habisnya juga menimbulkan beberapa tantangan. Kita mengalami “kelebihan informasi” (information overload) karena kemampuan kognitif kita untuk memproses berkurang akibat terlalu banyaknya informasi yang tersedia bagi kita. Demikian pula, kita mengalami interaksi sosial yang berlebihan karena kita menjadi sasaran ajakan sosial tingkat tinggi. Berbagai situs web, aplikasi, dan platform diprogram untuk memangsa hasrat manusia akan pengakuan, dan mereka terus-menerus berebut perhatian orang. Perhatian sendiri telah menjadi aset dan komoditas yang paling berharga.
33. Dalam lingkungan ini, perhatian kita tidak terfokus, saat kita mencoba menavigasi jaringan informasi dan interaksi sosial yang melimpah ini. Alih-alih berfokus pada satu masalah pada satu waktu, perhatian parsial kita yang terus-menerus dengan cepat berpindah dari satu topik ke topik lainnya. Dalam kondisi “selalu aktif”, kita menghadapi godaan untuk memposting secara instan karena kita secara fisiologis terpikat pada stimulasi digital, selalu menginginkan lebih banyak konten dalam pengguliran tanpa akhir dan frustrasi karena kurangnya pembaruan. Salah satu tantangan kognitif yang signifikan dalam budaya digital adalah hilangnya kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam dan penuh tujuan. Kita mengamati permukaan dan tetap berada di perairan dangkal, alih-alih merenungkan kenyataan secara mendalam.
34. Kita harus lebih berhati-hati dalam hal ini. Tanpa keheningan dan ruang untuk berpikir perlahan, mendalam, dan penuh tujuan, kita berisiko kehilangan tidak hanya kapasitas kognitif namun juga kedalaman interaksi kita, baik dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Ruang untuk mendengarkan, penuh perhatian, dan memahami kebenaran menjadi semakin langka.
Proses yang disebut perhatian-minat-keinginan-tindakan, yang dikenal oleh para pengiklan, serupa dengan proses yang melaluinya godaan apa pun masuk ke dalam hati manusia dan mengalihkan perhatian kita dari satu-satunya kata yang benar-benar bermakna dan memberi kehidupan, yaitu Firman Tuhan. Dengan satu atau lain cara, kita masih menaruh perhatian pada ular penggoda yang menunjukkan buah-buah baru kepada kita setiap hari. Mereka kelihatannya “baik untuk dimakan dan sedap kelihatanya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian” (Kej 3:6). Seperti benih di sepanjang jalan, di mana firman ditaburkan, kita membiarkan si jahat datang dan mengambil firman yang ditaburkan di dalam kita (Bdk. Mrk 4:14-15).
35. Dengan banyaknya rangsangan dan data yang kita terima, keheningan adalah komoditas yang berharga, karena keheningan memberikan ruang untuk fokus dan menimbang-nimbang segala perkara.[15] Dorongan untuk mencari keheningan dalam budaya digital meningkatkan pentingnya fokus dan mendengarkan. Di lingkungan pendidikan atau kerja serta di keluarga dan komunitas, terdapat kebutuhan yang semakin besar untuk melepaskan diri dari perangkat digital. “Diam” dalam hal ini dapat diumpamakan dengan “detoksifikasi digital”, yang bukan sekedar penarikan diri melainkan sebuah cara untuk terlibat lebih dalam dengan Tuhan dan sesama.
36. Mendengarkan muncul dari keheningan dan merupakan hal mendasar dalam kepedulian terhadap orang lain. Dengan mendengarkan, kita menyambut seseorang, menawarkan keramahtamahan, dan menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Mendengarkan juga merupakan tindakan kerendahan hati di pihak kita, karena kita mengakui kebenaran, kebijaksanaan, dan nilai di luar sudut pandang kita yang terbatas. Tanpa kesediaan untuk mendengarkan, kita tidak mampu menerima apa yang disampaikan oleh orang lain.
Dengan telinga hati
37. Dengan kecepatan (speed) dan kesegeraan (immediacy) budaya digital, yang menguji perhatian dan kemampuan kita untuk fokus, mendengarkan menjadi semakin penting dalam kehidupan rohani kita. Pendekatan kontemplatif bersifat kontra-kultural, bahkan bersifat nubuat/profetik, dan juga dapat bersifat formatif tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi budaya secara keseluruhan.
Komitmen untuk mendengarkan di media sosial adalah titik awal yang mendasar untuk bergerak menuju jaringan yang tidak hanya mementingkan byte, avatar, dan “suka” (like) tetapi juga manusia.[16] Dengan cara ini, kita beralih dari reaksi cepat tanpa pertimbangan, asumsi yang menyesatkan, dan komentar impulsif menuju upaya-upaya untuk menciptakan peluang berdialog, mengajukan pertanyaan untuk belajar lebih banyak, menunjukkan kepedulian dan belas kasih, dan mengakui martabat dari orang-orang yang kita temui.
38. Budaya digital telah meningkatkan akses kita terhadap orang lain secara signifikan. Ini juga memberi kita kesempatan untuk mendengarkan lebih banyak lagi. Seringkali ketika berbicara tentang “mendengarkan” di media sosial, referensi kita cenderung mengarah pada proses pemantauan data, statistik keterlibatan, dan tindakan yang ditujukan pada analisis pemasaran terhadap perilaku sosial yang ada di jaringan Internet. Tentu saja, media sosial tidak cukup menjadi tempat untuk mendengarkan dan berdialog. Mendengarkan dengan sengaja dalam konteks digital memerlukan mendengarkan dengan “telinga hati”. Mendengarkan dengan “telinga hati” melampaui kemampuan fisik untuk mendengar suara. Sebaliknya, hal ini mendorong kita untuk terbuka terhadap orang lain dengan segenap keberadaan kita: keterbukaan hati yang memungkinkan adanya kedekatan.[17] Ini adalah sikap penuh perhatian dan keramahtamahan yang merupakan hal mendasar dalam membangun komunikasi. Kebijaksanaan ini berlaku tidak hanya pada doa kontemplatif tetapi juga pada orang-orang yang mencari hubungan otentik dan komunitas sejati. Keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan dengan Yang Lain – Tuhan Allah – tetap menjadi kebutuhan mendasar manusia, hal ini juga terlihat dalam keinginan untuk terhubung dalam budaya digital.[18]
39. Dialog batin dan hubungan dengan Tuhan, yang dimungkinkan oleh karunia iman ilahi, sangat penting untuk memungkinkan kita bertumbuh dalam kemampuan mendengarkan dengan baik. Firman Allah juga mempunyai peran mendasar dalam dialog batin ini. Mendengarkan Firman dalam Kitab Suci dengan penuh doa melalui praktik pembacaan rohani teks-teks Alkitab, seperti dalam lectio divina, dapat menjadi sangat formatif karena memungkinkan adanya pengalaman yang mendalam, disengaja dan kontemplatif.[19]
40. “Firman Hari Ini” atau “Injil Hari Ini” adalah salah satu topik yang paling banyak dicari di Google oleh umat Kristiani, dan dapat dikatakan bahwa lingkungan digital telah menawarkan kepada kita banyak kemungkinan baru dan lebih mudah untuk “perjumpaan” rutin dengan Sabda ilahi. Perjumpaan kita dengan Firman Allah yang hidup, bahkan secara online, mengubah pendekatan kita dari melihat informasi di layar menjadi berjumpa dengan orang lain yang menceritakan suatu kisah. Jika kita ingat bahwa kita terhubung dengan orang lain di balik layar, latihan mendengarkan dapat meningkatkan kesediaan untuk menyambut kisah-kisah dari orang lain, dan mulai menjalin hubungan.
Memahami kehadiran kita di Media Sosial
41. Dari sudut pandang iman, apa yang harus dikomunikasikan dan bagaimana cara mengkomunikasikannya bukan hanya persoalan praktis tetapi juga persoalan rohani. Hadir di platform media sosial mendorong kearifan. Berkomunikasi dengan baik dalam konteks ini merupakan latihan kehati-hatian, dan memerlukan pertimbangan yang sungguh-sungguh tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Mendekati pertanyaan ini melalui kacamata pertanyaan ahli Taurat, “Siapakah sesamaku?”, memerlukan pemahaman mengenai kehadiran Tuhan dalam dan melalui cara kita berhubungan satu sama lain di platform media sosial.
42. Di media sosial, hidup sebagai sesama adalah konsep yang kompleks. “Sesama” di media sosial jelas merupakan orang-orang yang menjalin hubungan dengan kita. Pada saat yang sama, sesama kita juga sering kali tidak dapat kita lihat, baik karena platform menghalangi kita untuk melihatnya atau karena mereka tidak ada. Lingkungan digital juga dimanfaatkan oleh pengguna lain seperti “bot internet” dan “deepfakes”, program komputer otomatis yang beroperasi secara online dengan tugas tertentu, sering kali mensimulasikan tindakan manusia atau mengumpulkan data.
Selain itu, platform media sosial dikendalikan oleh “otoritas” eksternal, biasanya sebuah organisasi berorientasi laba yang mengembangkan, mengelola, dan mendorong perubahan terhadap cara kerja platform tersebut. Dalam arti yang lebih luas, mereka semua “tinggal di” atau berkontribusi pada “lingkungan” online.
