Verbum Domini

Anjuran Apostolik Pasca-Sinode

VERBUM DOMINI

(Firman Tuhan)

Dari Bapa Suci Benediktus XVI
Kepada Para Uskup, Klerus,
Para Religius dan Umat Beriman

Mengenai Sabda Allah
dalam Kehidupan dan Misi Gereja

PENGANTAR

1. “FIRMAN TUHAN tetap untuk selama-lamanya. Inilah Firman yang disampaikan Injil kepada kamu” (1Ptr 1:25; bdk. Yes 40:8). Dengan kutipan dari Surat Pertama Santo Petrus, yang menampilkan kata-kata Nabi Yesaya, kita dihadapkan pada misteri Allah, yang menyatakan diri melalui karunia Firman-Nya. Firman ini, yang tetap untuk selama-lamanya, memasuki waktu. Allah mengucapkan Firman-Nya yang kekal secara manusiawi; Firman-Nya “menjadi manusia” (Yoh. 1:14). Ini adalah kabar gembira. Ini adalah pemakluman yang selama berabad-abad telah turun kepada kita hari ini. Sidang Umum Biasa XII Sinode para Uskup, yang diselenggarakan di Vatikan pada 5-26 Oktober 2008, mengambil tema: Sabda Allah dalam Kehidupan dan Misi Gereja. Pertemuan itu merupakan pengalaman mendalam perjumpaan dengan Kristus, Sabda (atau Firman) Bapa, yang hadir di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Nya (bdk. Mat. 18:20). Dengan Anjuran Apostolik Pasca-Sinode ini saya dengan senang hati menanggapi permohonan para Bapa Sinode untuk memberitahukan kepada seluruh Umat Allah buah-buah melimpah yang muncul dari pertemuan-pertemuan Sinode dan rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan oleh usaha keras kita bersama.[1] Maka dari itu, saya bermaksud mempertimbangkan kembali hasil karya Sinode dalam terang dokumen-dokumennya: Lineamenta, Instrumentum Laboris, Relationes ante dan post disceptationes, naskah-naskah pidato, baik yang disampaikan dalam ruang sidang Sinode maupun yang dikemukakan secara tertulis, laporan dari diskusi kelompok kecil, Pesan Akhir kepada Umat Allah, dan, terutama, sejumlah usulan-usulan khusus (Propositiones) yang dipandang sangat penting oleh para Bapa Sinode. Dengan cara ini saya ingin menunjukkan pendekatan-pendekatan dasariah tertentu untuk menemukan kembali Sabda Allah dalam kehidupan Gereja sebagai sumber pembaruan yang terus-menerus. Pada saat yang sama saya berharap bahwa Sabda itu semakin menjadi pusat setiap kegiatan gerejawi.

Supaya sukacita kita menjadi penuh

2. Pertama-tama, saya ingin mengingat keindahan dan kegembiraan dari perjumpaan yang dibarui dengan Tuhan Yesus yang kita alami selama pertemuan Sinode. Dalam kesatuan dengan para Bapa Sinode, saya menyampaikan kepada kaum beriman kata-kata Santo Yohanes dalam surat yang pertama: “Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus” (1Yoh. 1:2-3). Rasul itu berbicara kepada kita mengenai mendengar, melihat, meraba dan memandang (bdk. 1Yoh. 1:1) Sabda kehidupan, karena kehidupan sendiri dinyatakan dalam Kristus. Setelah dipanggil kepada persekutuan dengan Allah dan di antara kita sendiri, kita harus mewartakan karunia itu. Dari sudut pandang kerigmatik ini, pertemuan sinodal merupakan kesaksian bagi Gereja dan dunia, mengenai keindahan tak terhingga dari perjumpaan dengan Sabda Allah dalam persekutuan dengan Gereja. Berdasarkan alasan itu, saya mendorong semua kaum beriman untuk membarui perjumpaan pribadi dan bersama dengan Kristus, Sabda kehidupan yang telah menjadi kelihatan, dan untuk menjadi pewarta-Nya, sehingga karunia hidup ilahi –persekutuan – dapat semakin tersebar di seluruh dunia. Tentu saja, mengambil bagian dalam kehidupan Allah, Trinitas Kasih, merupakan kegembiran yang penuh (bdk. 1Yoh. 1:4). Dan inilah anugerah Gereja dan kewajiban yang tak dapat dilepaskan untuk mengomunikasikan kegembiraan itu, yang lahir dari perjumpaan dengan pribadi Kristus, Sabda Allah di tengah kita. Dalam dunia yang kerap merasa bahwa Allah adalah tak berguna atau asing, kita mengaku bersama Petrus bahwa hanya Dialah satu-satunya yang memiliki “Firman hidup kekal” (Yoh. 6:68). Tak ada prioritas lebih besar daripada ini: memampukan manusia zaman kita sekali lagi berjumpa dengan Allah, Allah yang bersabda kepada kita dan membagikan kasih-Nya supaya kita dapat memiliki hidup dalam kelimpahan (bdk. Yoh. 10:10).

Dari “Dei Verbum” sampai Sinode tentang Sabda Allah

3. Dengan Sidang Umum Biasa XII Sinode Para Uskup mengenai Sabda Allah, kita menyadari bahwa, dalam arti tertentu, sedang berbicara tentang inti kehidupan Kristiani, dalam kelanjutan dengan sidang sinodal sebelumnya mengenai Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak kehidupan dan Misi Gereja. Tentu saja, Gereja didirikan di atas Sabda Allah; ia lahir dari dan hidup oleh Sabda itu.[2] Sepanjang sejarahnya, Umat Allah selalu menemukan kekuatan dalam Sabda Allah, dan masa kini juga komunitas gerejawi tumbuh karena mendengarkan, merayakan, dan mempelajari Sabda itu. Harus diakui, dalam puluhan tahun terakhir ini kehidupan gerejawi telah menjadi lebih peka terhadap tema ini, terutama terkait dengan wahyu Kristiani, Tradisi yang hidup dan Kitab Suci. Dimulai dalam masa kepausan Paus Leo XIII, kita dapat mengatakan bahwa ada peningkatan campur tangan yang ditujukan untuk menambah kesadaran mengenai pentingnya Sabda Allah dan studi Alkitab dalam hidup Gereja,[3] yang berpuncak pada Konsili Vatikan Kedua dan terutama dalam promulgasi Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum. Konstitusi ini merupakan tonggak dalam sejarah Gereja: “Para Bapa Sinode…mengakui dengan rasa syukur manfaat besar yang dibawa dokumen ini kepada kehidupan Gereja, dalam bidang eksegetis, teologis, kerohanian, pastoral dan ekumene.”[4] Tahun-tahun berikutnya juga menjadi saksi kesadaran yang semakin tumbuh dari “cakrawala pewahyuan yang bersifat triniter dan keselamatan-historis”[5] di mana Yesus Kristus harus diakui sebagai “pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu.”[6] Tak henti-hentinya Gereja mewartakan kepada setiap generasi Gereja bahwa Kristus “dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat-Nya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya.”[7]

Setiap orang sadar akan dorongan besar yang diberikan Konstitusi Dogmatis Dei Verbum untuk membangkitkan kembali perhatian kepada Sabda Allah dalam kehidupan Gereja, bagi refleksi teologis atas wahyu ilahi dan atas studi Kitab Suci. Dalam empat puluh tahun terakhir, Magisterium Gereja juga telah menerbitkan sejumlah pernyataan tentang masalah ini.[8] Dengan merayakan Sinode, Gereja, sadar akan perjalanannya yang terus menerus di bawah bimbingan Roh Kudus, merasa terpanggil untuk mengadakan refleksi lebih lanjut mengenai tema Sabda Allah, untuk meninjau kembali implementasi dari arahan-arahan Konsili, dan menghadapi tantangan-tantangan baru yang pada masa kini dihadapi kaum beriman Kristiani.

Sinode para Uskup mengenai Sabda Allah

4. Dalam Sidang Sinodal yang ke-duabelas, para Uskup dari segala penjuru dunia berkumpul seputar Sabda Allah dan secara simbolik mereka menempatkan teks Alkitab pada pusat pertemuan, untuk menekankan kembali apa yang dalam kehidupan sehari-hari berisiko kita anggap biasa: kenyataan bahwa Allah berbicara dan menanggapi persoalan kita.[9] Bersama-sama kita mendengarkan dan merayakan Sabda Tuhan. Kita mengisahkan satu kepada yang lain semua yang dikerjakan Tuhan di tengah-tengah Umat Allah, dan kita saling berbagi pengharapan dan keprihatinan kita. Semua hal itu menyebabkan kita menyadari bahwa kita dapat memperdalam hubungan kita dengan Sabda Allah hanya dalam “kita” sebagai Gereja, dalam saling mendengarkan dan saling menerima. Karena itu kita bersyukur atas kesaksian-kesaksian mengenai kehidupan Gereja di berbagai tempat dunia ini yang muncul dari berbagai macam pembicaraan di ruang sidang. Juga mengharukan mendengar para utusan persaudaraan, yang menerima undangan kita untuk mengambil bagian dalam pertemuan sinodal. Saya memikirkan secara khusus renungan yang diberikan kepada kita oleh Yang Mulia Bartolomeus I, Patriarkh Ekumene Konstantinopel, yang kepadanya Para Bapa Sinode mengungkapkan penghargaan yang mendalam.[10] Lebih lanjut, untuk pertama kali, Sinode para Uskup juga mengundang seorang Rabbi untuk menyampaikan kepada kita kesaksian berharga dari Alkitab Ibrani, yang juga merupakan bagian dari Kitab Suci kita.[11]

Dengan cara demikian kita dapat mengakui dengan gembira dan syukur bahwa “dalam Gereja ada juga Pentakosta masa kini – dengan kata lain, Gereja berbicara dalam banyak bahasa, dan tidak hanya secara lahiriah, dalam arti bahwa semua bahasa-bahasa besar dunia terwakili dalam dirinya, tetapi, lebih mendalam lagi, lantaran hadir dalam dirinya bermacam cara untuk mengalami Allah dan dunia, kekayaan budaya, dan hanya dengan cara ini kita sungguh dapat melihat luasnya pengalaman manusiawi dan, sebagai akibatnya, luasnya dari Sabda Allah.”[12] Kita juga mampu melihat Pentakosta yang sedang berlangsung; beragam bangsa masih menunggu Sabda Allah diwartakan dalam bahasa dan budaya mereka sendiri.

Bagaimana mungkin saya dapat lupa untuk menyebut bahwa sepanjang Sinode kita didampingi oleh kesaksian Rasul Paulus! Sungguh suatu penyelenggaraan ilahi bahwa Sidang Umum Biasa Ke-Duabelas dilangsungkan pada tahun yang dipersembahkan kepada Rasul Agung para Bangsa, pada peringatan dua ribu tahun kelahirannya. Kehidupan Paulus sepenuhnya ditandai oleh semangatnya demi penyebaran Sabda Allah. Bagaimana kita tidak tergerak oleh kata-katanya mengenai perutusannya sebagai pewarta Sabda Allah: “Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil” (1Kor. 9:23); atau seperti ia tulis dalam Surat kepada Jemaat Roma: “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya” (1:16). Kapan pun kita merenungkan Sabda Allah dalam kehidupan dan misi Gereja, kita tidak bisa tidak berpikir mengenai Santo Paulus dan hidupnya yang dipersembahkan untuk menyebarluaskan pesan keselamatan dalam Kristus kepada semua bangsa.

Prolog Injil Yohanes sebagai panduan

5. Dengan Anjuran Apostolik ini saya menginginkan hasil-hasil
Sinode sungguh mempunyai efek nyata dalam kehidupan Gereja: pada hubungan pribadi kita dengan Kitab Suci, pada penafsirannya dalam liturgi dan katekese, dan dalam penelaahan ilmiah, sehingga Sabda Allah tidak hanya menjadi Sabda dari masa lampau, tetapi juga Sabda yang hidup dan aktual. Untuk memenuhi tujuan itu, saya ingin menyampaikan dan mengembangkan hasil-hasil Sinode dengan terus-menerus merujuk pada Prolog Injil Yohanes (Yoh. 1:1-18), yang memperkenalkan kepada kita dasar hidup kita: Firman, yang pada mulanya bersama Allah, yang menjadi manusia dan yang tinggal di antara kita (bdk. Yoh. 1:14). Ini adalah teks yang mengagumkan, yang menampilkan sintesis dari seluruh iman Kristiani. Dari pengalaman pribadinya berjumpa dan mengikuti Kristus, Yohanes, yang oleh tradisi dikenal sebagai “murid yang dikasihi Yesus” (Yoh. 13:23; 20:2; 21:7.20), “sampai kepada kepastian yang dalam: Yesus adalah Hikmat Allah yang menjelma, Ia adalah Firman-Nya yang kekal yang menjadi manusia yang dapat mati.”[13] Semoga Yohanes, yang “melihat dan percaya” (bdk. Yoh. 20:8) juga membantu kita untuk bersandar pada dada Kristus (bdk. Yoh. 13:25), sumber darah dan air (bdk. Yoh. 19:34), yang merupakan lambang sakramen-sakramen Gereja. Dengan mengikuti teladan Rasul Yohanes dan penulis lain yang diilhami, kita hendaknya membiarkan dibimbing oleh Roh Kudus supaya semakin lebih mengasihi Firman Allah.