43. Hidup sebagai sesama di dunia digital berarti kita mengakui bahwa kehidupan setiap orang adalah urusan kita, bahkan ketika kehadiran (atau ketidakhadiran) mereka dimediasi oleh sarana digital. “Media saat ini memang memungkinkan kita untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan dan kasih sayang,” seperti yang dikatakan Paus Fransiskus dalam Laudato si’, “namun terkadang mereka juga menghalangi kita dari kontak langsung dengan penderitaan, ketakutan, dan kegembiraan orang lain serta kompleksitas pengalaman pribadi mereka.”[20] Bersikap menjadi sesama bagi orang lain di media sosial berarti turut mendengarkan kisah mereka, terutama mereka yang sedang menderita. Dengan kata lain, mengadvokasi lingkungan digital yang lebih baik tidak berarti mengalihkan fokus dari permasalahan nyata yang dialami banyak orang – misalnya kelaparan, kemiskinan, migrasi paksa, perang, penyakit, dan kesepian. Sebaliknya, hal ini berarti mengadvokasi visi integral kehidupan manusia, yang saat ini mencakup dunia digital. Faktanya, media sosial dapat menjadi salah satu cara untuk menarik lebih banyak perhatian terhadap realitas ini dan membangun solidaritas di antara mereka yang dekat dan jauh.
44. Dalam memandang media sosial sebagai ruang tidak hanya untuk menjalin koneksi namun pada akhirnya untuk menjalin relasi, “pemeriksaan batin” yang tepat mengenai kehadiran kita di media sosial harus mencakup tiga hubungan penting: dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan di sekitar kita.[21] Hubungan kita dengan orang lain dan lingkungan kita harus memupuk hubungan kita dengan Tuhan; dan hubungan kita dengan Tuhan, yang merupakan hal paling penting, harus terlihat dalam hubungan kita dengan orang lain dan dengan lingkungan kita.
III. Dari perjumpaan menuju ke komunitas
“Rawatlah dia” (lih. Luk 10:35) – memperluas proses penyembuhan kepada orang lain.
Tatap muka
45. Komunikasi dimulai dengan koneksi dan bergerak menuju relasi, komunitas, dan persekutuan.[22] Tidak ada komunikasi tanpa adanya perjumpaan yang sejati. Berkomunikasi berarti menjalin relasi; itu adalah “bersama dengan”. Menjadi komunitas berarti berbagi dengan orang lain kebenaran-kebenaran mendasar tentang apa yang dianut seseorang (what one holds) dan apa adanya dirinya (what one is). Jauh dari sekedar kedekatan geografis-teritorial atau etnis-budaya, sebuah komunitas dibentuk berdasarkan kesediaan untuk berbagi kebenaran bersama dengan rasa saling memiliki, timbal balik, dan solidaritas, dalam berbagai bidang kehidupan sosial. Ketika mempertimbangkan unsur-unsur terakhir ini, pentinglah untuk diingat bahwa pembangunan kesatuan komunal melalui praktik komunikatif, yang menjaga ikatan sosial melintasi ruang dan waktu, akan selalu menjadi hal kedua dalam kaitannya dengan kepatuhan pada kebenaran itu sendiri.
46. Bagaimana membangun komunitas melalui praktik komunikatif bahkan di antara mereka yang tidak dekat secara fisik sebenarnya merupakan pertanyaan lama. Kita dapat mengidentifikasi ketegangan antara kehadiran yang dimediasi dan kerinduan akan perjumpaan secara langsung yang sudah ada dalam surat-surat para Rasul. Penginjil Yohanes, misalnya, mengakhiri suratnya yang kedua dan ketiga dengan mengatakan, “Sungguhpun banyak yang harus kutulis kepadamu, aku tidak mau melakukannya dengan kertas dan tinta, tetapi aku berharap datang sendiri kepadamu dan berbicara berhadapan muka dengan kamu, supaya sempurnalah sukacita kita” (2 Yoh 1:12). Hal yang sama juga berlaku bagi rasul Paulus, yang, bahkan ketika ia tidak ada dan “ingin bertemu” dengan orang-orang secara langsung (1 Tes 2:17), hadir melalui surat-suratnya dalam kehidupan setiap komunitas yang didirikannya (lih. 1 Kor 5:3). Tulisan-tulisannya juga berfungsi untuk “menghubungkan” komunitas-komunitas yang berbeda (lih. Kol 4:15-16). Kemampuan Paulus dalam membangun komunitas telah diwariskan hingga saat ini melalui banyak suratnya, di mana kita mengetahui bahwa baginya tidak ada dikotomi antara kehadiran fisik dan kehadiran melalui kata-kata tertulisnya yang dibaca oleh komunitas (lih. 2 Kor 10:9-11).
47. Dalam realitas kehidupan (onlife) yang semakin meningkat di dunia saat ini, kita perlu mengatasi logika “salah satu-atau (either-or)”, yang menganggap hubungan manusia dalam logika dikotomis (digital vs. nyata-fisik–secara langsung), dan mengasumsikan logika “keduanya-dan (both-and)”, yang didasarkan pada komplementaritas (saling melengkapi) dan integritas (keutuhan) kehidupan manusia dan sosial. Hubungan komunitas di jejaring media sosial harus memperkuat komunitas lokal dan sebaliknya. “Penggunaan jejaring sosial (social web) merupakan pelengkap bagi sebuah perjumpaan secara fisik, dan perjumpaan semacam itu menjadi kasatmata melalui tubuh, hati, mata, tatapan, dan napas orang lain. Jika Internet digunakan sebagai perpanjangan atau pengharapan serta kerinduan dari perjumpaan semacam itu, maka gagasan asli tentang jejaring sosial tidak dikhianati dan tetap menjadi sebuah sumber daya bagi persekutuan.”[23] “Dunia digital dapat menjadi suatu lingkungan yang kaya dalam kemanusiaan; suatu jejaring bukanlah untaian kabel-kabel, tetapi hubungan orang-orang,”[24] jika kita mengingat bahwa di sisi lain layar tidak hanya ada “angka” atau sekedar “kumpulan individu”, tetapi orang-orang yang memiliki berbagai kisah, mimpi, harapan, penderitaan. Di sana, ada nama dan wajah.
Di jalan menuju Yerikho
48. Media digital memungkinkan orang untuk berjumpa melampaui batas ruang dan budaya. Meskipun perjumpaan digital ini belum tentu menghadirkan keintiman secara fisik, namun pertemuan tersebut dapat bermakna, berdampak, dan nyata. Lebih dari sekadar koneksi, hal ini dapat menjadi jalan untuk terlibat secara tulus dengan orang lain, untuk terlibat dalam percakapan yang bermakna, untuk mengekspresikan solidaritas, dan untuk meringankan keterasingan dan rasa sakit seseorang.
49. Media sosial dapat dilihat sebagai “jalan menuju Yerikho” yang lain, yang penuh dengan kesempatan bagi perjumpaan tak terduga seperti yang dialami oleh Yesus: seorang pengemis buta yang berteriak keras di pinggir jalan (lih. Luk 18:35-43), seorang pemungut cukai yang tidak jujur yang bersembunyi di dahan pohon ara (lih. Luk 19:1-9) dan seorang terluka yang ditinggalkan setengah mati oleh para perampok (lih. Luk 10:30). Pada saat yang sama, perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati mengingatkan kita bahwa hanya karena seseorang tergolong “religius” (seorang imam atau orang Lewi) atau mengaku sebagai pengikut Yesus, hal tersebut bukanlah jaminan bahwa mereka akan memberikan bantuan atau mencari penyembuhan dan rekonsiliasi. Orang buta itu ditegur oleh murid-murid Yesus dan disuruh diam; interaksi Zakheus dengan Yesus diiringi dengan sungut-sungut orang lain; orang yang terluka itu diabaikan begitu saja oleh imam dan orang Lewi saat mereka lewat.
50. Di persimpangan jalan digital, seperti halnya dalam perjumpaan tatap muka, menjadi “Kristen” saja tidaklah cukup. Banyak profil atau akun di media sosial yang memberitakan konten keagamaan tetapi tidak terlibat dalam dinamika relasional dengan cara yang setia. Interaksi yang bermusuhan dan kata-kata yang kasar serta merendahkan, terutama dalam konteks berbagi konten Kristiani, muncul dari layar dan merupakan kontradiksi dengan Injil itu sendiri.[25]
Sebaliknya, Orang Samaria yang Baik Hati, yang penuh perhatian dan terbuka untuk menghadapi orang yang terluka, tergerak oleh belas kasihan untuk bertindak dan merawatnya. Dia merawat luka korban dan membawanya ke penginapan untuk memastikan perawatan berkelanjutan. Demikian pula, keinginan kita untuk menjadikan media sosial sebagai ruang yang lebih manusiawi dan relasional harus diwujudkan dalam sikap nyata dan tindakan kreatif.