Adapun sesudah menanggung maut di kayu salib demi umat manusia, kemudian bangkit, Yesus nampak ditetapkan sebagai Tuhan dan Kristus serta Imam untuk selamanya (lih. Kis 2:36; Ibr 5:6; 7:17-21). Ia mencurahkan Roh yang dijanjikan oleh Bapa ke dalam hati para murid-Nya (lih. Kis 2:33). Oleh karena itu Gereja, yang diperlengkapi dengan karunia-karunia Pendirinya, dan yang dengan setia mematuhi perintah-perintah-Nya tentang cinta kasih, kerendahan hati dan ingkar diri, menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah, dan mendirikannya di tengah semua Bangsa. Gereja merupakan benih dan awal mula Kerajaan itu di dunia. Sementara itu Gereja lambat-laun berkembang, mendambakan Kerajaan yang sempurna, dan dengan sekuat tenaga berharap dan menginginkan, agar kelak dipersatukan dengan Rajanya dalam kemuliaan.

Bagian Pertama :
VERBUM DEI

(Sabda Allah)

“Pada mulanya adalah Firman
dan Firman itu bersama-sama dengan Allah,
dan Firman itu adalah Allah…
dan Firman itu telah menjadi manusia”
(Yoh. 1:1,14)

Allah yang Berbicara

Allah dalam dialog

6. Hal yang baru dari wahyu alkitabiah terdiri dari kenyataan bahwa Allah dapat dikenali melalui dialog yang Ia ingin miliki dengan kita.[14] Konstitusi Dogmatis Dei Verbum telah mengungkapkan itu dengan mengakui bahwa “Allah yang tak kelihatan dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya, dan bergaul dengan mereka, untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya.”[15] Namun, kita belum akan menangkap sepenuhnya pesan dari Prolog Santo Yohanes jika kita berhenti pada kenyataan bahwa Allah masuk ke dalam komunikasi kasih dengan kita. Dalam kenyataan, Firman Allah, melalui Dia “segala sesuatu dijadikan” (Yoh. 1:3) dan yang “menjadi manusia” (Yoh. 1:14) adalah Firman yang sama yang adalah “pada mulanya” (Yoh. 1:1). Jika kita menyadari bahwa ini adalah kutipan dari permulaan Kitab Kejadian (bdk. Kej 1:1), kita dihadapkan pada permulaan yang adalah mutlak dan yang berbicara kepada kita mengenai hidup batiniah Allah. Prolog Yohanes menyadarkan kita bahwa Logos adalah sungguh kekal, dan dari kekekalan Ia adalah Allah sendiri. Allah tidak pernah ada tanpa Logos-Nya. Firman telah ada sebelum segala ciptaan. Akibatnya pada jantung kehidupan ilahi ada persekutuan, ada karunia absolut. “Allah adalah kasih” (1Yoh. 4:16), seperti dikatakan Rasul yang samadi tempat lain, dengan demikian menunjuk pada “gambar kristiani tentang Allah dan juga gambar manusia yang timbul daripadanya serta jalannya.”[16] Allah membuat diri-Nya kita kenal sebagai misteri kasih tanpa batas di mana Bapa secara kekal mengucapkan Firman-Nya dalam Roh Kudus. Akibatnya, Firman, yang sejak permulaan bersama Allah dan adalah Allah, menyatakan Allah sendiri dalam dialog kasih di antara pribadi-pribadi ilahi, dan mengundang kita ambil bagian dalam kasih itu. Diciptakan dalam gambar dan rupa Allah yang adalah kasih, maka kita dapat memahami diri kita hanya bila menerima Firman dan dalam ketaatan pada karya Roh Kudus. Dalam terang pewahyuan yang dibuat oleh Firman Allah, misteri kondisi manusiawi dijelaskan secara definitif.

Analogi Firman Allah

7. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, yang lahir dari permenungan atas misteri Kristiani yang diungkapkan dalam Prolog Yohanes, kita sekarang perlu mempertimbangkan apa yang ditegaskan para Bapa Sinode mengenai berbagai cara di mana kita bicara mengenai “Firman Allah.” Mereka dengan tepat mengacu pada simfoni kata, pada kata tunggal yang diungkapkan dalam bermacam cara: “madah polifonik.”[17] Dalam hal ini para Bapa Sinode telah berbicara tentang penggunaan analog bahasa manusia sehubungan dengan Firman Allah. Akibatnya, ungkapan ini, sementara mengacu kepada komunikasi diri Allah, juga mempunyai berbagai macam makna yang perlu diperhatikan dengan saksama dan saling berhubungan satu dengan yang lain, dari titik tolak, baik refleksi teologis maupun praktik pastoral. Seperti dengan jelas ditunjukkan oleh Prolog Yohanes kepada kita, Logos mengacu pertama-tama kepada Firman kekal, Putra Tunggal, yang dilahirkan dari Bapa sebelum segala abad dan yang sehakikat dengan Dia: Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah. Tetapi Firman yang sama, kata Yohanes kepada kita, “menjadi manusia” (Yoh. 1:14); karena itu Yesus Kristus, lahir dari Perawan Maria, sungguh-sungguh Firman Allah yang menjadi sehakikatdengan kita. Jadi ungkapan “Firman Allah” di sini mengacu kepada pribadi Yesus Kristus, Putera kekal Bapa, yang menjadi manusia.

Sementara peristiwa Kristus adalah pusat dari wahyu ilahi, kita juga perlu menyadari bahwa ciptaan sendiri, liber naturae, adalah bagian hakiki dari simfoni banyak suara di mana satu kata diucapkan. Kita juga menyatakan iman kita, bahwa Allah telah mengucapkan Firman-Nya dalam sejarah keselamatan; Ia telah memperdengarkan suara-Nya; dengan kekuatan Roh-Nya “Ia telah berbicara melalui para nabi.”[18] Demikianlah, Firman Allah diucapkan di sepanjang sejarah keselamatan, dan secara paling penuh dalam misteri inkarnasi, kematian dan kebangkitan Putera Allah. Kemudian, Firman Allah adalah Firman yang diwartakan oleh para Rasul dalam ketaatan kepada perintah Yesus yang bangkit: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15). Jadi, Firman Allah diteruskan dalam Tradisi hidup Gereja. Akhirnya, Firman Allah, yang dipersaksikan dan diinspirasikan secara ilahi, adalah Kitab Suci, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Semua ini membantu kita untuk mengerti mengapa dalam Gereja kita sangat menghormati kitab-kitab suci, meskipun iman Kristiani bukanlah “agama Kitab”: Kekristenan adalah “agama Firman Allah”, bukan dari “kata yang tertulis dan bisu, melainkan dari Firman yang berinkarnasi dan hidup.”[19] Konsekuensinya, Kitab Suci harus diwartakan, diperdengarkan, dibacakan, diterima dan dihayati sebagai Firman Allah, dalam arus Tradisi rasuli yang tak terpisahkan darinya.<a href=”#ref20″ id=”fnref20″ title=”Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 10.”>[20]

Seperti dinyatakan para Bapa Sinode, ungkapan “Firman Allah” digunakan secara analog, dan kita hendaknya menyadari hal ini. Kaum beriman perlu dibantu secara lebih baik untuk menangkap berbagai makna dari ungkapan itu, tetapi juga untuk memahami makna kesatuannya. Juga dari sudut pandang teologis, diperlukan studi lebih lanjut tentang bagaimana berbagai macam makna ungkapan itu saling berkaitan, sehingga kesatuan rencana Allah dan, di dalamnya, sentralitas pribadi Kristus, agar bersinar dengan lebih baik.[21]

Dimensi Kosmis Firman

8. Bila kita memperhatikan makna dasariah dari Firman Allah sebagai acuan kepada Firman Allah abadi yang menjadi daging, satu-satunya Penebus dan Pengantara antara Allah dan manusia,[22] dan bila kita mendengarkan Firman ini, kita dituntun oleh wahyu alkitabiah untuk melihat bahwa Firman itu adalah dasar bagi seluruh kenyataan. Prolog Yohanes berbicara mengenai Logos ilahi, bahwa “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh. 1:3); dan dalam Surat kepada Jemaat di Kolose dikatakan mengenai Kristus, “yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” (1:15), bahwa “segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (1:16). Penulis Surat Ibrani juga menyatakan bahwa “karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat” (11:3).

Bagi kita, pewartaan ini adalah sabda kebebasan. Kitab Suci mengatakan kepada kita bahwa segala sesuatu yang ada tidak berada secara kebetulan tetapi dikehendaki oleh Allah dan merupakan bagian rencana-Nya, yang pusatnya adalah undangan untuk mengambil bagian, dalam Kristus, dalam hidup ilahi. Ciptaan lahir dari Logos dan secara tak terhapuskan membawa jejak Akal budi kreatif yang memerintah dan membimbingnya; dengan kepastian yang penuh sukacita mazmur menyanyikan “Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya” (Mzm. 33:6), dan lagi “Dia berfirman, maka semuanya jadi; Dia memberi perintah, maka semuanya ada” (33:9). Segala kenyataan mengungkapkan misteri ini: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya”(Mzm. 19:1). Demikianlah, Kitab Suci sendiri mengundang kita untuk mengakui Sang Pencipta dengan merenungkan ciptaan-Nya (bdk. Keb. 13:5; Rm. 1:19-20). Tradisi pemikiran Kristiani telah mengembangkan unsur kunci dari simfoni Sabda, seperti ketika, misalnya, Santo Bonaventura, yang melihat dalam tradisi besar Bapa-bapa Yunani, semua kemungkinan ciptaan berada dalam Logos,[23] menyatakan bahwa “setiap ciptaan adalah Sabda Allah, karena mewartakan Allah.”[24] Konstitusi Dogmatis Dei Verbum meringkas hal-hal ini ketika menulis bahwa “Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui Firman-Nya (lih. Yoh 1:3) serta melestarikannya, dalam makhluk-makhluk senantiasa memberi kesaksian tentang diri-Nya.”[25]

Penciptaan manusia

9. Maka, realitas lahir dari Sabda sebagai creatura Verbi, dan segala sesuatu dipanggil untuk melayani Sabda. Penciptaan adalah tempat yang di dalamnya seluruh sejarah kasih antara Allah dan ciptaan-Nya berkembang; karenanya keselamatan manusia adalah alasan yang mendasari segala sesuatu. Dengan merenungkan alam semesta dari perspektif sejarah keselamatan, kita dibawa kepada kesadaran akan posisi yang unik dan satu-satunya yang ditempati manusia dalam ciptaan: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”(Kej. 1:27). Ini memungkinkan kita untuk mengakui secara penuh karunia sangat berharga yang diterima dari Pencipta: nilai tubuh kita, karunia akal budi, kebebasan dan suara hati. Di sini kita juga menemukan apa yang oleh tradisi filosofis disebut “hukum kodrat.”[26] Karenanya, “setiap makhluk manusia, yang mencapai kesadaran dan tanggung jawab, harus mengalami panggilan batiniah untuk melakukan kebaikan,”[27] dan dengan demikian menghindari kejahatan. Seperti dikatakan Santo Thomas Aquinas, prinsip ini adalah dasar dari segala aturan lain dari hukum kodrat.[28] Mendengarkan Sabda Allah membimbing kita terutama untuk menghargai perlunya hidup sesuai dengan hukum “yang tertulis pada hati manusia” (bdk. Rm. 2:15;7:23).[29] Kemudian, Yesus Kristus memberi kepada umat manusia hukum baru, hukum Injil, yang menerima dan secara istimewa memenuhi hukum kodrat, dengan membebaskan kita dari hukum dosa, sebagai akibat dari apa, seperti dikatakan Santo Paulus: “kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik.” (Rm. 7:18). Hukum baru itu juga memampukan manusia, berkat kasih karunia, untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi dan untuk mengalahkan egoisme mereka.[30]

Realisme Sabda

10. Mereka yang mengenal Sabda Allah juga mengenal makna penuh dari tiap-tiap ciptaan. Sebab jika semua hal “ada” dalam Dia yang ada “terlebih dahulu dari segala sesuatu” (bdk. Kol. 1:17), mereka yang membangun hidup mereka pada Sabda-Nya membangun dalam cara yangsungguh sehat dan abadi. Sabda Allah membuat kita mengubah pemahaman kita mengenai realisme: seorang realis adalah seseorang yang mengakui dalam Sabda Allah dasar dari segala sesuatu.[31] Realisme ini terutama diperlukan di zaman kita, ketika banyak hal yang kita percayai untuk membangun hidup kita, hal-hal yang menggoda kita untuk menaruh pengharapan kita, terbukti bersifat fana. Kepemilikan, kesenangan dan kekuasaan menunjukkan, cepat atau lambat, ketidakmampuan memenuhi dambaan terdalam hati manusia. Dalam membangun hidup, kita memerlukan dasar yang kokoh dan yang akan bertahan bila kepastian-kepastian manusiawi tak berhasil. Memang, karena “untuk selama-lamanya, ya Tuhan, Firman-Mu tetap teguh di surga” dan “kesetiaan-Mu dari keturunan ke keturunan” (Mzm. 119:89-90), siapapun yang membangun di atas Firman ini membangun rumah kehidupannya di atas batu karang (bdk. Mat. 7:24). Semoga hatiku dapat mengatakan kepada Allah setiap hari “Engkaulah persembunyianku dan perisaiku, aku berharap kepada firman-Mu” (Mzm. 119:114), dan, seperti Santo Petrus, semoga kita mempercayakan tindakan kita sehari-hari kepada Tuhan Yesus: “karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga” (Luk. 5:5).

Kristologi Sabda

11. Dari penglihatan sekilas atas segala realitas sebagai karya Tritunggal Mahakudus melalui Sabda ilahi, kita dapat memahami pernyataan yang dibuat oleh penulis Surat Ibrani: “Pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai orang yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (1:1-2). Sangat indah untuk melihat bagaimana seluruh Perjanjian Lama sudah nampak bagi kita sebagai sejarah yang di dalamnya Allah mengomunikasikan Sabda-Nya: sesungguhnya, “setelah mengadakan perjanjian dengan Abraham (bdk. Kej. 15:18), dan dengan bangsa Israel melalui Musa (bdk. Kel. 24:8), dengan sabda maupun karya-Nya Ia mewahyukan Diri kepada umat yang diperoleh-Nya itu sebagai satu-satunya Allah yang benar dan hidup sedemikian rupa, sehingga Israel mengetahui jalan-jalan
Allah dengan manusia. Dan ketika Allah bersabda melalui para Nabi, Israel semakin mendalam dan jelas memahami itu, dan membuat mereka semakin dikenal luas di antara para bangsa (bdk. Mzm. 21:28-29; 95:1-3; Yes. 2:1-4; Yer. 3:17).”[32]

“Perendahan diri” Allah ini digenapi dengan cara tak tertandingi dalam inkarnasi Sabda. Sabda kekal, yang dinyatakan dalam ciptaan dan dikomunikasikan dalam sejarah penyelamatan, dalam Kristus menjadi manusia,“lahir dari seorang perempuan” (Gal. 4:4). Di sini Sabda menemukan pengungkapan-Nya tidak pertama-tama dalam perkataan, konsep atau aturan-aturan. Di sini kita dihadapkan pada pribadi Yesus. Sejarah-Nya yang unik dan satu-satunya adalah Sabda definitif yang diucapkan Allah kepada manusia. Maka kita dapat melihat, mengapa “permulaan hidup kristiani bukanlah keputusan etis atau suatu gagasan besar, melainkan perjumpaan dengan suatu peristiwa, seorang Pribadi yang memberi kepada hidup kita wawasan baru dan dengan demikian arah yang menentukan.”[33] Pembaruan terus-menerus dari perjumpaan dan kesadaran ini memenuhi hati umat beriman dengan kekaguman akan prakarsa Allah, yang kita umat manusia, dengan akal budi dan imajinasi kita sendiri, tidak pernah dapat memimpikannya. Kita berbicara mengenai kebaruan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan yang tak terpahami secara manusiawi: “Firman menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yoh. 1:14a). Kata-kata ini bukan kata kiasan; namun menunjuk kepada pengalaman hidup! Santo Yohanes, seorang saksi, mengatakan kepada kita demikian: “dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh. 1:14b). Iman rasuli memberi kesaksian bahwa Firman abadi menjadi salah seorang dari kita. Firman ilahi sungguh diungkapkan dalam kata-kata manusia.

12. Tradisi para patristik dan abad pertengahan, dalam merenungkan “Kristologi Sabda” ini, menggunakan ungkapan yang mengesankan: Sabda “dipersingkat”.[34] “Para Bapa Gereja menemukan dalam terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani suatu kata dari nabi Yesaya yang juga dikutip Santo Paulus untuk menunjukkan bagaimana jalan-jalan baru Allah sudah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama. Di situ kita baca:‘Tuhan mempersingkat Firman-Nya, Ia menyingkatnya’ (Yes. 10:23; Rm. 9:28). Putra sendiri adalah Sabda, Logos: Sabda kekal menjadi kecil – cukup kecil sehingga menyesuaikan dengan palungan. Ia menjadi seorang anak kecil, sehingga Sabda dapat kita gapai.”[35] Sekarang Sabda tidak hanya dapat didengar, tidak hanya memiliki suara, sekarang Sabda mempunyai wajah, yang dapat kita lihat: yaitu Yesus dari Nazaret.[36]

Dengan membaca cerita Injil, kita melihat bagaimana kemanusiaan Yesus sendiri nampak dalam segala keistimewaan-Nya persis berkaitan dengan Sabda Allah. Dalam kemanusiaan-Nya yang sempurna Ia waktu demi waktu melakukan kehendak Bapa; Yesus mendengar suara-Nya dan menaati-Nya dengan seluruh diri-Nya; Ia mengenal Bapa dan Ia menaati firman-Nya (bdk. Yoh. 8:55); Ia berbicara kepada kita mengenai apa yang telah dikatakan Bapa kepada-Nya (bdk. Yoh. 12:50); “Segala firman yang Engkau sampaikan kepada-Ku telah Kusampaikan kepada mereka” (Yoh. 17:8). Demikianlah, Yesus menunjukkan bahwa Ia adalah Logos ilahi yang diberikan kepada kita, tetapi pada saat yang sama Adam yang baru, Manusia sejati, yang setiap saat bukan melakukan kehendak-Nya sendiri, tetapi kehendak Bapa. Ia “makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Luk. 2:52). Secara sempurna Ia mendengar, mewujudkan dan mengomunikasikan kepada kita Firman Allah (bdk. Luk. 5:1).

Perutusan Yesus pada akhirnya digenapi dalam misteri paskah: di sini kita berhadapan dengan “Sabda tentang salib” (1Kor. 1:18). Sabda membisu; menjadi sunyi senyap, karena telah “diucapkan” secara tuntas, tak menahan apa pun yang harus Ia sampaikan kepada kita. Para Bapa Gereja, dalam merenungkan misteri ini, menempatkan ke dalam mulut Bunda Allah ucapan yang menyentuh ini: “Tanpa katalah Sabda Bapa, yang membuat setiap makhluk yang berbicara; tanpa kehidupanlah mata dari dia yang kepada perkataan dan anggukannya segala yang hidup bergerak ”.[37] Di sini kasih yang “lebih besar,” kasih yang memberikan hidupnya bagi sahabat-sahabatnya (lih. Yoh. 15:13), sungguh dibagikan kepada kita.

Dalam misteri agung ini Yesus dinyatakan sebagai Sabda Perjanjian yang Baru dan Kekal: kebebasan ilahi dan kebebasan manusiawi telah bertemu secara definitif dalam tubuh-Nya yang disalibkan, dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan dan berlangsung kekal. Yesus sendiri, pada Perjamuan Terakhir, dalam mengadakan Ekaristi, telah berbicara mengenai suatu “perjanjian yang baru dan kekal” dalam mencurahkan darah-Nya (bdk. Mat. 26:28; Mrk. 14:24; Luk. 22:20), dan memperlihatkan diri-Nya sebagai Anak Domba yang sungguh dikurbankan yang memberikan pembebasan kita yang definitif dari perbudakan.[38]

Dalam misteri paling cemerlang kebangkitan, sikap diam dari Sabda diperlihatkan dalam maknanya yang paling autentik dan definitif. Kristus, Sabda Allah yang menjelma, disalibkan dan bangkit, adalah Tuhan segala sesuatu; Ia adalah Sang Pemenang, Pantocrator, dan dengan demikian segala sesuatu untuk selamanya dikumpulkan dalam diri-Nya (bdk. Ef. 1:10). Maka Kristus adalah “terang dunia” (Yoh. 8:12), terang yang “bercahaya dalam kegelapan” (Yoh. 1:5) yang tak terkalahkan oleh kegelapan (bdk. Yoh. 1:5). Di sini kita dapat memahami sepenuhnya makna dari kata-kata Mazmur 119: “Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (ay 105); Firman yang bangkit adalah cahaya definitif bagi jalan kita. Sejak permulaan, orang-orang Kristiani menyadari bahwa dalam Kristus Firman Allah hadir sebagai seorang pribadi. Firman Allah adalah terang sejati yang diperlukan manusia. Dalam kebangkitan, Anak Allah sungguh-sungguh muncul sebagai terang dunia. Sekarang, dengan hidup bersama dengan Dia dan di dalam Dia, kita dapat hidup dalam terang.

13. Di sini, bisa dikatakan pada inti “Kristologi Sabda”, pentinglah untuk menekankan kesatuan rencana ilahi dalam Firman yang menjadi manusia: maka, Perjanjian Baru menghadirkan misteri Paskah dalam kesesuaian dengan Kitab Suci dan sebagai pemenuhannya yang terdalam. Santo Paulus, dalam Surat Pertama kepada Jemaat di Korintus, mengatakan bahwa Yesus Kristus mati untuk dosa-dosa kita “sesuai dengan Kitab Suci” (15:3) dan bahwa Ia bangkit pada hari ketiga “sesuai dengan Kitab Suci” (15:4). Demikianlah, Rasul menghubungkan peristiwa kematian Tuhan dan kebangkitan-Nya dengan sejarah Perjanjian Lama Allah dengan umat-Nya. Tentu saja, ia memperlihatkan kepada kita bahwa dari peristiwa itu sejarah menerima logika batinnya dan makna sejatinya. Dalam misteri Paskah “kata-kata Kitab Suci” terpenuhi; dengan kata lain, kematian ini yang terjadi “sesuai dengan Kitab Suci” adalah suatu peristiwa yang berisi logos, suatu logika batin: kematian Kristus memberi kesaksian bahwa Firman Allah menjadi sepenuhnya “daging” manusiawi, “sejarah” manusia.[39] Begitu juga, kebangkitan Yesus terjadi “pada hari ketiga sesuai dengan Kitab Suci”: karena menurutkeyakinan Yahudi bahwa kehancuran terjadi sesudah hari ketiga, maka kata-kata Kitab Suci terpenuhi dalam Yesus yang bangkit tanpa kehancuran. Demikianlah Santo Paulus, yang dengan setia meneruskan ajaran para Rasul (bdk. 1Kor. 15:3), menekankan bahwa kemenangan Kristus atas maut terjadi melalui kekuatan kreatif dari Firman Allah. Kekuatan ilahi ini memberikan pengharapan dan kegembiraan: singkat kata, ini adalah isi wahyu Paskahyang membebaskan. Pada waktu Paskah, Allah menyatakan diri-Nya dan kekuatan kasih Tritunggal yang menghancurkan daya-daya perusak dari kejahatan dan kematian.

Dengan mengingat kembali unsur-unsur hakiki iman kita, kita dapat merenungkan kesatuan mendalam dalam Kristus antara penciptaan, penciptaan baru dan seluruh sejarah keselamatan. Sebagai contoh, kita dapat membandingkan alam semesta dengan sebuah “buku” – Galileo sendiri menggunakan contoh ini – dan memandangnya sebagai “karya dari seorang pengarang yang mengungkapkan diri melalui ‘simfoni’ ciptaan. Dalam simfoni ini, pada titik tertentu, orang menemukan, apa yang disebut dalam istilah musik ‘solo’, sebuah tema yang dipercayakan kepada sebuah alat atau suara tunggal yang begitu penting sehingga makna dari seluruh karya tergantung padanya. ‘Solo’ ini adalah Yesus… Anak Manusia yang merangkum dalam diri-Nya, bumi dan langit, ciptaan dan Pencipta, daging dan Roh. Ia adalah pusat dari alam semesta dan sejarah, karena dalam diri-Nya bertemu tanpa tercampur Sang Pengarang dan karya-Nya.”[40]

Dimensi eskatologis Sabda Allah

14. Dalam semua ini, Gereja mengungkapkan kesadarannya bahwa bersama Yesus Kristus ia berdiri di hadapan Sabda Allah yang definitif: Ia adalah “yang pertama dan yang terakhir” (Why. 1:17). Ia memberikan kepada ciptaan dan sejarah maknanya yang definitif dan karena itu kita dipanggil untuk hidup dalam waktu dan dalam ciptaan Allah di dalam irama eskatologis Sabda. “Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak akan pernah berlalu; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (lih. 1Tim. 6:14 dan Tit. 2:13).”[41] Tentu saja, seperti diingatkan oleh para Bapa selama Sinode, “keunikan kekristenan ditampilkan dalam peristiwa yang adalah Yesus Kristus, puncak dari pewahyuan, pemenuhan janjijanji Allah dan pengantara perjumpaan antara manusia dan Allah. Ia yang ‘telah menyatakan Allah’ (Yoh. 1:18) adalah Dia, Sabda definitif yang diberikan kepada umat manusia.”[42] Santo Yohanes dari Salib mengungkapkan kebenaran ini dengan bagus: “Karena Ia telah menganugerahkan Anak-Nya kepada kita, satu-satunya Sabda-Nya (karena Ia tidak memiliki yang lain), Ia mengucapkan segalanya sekali saja dalam satu Firman itu – dan Ia tidak mengucapkan apa-apa lagi… karena apa yang telah Ia katakan sebelumnya kepada para nabi sebagian, telah dikatakan-Nya semua sekaligus dengan memberikan kepada kita Semua yang adalah Anak-Nya. Oleh karena itu, setiap orang yang mempertanyakan Allah atau menginginkan beberapa penampakan atau pewahyuan akan merasa bersalah, bukan hanya karena sikapnya yang bodoh tetapi juga menghina Dia, dengan tidak memusatkan pandangannya seluruhnya kepada Kristus dan dengan hidup disertai keinginan akan suatu kebaruan yang lain.”[43]