51. Menumbuhkan rasa kebersamaan (sense of community) mencakup sikap memperhatikan nilai-nilai, pengalaman, harapan, kesedihan, kegembiraan, humor, bahkan lelucon bersama, yang dengan sendirinya dapat menjadi titik kumpul orang-orang di ruang digital. Seperti halnya mendengarkan, membedakan, dan menghadapi, membentuk komunitas dengan orang lain memerlukan komitmen pribadi. Apa yang didefinisikan sebagai “persahabatan” oleh platform media sosial dimulai hanya sebagai koneksi atau keakraban. Namun, di sana ada juga kemungkinan untuk menekankan semangat dukungan dan persahabatan bersama. Menjadi komunitas memerlukan partisipasi yang bebas dan bersifat timbal balik; menjadi perhimpunan yang diinginkan yang mengumpulkan anggota berdasarkan kedekatan. Kebebasan dan sikap saling mendukung tidak muncul dengan sendirinya. Untuk membentuk komunitas, upaya penyembuhan dan rekonsiliasi seringkali menjadi langkah pertama yang harus diambil.
52. Bahkan di media sosial, “kita harus memutuskan apakah kita akan menjadi orang Samaria yang baik hati atau orang yang acuh tak acuh. Dan jika kita memperluas pandangan kita pada sejarah kehidupan kita sendiri dan sejarah seluruh dunia, maka kita semua adalah, atau pernah menjadi, seperti masing-masing tokoh dalam perumpamaan tersebut. Dalam diri kita sendiri, kita semua memiliki sesuatu yang menyerupai orang yang terluka, perampok, orang yang lewat begitu saja, dan orang Samaria yang Baik Hati.”[26]
Kita semua dapat menjadi pejalan kaki di jalan raya digital – sekadar “terhubung (connected)”[27] -, atau kita dapat melakukan sesuatu seperti orang Samaria dan membiarkan koneksi tumbuh menjadi perjumpaan nyata. Pejalan kaki biasa menjadi sesama ketika dia merawat orang yang terluka dengan membalut lukanya. Dalam merawat orang tersebut, ia bertujuan untuk menyembuhkan tidak hanya luka fisik tetapi juga perpecahan dan permusuhan yang ada di antara kelompok sosial mereka.
53. Lalu, apa yang dimaksud dengan “menyembuhkan” luka di media sosial? Bagaimana kita dapat “menjalin” sesuatu yang telah terpecah belah? Bagaimana kita dapat membangun lingkungan gerejawi yang mampu menyambut dan mengintegrasikan “batas geografis dan eksistensial” budaya masa kini? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini penting untuk membedakan kehadiran Kristiani kita di jalan raya digital (digital highways).
“Saat ini kita mempunyai kesempatan besar untuk mengekspresikan rasa persaudaraan yang merupakan ciri khas kita, untuk menjadi orang Samaria yang baik hati yang menanggung penderitaan orang lain daripada mengobarkan kebencian dan rasa dendam yang lebih besar. Seperti halnya pengembara yang kebetulan lewat dalam perumpamaan tersebut, kita hanya perlu memiliki keinginan yang murni dan sederhana untuk menjadi suatu bangsa, sebuah komunitas, yang terus-menerus dan tak kenal lelah dalam upaya untuk melibatkan, mengintegrasikan, dan mengangkat mereka yang terjatuh.”[28]
“Pergilah, dan perbuatlah demikian”
54. Relasi menghasilkan relasi, komunitas membangun komunitas. Anugerah relasi/hubungan yang dibangun antara dua orang melampaui interaksi mereka. Pribadi manusia diciptakan untuk hubungan dan komunitas. Pada saat yang sama, kesepian dan isolasi mengganggu realitas budaya kita, seperti yang kita alami selama pandemi COVID-19. Mereka yang mencari teman, terutama kelompok marginal, sering kali beralih ke ruang digital untuk menemukan komunitas, inklusi, dan solidaritas dengan orang lain. Meskipun banyak orang merasa terhibur dengan berhubungan dengan orang lain di ruang digital, ada pula yang merasa hal tersebut tidak memadai. Kita mungkin gagal memberikan ruang bagi mereka yang ingin terlibat dalam dialog dan mencari dukungan tanpa bersikap menghakimi atau defensif.
55. Pergerakan dari perjumpaan ke relasi dan kemudian komunitas menunjukkan anugerah dan tantangan budaya digital. Terkadang komunitas online terbentuk ketika orang-orang menemukan kesamaan yang menjadi titik temu untuk melawan “orang lain” yang dianggap sebagai pihak eksternal dan merupakan musuh ideologis bersama. Polarisasi semacam ini menghasilkan “tribalisme digital” di mana kelompok-kelompok diadu satu sama lain dalam semangat permusuhan. Kita tidak boleh melupakan kehadiran orang lain, saudara dan saudari kita, orang-orang yang memiliki martabat di seberang garis kesukuan ini. “Kita tidak boleh mengkategorikan orang lain untuk memutuskan siapa yang merupakan sesama kita dan siapa yang bukan : terserah saya apakah akan menjadi sesama atau tidak – keputusan ada di tangan saya –, terserah saya apakah akan menjadi sesama bagi orang yang saya jumpai, yang membutuhkan bantuan; bahkan meskipun mereka adalah orang asing atau mungkin bersikap memusuhi.”[29] Sayangnya, rusaknya hubungan, konflik, dan perpecahan bukanlah hal yang asing bagi Gereja. Misalnya, ketika kelompok-kelompok yang menampilkan diri mereka sebagai “Katolik” menggunakan kehadiran mereka di media sosial untuk mendorong perpecahan, mereka tidak berperilaku seperti yang seharusnya dilakukan oleh komunitas Kristen.[30] Daripada memanfaatkan konflik dan clickbait yang saling bermusuhan, sikap bermusuhan seharusnya menjadi peluang untuk melakukan pertobatan, kesempatan untuk menjadi saksi dari perjumpaan, dialog, dan rekonsiliasi di sekitar permasalahan yang tampaknya memecah belah[31].
56. Keterlibatan dalam media sosial harus melampaui pertukaran pendapat pribadi atau meniru perilaku. Aksi sosial yang dimobilisasi melalui media sosial mempunyai dampak yang lebih besar dan sering kali lebih efektif dalam mengubah dunia dibandingkan perdebatan dangkal mengenai gagasan. Perdebatan biasanya dibatasi oleh jumlah karakter yang diperbolehkan dan kecepatan orang bereaksi terhadap komentar, belum lagi argumen emosional ad hominem – serangan yang ditujukan kepada orang yang berbicara, terlepas dari keseluruhan topik yang sedang dibahas.
Berbagi ide memang perlu, namun ide saja tidak akan berhasil; mereka harus menjadi “daging”. Tindakan harus menyuburkan tanah hari demi hari.[32]
Belajar dari orang Samaria, kita dipanggil untuk memperhatikan dinamika ini. Dia tidak berhenti pada rasa kasihan; dia bahkan tidak berhenti membalut luka orang asing. Dia melangkah lebih jauh, membawa pria yang terluka itu ke penginapan dan mengatur perawatan selanjutnya.[33] Melalui pengaturan ini, hubungan kepedulian dan benih komunitas yang dibangun antara orang Samaria dan orang yang terluka diperluas ke pemilik penginapan dan rumah tangganya.
Seperti halnya si Ahli Taurat, kita juga, di hadapan media digital, diundang untuk “pergi dan melakukan hal yang sama” dan dengan demikian mempromosikan kebaikan bersama. Bagaimana kita dapat membantu memulihkan lingkungan digital yang beracun? Bagaimana kita dapat meningkatkan keramahtamahan (hospitality) dan peluang untuk penyembuhan dan rekonsiliasi?
57. Keramahtamahan dibangun di atas keterbukaan yang kita bawa untuk berjumpa dengan orang lain; melaluinya, kita menyambut Kristus dalam sosok orang asing (lih. Mat 25:40). Untuk itu, komunitas digital harus berbagi konten dan minat, namun juga bertindak bersama dan menjadi saksi persekutuan. Sudah ada ekspresi kuat dari komunitas orang-orang yang peduli dalam konteks digital. Misalnya, ada komunitas yang berkumpul untuk mendukung orang lain yang sedang sakit, kehilangan, dan berduka, serta komunitas yang melakukan penggalangan dana (crowdfunding) untuk seseorang yang membutuhkan dan ada pula yang memberikan dukungan sosial dan psikologis di antara anggotanya. Semua upaya ini dapat dianggap sebagai contoh “kedekatan digital”. Orang-orang yang sangat berbeda satu sama lain dapat terlibat dalam “dialog aksi sosial” online. Mereka mungkin terinspirasi atau tidak oleh iman. Bagaimanapun, komunitas yang dibentuk untuk bertindak demi kebaikan orang lain adalah kunci untuk mengatasi isolasi di media sosial.
58. Kita bisa berpikir lebih luas lagi: jejaring sosial tidak dibuat dari batu. Kita bisa mengubahnya. Kita bisa menjadi penggerak perubahan, dengan membayangkan model-model baru yang dibangun berdasarkan kepercayaan, transparansi, kesetaraan, dan inklusi. Bersama-sama, kita dapat mendesak perusahaan media untuk mempertimbangkan kembali peran mereka dan menjadikan Internet sebagai ruang publik. Ruang publik yang terstruktur dengan baik mampu mendorong perilaku sosial yang lebih baik. Oleh karena itu, kita perlu membangun kembali ruang digital agar menjadi lingkungan yang lebih manusiawi dan lebih sehat.
Berbagi Makanan
59. Sebagai komunitas beriman, Gereja sedang berziarah menuju Kerajaan Surga. Karena media sosial dan, lebih luas lagi, realitas digital merupakan aspek penting dalam perjalanan ini, penting untuk merefleksikan dinamika persekutuan dan komunitas dibandingkan dengan kehadiran Gereja di lingkungan digital.
Pada masa-masa lockdown yang paling parah selama pandemi, penyiaran perayaan liturgi melalui media sosial dan sarana komunikasi lainnya memberikan kenyamanan bagi mereka yang tidak dapat berpartisipasi secara langsung. Namun, masih banyak hal yang perlu direnungkan dalam komunitas iman kita tentang bagaimana memanfaatkan lingkungan digital dengan cara yang melengkapi kehidupan sakramental. Pertanyaan-pertanyaan teologis dan pastoral telah diajukan sehubungan dengan berbagai topik: misalnya, eksploitasi komersial dari penyiaran ulang Misa Kudus.
60. Komunitas gerejawi terbentuk ketika dua atau tiga orang berkumpul dalam nama Yesus (lih. Mat 18:20) tanpa memandang asal, tempat tinggal atau afiliasi geografis seseorang. Meskipun kita dapat mengakui bahwa melalui penyiaran Misa, Gereja telah masuk ke dalam rumah-rumah umat, kita perlu merenungkan apa arti “partisipasi” dalam Ekaristi.[34] Munculnya budaya digital dan pengalaman pandemi telah mengungkapkan betapa inisiatif pastoral kita kurang memberikan perhatian pada “Gereja domestik”, yaitu Gereja yang berkumpul di rumah-rumah dan di sekitar meja makan. Dalam hal ini, kita perlu menemukan kembali hubungan antara liturgi yang dirayakan di gereja kita dengan perayaan Tuhan melalui gerak tubuh, perkataan dan doa di rumah keluarga. Dengan kata lain, kita perlu membangun kembali jembatan antara meja keluarga kita dan altar, di mana kita diberi makan secara rohani melalui penerimaan Ekaristi Kudus dan dikuatkan dalam persekutuan sebagai umat beriman.
61. Seseorang tidak dapat berbagi makanan melalui layar.[35] Semua indera kita terlibat ketika kita berbagi makanan: rasa dan bau, pandangan sekilas ke wajah para pengunjung, mendengarkan percakapan di meja. Berbagi makan di meja adalah pendidikan pertama kita dalam memperhatikan orang lain, membina hubungan antar anggota keluarga, tetangga, teman, dan kolega. Demikian pula, kita berpartisipasi dengan keseluruhan pribadi di altar: pikiran, roh, dan tubuh terlibat. Liturgi adalah pengalaman indrawi; kita memasuki misteri Ekaristi melalui pintu indera yang terbangun dan dipenuhi kebutuhannya akan keindahan, makna, harmoni, visi, interaksi dan emosi. Di atas semuanya itu, Ekaristi bukanlah sesuatu yang bisa kita “tonton” begitu saja; Ekaristi adalah sesuatu yang benar-benar memberi makan kepada kita.
62. Inkarnasi sungguhlah penting bagi umat Kristiani. Firman Allah menjadi manusia yang bertubuh, Dia menderita dan mati bersama tubuh-Nya, dan Dia bangkit kembali dalam Kebangkitan dengan tubuh-Nya. Setelah Dia kembali kepada Bapa, segala sesuatu yang Dia alami dalam tubuh-Nya mengalir ke dalam Sakramen-sakramen.[36] Dia masuk ke dalam Bait Suci surgawi dan membuka jalan peziarah yang melaluinya surga dicurahkan kepada kita.
63. Terhubung melampaui batasan ruang bukanlah pencapaian “penemuan teknologi yang luar biasa”. Itu adalah sesuatu yang kita alami, bahkan tanpa menyadarinya, setiap kali kita “berkumpul dalam nama Yesus”, setiap kali kita berpartisipasi dalam persekutuan universal tubuh Kristus. Di sana, kita “terhubung” dengan Yerusalem surgawi dan berjumpa dengan orang-orang kudus sepanjang masa dan mengakui satu sama lain sebagai bagian dari Tubuh Kristus yang sama.
Oleh karena itu, seperti yang diingatkan Paus Fransiskus kepada kita dalam Pesan Hari Komunikasi Sedunia tahun 2019, jejaring sosial melengkapi – namun tidak menggantikan – perjumpaan fisik yang menjadi kasat mata melalui tubuh, hati, mata, tatapan, dan napas orang lain. “Jika satu keluarga memakai Internet agar semakin terhubung, dan kemudian berkumpul di meja makan dan saling bertatap muka, maka Internet menjadi sebuah sumber daya. Jika sebuah komunitas Gereja mengatur kegiatannya melalui Internet dan kemudian merayakan Ekaristi bersama, maka Internet menjadi sebuah sumber daya. (…) Gereja itu sendiri adalah sebuah jejaring yang diteguhkan bersama melalui Ekaristi, di mana persatuan tidak berdasarkan ‘like’, tetapi dilandasi oleh kebenaran iman dan pernyataan ‘Amin’. Dengan demikian, masing-masing anggota melekat erat pada Tubuh Kristus dan sekaligus terbuka menyambut orang lain.”[37]
IV. Gaya yang khas
Kasihilah … maka engkau akan hidup (lih. Luk 10:27-28).
Isi (what) dan cara (how): Kreativitas kasih
64. Banyak pembuat konten Kristen bertanya pada diri sendiri: Strategi apa yang paling efektif untuk menjangkau lebih banyak pengguna-pribadi-jiwa? Alat apa yang membuat konten saya lebih menarik? Gaya apa yang paling efektif? Meskipun pertanyaan-pertanyaan ini bermanfaat, kita harus selalu ingat bahwa komunikasi bukan sekadar “strategi”. Ini lebih dari itu. Seorang komunikator sejati memberikan segalanya, memberikan seluruh dirinya. Kita berkomunikasi dengan jiwa dan dengan tubuh kita, dengan pikiran, hati, tangan kita, dengan segalanya.[38]
Dengan berbagi Roti Kehidupan, kita belajar “gaya berbagi” dari Dia yang mengasihi kita dan memberikan diri-Nya bagi kita (lih. Gal 2:20). Gaya ini tercermin dalam tiga sikap – “kedekatan, belas kasih dan kelembutan” – yang diakui oleh Paus Fransiskus sebagai ciri khas gaya Tuhan.[39] Yesus sendiri, dalam perjamuan makan terakhir-Nya, meyakinkan kita bahwa ciri khas murid-murid-Nya adalah mengasihi satu sama lain sebagaimana Ia telah mengasihi mereka. Dengan ini, setiap orang dapat mengenali komunitas Kristiani (lih. Yoh 13:34-35).
Bagaimana seseorang dapat mencerminkan “gaya” Tuhan di media sosial?
65. Pertama-tama, kita harus ingat bahwa apa pun yang kita bagikan dalam postingan, komentar, dan suka kita, baik secara lisan maupun tertulis, dalam film atau gambar animasi, harus selaras dengan gaya yang kita pelajari dari Kristus yang menyampaikan pesan-Nya tidak hanya dalam ucapan tetapi dalam seluruh cara hidup-Nya, mengungkapkan bahwa komunikasi, pada tingkat yang paling mendalam, adalah pemberian diri dalam cinta.[40] Oleh karena itu, cara kita mengatakan sesuatu sama pentingnya dengan isi yang kita katakan. Seluruh kreativitas diberdayakan untuk memastikan bahwa cara sesuai dengan isi. Dengan kata lain, kita hanya dapat berkomunikasi dengan baik jika kita “mencintai dengan baik”.[41]
66. Untuk menyampaikan kebenaran, pertama-tama kita harus memastikan bahwa kita menyampaikan informasi yang benar; tidak hanya dalam membuat konten, tetapi juga dalam membagikannya. Kita harus memastikan bahwa kita adalah sumber terpercaya. Untuk mengkomunikasikan kebaikan, kita memerlukan konten yang berkualitas, pesan yang berorientasi untuk membantu, bukan untuk merugikan; untuk mendorong tindakan positif, tidak membuang waktu dalam diskusi yang tidak berguna. Untuk mengkomunikasikan keindahan, kita perlu memastikan bahwa kita mengkomunikasikan pesan secara keseluruhan, yang memerlukan seni kontemplasi – seni yang memungkinkan kita melihat realitas atau peristiwa yang terkait dengan banyak realitas dan peristiwa lainnya.