Sebagai konsekuensinya Sinode menunjukkan perlunya “membantu umat beriman untuk membedakan Sabda Allah dari wahyu-wahyu privat”,[44] yang peranannya “bukanlah untuk ‘melengkapi’ wahyu Kristus yang definitif, melainkan untuk membantu menghayatinya lebih penuh dalam satu periode sejarah tertentu.”[45] Nilai dari wahyu-wahyu privat secara hakiki berbeda dari wahyu umum; wahyu umum menuntut iman; di dalamnya Allah sendiri berbicara kepada kita melalui kata-kata manusiawi dan dengan perantaraan komunitas yang hidup dari Gereja. Kriteria untuk menilai kebenaran wahyu privat adalah orientasinya kepada Kristus sendiri. Jika wahyu itu menjauhkan kita dari pada-Nya, maka itu jelas tidak berasal dari Roh Kudus, yang membimbing kita lebih dalam kepada Injil, dan tidak menjauh dari padanya. Wahyu privat merupakan bantuan terhadap iman ini, dan itu menunjukkan kredibilitasnya justru karena itu menunjuk kembali kepada suatu wahyu umum. Persetujuan gerejawi atas wahyu privat menunjukkan secara hakiki bahwa isi pesannya bukan sesuatu yang berlawanan dengan iman dan moral; diizinkanlah untuk diumumkan dan umat beriman diperbolehkan untuk memberikan persetujuannya yang bijaksana. Sebuah wahyu privat dapat memperkenalkan penekanan baru, membangkitkan bentuk-bentuk kesalehan yang baru, atau memperdalam yang lama. Itu dapat mempunyai sifat kenabian tertentu (bdk. 1Tes 5:19-21) dan dapat menjadi bantuan berharga untuk memahami secara lebih baik dan menghayati Injil pada suatu waktu tertentu; karenanya hal itu hendaknya jangan dianggap remeh. Wahyu privat itu merupakan suatu bantuan yang memajukan, tetapi penggunaannya tidak diharuskan. Dalam hal apa pun, pewahyuan itu harus menjadi persoalan pengembangan iman, harapan dan kasih, yang bagi setiap orang merupakan jalan tetap kepada keselamatan.[46]

Sabda Allah dan Roh Kudus

15. Sesudah merenungkan mengenai Sabda Allah yang terakhir dan definitif kepada dunia, kita sekarang perlu menyebut mengenai perutusan Roh Kudus dalam hubungan dengan Sabda ilahi. Pada kenyataannya, tidak akan ada pemahaman autentik wahyu kristiani yang terpisah dari kegiatan Sang Penghibur. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa komunikasi pribadi Allah selalu melibatkan relasi Putra dan Roh Kudus, yang oleh Ireneus dari Lyon disebut sebagai “kedua tangan Bapa.”[47] Kitab Suci sendiri berbicara mengenai kehadiran Roh Kudus dalam sejarah keselamatan dan khususnya dalam kehidupan Yesus: Ia dikandung oleh Perawan Maria melalui kuasa Roh Kudus (bdk. Mat. 1:18; Luk. 1:35); pada permulaan karya-Nya di hadapan umum, di pinggir Sungai Yordan, Ia melihat Roh Kudus turun ke atas-Nya dalam bentuk seekor merpati (bdk. Mat. 3:16); dalam Roh yang sama Yesus bertindak, berbicara dan bergembira (bdk. Luk. 10:21); dan dalam Roh Ia menyerahkan diri-Nya (bdk. Ibr 9:14). Ketika perutusan-Nya mendekati akhir, menurut kisah Santo Yohanes, Yesus dengan jelas menghubungkan pemberian hidup-Nya dengan pengutusan Roh ke atas mereka yang menjadi milik-Nya (bdk. Yoh. 16:7). Yesus yang bangkit, dengan mengenakan pada tubuh-Nya tanda-tanda kesengsaraan, kemudian mencurahkan Roh (bdk. Yoh. 20:22), dengan mengikutsertakan para murid-Nya dalam perutusan-Nya sendiri (bdk. Yoh. 20:21). Roh Kudus akan mengajarkan kepada semua murid-Nya segala sesuatu dan mengingatkan mereka semua yang telah dikatakan Kristus (bdk. Yoh. 14:26), karena Ia, Roh Kebenaran (bdk. Yoh. 15:26) akan membimbing para murid ke dalam seluruh kebenaran (bdk. Yoh. 16:13). Akhirnya, dalam Kisah Para Rasul kita membaca bahwa Roh turun kepada Keduabelas Rasul yang berkumpul dalam doa bersama Maria pada hari Pentakosta (bdk. 2:1-4), dan mendorong mereka untuk menjalankan perutusan mewartakan Kabar Gembira kepada semua orang.[48]

Demikianlah, Sabda Allah diungkapkan dalam bahasa manusia berkat karya Roh Kudus. Perutusan Putra dan Roh Kudus tak terpisahkan dan membentuk satu-satunya ekonomi keselamatan. Roh yang sama yang bertindak dalam penjelmaan Sabda dalam rahim Perawan Maria adalah Roh yang membimbing Yesus selama perutusan-Nya dan yang dijanjikan kepada para murid. Roh yang sama yang telah berbicara melalui para nabi mendukung dan mengilhami Gereja dalam tugasnya untuk mewartakan Sabda Allah dan dalam pewartaan para Rasul; akhirnya, Roh itulah yang mengilhami para penulis Kitab Suci.

16. Menyadari cakrawala pneumatologis ini, para Bapa Sinode menyoroti pentingnya karya Roh Kudus dalam kehidupan Gereja dan dalam hati umat beriman dalam kaitan dengan Kitab Suci[49]: tanpa karya yang berdaya guna dari “Roh Kebenaran” (Yoh. 14:16), Sabda Tuhan tidak dapat dipahami. Seperti dikatakan Santo Ireneus: “Mereka yang tidak mengambil bagian dalam Roh tidak akan mengambil dari dada ibu mereka (Gereja) makanan kehidupan; mereka tidak menerima apa-apa dari mata air paling murni yang mengalir dari tubuh Kristus.”[50] Seperti Sabda Allah sampai kepada kita dalam tubuh Kristus, di dalam tubuh Ekaristis dan dalam tubuh Kitab Suci, melalui karya Roh Kudus, demikian juga Sabda itu bisa sungguh diterima dan dipahami hanya melalui Roh yang sama.

Para penulis besar dari tradisi Kristiani secara serempak berbicara mengenai tempat Roh Kudus dalam hubungan yang harus dimiliki kaum beriman dengan Kitab Suci. Santo Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa Kitab Suci “memerlukan pewahyuan Roh, sehingga dengan menemukan makna sejati dari segala hal yang termasuk di dalamnya, kita dapat memanen hasil-hasil yang melimpah.”[51] Santo Hieronimus juga sangat yakin bahwa “kita tidak dapat memahami Kitab Suci tanpa bantuan Roh Kudus yang mengilhaminya.”[52] Santo Gregorius Agung dengan bagus menekankan karya Roh dalam pembentukan dan penafsiran Alkitab: “Ia sendiri menciptakan kata-kata dari Perjanjian Kudus, Ia sendiri menyatakan maknanya.”[53] Richard dari Saint Victor menunjukkan bahwa kita memerlukan “mata burung dara”, yang diterangi dan diajar oleh Roh, supaya memahami teks-teks suci.[54]

Di sini juga saya ingin menekankan kesaksian yang sungguh penting tentang hubungan antara Roh Kudus dan Kitab Suci yang kita temukan dalam teks-teks liturgi, di mana Sabda Allah diwartakan, diperdengarkan dan diterangkan kepada umat beriman. Kita menemukan kesaksian mengenai hal ini dalam doa-doa kuno yang dalam bentuk epiklese berseru kepada Roh sebelum pewartaan bacaan: “Utuslah Roh Penghibur-Mu ke dalam hati kami dan buatlah kami memahami Kitab Suci yang diilhami-Nya, dan anugerahkanlah kepada kami sehingga layak menafsirkannya secara tepat, sehingga kaum beriman yang berkumpul di sini dapat mengambil manfaat karenanya.” Kita juga menemukan doa, yang pada akhir homili, lagi-lagi memohon Allah untuk mengirimkan karunia Roh ke atas kaum beriman: “Tuhan, Penyelamat kami… kami mohon kepada-Mu bagi umat ini: utuslah kepada mereka Roh Kudus, semoga Tuhan Yesus datang mengunjungi mereka, berbicara kepada pikiran semua, mengarahkan hati mereka kepada iman dan membimbing jiwa kami kepada-Mu, Allah belas kasih.”[55] Ini menjelaskan bahwa kita tidak dapat memahami makna Sabda, kecuali kita terbuka pada karya Sang Penghibur dalam Gereja dan di dalam hati kaum beriman.

Tradisi dan Kitab Suci

17. Dalam menegaskan lagi hubungan mendalam antara Roh Kudus dan Sabda Allah, kita juga telah meletakkan dasar untuk memahami makna dan nilai menentukan dari Tradisi yang hidup dan Kitab Suci dalam Gereja. Sungguh, karena “begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal” (Yoh. 3:16), Sabda ilahi yang diucapkan dalam waktu, telah diberikan dan “diserahkan” kepada Gereja secara yang definitif, sehingga pewartaan keselamatan dapat dikomunikasikan secara efektif di setiap waktu dan tempat. Seperti diingatkan oleh Konstitusi Dogmatis Dei Verbum kepada kita, Yesus Kristus sendiri “telah memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya sendiri, mereka wartakan kepada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan, dan dengan demikian dibagikan karuniakarunia ilahi kepada mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan setia oleh Para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang telah mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari.”[56]

Konsili Vatikan Kedua juga menegaskan bahwa Tradisi yang berasal dari para rasul ini adalah realitas yang hidup dan dinamis: ini “berkat bantuan Roh Kudus berkembang dalam Gereja”; namun tidak dalam arti bahwa itu mengubah dalam kebenarannya, yang adalah kekal. Melainkan, “berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan,” melalui permenungan dan studi, dengan pemahaman yang diberikan oleh pengalaman spiritual yang lebih dalam dan oleh “pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup telah menerima karisma kebenaran yang pasti.”[57]

Tradisi yang hidup sangat penting untuk memungkinkan Gereja berkembang sepanjang waktu dalam memahami kebenaran yang diwahyukan dalam Kitab Suci; tentu saja, “berkat Tradisi itu pun Gereja mengenal kanon Kitab-kitab suci selengkapnya, dan dalam Tradisi itu Kitab Suci sendiri dimengerti secara lebih mendalam dan tiada hentinya dihadirkan secara efektif.[58] Akhirnya, itu adalah Tradisi Gereja yang hidup yang membuat kita memahami dengan tepat Kitab Suci sebagai Sabda Allah. Meskipun Sabda Allah mendahului dan mengatasi Kitab Suci, namun Kitab Suci, karena diilhami oleh Allah, berisi Sabda ilahi (bdk. 2Tim 3:16) “dengan secara menyeluruh dan istimewa.”[59]

18. Kemudian, kita melihat dengan jelas, betapa pentingnya bagi Umat Allah untuk dididik secara benar dan dilatih untuk mendekati Kitab Suci dalam hubungan dengan Tradisi hidup dari Gereja, dan untuk mengenal di dalamnya Sabda Allah yang sesungguhnya. Mengembangkan pendekatan demikian itu dalam umat beriman sangat penting dari segi kehidupan rohani. Di sini mungkin dapat membantu mengingat analogi yang dibuat oleh para Bapa Gereja antara Sabda Allah yang menjadi “daging” dan Sabda yang menjadi “kitab”.[60] Konstitusi Dogmatis Dei Verbum mengangkat tradisi kuno ini yang menegaskan, seperti dikatakan Santo Ambrosius,[61] bahwa “tubuh dari Putra adalah Kitab Suci yang telah kita terima,” dan menjelaskan bahwa “Sabda Allah, yang diungkapkan dalam bahasa manusia, dalam segala cara adalah seperti pembicaraan manusia, sama seperti Sabda dari Bapa yang kekal, ketika Ia menerima seluruh kelemahan kodrat manusia, menjadi seperti mereka.”[62] Jika dipahami demikian, Kitab Suci menghadirkan diri kepada kita, dalam berbagai macam bentuk dan isi, sebagai satu-satunya realitas. Tentu saja, “melalui kata-kata Kitab Suci, Allah hanya mengatakan satu kata: Firman-Nya yang tunggal, dan di dalam Dia Ia mengungkapkan Diri seutuhnya (bdk. Ibr 1:1-3).”[63] Santo Agustinus telah menyatakan dengan jelas: “Ingatlah bahwa hanya satu ucapan Allah yang terbentang dalam semua Kitab Suci, dan satu-satunya adalah Firman yang menggema dalam mulut dari semua penulis suci.”[64]

Dengan singkat, oleh karya Roh Kudus dan di bawah bimbingan Magisterium, Gereja menyampaikan kepada setiap generasi semua yang telah diwahyukan dalam Kristus. Gereja hidup dalam kepastian bahwa Tuhannya, yang berbicara di masa lampau, pada hari ini terus mengomunikasikan Sabda-Nya dalam Tradisinya yang hidup dan dalam Kitab Suci. Sungguh, Sabda Allah telah diberikan kepada kita dalam Kitab Suci sebagai kesaksian yang diilhami tentang Pewahyuan; bersama dengan Tradisi Gereja yang hidup, Kitab Suci merupakan aturan tertinggi dari iman.[65]

Kitab Suci, Inspirasi dan Kebenaran

19. Konsep kunci untuk memahami teks suci sebagai Sabda Allah dalam kata-kata manusia tentu saja adalah inspirasi. Di sini kita juga dapat mengemukakan sebuah analogi: karena Sabda Allah menjadi manusia oleh kuasa Roh Kudus dalam rahim Perawan Maria, demikianlah Kitab Suci lahir dari rahim Gereja oleh kuasa Roh Kudus yang sama. Kitab Suci adalah “Sabda Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi.”[66] Dengan cara demikian, orang mengakui sungguh pentingnya penulis manusiawi yang menulis teks yang diilhami dan, pada saat yang sama, Allah sendiri sebagai penulis sejati.