Dalam konteks “pasca-kebenaran (post-truth)” dan “berita palsu (fake news)” di zaman sekarang, Yesus Kristus, “jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6), mewakili prinsip persekutuan kita dengan Allah dan satu sama lain.[42] Seperti yang diingatkan Paus Fransiskus kepada kita dalam Pesan Hari Komunikasi Sedunia tahun 2019, “Tugas untuk menjaga kebenaran muncul dari kebutuhan untuk tidak mengingkari hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan di dalam sebuah persekutuan. Di sini lain, dusta atau kebohongan adalah penolakan yang egois untuk mengakui bahwa kita adalah sesama anggota, bagian dari tubuh yang satu dan sama. Dusta atau kebohongan adalah penolakan kita untuk memberikan diri kepada sesama sehingga kita kehilangan satu-satunya cara untuk menemukan diri kita sendiri.”[43]
67. Oleh karena itu, hal kedua yang perlu diingat adalah bahwa suatu pesan akan lebih mudah meyakinkan jika yang menyampaikannya termasuk dalam komunitas. Ada kebutuhan mendesak untuk bertindak tidak hanya sebagai individu, tetapi sebagai komunitas. Fakta bahwa media sosial memfasilitasi inisiatif individu dalam produksi konten mungkin tampak seperti sebuah peluang yang berharga namun dapat menjadi masalah ketika aktivitas individu dilakukan secara tidak terduga dan tidak mencerminkan tujuan dan pandangan komunitas Gereja secara keseluruhan. Mengesampingkan agenda kita sendiri dan pengakuan atas kemampuan dan keterampilan kita sendiri, supaya makin nyatalah bahwa masing-masing dari kita – dengan segala bakat dan kelemahan kita – adalah bagian dari suatu kelompok, merupakan anugerah yang memberdayakan kita untuk berkolaborasi sebagai “sesama anggota”. Kita dipanggil untuk memberikan kesaksian tentang gaya komunikasi yang memupuk rasa memiliki satu sama lain, dan menghidupkan kembali apa yang disebut Santo Paulus sebagai “sendi-sendi” yang memampukan anggota-anggota tubuh untuk bertindak secara sinergi (Kol 2:19).
68. Kreativitas kita merupakan hasil dari persekutuan: kreativitas kita bukanlah hasil dari kejeniusan individu yang hebat, melainkan buah dari persahabatan yang kuat. Dengan kata lain, itu adalah buah dari cinta. Sebagai komunikator Kristen, kita dipanggil untuk memberikan kesaksian tentang gaya komunikasi yang tidak hanya didasarkan pada individu, namun pada cara membangun dan memiliki komunitas. Cara terbaik untuk menyampaikan konten adalah dengan menyatukan suara orang-orang yang mencintai konten tersebut. Bekerja bersama sebagai satu tim, memberi ruang bagi bakat, latar belakang, kapasitas, dan ritme yang beragam, menciptakan keindahan dalam sebuah “kreativitas simfonik”, sungguhlah merupakan kesaksian terindah bahwa kita benar-benar anak-anak Allah, yang ditebus dari kepedulian hanya pada diri sendiri dan yang terbuka untuk perjumpaan dengan orang lain.
Ceritakanlah dengan sebuah kisah (story)
69. Kisah-kisah yang baik menarik perhatian dan melibatkan imajinasi. Mereka mengungkapkan kebenaran dan menawarkan keterbukaan untuk menyambutnya. Kisah-kisah tersebut memberi kita kerangka penafsiran untuk memahami dunia dan menjawab pertanyaan terdalam kita. Kisah membangun komunitas, karena komunitas selalu dibangun melalui komunikasi.
Bercerita (storytelling) kini menjadi semakin penting dalam budaya digital karena keunggulan unik dari kisah untuk menarik perhatian kita dan berbicara langsung kepada kita. Kisah-kisah juga memberikan konteks komunikasi yang lebih lengkap daripada yang mungkin dilakukan dalam postingan atau tweet yang terpotong. Budaya digital penuh dengan informasi dan sebagian besar platformnya berada dalam lingkungan yang kacau. Kisah menawarkan struktur, cara untuk memahami pengalaman digital. Lebih “mendalam” daripada sekadar argumen dan lebih kompleks daripada reaksi dangkal dan emosional yang sering ditemui di platform digital, kisah-kisah tersebut membantu memulihkan hubungan antarmanusia dengan menawarkan kesempatan kepada orang-orang untuk menyampaikan kisah mereka atau membagikan kisah-kisah yang telah mengubah mereka.
70. Alasan yang baik untuk menceritakan sebuah kisah adalah untuk menanggapi orang-orang yang mempertanyakan pesan atau misi kita. Membuat narasi tandingan bisa lebih efektif dalam membalas komentar kebencian dibandingkan menjawab dengan argumen.[44] Dengan cara ini kita mengalihkan perhatian dari pembelaan ke promosi aktif pesan positif dan penanaman solidaritas, seperti yang dilakukan oleh Yesus dengan kisah Orang Samaria yang Baik Hati. Daripada berdebat dengan ahli Taurat tentang siapa yang harus kita anggap sebagai sesama kita dan siapa yang bisa kita abaikan atau bahkan benci, Yesus hanya menceritakan sebuah kisah. Sebagai seorang pendongeng ulung, Yesus tidak menempatkan ahli Taurat pada posisi orang Samaria, namun pada posisi orang yang terluka. Untuk mengetahui siapa sesamanya, pertama-tama dia harus memahami bahwa dia ada di posisi orang yang terluka dan ada orang lain yang menaruh belas kasihan padanya. Hanya ketika ahli Taurat tersebut telah menemukan hal ini dan telah mengalami kepedulian orang Samaria terhadap dirinya, barulah dia dapat menarik kesimpulan tentang kehidupannya sendiri dan menjadikan kisah itu sebagai miliknya. Ahli Taurat itu sendiri adalah orang yang jatuh ke tangan para perampok, dan orang Samaria yang mendekatinya adalah Yesus.
Masing-masing dari kita, yang mendengarkan kisah ini, adalah orang terluka yang tergeletak di sana. Dan bagi kita masing-masing, orang Samaria itu adalah Yesus. Jika kita masih bertanya “Siapakah sesamaku ?”, itu berarti kita masih belum mengalami bahwa kita dicintai dan bahwa hidup kita terhubung dengan setiap kehidupan.
71. Sejak awal berdirinya Gereja, menceritakan kisah pengalaman mendalam yang dialami para pengikut Yesus di hadapan-Nya telah menarik orang lain untuk menjadi murid Kristus. Kisah Para Rasul penuh dengan contoh-contoh seperti itu. Misalnya, Petrus diberi kuasa oleh Roh Kudus dan memberitakan Kebangkitan Kristus kepada para peziarah pada hari Pentakosta. Hal ini membuahkan pertobatan tiga ribu orang (lih. Kis 2:14-41). Di sini kita mendapatkan gambaran tentang seberapa besar pengaruh kisah kita terhadap orang lain. Pada saat yang sama, menceritakan kisah dan pengalaman hanyalah salah satu unsur dari evangelisasi. Penjelasan sistematis tentang iman yang dilakukan melalui perumusan Credo dan karya doktrinal lainnya juga penting.
Membangun komunitas di dunia yang terpecah belah
72. Orang-orang mencari seseorang yang dapat memberikan arah dan harapan; mereka haus akan kepemimpinan moral dan spiritual, namun mereka seringkali tidak menemukannya di tempat-tempat tradisional. Saat ini sudah menjadi hal yang umum untuk beralih kepada “influencer”, yaitu individu yang mendapatkan dan mempertahankan banyak pengikut, yang memperoleh visibilitas lebih besar dan mampu menginspirasi serta memotivasi orang lain dengan ide atau pengalaman mereka. Diadopsi dari teori opini publik untuk pendekatan pemasaran media sosial, keberhasilan seorang influencer media sosial terkait dengan kemampuannya untuk menonjol dalam luasnya jaringan dengan menarik banyak pengikut (followers).
73. Pada dasarnya, menjadi “viral” adalah tindakan yang netral; tidak serta merta memberikan dampak positif atau negatif terhadap kehidupan orang lain. Dalam hal ini, “Jejaring sosial dapat memperlancar relasi dan memajukan kesejahteraan masyarakat, namun jejaring sosial itu juga dapat menyebabkan pertentangan dan perpecahan yang lebih dalam di antara pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok. Dunia digital adalah ruang umum terbuka, sebuah tempat pertemuan di mana kita bisa saling mendukung atau menjatuhkan, terlibat dalam diskusi sarat makna atau melakukan serangan yang tidak jujur.”[45]
Influencer mikro dan makro
74. Kita semua harus menganggap serius “pengaruh” kita. Tidak hanya makro-influencer dengan audiens yang besar, tetapi juga mikro-influencer. Setiap orang Kristen adalah mikro-influencer. Setiap orang Kristen harus menyadari potensi pengaruhnya, tidak peduli berapa banyak pengikutnya. Pada saat yang sama, ia perlu menyadari bahwa nilai pesan yang disampaikan oleh “influencer” Kristen tidak bergantung pada kualitas pembawa pesan. Setiap pengikut Kristus mempunyai potensi untuk menjalin hubungan, bukan dengan dirinya sendiri, namun dengan Kerajaan Allah, bahkan untuk lingkaran terkecil dalam hubungannya. “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu” (Kis 16:31).
Namun, kita harus menyadari bahwa tanggung jawab kita meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah pengikut. Semakin banyak jumlah pengikut, seharusnya semakin besar pula kesadaran bahwa kita tidak bertindak atas nama diri kita sendiri. Tanggung jawab untuk melayani komunitas, terutama bagi mereka yang memegang peran kepemimpinan publik, harus menjadi prioritas utama dan tidak boleh digeser oleh kegiatan untuk mempromosikan opini pribadi melalui kanal-kanal media digital yang bersifat publik[46].