Seperti ditegaskan para Bapa Sinode, tema inspirasi jelas menentukan bagi pendekatan yang memadai terhadap Kitab Suci dan penafsirannya yang benar,[67] yang sebagiannya dilaksanakan oleh Roh yang sama yang di dalam-Nya teks-teks suci dituliskan.[68]
Apabila kesadaran kita mengenai inspirasinya menjadi lemah, kita berisiko membaca Kitab Suci sebagai objek keingintahuan historis dan bukan sebagai karya Roh Kudus di mana kita dapat mendengar Tuhan sendiri berbicara dan mengakui kehadiran-Nya dalam sejarah.

Para Bapa Sinode juga menekankan hubungan antara tema inspirasi dan tema kebenaran Kitab Suci.[69] Suatu studi yang lebih mendalam mengenai proses inspirasi tak diragukan lagi akan mengantar kepada pemahaman yang lebih besar mengenai kebenaran yang terdapat dalam buku-buku suci. Seperti ditegaskan ajaran Konsili dalam hal ini, buku-buku yang diinspirasikan mengajarkan kebenaran: “oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita. Oleh karena itu,‘seluruh Alkitab diilhami oleh Allah dan berguna untuk mengajar, meyakinkan, menegur dan mendidik dalam kebenaran: supaya manusia (hamba) Allah menjadi sempurna, siap sedia bagi segala pekerjaan yang baik’ (2Tim 3:16-17 Yun).”[70]

Tentu saja, refleksi teologis selalu memandang inspirasi dan kebenaran sebagai dua konsep kunci bagi hermeneutik gerejawi dari Kitab Suci. Meskipun demikian, orang harus mengakui kebutuhan saat ini akan suatu studi yang lebih lengkap dan lebih memadai mengenai kenyataan-kenyataan ini, supaya dapat menanggapi dengan lebih baik perlunya menafsirkan teks-teks suci sesuai dengan hakikatnya. Di sini saya ingin mengungkapkan harapan kuat saya supaya riset di bidang ini akan mengalami kemajuan dan menghasilkan buah, baik bagi ilmu tentang Alkitab maupun bagi kehidupan rohani kaum beriman.

Allah Bapa, sumber dan asal-usul Sabda

20. Ekonomi keselamatan bermula dan berasal dalam Allah Bapa. Oleh Sabda-Nya “langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya” (Mzm. 33:6). Dialah yang telah memberikan kepada kita “terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2Kor. 4:6; bdk. Mat. 16:17; Luk. 9:29).

Dalam Putra, “Logos menjadi manusia” (bdk. Yoh. 1:14), yang datang untuk memenuhi kehendak dari Dia yang mengutus-Nya (bdk. Yoh. 4:34), Allah, sumber pewahyuan, mengungkapkan diri-Nya sebagai Bapa dan membawa pedagogi ilahi kepada kepenuhannya yang sebelumnya telah dilaksanakan melalui kata-kata para nabi dan perbuatan-perbuatan mengagumkan yang dilaksanakan dalam ciptaan dan dalam sejarah umat-Nya dan seluruh umat manusia. Pewahyuan Allah Bapa berpuncak pada karunia Sang Penghibur oleh Putra (bdk. Yoh. 14:16), Roh dari Bapa dan Putra, yang membimbing kita “ke dalam seluruh kebenaran” (Yoh. 16:13).

Semua janji Allah memperoleh “ya”-nya dalam Yesus Kristus (bdk. 2Kor. 1:20). Dengan demikian manusia dimungkinkan untuk menyiapkan jalan menuju kepada Bapa (bdk. Yoh. 14:6), supaya pada akhirnya “Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor. 15:28).

21. Seperti ditunjukkan oleh salib Kristus, Allah juga berbicara melalui sikap diam-Nya. Diamnya Allah, pengalaman berjauhan dari Bapa yang Mahakuasa, adalah tahap yang menentukan dalam perjalanan duniawi Putra Allah, Sabda yang menjadi manusia. Dengan tergantung pada kayu salib, Ia meratapi penderitaan yang disebabkan oleh sikap diam itu: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:4; Mat. 27:46). Maju dalam ketaatan sampai nafas terakhir-Nya, dalam kegelapan kematian, Yesus memanggil Bapa. Ia menyerahkan diri-Nya kepada-Nya pada saat perjalanan, melalui kematian, kepada kehidupan kekal: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk. 23:46).

Pengalaman Yesus ini mencerminkan situasi semua orang yang, sesudah mendengarkan dan mengakui Sabda Allah, harus juga menghadapi sikap diam-Nya ini. Ini juga menjadi pengalaman para kudus juga para mistikus yang tak terhitung jumlahnya, dan bahkan sekarang ini merupakan bagian dari perjalanan banyak umat beriman. Sikap diam Allah memperpanjang kata-kata-Nya yang terdahulu. Dalam saat-saat kegelapan, Ia berbicara melalui misteri sikap diam-Nya. Maka dari itu, dalam dinamika wahyu Kristiani, sikap diam nampak sebagai ungkapan penting dari Sabda Allah.

Jawaban Kita kepada Allah yang Berbicara

Dipanggil untuk mengadakan perjanjian dengan Allah

22. Dengan menekankan banyak bentuk dari Sabda, kita mampu merenungkan sejumlah cara di mana Allah berbicara dan menjumpai manusia, memperkenalkan diri-Nya dalam dialog. Jelaslah, seperti ditegaskan para Bapa Sinode, “dialog, bila kita berbicara mengenai wahyu, memerlukan keunggulan Sabda Allah yang ditujukan kepada manusia.”[71] Misteri Perjanjian menjelaskan hubungan ini antara Allah yang memanggil manusia dengan Sabda-Nya, dan manusia yang menjawab, sekalipun menjelaskan bahwa ini bukan masalah suatu pertemuan dengan dua pihak; apa yang kita sebut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bukanlah kesepakatan antara dua pihak yang setara, melainkan murni karunia Allah. Oleh karunia kasih-Nya Allah menjembatani setiap jarak dan sungguh membuat kita “partner”-Nya, untuk mewujudkan misteri perkawinan dari kasih antara Kristus dan Gereja. Dalam pandangan ini setiap orang tampil sebagai seseorang yang kepadanya Sabda berbicara, menantang dan memanggil untuk masuk ke dalam dialog kasih melalui jawaban bebas. Jadi, masing-masing dari kita dimampukan oleh Allah untuk mendengar dan menjawab Sabda-Nya. Kita diciptakan dalam Sabda dan kita hidup dalam Sabda, kita tidak dapat memahami diri kita sendiri kecuali jika kita terbuka terhadap dialog ini. Sabda Allah membuka hakikat keputraan dan relasional hidup manusia. Kita sungguh dipanggil oleh kasih karunia untuk diserupakan dengan Kristus, Anak Bapa, dan diubah dalam diri-
Nya.

Allah mendengarkan kita dan menjawab pertanyaan kita

23. Dalam dialog dengan Allah ini kita menjadi mengerti akan diri kita dan kita menemukan jawaban atas pertanyaan hati kita yang terdalam. Sesungguhnya, Sabda Allah tidak bertentangan dengan
kita; ia tidak melumpuhkan keinginan autentik kita, melainkan menyinarinya, memurnikannya dan mengantarnya mencapai kepenuhannya. Betapa penting bagi masa kita untuk menemukan bahwa hanya Allah menjawab kerinduan yang ada dalam hati setiap orang! Betapa sedih mengatakan, pada zaman kita, dan di dunia Barat, ada pandangan yang tersebar luas bahwa Allah berada di luar kehidupan dan problem manusia, dan bahwa kehadiran-Nya bisa menjadi ancaman bagi otonomi manusia. Sekalipun demikian, seluruh ekonomi keselamatan menunjukkan bahwa Allah berbicara dan bertindak dalam sejarah demi kebaikan dan keselamatan kita secara menyeluruh. Oleh karena itu, sangat menentukan dari sudut pandang pastoral untuk menghadirkan Sabda Allah dalam kemampuannya untuk berdialog dengan masalah sehari-hari yang dihadapi manusia. Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia datang supaya kita dapat memperoleh hidup dalam kelimpahan (bdk. Yoh. 10:10). Akibatnya, kita perlu berusaha untuk menunjukkan Sabda Allah sebagai suatu keterbukaan terhadap problem kita, sebuah jawaban bagi pertanyaan kita, suatu perluasan bagi nilai-nilai kita dan pemenuhan bagi aspirasi-aspirasi kita. Kegiatan pastoral Gereja perlu menunjukkan dengan jelas bagaimana Allah mendengarkan kebutuhan kita dan permohonan pertolongan kita. Seperti dikatakan Santo Bonaventura dalam Breviloquium: “Buah dari Kitab Suci bukanlah sembarang buah, melainkan kepenuhan kebahagiaan abadi. Kitab Suci adalah buku yang berisi sabda-sabda kehidupan kekal, sehingga kita tidak hanya percaya kepadanya, tetapi juga memiliki hidup abadi, di mana kita akan melihat dan mencintai, dan semua keinginan kita akan terpenuhi.”[72]

Dalam dialog dengan Allah melalui Sabda-Nya

24. Sabda Allah menarik kita masing-masing ke dalam percakapan dengan Tuhan: Allah yang berbicara mengajar kita bagaimana berbicara kepada-Nya. Di sini tentu saja kita berpikir akan Buku Mazmur, di mana Allah memberi kepada kita kata-kata untuk kita ucapkan kepada-Nya, menempatkan hidup kita di hadapan-Nya, dan dengan demikian membuat hidup sendiri menjadi suatu jalan kepada Allah.[73] Dalam Mazmur kita menemukan seluruh ragam ungkapan perasaan yang dapat dirasakan manusia dalam keberadaannya sendiri dan yang ditempatkan dengan bijaksana di hadapan Allah; kegembiraan dan rasa sakit, putus asa dan pengharapan, ketakutan dan rasa gentar: di sini semua menemukan pengungkapannya. Bersama dengan Mazmur kita juga berpikir mengenai banyaknya bagian Kitab Suci yang mengungkapkan berpalingnya kita kepada Allah dalam doa permohonan (bdk. Kel. 33:12-16), dalam nyanyian kegembiraan karena kemenangan (bdk. Kel. 15) atau dalam kesusahan terhadap kesukaran-kesukaran yang kita alami karena melaksanakan perutusan kita (bdk. Yer. 20:7-18). Dengan cara ini kata-kata kita kepada Allah menjadi kata-kata Allah, maka menegaskan sifat dialogal semua wahyu Kristiani,[74] dan keberadaan kita seluruhnya menjadi suatu dialog dengan Allah yang berbicara dan mendengarkan, yang memanggil kita dan mengarahkan hidup kita. Di sini Sabda Allah menyatakan bahwa seluruh kehidupan kita berada di bawah panggilan ilahi.[75]

Sabda Allah dan Iman

25. “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan ‘ketaatan iman’ (Rm. 16:26; bdk. Rm. 1:5; 2Kor. 10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan ‘kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan’, dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya.”[76] Dalam kata-kata ini Konstitusi Dogmatis Dei Verbum dengan tepat mengungkapkan sikap tepat yang harus kita miliki berhadapan dengan Allah. Jawaban manusia yang sesuai kepada Allah yang berbicara adalah iman. Di sini kita melihat dengan jelas bahwa “Agar dapat menerima wahyu, orang harus membuka pikiran dan hatinya terhadap karya Roh Kudus yang memampukannya memahami Sabda Allah yang terdapat dalam Kitab Suci.”[77] Sesungguhnya, pewartaan Sabda ilahilah yang membangkitkan iman, di mana kita menyetujui dengan segenap hati pada kebenaran yang telah diwahyukan kepada kita dan kita menyerahkan diri sepenuhnya kepada Kristus: “Iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rm. 10:17). Seluruh sejarah keselamatan makin lama makin menunjukkan ikatan mendalam antara Sabda Allah dan iman yang muncul dari perjumpaan dengan Kristus. Demikianlah, iman mendapat bentuknya sebagai suatu perjumpaan dengan seorang Pribadi kepada siapa kita mempercayakan seluruh kehidupan kita. Kristus Yesus tetap hadir sekarang dalam sejarah, dalam tubuh-Nya yang adalah Gereja; oleh karena alasan ini, tindakan iman kita sekaligus adalah pribadi dan gerejawi.

Dosa sebagai penolakan untuk mendengarkan Sabda Allah

26. Sabda Allah secara tak terhindarkan juga mengungkapkan kemungkinan tragis bahwa kebebasan manusia dapat menjauh dari dialog perjanjian dengan Allah ini yang untuknya kita diciptakan. Sabda Allah juga menyingkapkan dosa yang bersembunyi dalam hati manusia. Cukup sering baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, kita menemukan dosa yang digambarkan sebagai suatu penolakan untuk mendengarkan Sabda, sebagai pelanggaran Perjanjian dan dengan demikian ketertutupan terhadap Allah yang memanggil kita kepada persekutuan dengan diri-Nya.[78] Kitab Suci menunjukkan bagaimana dosa manusia secara hakiki adalah ketidaktaatan dan penolakan untuk mendengarkan. Ketaatan radikal Yesus bahkan sampai mati di kayu salib (bdk. Fil. 2:8) secara tuntas membuka kedok dosa ini. Ketaatan-Nya mendatangkan Perjanjian Baru antara Allah dan manusia, dan menganugerahkan kepada kita kemungkinan untuk pemulihan. Yesus diutus oleh Bapa sebagai kurban penebusan bagi dosa-dosa kita dan bagi dosa seluruh dunia (bdk. 1Yoh. 2:2; 4:10; Ibr. 7:27). Dengan demikian, kita diberi kemungkinan penebusan yang penuh belas kasihan dan permulaan suatu hidup baru dalam Kristus. Karena alasan ini, pentinglah bahwa orang beriman diajar untuk mengakui bahwa akar dari dosa terletak dalam penolakan untuk mendengarkan Sabda Tuhan, dan untuk menerima dalam Yesus, Sabda Allah, pengampunan yang membuka kita pada keselamatan.

Maria, “Ibu Sabda Allah” dan “Ibu Iman”

27. Para Bapa Sinode menyatakan bahwa tujuan dasar dari Sidang Keduabelas adalah “untuk memperbarui iman Gereja dalam Sabda Allah.” Untuk melaksanakan hal itu, kita perlu memperhatikan seorang pribadi yang di dalam dia hubungan timbal balik antara Sabda Allah dan iman disempurnakan, yaitu Perawan Maria, “yang dengan ‘ya’-nya kepada Sabda perjanjian dan perutusannya, secara sempurna memenuhi panggilan ilahi umat manusia.”[79] Realitas manusiawi yang diciptakan melalui Sabda menemukan gambarnya yang paling sempurna dalam ketaatan iman Maria. Dari Pewartaan Kabar Gembira sampai Pentakosta ia nampak sebagai wanita yang sepenuhnya terbuka terhadap kehendak Allah. Ia adalah Yang Terkandung tanpa Noda, ia yang diciptakan Allah “penuh kasih karunia” (bdk. Luk. 1:28) dan tanpa syarat taat kepada Sabda-Nya (bdk. Luk. 1:38). Imannya yang taat membentuk hidupnya setiap saat di hadapan rencana Allah. Seorang Perawan yang selalu memperhatikan Sabda Allah, ia hidup sepenuhnya selaras dengan Sabda itu; ia menyimpan dalam hatinya peristiwa-peristiwa Anaknya, dengan menyusunnya bersama seperti sebuah mosaik (bdk. Luk. 2:19.51).[80]

Pada zaman sekarang orang beriman perlu dibantu untuk melihat secara lebih jelas kaitan antara Maria dari Nazaret dan sikap mendengarkan dengan penuh iman kepada Sabda Allah. Saya ingin mendorong para ahli untuk mempelajari dengan baik hubungan antara Mariologi dan teologi Sabda. Ini dapat membawa manfaat besar bagi kehidupan rohani dan bagi studi teologis dan alkitabiah. Tentu saja, apa yang merupakan pemahaman iman telah memampukan kita mengenal Maria yang berada di pusat kebenaran Kristiani. Inkarnasi Sabda tidak dapat dimengerti terlepas dari kebebasan wanita muda ini yang dengan persetujuannya secara meyakinkan bekerja sama dengan masuknya Yang Abadi ke dalam waktu. Maria adalah gambaran Gereja yang dengan tekun mendengarkan Sabda Allah yang menjadi daging dalam dirinya. Maria juga melambangkan keterbukaan terhadap Allah dan orang lain; sikap mendengarkan dengan aktif yang menginternalisasi dan mengasimilasi, di mana Sabda menjadi cara hidup.

28. Di sini saya ingin menyebutkan keakraban Maria dengan Sabda Allah. Ini jelas nampak dalam Magnificat. Di situ kita melihat dalam arti tertentu bagaimana ia mengidentifikasikan diri dengan Sabda, masuk ke dalam-Nya; dalam kidung iman yang sangat indah ini, Sang Perawan menyanyikan pujian kepada Tuhan dengan katakatanya sendiri: “Magnificat – bagaikan lukisan jiwanya – tersulam dengan benang-benang dari Kitab Suci, dengan benang-benang Sabda Allah. Tampak bahwa ia sungguh akrab dengan Sabda Allah bagaikan dalam rumah, di mana ia keluar masuk. Ia berbicara dan berpikir dengan Sabda Allah, Sabda Allah menjadi perkataannya, dan perkataannya datang dari Sabda Allah. Juga menjadi nyata bahwa pikirannya ikut berpikir dengan pikiran Allah, bahwa kehendaknya ikut dengan kehendak Allah. Karena ia sungguh diresapi Sabda Allah, dapatlah ia menjadi ibu Sabda yang menjadi manusia”[81]

Lebih lanjut, dalam memandang Bunda Allah, kita melihat bagaimana kegiatan Allah di dunia selalu melibatkan kebebasan kita, karena melalui iman Sabda ilahi mengubah kita. Karya kerasulan dan pastoral kita tak akan pernah efektif kecuali jika kita belajar dari Maria bagaimana dibentuk oleh karya Allah dalam diri kita. ”Perhatian yang saleh dan penuh kasih kepada sosok Maria sebagai model dan contoh dari iman Gereja, sangatlah penting untuk membawa pada zaman kita suatu perubahan paradigma yang konkret dalam hubungan Gereja dengan Sabda, baik dalam mendengarkan penuh doa, maupun dalam komitmen murah hati kepada misi dan pewartaan.”[82]

Jika kita merenungkan dalam Bunda Allah suatu hidup yang seluruhnya dibentuk oleh Sabda, kira menyadari bahwa kita juga dipanggil untuk masuk ke dalam misteri iman, di mana Kristus datang untuk tinggal dalam kehidupan kita. Setiap orang beriman Kristiani, Santo Ambrosius mengingatkan kita, dalam arti tertentu, secara batiniah mengandung dan melahirkan Sabda Allah: bahkan meskipun hanya ada satu Ibu Kristus dalam daging, dalam iman Kristus adalah keturunan dari kita semua.”[83] Demikianlah, apa yang terjadi pada Maria dapat terjadi setiap hari pada masingmasing dari kita, dalam sikap mendengarkan Firman dan dalam merayakan sakramen-sakramen.

Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja

Gereja sebagai tempat utama hermeneutika alkitabiah

29. Tema besar lain yang muncul selama Sinode yang ingin saya mintakan perhatian adalah penafsiran Kitab Suci dalam Gereja. Hubungan intrinsik antara Sabda dan iman memperjelas, bahwa hermeneutika alkitabiah yang asli hanya bisa dimiliki dalam iman Gereja, yang paradigmanya terdapat dalam fiat Maria. Santo Bonaventura menegaskan, bahwa tanpa iman tidak ada kunci untuk membuka teks suci: “Itu adalah pengeta-huan dari Yesus Kristus, dari Dia, seperti dari sebuah mata air, mengalirlah kepastian dan pemahaman dari semua Kitab Suci. Maka dari itu, tidak mungkin bagi siapa pun untuk mendapat pengetahuan kebenaran itu, kecuali ia pertama-tama telah ditanamkan iman kepada Kristus, yang adalah pelita, pintu gerbang dan fondasi dari semua Kitab Suci.”[84] Dan Santo Thomas Aquinas, dengan mengutip Santo Agustinus, menegaskan bahwa “huruf-huruf, bahkan dari Injil, akan membunuh bilamana tidak ada rahmat batiniah dari iman yang menyembuhkan.”[85]

Di sini kita bisa menunjukkan kriteria dasariah dari hermeneutika alkitabiah: tempat utama bagi penafsiran alkitabiah adalah kehidupan Gereja. Ini bukan untuk menjunjung tinggi konteks gerejawi sebagai aturan ekstrinsik yang kepadanya para ekseget harus tunduk, melainkan sesuatu yang dituntut oleh hakikat dari Kitab Suci dan cara mereka secara bertahap terbentuk. “Tradisi iman membentuk konteks hidup bagi kegiatan sastra para penulis Kitab Suci. Penempatan mereka ke dalam konteks ini juga termasuk ambil bagian dalam kehidupan liturgis dan lahiriah dari komunitas-komunitas, dalam dunia intelektual mereka, dalam budaya mereka dan di dalam naik turunnya sejarah mereka bersama. Dengan cara yang sama, penafsiran dari Kitab Suci menuntut partisipasi aktif pihak ekseget dalam kehidupan dan iman komunitas beriman pada zaman mereka.”[86] Akibatnya, karena “Kitab Suci ditulis dalam Roh Kudus dan harus dibaca dan ditafsirkan Roh itu juga”[87] para ekseget, para teolog dan seluruh umat Allah harus mendekatinya seperti apa yang sesungguhnya, Firman Allah yang disampaikan kepada kita melalui bahasa manusiawi (bdk. 1Tes. 2:1). Ini adalah fakta yang tetap dan tersirat dalam Alkitab sendiri: “nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (2Ptr 1:20-21). Selanjutnya, iman Gerejalah yang mengenal Firman Allah dalam Alkitab, seperti dikatakan secara mengesankan oleh Santo Agustinus: “Saya tidak akan percaya pada Injil, jika otoritas Gereja Katolik tidak membimbing saya melakukan hal itu.”[88] Roh Kudus, yang memberi kehidupan kepada Gereja, memampukan kita menafsirkan Kitab Suci secara berwibawa. Alkitab adalah buku Gereja, dan tempatnya yang hakiki dalam kehidupan Gereja memunculkan penafsirannya yang asli.

30. Santo Hieronimus mengingatkan bahwa kita tak pernah bisa membaca Kitab Suci sendiri saja. Kita menemukan begitu banyak pintu tertutup dan kita terlalu mudah tergelincir dalam kesalahan. Alkitab ditulis oleh Umat Allah bagi Umat Allah, di bawah inspirasi Roh Kudus. Hanya dalam persekutuan dengan Umat Allah inikita sungguh dapat masuk sebagai “kita” ke dalam pusat kebenaran yang ingin Allah sampaikan kepada kita.[89] Bagi Hieronimus siapa “tidak mengenal Kitab Suci tidak mengenal Kristus.”[90] Ia menegaskan bahwa dimensi gerejawi dari penafsiran alkitabiah bukanlah tuntutan yang dikenakan dari luar: Buku itu adalah sungguh suara Umat Allah yang berziarah, dan hanya dalam iman Umat ini, boleh dikatakan, kita berada dalam keselarasan untuk memahami Kitab Suci. Suatu penafsiran otentik Alkitab harus selalu selaras dengan iman Gereja Katolik. Maka, ia menulis kepada seorang imam: “Hendaknya tetap teguh berpegang pada ajaran tradisional yang telah diajarkan kepadamu, sehingga engkau bisa menasihati sesuai ajaran sehat dan mengutuk mereka yang melawannya.”[91]

Pendekatan-pendekatan kepada teks suci yang muncul dari iman itu dapat mengemukakan unsur-unsur menarik pada tingkat struktur dan bentuk teks, tetapi tak dapat dihindari hanya membuktikan upaya-upaya permulaan dan yang secara struktural tidak lengkap. Seperti ditegaskan Komisi Kitab Suci Kepausan, dengan menggemakan prinsip hermeneutika modern yang telah diterima: “Akses kepada pemahaman yang tepat mengenai teks alkitabiah hanyalah dianugerahkan kepada pribadi yang mempunyai hubungan dekat dengan apa yang dikatakan teks berdasarkan pengalaman hidup.”[92] Semua ini dengan lebih jelas menampakkan hubungan antara kehidupan rohani dan hermeneutika alkitabiah. “Ketika pembaca menjadi matang dalam kehidupan Roh, demikian maka berkembanglah kemampuannya untuk memahami kenyataan-kenyataan yang dikatakan Kitab Suci.”[93] Intensitas pengalaman gerejawi yang autentik hanya dapat mengantar kepada pengembangan pemahaman sejati dalam iman terkait dengan Kitab Suci; sebaliknya, membaca Kitab Suci dalam iman menyebabkan berkembangnya hidup gerejawi sendiri. Di sini kita dapat melihat sekali lagi kebenaran dari ucapan yang mulia dari Santo Gregorius Agung: “Firman Allah berkembang bersama orang yang membacanya.”[94] Mendengarkan Firman Allah memperkenalkan dan meningkatkan persekutuan gerejawi dengan semua yang berjalan dalam iman.

“Jiwa teologi suci”

31. ”Studi Kitab Suci hendaklah bagaikan jiwa Teologi Suci”[95]: kutipan dari Konstitusi Dogmatis Dei Verbum telah menjadi semakin dikenal selama beberapa tahun ini. Ilmu teologi dan eksegese, dalam periode sesudah Konsili Vatikan Kedua, semakin kerap mengacu pada ungkapan ini sebagai simbol perhatian yang diperbarui terhadap Kitab Suci. Sidang Keduabelas Sinode Para Uskup juga kerap kali menunjuk pada ungkapan yang terkenal ini untuk mengemukakan hubungan antara riset historis dan hermeneutika iman yang menyangkut teks suci. Para Bapa Sinode mengakui dengan gembira bahwa studi mengenai Sabda Allah dalam Gereja telah berkembang dalam dekade akhir-akhir ini, dan mereka mengungkapkan terima kasih mendalam kepada banyak ekseget dan teolog yang dengan dedikasi, komitmen dan kompetensi terus memberikan sumbangan penting untuk memahami secara lebih mendalam makna Kitab Suci, ketika mereka menanggapi persoalan-persoalan rumit yang dihadapi studi alkitabiah pada zaman kita.[96] Terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada anggota dari Komisi Kitab Suci Kepausan, di masa lalu dan sekarang, yang dalam kerjasama erat dengan Kongregasi untuk Ajaran Iman terus menyumbangkan keahlian mereka dalam menguji persoalan-persoalan khusus yang ditimbulkan oleh studi Kitab Suci. Sinode juga merasakan adanya kebutuhan untuk melihat keadaan studi-studi Alkitab saat ini dan kedudukannya dalam bidang teologi. Efektivitas pastoral dari kegiatan Gereja dan kehidupan rohani umat beriman sangat bergantung pada keberhasilan hubungan antara eksegese dan teologi. Karena alasan ini, saya memandang perlu untuk mengangkat kembali beberapa refleksi yang muncul dalam diskusi mengenai topik ini selama sesisesi Sinode.