Bersikaplah reflektif, bukan reaktif
75. Gaya Kristiani di media sosial haruslah bersifat reflektif dan bukannya reaktif. Oleh karena itu, kita semua harus berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam perangkap digital yang tersembunyi dalam konten yang sengaja dirancang untuk menyebarkan konflik di antara pengguna dengan menimbulkan kemarahan atau reaksi emosional.
Kita harus berhati-hati dalam memposting dan membagikan konten yang dapat menyebabkan kesalahpahaman, memperburuk perpecahan, memicu konflik, dan memperdalam prasangka. Sayangnya, kecenderungan untuk terbawa suasana dalam diskusi yang panas dan terkadang tidak sopan adalah hal biasa dalam percakapan online. Kita semua mungkin tergoda untuk mencari “selumbar di mata” saudara-saudari kita (Mat 7:3) dengan melontarkan tuduhan di media sosial, memicu perpecahan dalam komunitas Gereja atau berdebat tentang siapa yang terbesar di antara kita, seperti yang dilakukan murid-murid pertama (Luk 9:46). Masalah komunikasi yang bersifat polemik dan dangkal, sehingga memecah-belah, menjadi sangat mengkhawatirkan jika hal tersebut datang dari para pemimpin Gereja: uskup, pastor, dan pemimpin awam terkemuka. Hal ini tidak hanya menyebabkan perpecahan dalam masyarakat tetapi juga memberikan izin dan legitimasi bagi orang lain untuk mempromosikan jenis komunikasi serupa.
Dalam menghadapi godaan ini, seringkali tindakan terbaik adalah dengan tidak bereaksi, atau bereaksi dengan diam agar tidak mengagung-agungkan dinamika yang salah ini. Dapat dikatakan bahwa dinamika semacam ini tidak membangun; sebaliknya, hal itu menyebabkan kerugian yang besar. Oleh karena itu, umat Kristiani terpanggil untuk menunjukkan jalan lain.
Bersikaplah aktif, bersikaplah sinodal
76. Media sosial bisa menjadi peluang untuk berbagi kisah dan pengalaman keindahan atau penderitaan yang secara fisik jauh dari kita. Dengan demikian, kita dapat berdoa bersama dan mencari kebaikan bersama, menemukan kembali apa yang mempersatukan kita.[47] Bersikap aktif berarti terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari: kegiatan-kegiatan yang meningkatkan martabat dan pembangunan manusia, bertujuan untuk mengurangi kesenjangan digital, mendorong akses digital terhadap informasi dan literasi, memajukan prakarsa-prakarsa pengelolaan dan penggalangan dana (crowdfunding) yang berpihak pada mereka yang miskin dan terpinggirkan serta memberikan suara kepada mereka yang tidak bisa bersuara di masyarakat.
Tantangan yang kita hadapi bersifat global sehingga memerlukan upaya kolaboratif global. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk belajar bertindak bersama, sebagai sebuah komunitas dan bukan sebagai individu. Bukan sebagai “pemberi pengaruh individual”, namun sebagai “penjalin persekutuan”: menyatukan bakat dan keterampilan kita, berbagi pengetahuan dan kontribusi[48].
Oleh karena itu, Yesus mengutus murid-muridnya “berdua-dua” (bdk. Mrk 6:7), sehingga dengan berjalan bersama[49] kita dapat mengungkapkan, juga melalui media sosial, wajah sinodal dari Gereja. Inilah makna mendalam dari persekutuan yang mempersatukan semua orang yang dibaptis di seluruh dunia. Sebagai orang Kristen, persekutuan adalah bagian dari “DNA” kita. Dengan demikian, Roh Kudus memampukan kita untuk membuka hati kita kepada orang lain dan merangkul keanggotaan kita dalam persaudaraan universal.
Tanda kesaksian
77. Kehadiran kita di media sosial biasanya berfokus pada penyebaran informasi. Dalam konteks ini, penyampaian ide, ajaran, pemikiran, refleksi spiritual, dan sejenisnya di media sosial harus setia pada tradisi Kristiani. Namun, hal itu tidaklah cukup. Selain kemampuan kita untuk menjangkau orang lain dengan konten keagamaan yang menarik, kita sebagai orang Kristen seharusnya dikenal karena kesediaan kita untuk mendengarkan, untuk menimbang-nimbang secara cermat sebelum bertindak, untuk memperlakukan semua orang dengan hormat, untuk menanggapi dengan pertanyaan daripada menghakimi, untuk tetap diam daripada memicu kontroversi dan untuk menjadi “cepat mendengar, lambat berbicara, lambat marah” (Yak 1:19). Dengan kata lain, semua yang kita lakukan, baik dalam perkataan maupun perbuatan, harus menunjukkan tanda kesaksian. Kita tidak hadir di media sosial untuk “menjual produk”. Kita tidak mengiklankan, tapi mengkomunikasikan kehidupan, kehidupan yang diberikan kepada kita di dalam Kristus. Oleh karena itu, setiap orang Kristen haruslah berhati-hati untuk tidak melakukan proselitisme, namun memberikan kesaksian.
78. Apa artinya menjadi saksi? Kata Yunani untuk kesaksian adalah “martir,” dan karena itu bisa dikatakan bahwa para “influencer Kristen” yang paling berpengaruh adalah para martir. Daya tarik para martir adalah bahwa mereka mewujudkan persatuan mereka dengan Tuhan melalui pengorbanan hidup mereka.[50] “Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, – dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri” (1 Kor 6:19). Tubuh para martir adalah sarana keteladanan untuk mengungkapkan kasih Tuhan.
Meskipun kemartiran adalah tanda utama dari kesaksian Kristiani, setiap orang Kristen dipanggil untuk mengorbankan dirinya sendiri: kehidupan Kristiani adalah sebuah panggilan untuk menjadikan keberadaan kita sebagai sebuah persembahan diri, jiwa dan raga, untuk menjadi ruang bagi komunikasi kasih Allah, sebuah tanda yang menunjuk kepada Anak Allah.
Dalam pengertian ini, kita dapat lebih memahami kata-kata Yohanes Pembaptis, saksi pertama Kristus: “Ia harus makin besar; tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30). Seperti sang Pelopor ini, yang mendorong murid-muridnya untuk mengikuti Kristus, kita juga tidak mengejar “pengikut” (followers) untuk diri kita sendiri, namun untuk Kristus. Kita hanya dapat mewartakan Injil dengan menjalin persekutuan yang mempersatukan kita dalam Kristus. Kita melakukan ini dengan mengikuti teladan Yesus dalam berinteraksi dengan orang lain.
79. Daya tarik iman menjangkau orang-orang di mana pun mereka berada dan bagaimana pun keadaan mereka saat ini. Dari seorang tukang kayu tak dikenal dari Nazareth, Yesus dengan cepat mendapatkan popularitas di seluruh wilayah Galilea. Dengan penuh belas kasih, Yesus memandang orang banyak yang bagaikan domba tanpa gembala, dan Ia mewartakan Kerajaan Allah dengan menyembuhkan orang sakit serta mengajar orang banyak. Untuk memastikan “jangkauan” yang maksimal, Ia sering berbicara kepada orang banyak dari atas gunung atau dari perahu. Untuk mendorong “keterlibatan” banyak orang, Ia memilih dua belas murid dan kepada mereka Ia menjelaskan segalanya. Namun kemudian, secara tak terduga, di puncak “kesuksesan-Nya”, Ia menarik diri ke dalam kesendirian bersama Bapa. Dan Ia meminta murid-murid-Nya untuk melakukan hal yang sama: ketika mereka menceritakan keberhasilan misi mereka, Ia mengundang mereka untuk pergi bersama-Nya untuk beristirahat dan berdoa. Dan ketika mereka sedang mendiskusikan siapa di antara mereka yang terbesar, Ia mengumumkan kepada mereka penderitaan yang akan Ia alami di kayu salib. Tujuan-Nya – yang akan mereka pahami nanti – bukanlah untuk meningkatkan jumlah pendengarnya, namun untuk mengungkapkan kasih Bapa agar manusia, setiap orang, dapat memiliki hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (lih. Yoh 10:10).
Mengikuti jejak Yesus, kita harus memprioritaskan untuk memberikan ruang yang cukup bagi percakapan pribadi dengan Bapa dan untuk tetap selaras dengan Roh Kudus, yang akan selalu mengingatkan kita bahwa segala sesuatu telah dijungkirbalikkan di Kayu Salib. Pada saat manifestasi terbesar kemuliaan Tuhan ini, sama sekali tidak ada “likes” dan hampir tidak ada “followers”! Setiap ukuran manusia akan “kesuksesan” direlativisasikan oleh logika Injil.
80. Inilah kesaksian kita: untuk menjamin, dengan kata-kata dan hidup kita, apa yang telah dilakukan oleh orang lain.[51] Hanya dalam pengertian inilah kita dapat menjadi saksi – bahkan misionaris – Kristus dan Roh-Nya. Hal ini termasuk keterlibatan kita dengan media sosial. Iman, di atas segalanya, berarti memberikan kesaksian tentang sukacita yang diberikan Tuhan kepada kita. Dan sukacita ini selalu bersinar terang di hadapan kenangan yang penuh syukur. Memberitahukan kepada orang lain tentang alasan pengharapan kita dan melakukannya dengan lemah lembut dan hormat (1 Ptr 3:15) merupakan tanda syukur. Ini adalah tanggapan dari seseorang yang, melalui rasa syukur, menjadi patuh kepada Roh dan oleh karena itu bebas. Hal ini berlaku bagi Bunda Maria, yang tanpa mengingininya atau mengusahakannya, menjadi wanita paling berpengaruh dalam sejarah.[52] Ini adalah tanggapan dari seseorang yang, dengan anugerah kerendahan hati, tidak menonjolkan dirinya di garis depan dan dengan demikian memudahkan perjumpaannya dengan Kristus yang berkata: “Belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hat” (Mat 11:29).
Mengikuti logika Injil, yang harus kita lakukan hanyalah memancing sebuah pertanyaan untuk membangkitkan pencarian. Selebihnya adalah pekerjaan tersembunyi dari Allah.
***
Penutup
81. Seperti yang telah kita lihat, kita berkelana di jalan raya digital bersama teman-teman dan orang asing, berusaha menghindari banyak jebakan di sepanjang jalan, dan kita mendapati diri kita menjadi sadar akan adanya orang-orang yang terluka di pinggir jalan. Terkadang, mereka yang terluka itu adalah orang lain. Kadang, kita sendirilah yang terluka. Ketika hal ini terjadi, kita berhenti, dan melalui kehidupan yang telah kita terima dalam Sakramen-sakramen, yang bekerja di dalam diri kita, kesadaran ini menjadi perjumpaan: dari karakter-karakter atau gambar-gambar di layar, orang yang terluka itu mengambil wujud sesama kita, saudara laki-laki atau saudari perempuan, dan bahkan, Tuhan, yang berfirman, “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Dan pada saat kita menjadi orang yang terluka, orang Samaria yang membungkuk di atas kita dengan penuh belas kasih juga memperlihatkan wajah Tuhan, yang menjadi sesama kita, membungkuk di atas kemanusiaan yang menderita untuk merawat luka-luka kita.
Dalam kedua kasus tersebut, apa yang mungkin awalnya hanya sebuah perjumpaan kebetulan atau kehadiran yang teralihkan di platform media sosial, kini menjadi orang-orang yang hadir satu sama lain dalam sebuah perjumpaan yang penuh dengan belas kasih. Belas kasih ini memungkinkan kita untuk merasakan, saat ini juga, Kerajaan Allah, dan persekutuan yang berakar pada Tritunggal Mahakudus: “tanah terjanji” yang sejati.
82. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dari kehadiran kita yang penuh kasih dan tulus di dunia digital kehidupan manusia ini, terbukalah sebuah jalan menuju apa yang dirindukan oleh Santo Yohanes dan Santo Paulus dalam surat-surat mereka: pertemuan tatap muka dengan Tubuh Tuhan, Gereja, bagi setiap orang yang terluka. Sehingga, melalui perjumpaan pribadi yang tulus dari hati ke hati, luka mereka dan luka kita dapat disembuhkan, dan “sempurnalah sukacita kita” (2 Yoh 12).
***
Semoga gambaran tentang Orang Samaria yang Baik Hati, yang merawat luka orang yang terluka dengan menuangkan minyak dan anggur ke atasnya, memberi inspirasi kepada kita semua. Biarlah komunikasi kita menjadi balsem yang meredakan rasa sakit dan anggur berkualitas yang membahagiakan hati. Semoga terang yang kita berikan kepada orang lain bukan merupakan hasil dari kosmetik atau efek khusus, melainkan karena kita menjadi “sesama” yang penuh cinta dan belas kasih terhadap mereka yang terluka dan ditinggalkan di pinggir jalan.[53]
Kota Vatikan, 28 Mei 2023, Hari Raya Pentakosta.
Paolo Ruffini
Prefek
Lucio A. Ruiz
Sekretaris
Diterjemahkan dari teks berbahasa inggris “Towards Full Presence – A Pastoral Reflection on Engagement with Social Media”
[1] Sinode Para Uskup, Dokumen Akhir dari Pertemuan Pra-Sinodal dalam Persiapan untuk Sidang Umum Biasa XV, “Pemuda, Iman dan Penegasan Panggilan”, Roma (19-24 Maret 2018), No. 4.
[2] Pesan Paus Benediktus XVI untuk Hari Komunikasi Dunia ke-43, “Teknologi Baru, Hubungan Baru. Mempromosikan Budaya Hormat, Dialog dan Persahabatan” (24 Mei 2009). Dokumen Aetatis Novae merujuk pada teknologi digital sudah pada tahun 1992, dan dokumen pendamping yang diterbitkan pada tahun 2002 Etika dalam Internet dan Gereja dan Internet fokus pada dampak budaya Internet secara lebih detail. Akhirnya, Surat Apostolik yang diterbitkan pada tahun 2005 oleh Santo Yohanes Paulus II The Rapid Development, yang ditujukan kepada mereka yang bertanggung jawab atas komunikasi, menawarkan refleksi tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh komunikasi sosial. Selain dokumen yang secara khusus menyangkut komunikasi sosial, dalam beberapa dekade terakhir dokumen-dokumen magisterial lainnya juga telah mengabdikan bagian-bagian untuk tema ini. Lihat misalnya Verbum Domini, 113; Evangelii gaudium, 62, 70, 87; Laudato si’, 47, 102-114; Gaudete et exsultate, 115; Christus Vivit, 86-90, 104-106; Fratelli tutti, 42-50).
[3] Pesan Paus Benedictus XVI untuk Hari Komunikasi Dunia ke-47, “Jejaring Sosial : Pintu Kebenaran and Iman, Ruang baru untu Evangelisasi” (24 Januari 2013).
[4] Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Dunia ke-53, “Kita adalah sesama anggota (Ef 4:25). Berawal dari Komunitas Jejaring Sosial menuju Komunitas insani” (24 Januari 2019).
[5] Vatikan membuka saluran YouTube pertamanya pada tahun 2008. Sejak 2012, Bapa Suci aktif di Twitter dan sejak 2016, di Instagram. Sejalan dengan ini, kehadiran yang dimediasi secara digital dari Paus telah menjadi salah satu metode keterlibatan pastoralnya, dimulai dengan pesan video pada pertengahan tahun 2000-an, diikuti dengan video konferensi langsung seperti pertemuan tahun 2017 dengan astronaut Stasiun Luar Angkasa Internasional. Pesan video Paus untuk Super Bowl di Amerika Serikat tahun 2017, dan TED Talks-nya pada tahun 2017 dan 2020 hanyalah dua contoh dari kehadiran pastoral Paus yang dimediasi secara digital.
[6] Siaran langsung Statio Orbis pada tanggal 27 Maret 2020 menarik sekitar 6 juta pemirsa di Saluran YouTube Vatican News dan 10 juta di Facebook. Angka-angka ini tidak termasuk tayangan ulang dari rekaman acara tersebut atau tayangan melalui saluran media lain. Malam acara tersebut, 200.000 pengikut baru bergabung dengan @Franciscus di Instagram, dan postingan tentang 27 Maret 2020 tetap menjadi salah satu konten yang paling banyak diikuti dalam sejarah akun tersebut.
[7] Dari sekian banyak teks Injil yang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi, perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik dipilih karena, sebagaimana disampaikan oleh Paus Fransiskus, perumpamaan ini adalah “perumpamaan tentang komunikasi.” Lihat Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Dunia ke-48, “Komunikasi dalam pelayanan untuk Budaya Perjumpaan yang sejati” (24 Januari 2014).
[8] Misalnya: siapa yang akan menetapkan sumber dari mana sistem AI belajar? Siapa yang mendanai produsen baru opini publik ini? Bagaimana kita dapat memastikan bahwa mereka yang merancang algoritma dipandu oleh prinsip etis dan membantu menyebarkan kesadaran baru dan pemikiran kritis secara global untuk meminimalkan kerugian di platform informasi baru? Literasi media baru harus mencakup kompetensi yang tidak hanya memungkinkan orang untuk terlibat secara kritis dan efektif dengan informasi tetapi juga untuk membedakan penggunaan teknologi yang semakin mengurangi kesenjangan antara manusia dan non-manusia.
[9] Lih. Fratelli tutti 30; Evangelii gaudium 220; lihat juga “Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama” (4 Februari 2019): “Kami memanggil (…) para profesional media (…) di setiap bagian dunia, untuk menemukan kembali nilai-nilai perdamaian, keadilan, kebaikan, keindahan, persaudaraan manusia dan koeksistensi untuk mengkonfirmasi pentingnya nilai-nilai ini sebagai jangkar keselamatan bagi semua, dan untuk mempromosikannya di mana-mana”.