Perkembangan studi alkitabiah dan magisterium Gereja

32. Pertama-tama, kita perlu mengakui manfaat yang telah diberikan oleh eksegese historis kritis dan metode-metode lain yang baru-baru ini berkembang mengenai analisis teks kepada kehidupan Gereja.[97] Bagi pemahaman Katolik mengenai Kitab Suci, perhatian kepada metode-metode demikian sangat penting, terkait dengan realisme Inkarnasi: “Kepentingan ini adalah konsekuensi dari prinsip Kristiani yang dirumuskan dalam Injil Yohanes 1:14: Verbum caro factum est. Fakta historis adalah dimensi konstitutif iman Kristiani. Sejarah keselamatan bukanlah mitologi, melainkan sungguh-sungguh sejarah yang benar, dan oleh karenanya hal itu harus dipelajari dengan metode-metode riset historis yang serius.”[98] Studi Alkitab menuntut pengetahuan mengenai metode-metode penyelidikan tersebut dan penerapannya yang sesuai. Memang benar bahwa pengetahuan ini telah semakin dihargai sifat pentingnya di zaman modern, meskipun tidak di semua tempat pada tingkatan yang sama, namun tradisi gerejawi yang sehat selalu memperlihatkan suatu perhatian kepada studi “huruf”. Di sini kita perlu mengingat budaya monastik yang merupakan fondasi utama kebudayaan Eropa; pada akarnya terdapat perhatian terhadap kata. Kerinduan akan Allah mencakup kecintaan pada kata dalam segala dimensinya: “Karena dalam Sabda Alkitab Allah datang kepada kita dan kita datang kepada-Nya, kita harus belajar menyelami bahasa rahasia, untuk memahaminya dalam strukturnya dan cara pengungkapannya. Dengan demikian, karena mencari Allah, ilmu-ilmu sekular yang mengantar pada pemahaman lebih besar mengenai bahasa menjadi penting.”[99]

33. Magisterium Gereja yang hidup, yang bertugas untuk “menafsirkan secara autentik sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu,”[100] turut campur dengan cara yang bijak dan seimbang berkaitan dengan jawaban yang tepat terhadap pengenalan metode baru dari analisis historis. Saya berpikir terutama tentang Ensiklik Providentissimus Deus dari Paus Leo XIII dan Divino Afflante Spiritu dari Paus Pius XII. Pendahulu saya yang terhormat Yohanes Paulus II mengingatkan pentingnya dokumen-dokumen ini pada peringatan seratus tahun dan lima puluh tahun pengumuman resmi dokumen-dokumen tersebut.[101] Intervensi dari Paus Leo XIII telah berjasa melindungi penafsiran Katolik mengenai Alkitab dari serangan rasionalisme, namun, tanpa mencari perlindungan pada makna spiritual yang terlepas dari sejarah. Bukan dengan menghindari kritik ilmiah, Gereja hanya waspada terhadap “pendapat-pendapat praduga yang mengklaim berdasarkan pada ilmu, tetapi yang kenyataannya secara diam-diam menyebabkan ilmu menyimpang dari bidangnya.”[102] Paus Pius XII, di pihak lain, dihadapkan pada serangan dari mereka yang mengusulkan apa yang disebut eksegese mistik yang menolak setiap bentuk pendekatan ilmiah. Ensiklik Divino Afflante Spiritu dengan hati-hati menghindari setiap gejala dikotomi antara “eksegese ilmiah” untuk digunakan dalam apologetik dan “penafsiran spiritual yang dimaksud untuk penggunaan intern”; melainkan menegaskan baik “makna teologis dari makna harfiah, yang dirumuskan secara metodologis” maupun fakta bahwa “menentukan makna rohaniah… menjadi ranah ilmu eksegese.”[103] Dengan cara ini, kedua dokumen menolak “suatu pemisahan antara yang manusiawi dan yang ilahi, antara penyelidikan ilmiah dan hormat terhadap iman, antara makna harfiah dan makna rohaniah.”[104] Selanjutnya, keseimbangan ini dipertahankan oleh dokumen tahun 1993 dari Komisi Kitab Suci Kepausan: “Dalam karya penafsiran mereka, paraekseget Katolik hendaknya tidak pernah lupa bahwa apa yang mereka tafsirkan adalah Sabda Allah. Tugas mereka tidak selesai ketika mereka sudah sekadar menetapkan sumber-sumber, menentukan bentuk-bentuk atau menjelaskan prosedur sastra. Mereka mencapai tujuan sesungguhnya dari karya mereka hanya bila mereka telah menjelaskan makna dari teks alkitabiah sebagai Sabda Allah bagi masa kini.”[105]

Hermeneutika alkitabiah Konsili: petunjuk yang harus ditaati

34. Dengan latar belakang ini, orang dapat menghargai dengan lebih baik prinsip-prinsip besar penafsiran sesuai dengan eksegese Katolik yang dikemukakan oleh Konsili Vatikan Kedua, terutama dalam Konstitusi Dogmatis Dei Verbum: “Adapun karena Allah dalam Kitab Suci berfirman melalui manusia dengan cara manusia, maka untuk menangkap apa yang oleh Allah mau disampaikan kepada kita, penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan cermat, apa yang sebenarnya mau disampaikan oleh para penulis suci, dan apa yang mau ditampakkan oleh Allah dengan kata-kata mereka.”[106] Di satu sisi, Konsili menekankan studi jenis sastra dan konteks historis sebagai unsur dasariah untuk memahami makna yang dimaksudkan oleh penulis suci. Di pihak lain, karena Kitab Suci harus ditafsirkan dalam Roh yang sama, yang di dalam-Nya itu dituliskan, Konstitusi Dogmatis menyebutkan tiga kriteria dasariah untuk menghargai dimensi ilahi dari Alkitab: 1) teks harus ditafsirkan dengan memperhatikan kesatuan dari seluruh Kitab Suci, yang sekarang disebut eksegese kanonik; 2) harus diperhatikan Tradisi hidup dari seluruh Gereja; dan akhirnya, 3) sikap hormat harus ditunjukkan terhadap analogi iman. “Hanya bila dua tataran metodologis, historis-kritis dan teologis dihormati, orang dapat berkata mengenai eksegese teologis, suatu eksegese yang sesuai dengan Kitab itu.”[107]

Para Bapa Sinode secara tepat menegaskan bahwa buah positif yang diperoleh dengan penggunaan riset historis-kritis modern tak dapat disangkal. Sementara eksegese akademik masa kini, termasuk dari ahli-ahli Katolik, sangat kompeten dalam bidang metodologi historis-kritis dan perkembangannya yang mutakhir, harus dikatakan bahwa perhatian yang sama hendaknya diberikan kepada dimensi teologis dari teks alkitabiah, sehingga teks itu dapat dimengerti secara lebih mendalam sesuai dengan tiga unsur yang ditunjukkan oleh Konstitusi Dogmatis Dei Verbum.[108]

Bahaya dualisme dan hermeneutika sekular

35. Dalam kaitan ini kita hendaknya menyebut risiko serius dari pendekatan dualistik saat ini terhadap Kitab Suci. Dengan membedakan dua tingkatan pendekatan terhadap Alkitab sama sekali tidak bermaksud untuk memisahkan atau memperlawankannya, atau sekadar menyejajarkan keduanya. Keduanya berada hanya dalam hubungan timbal balik. Sayangnya, pemisahan yang mandul kadang-kadang menciptakan tembok pemisah antara eksegese dan teologi, dan ini “terjadi bahkan juga dalam tingkat akademik yang paling tinggi.”[109] Di sini saya akan menyebutkan konsekuensikonsekuensi yang paling mengkhawatirkan, yang harus dihindari.

a) Pertama-tama dan terutama, jika karya eksegese dibatasi hanya pada tataran pertama, Kitab suci berhenti hanya sebagai teks masa lampau: “Orang dapat menarik konsekuensi-konsekuensi moral
darinya, orang dapat mempelajari sejarah, tetapi Buku seperti itu hanya berbicara mengenai masa lampau, dan eksegese tidak lagi sungguh teologis, melainkan menjadi ilmu sejarah semata, sejarah sastra.”[110] Jelaslah bahwa, pendekatan reduktif demikian tidak pernah dapat memungkinkan untuk memahami peristiwa pewahyuan diri Allah melalui Sabda-Nya, yang diwariskan kepada kita dalam Tradisi hidup dan dalam Kitab Suci.

b) Kurangnya hermeneutika iman yang berkaitan dengan Kitab Suci menimbulkan lebih dari sekadar suatu ketiadaan, sebagai gantinya tak dapat dihindari muncul hermeneutika lain: hermeneutika yang positivistis dan tersekularisasi yang akhirnya berdasar pada keyakinan bahwa Yang Ilahi tidak campur tangan dalam sejarah manusiawi. Menurut hermeneutika ini, bilamana suatu unsur ilahi tampak hadir, itu harus dijelaskan secara lain, dengan mereduksi segala hal kepada unsur manusiawi. Ini menyebabkan penafsiran yang menyangkal historisitas unsur-unsur ilahi.[111]

c) Sikap demikian hanya dapat merugikan kehidupan Gereja, meragukan misteri dasariah dari Kekristenan, dan nilai sejarahnya – seperti, misalnya penetapan Ekaristi dan kebangkitan Kristus. Suatu hermeneutika filosofis dengan demikian diterapkan, yaitu yang menyangkal kemungkinan bahwa yang Ilahi dapat masuk dan hadir dalam sejarah. Penggunaan hermeneutika seperti itu dalam studi-studi teologi, secara tak terhindarkan mendatangkan dikotomi yang tajam antara eksegese yang terbatas hanya pada tataran pertama dan suatu teologi yang condong kepada suatu spiritualisasi makna Kitab Suci, yang akan gagal menghormati sifat historis wahyu.

Semua itu mempunyai pengaruh negatif pada kehidupan rohani dan kegiatan pastoral; “sebagai akibat tidak adanya tataran metodologis yang kedua, terbukalah suatu celah yang dalam antara eksegese ilmiah dan lectio divina. Ini dapat menimbulkan kekurangjelasan dalam persiapan homili.”[112] Harus dikatakan juga bahwa dikotomi ini dapat menciptakan kebingungan dan kurangnya stabilitas dalam formasio intelektual para calon pelayan gerejawi.[113] Dengan kata lain “di mana eksegese bukan teologi, Kitab Suci tidak dapat menjadi jiwa teologi, dan sebaliknya, di mana teologi, secara mendasar bukan penafsiran Kitab Suci dalam Gereja, teologi demikian tidak lagi mempunyai dasar.”[114] Maka dari itu, kita perlu lebih hati-hati memperhatikan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Konstitusi Dogmatis Dei Verbum dalam hal itu.

Iman dan akal budi dalam pendekatan Kitab Suci

36. Saya percaya bahwa apa yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II mengenai masalah ini dalam Ensikliknya Fides et Ratio dapat mengantar kepada pemahaman yang lebih penuh akan eksegese dan dalam hubungannya dengan seluruh teologi. Ia menegaskan bahwa kita hendaknya jangan memandang rendah “bahaya yang melekat pada usaha menjabarkan kebenaran Kitab suci dari penggunaan satu metode semata-mata, sambil diabaikan keperluan akan eksegese yang lebih komprehensif, dan memampukan ekseget, bersama dengan seluruh Gereja, mencapai makna sepenuhnya yang ada pada teks-teks. Mereka, yang membaktikan diri kepada studi Kitab Suci, hendaklah selalu mengingat, bahwa berbagai pendekatan hermeneutik memiliki landasan-landasan falsafinya sendiri, yang perlu dievaluasi secara saksama sebelum itu semua diterapkan pada teks-teks suci.”[115]

Refleksi yang berpandangan jauh ini memampukan kita untuk melihat bagaimana suatu pendekatan hermeneutik pada Kitab Suci tak dapat disangkal menggerakkan hubungan yang sesuai antara iman dan akal budi. Sesungguhnya, hermeneutika sekular Kitab Suci adalah produk dari penggunaan akal budi yang secara struktural menyingkirkan setiap kemungkinan bahwa Allah bisa masuk ke dalam kehidupan kita dan berbicara kepada kita dengan bahasa manusia. Juga di sini, kita perlu mendesak perluasan dari cakupan akal budi.[116] Dalam menerapkan metode-metode analisis historis hendaknya tidak digunakan kriteria yang mengesampingkan pewahyuan-diri Allah dalam sejarah manusia. Kesatuan dari dua tataran dalam karya penafsiran Kitab Suci dengan singkat mengandaikan, keselarasan antara iman dan akal budi. Di satu sisi, itu menuntut iman yang, dengan mempertahankan hubungan yang tepat dengan akal budi yang benar, tak pernah turun derajat menjadi fideisme, yang dalam hal Kitab Suci akan berakhir dengan fundamentalisme. Di sisi lain, itu menuntut akal budi yang, dalam penyelidikan mengenai unsur-unsur historis yang ada dalam Alkitab, ditandai oleh keterbukaan dan tidak menolak secara apriori sesuatu yang melampaui ukurannya sendiri. Bagaimana pun juga, agama dari Logos yang Menjelma hampir tidak dapat gagal untuk tampak sangat masuk akal bagi setiap orang yang dengan tulus mencari kebenaran dan makna tertinggi dari hidup dan sejarahnya sendiri.