[10] “Beberapa orang lebih memilih untuk tidak bertanya atau mencari jawaban; mereka menjalani kehidupan yang nyaman, tuli terhadap jeritan mereka yang menderita. Hampir tidak terasa, kita menjadi tidak mampu merasakan belas kasih terhadap orang lain dan masalah mereka; kita tidak tertarik untuk merawat mereka, seolah-olah masalah mereka adalah tanggung jawab mereka sendiri, dan bukan urusan kita”. Pesan Paus Fransiskus untuk Perayaan Hari Perdamaian Dunia ke-49, “Atasi Ketidakpedulian dan Menangkan Perdamaian” (1 Januari 2016); Evangelii gaudium, 54.
[11] Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Perdamaian Dunia ke-49, “Atasi Ketidakpedulian dan Menangkan Perdamaian” (1 January 2016).
[12] Lih. Fratelli tutti, 67.
[13] Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Dunia ke-56, “Mendengarkan dengan Telinga Hati” (24 Januari 2022).
[14] Fratelli tutti, 63.
[15] “Jika kita ingin mengenali dan berfokus pada pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar penting, maka keheningan adalah komoditas berharga yang memungkinkan kita untuk melakukan pembedaan yang tepat di hadapan beban rangsangan dan data yang kita terima”. Pesan Paus Benediktus XVI untuk Hari Komunikasi Dunia ke-46, “Keheningan dan Kata-kata: Sebuah Jalan Evangelisasi” (24 January 2012).
[16] Pesan Paus Fransiskus Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Dunia ke-48, “Komunikasi dalam pelayanan Budaya Perjumpaan yang sejati” (24 Januari 2014).
[17] Pesan Paus Fransiskus Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Dunia ke-56, “Mendengarkan dengan Telinga Hati” (24 Januari 2022); Evangelii gaudium, 171.
[18] “Ketika mencari komunikasi yang sejati, jenis mendengarkan pertama yang harus ditemukan kembali adalah mendengarkan diri sendiri, kebutuhan terdalam seseorang, yang tertulis dalam inti setiap orang. Dan kita hanya bisa memulai dengan mendengarkan apa yang membuat kita unik dalam ciptaan: keinginan untuk berhubungan dengan orang lain dan dengan Yang Lain”. Pesan Paus Fransiskus Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Dunia ke-56, “Mendengarkan dengan Telinga Hati” (24 Januari 2022).
[19] Verbum Domini, 86-87.
[20] Laudato si’, 47.
[21] Lih. Laudato si’, 66.
[22] Communio et Progressio, 12.
[23] Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Dunia ke-53, “Kita adalah sesama anggota (Ef 4:25). Berawal dari Komunitas Jejaring Sosial menuju Komunitas insani” (24 Januari 2019).
[24] Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Dunia ke-48, “Komunikasi dalam pelayanan Budaya Perjumpaan yang sejati” (24 Januari 2014).
[25] Lih. Fratelli tutti, 49.
[26] Fratelli tutti, 69.
[27] Lih. Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Dunia ke-48, “Komunikasi dalam pelayanan Budaya Perjumpaan yang sejati” (24 Januari 2014).
[28] Fratelli tutti, 77.
[29] Paus Fransiskus, Angelus, 10 Juli 2016.
[30] Lih. Gaudete et exsultate, 115.
[31] Mengenai masalah polarisasi dan hubungannya dengan pembangunan konsensus, lihat khususnya Fratelli tutti, 206-214.
[32] Lih. Pidato di acara “Economy of Francesco”, 24 September 2022.
[33] “Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya : ‘Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.’” (Luk 10:35).
[34] Sebuah survei yang dilakukan di AS oleh Barna Research Centre pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa meskipun setengah dari “jemaat gereja” yang biasa hadir mengatakan bahwa mereka tidak “menghadiri pelayanan ibadah gereja, baik secara langsung maupun digital” dalam jangka waktu enam bulan — mereka masih mengatakan bahwa mereka “menonton kebaktian gereja secara online” selama periode yang sama. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa bagi mereka, “menonton” pelayanan ibadah gereja tidak dianggap sebagai “menghadiri” sebagai peserta ibadah tersebut.
[35] Tampaknya ada pengganti buatan untuk hampir semua hal dalam realitas virtual; kita dapat berbagi semua jenis informasi melalui dunia digital, tetapi berbagi makanan sepertinya tidak mungkin dilakukan bahkan di metaverse.
[36] Lih. Desiderio desideravi, 9, merujuk pada Leo Agung, Sermo LXXIV: De ascensione Domini II, 1: “apa yang … tampak dari Penebus kita, telah berpindah ke dalam sakramen (quod … Redemptoris nostri conspicuum fuit, in sacramenta transivit.”
[37] Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Dunia ke-53, “Kita adalah sesama anggota (Ef 4:25). Berawal dari Komunitas Jejaring Sosial menuju Komunitas insani” (24 Januari 2019). Mungkin berguna untuk mempertimbangkan bentuk praktik spiritual lain, seperti Liturgi Ibadat Harian dan lectio divina, yang nampaknya lebih cocok untuk dibagikan secara online daripada Misa Kudus.
[38] Lih. Paus Fransiskus, Pidato dalam Sidang Pleno Dikasteri untuk Komunikasi, 23 September 2019.
[39] Paus Fransiskus telah berbicara tentang gaya Allah sebagai “kedekatan, belas kasih dan kelembutan” dalam banyak kesempatan (Audiensi Umum, Angelus, Homili, Konferensi Pers, dll.).
[40] Communio et Progressio, 11.
[41] “Untuk berbicara dengan baik, cukup untuk mencintai dengan baik” (Santo Fransiskus de Sales). Lih. Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Dunia ke-57, “Berbicara dengan Hati. Kebenaran dalam Cinta” (24 Januari 2023).
[42] Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Dunia ke-52, “Kebenaran akan membebaskan kamu (Yoh 8:32). Berita palsu dan jurnalisme untuk perdamaian” (24 Januari 2018).
[43] Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Dunia ke-53, “Kita adalah sesama anggota (Ef 4:25). Berawal dari Komunitas Jejaring Sosial menuju Komunitas insani” (24 Januari 2019).
[44] Namun demikian, pentinglah bahwa ketika narasi palsu muncul, narasi tersebut dikoreksi dengan hormat dan secepatnya. “Berita palsu harus dibantah, namun individu harus selalu dihormati, karena mereka sering kali mempercayainya tanpa kesadaran penuh atau tanggung jawab.” Pesan Paus Fransiskus kepada Peserta Pertemuan yang dipromosikan oleh Konsorsium Nasional Media Katolik “Catholic Fact-Checking”, 28 Januari 2022.
[45] Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Dunia ke-50, “Komunikasi dan belas kasih: Pertemuan yang berbuah” (24 Januari 2016).
[46] Ini juga menyangkut formasi imam. Seperti yang kita baca dalam Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis, “Para gembala masa depan tidak bisa terlepas, baik selama formasi mereka atau pelayanan masa depan mereka, dari ruang publik media sosial” (No. 97). Mereka mungkin juga sadar akan risiko-risiko yang tak terelakkan yang timbul karena seringnya mengakses dunia digital, termasuk berbagai bentuk kecanduan (lih. No. 99). Mengenai hal ini lihat juga Pidato Bapa Suci Paus Fransiskus kepada para Seminaris dan Imam yang Belajar di Roma, 24 Oktober 2022.
[47] Lih. Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Dunia ke-53, “Kita adalah sesama anggota (Ef 4:25). Berawal dari Komunitas Jejaring Sosial menuju Komunitas insani” (24 Januari 2019).
[48] Oleh karena itu, mungkin bermanfaat jika inisiatif individu di media sosial, terutama yang berasal dari kalangan religius dan pastor, menemukan cara untuk meningkatkan persekutuan dalam Gereja. Sebagai komunitas Kristen, mungkin ada gunanya juga kita menjangkau “para influencers” yang berada di pinggiran lingkungan gerejawi kita.
[49] Menjadi sinodal (dari syn odòs) berarti berjalan pada jalan yang sama, berjalan bersama, bergerak maju bersama.
[50] Hal ini sudah dijelaskan oleh para Bapa Gereja kuno. Tertulianus, misalnya, berbicara tentang kemartiran sebagai daya tarik. Dalam tulisannya yang berjudul Apologia, ia menjelaskan bahwa penganiayaan tidak hanya tidak adil, tetapi juga sia-sia: “Tak satupun dari kekejaman Anda, sehalus apa pun, yang akan bermanfaat bagi Anda; sebaliknya, hal ini membuat agama kami lebih menarik. Semakin banyak kami ditumbangkan oleh Anda, semakin banyak jumlah kami bertambah; darah orang Kristen adalah benih kehidupan baru. (…) Sikap keras kepala yang Anda cela adalah sebuah pelajaran. Karena siapa yang merenungkannya, tidak terdorong untuk menanyakan apa yang ada di dasarnya? Siapa, setelah penyelidikan, yang tidak menganut ajaran kami?” Tertulianus, Apologia, n. 50 (terjemahan disesuaikan).
[51] Paragraf ini sebagian terinspirasi oleh Pesan kepada Serikat-serikat Misi Kepausan, 21 Mei 2020.
[52] Perjalanan Apostolik ke Panama: Vigil bersama Kaum Muda (Campo San Juan Pablo II – Metro Park, 26 Januari 2019).
[53] Pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sedunia ke-48, “Komunikasi dalam pelayanan Budaya Perjumpaan yang sejati” (24 Januari 2014).