Makna harfiah dan makna rohaniah

37. Sumbangan penting bagi pemulihan hermeneutika alkitabiah yang memadai, seperti ditegaskan oleh Sidang sinodal, dapat juga datang dari perhatian yang baru kepada para Bapa Gereja dan pendekatan eksegesis mereka.[117] Para Bapa Gereja menyajikan suatu teologi yang masih mempunyai nilai tinggi pada masa kini karena pada intinya adalah studi Kitab Suci sebagai keseluruhan. Sungguh, para Bapa pertama-tama dan terutama adalah “para komentator tentang Kitab Suci,”[118] Teladan mereka dapat mengajarkan kepada “para ekseget modern suatu pendekatan terhadap Kitab Suci yang sungguh religius, begitu juga suatu penafsiran yang selalu selaras dengan kriteria persekutuan dengan pengalaman Gereja, yang mengadakan perjalanan melalui sejarah di bawah bimbingan Roh Kudus.”[119]

Meskipun jelas tidak mempunyai sumber-sumber filologis dan historis yang dimiliki eksegesis modern, tradisi para Bapa Gereja dan abad pertengahan dapat mengenal berbagai makna Kitab Suci, mulai dengan makna harfiah, yaitu “arti yang dicantumkan oleh kata-kata Kitab Suci dan ditemukan oleh eksegese, yang berpegang pada peraturan penafsiran teks secara tepat.”[120] Santo Thomas Aquinas, misalnya, menegaskan bahwa “semua makna Kitab Suci berdasarkan makna harfiah.”[121] Namun, perlulah diingat bahwa pada zaman Patristik dan abad pertengahan, setiap bentuk eksegese, termasuk bentuk sastra, dilaksanakan atas dasar iman, tanpa perlu ada pembedaan antara makna harfiah dan makna rohaniah. Dapat disebutkan di sini satu bait dari abad pertengahan yang mengungkapkan hubungan antara berbagai macam makna Kitab Suci:

Littera gesta docet, quid credas allegoria,
Moralis quid agas, quo tendas anagogia.
(Huruf bicara mengenai perbuatan; alegori mengenai iman;
moral mengenai tindakan kita; anagogi mengenai tujuan kita).”[122]

Di sini kita dapat mencatat kesatuan dan saling berkaitan antara makna harfiah dan makna rohaniah, yang pada gilirannya dibagi ke dalam tiga makna yang berbicara mengenai isi iman, hidup moral, dan aspirasi eskatologis kita.

Dengan kata lain, sementara mengakui keabsahan dan kebutuhan maupun keterbatasan metode historis kritis, kita belajar dari para Bapa Gereja bahwa eksegese “sungguh setia kepada maksud sesungguhnya dari teks alkitabiah jika tidak hanya masuk ke dalam inti perumusannya untuk menemukan realitas iman yang diungkapkan, tetapi juga berusaha untuk menghubungkan realitas ini dengan pengalaman iman dalam dunia kita sekarang.”[123] Hanya dalam cara pandang ini kita dapat mengakui bahwa Sabda Allah hidup dan ditujukan kepada masing-masing dari kita di sini dan saat ini dalam hidup kita. Dalam arti ini definisi dari Komisi Kitab Suci Kepausan mengenai makna rohaniah, seperti dipahami oleh iman Kristiani, tetap sepenuhnya berlaku: yaitu “makna yang diungkapkan oleh teks alkitabiah bila dibaca, di bawah kuasa Roh Kudus, dalam konteks misteri Paskah Kristus dan hidup baru yang mengalir dari pada-Nya. Konteks ini sungguh-sungguh ada. Di dalamnya Perjanjian Baru mengakui pemenuhan Kitab Suci. Maka, cukup dapat diterima untuk membaca kembali Kitab Suci dalam terang konteks baru ini, yang adalah terang hidup dalam Roh.”[124]

Perlunya mengatasi “huruf”

38. Dalam menemukan kembali jalinan antara makna yang berbeda-beda dari Kitab Suci, pentinglah untuk memahami peralihan dari huruf ke roh. Ini bukanlah peralihan yang otomatis dan spontan; sebaliknya, huruf perlu dilampaui: “Sabda Allah tidak pernah bisa sekadar disamakan dengan huruf teks. Untuk mencapai hal itu melibatkan suatu kemajuan dan proses pemahaman yang dibimbing oleh gerakan batiniah dari seluruh tubuh, dan karenanya menjadi proses yang sangat penting.”[125] Di sini kita melihat alasan mengapa proses penafsiran autentik tidak pernah melulu sebagai sebuah proses intelektual, tetapi juga proses yang dihidupi, yang menuntut keterlibatan penuh dalam hidup Gereja, yakni hidup “sesuai dengan Roh” (Gal 5:16). Kriteria yang dikemukakan dalam Konstitusi dogmatik Dei Verbum nomor 12 menjadi lebih jelas: kemajuan ini tidak bisa terjadi pada suatu fragmen sastra individual jika tidak dilihat dalam hubungannya dengan seluruh Kitab Suci. Memang, tujuan yang seharusnya kita capai adalah satu Sabda. Ada suatu drama batiniah dalam proses ini, karena peralihan yang terjadi dalam kuasa Roh secara tak terhindarkan menyangkut kebebasan setiap pribadi. Santo Paulus menghayati peralihan ini sepenuhnya dalam hidupnya sendiri. Dalam katakatanya: “Hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2Kor. 3:6). Ia mengungkapkan dalam istilah-istilah radikal pentingnya proses melampaui huruf ini dan mencapai pemahamannya hanya dalam keseluruhan istilah. Paulus menemukan bahwa: “Roh kebebasan memiliki nama, dan karenanya kebebasan memiliki kriteria batiniah ‘Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan.’ (2Kor. 3:17). Roh kebebasan bukan hanya gagasan ekseget sendiri. Roh adalah Kristus dan Kristus adalah Tuhan yang menunjukkan jalan kepada kita.”[126] Kita tahu bahwa bagi Santo Agustinus peralihan ini dramatis tetapi sekaligus membebaskan: ia percaya Kitab Suci – yang pada pandangan pertama mengejutkannya karena terpotongpotong dan di tempat lain begitu kasar – melalui proses sesungguhnya yang melampaui huruf yang ia pelajari dari Santo Ambrosius dalam penafsiran tipologis, di situ seluruh Perjanjian Lama merupakan jalan kepada Kristus. Bagi Santo Agustinus, dengan melampaui makna harfiah, huruf sendiri menjadi bisa dipercaya. Hal itu pada akhirnya memampukannya menemukan jawaban atas kegelisahan batinnya yang mendalam dan juga menjawab kehausannya akan kebenaran.[127]

Kesatuan Alkitab secara intrinsik

39. Dalam peralihan dari huruf ke roh, kita juga belajar, dalam tradisi besar Gereja, untuk memahami kesatuan semua Kitab Suci, yang didasarkan pada kesatuan Sabda Allah, yang menantang hidup kita dan terus-menerus memanggil kepada pertobatan.[128] Di sini kata-kata Hugo dari Santo Viktor tetap merupakan panduan yang pasti: “Semua Kitab Suci ilahi merupakan satu buku, dan buku yang satu ini adalah Kristus, berbicara mengenai Kristus dan mendapat pemenuhannya dalam Kristus.”[129] Dilihat dalam aspek yang murni historis dan sastra, tentu saja, Alkitab bukan satu buku, melainkan suatu kumpulan dari teks-teks sastra yang disusun dalam kurun waktu ribuan tahun atau lebih, dan tiap-tiap kitab tidak mudah dilihat memiliki kesatuan internal; sebaliknya, kita melihat adanya inkonsistensi yang jelas di antara kitab-kitab itu. Ini sudah nampak dalam kasus Alkitab Israel, yang kita orang Kristiani menyebutnya Perjanjian Lama. Semua akan nampak lebih jelas demikian ketika, sebagai orang Kristiani, kita menghubungkannya dengan Perjanjian Baru dan tulisan-tulisannya sebagai semacam kunci hermeneutik kepada Alkitab Israel, dengan demikian menafsirkan Alkitab ini sebagai jalan menuju Kristus. Umumnya Perjanjian Baru tidak menggunakan istilah “Kitab Suci” (bdk. Rm. 4:3; 1Ptr. 2:6), tetapi “Kitab-kitab Suci” (bdk. Mat 21:42; Yoh. 5:39; Rm. 1:2; 2Ptr. 2:16), yang meskipun demikian dilihat secara keseluruhan sebagai satu Sabda Allah yang ditujukan kepada kita.[130] Dengan ini tampak jelas bahwa Pribadi Kristuslah yang memberi kesatuan kepada semua “Kitab-kitab Suci” dalam kaitannya dengan “Sabda” satu-satunya. Dengan cara ini kita dapat memahami kata-kata dalam Konstitusi Dogmatis Dei Verbum 12, yang menunjukkan kesatuan internal dari seluruh Alkitab sebagai kriteria yang menentukan bagi suatu hermeneutika iman yang benar.

Hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

40. Dengan latar belakang kesatuan Kitab-kitab Suci dalam Kristus, para teolog dan para Pastor perlu menyadari hubungan antara Perjanjian Lama dan Baru. Pertama-tama, sudah jelas bahwa Perjanjian Baru sendiri mengakui Perjanjian Lama sebagai Sabda Allah dan dengan demikian menerima kewibawaan Kitab-kitab Suci bangsa Yahudi.[131] Perjanjian Baru secara implisit mengakui Kitab-kitab Suci itu dengan menggunakan bahasa yang sama dan dengan kerap mengacu bagian-bagian dari Kitab-kitab suci itu. Secara eksplisit Perjanjian Baru mengakuinya dengan mengutip banyak bagian dari Kitab-kitab suci itusebagai dasar argumen. Dalam Perjanjian Baru, suatu argumen yang berdasar pada teks-teks Perjanjian Lama mempunyai kualitas definitif, lebih tinggi dari sekadar argumentasi manusia biasa. Dalam Injil Keempat, Yesus menyatakan bahwa “Kitab Suci tidak dapat dibatalkan” (Yoh. 10:35) dan Santo Paulus secara khusus menjelaskan bahwa wahyu Perjanjian Lama tetap berlaku bagi kita orang-orang Kristiani (bdk. Rm. 15:4; 1Kor. 10:11).[132] Kita juga menegaskan bahwa “Yesus dari Nazaret adalah seorang Yahudi dan Tanah Suci adalah tanah air Gereja”;[133] akar dari Kekristenan terdapat dalam Perjanjian Lama, dan Kekristenan terus-menerus mendapat pemeliharaan dari akar ini. Akibatnya, ajaran Kristiani yang sehat selalu menentang segala bentuk baru Marcionisme yang, dengan cara berbeda, cenderung mempertentangkan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.[134]

Selanjutnya, Perjanjian Baru sendiri menegaskan untuk selalu konsisten dengan Perjanjian Lama dan mewartakan bahwa dalam misteri kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus, Kitab-kitab suci bangsa Yahudi telah menemukan pemenuhannya yang sempurna. Namun, harus diperhatikan, bahwa konsep pemenuhan dari Kitab Suci adalah sesuatu yang kompleks, karena konsep itu memiliki tiga dimensi: aspek dasariah kontinuitas dengan wahyu Perjanjian Lama, aspek diskontinuitas serta aspek pemenuhan dan transendensi. Misteri Kristus berada dalam kontinuitas tujuan dengan upacara kurban dari Perjanjian Lama, tetapi berlangsung dengan cara yang sangat berbeda, yang sesuai dengan sejumlah pernyataan kenabian dan karena itu mencapai suatu kesempurnaan yang belum pernah didapat sebelumnya. Perjanjian Lama sendiri penuh dengan ketegangan antara aspek institusional dan kenabian. Misteri Paskah Kristus sangat sesuai – meskipun dengan cara yang tidak diantisipasi sebelumnya – dengan nubuat-nubuat dan pratanda-pratanda dari Kitab Suci; meskipun ia menghadirkan aspek-aspek diskontinuitas yang jelas terkait dengan penetapan-penetapan Perjanjian Lama.

41. Pertimbangan-pertimbangan ini menunjukkan arti penting yang tak tergantikan dari Perjanjian Lama bagi orang Kristiani, sementara pada saat yang sama menampilkan kebaruan penafsiran Kristologis. Dari zaman rasuli dan Tradisinya yang hidup, Gereja telah menekankan kesatuan dari rencana Allah dalam kedua Perjanjian melalui penggunaan tipologi; prosedur ini bukan manasuka, tetapi intrinsik bagi peristiwa-peristiwa yang terkait dengan teks suci dan dengan demikian mencakup seluruh Kitab Suci. Tipologi “menemukan dalam karya-karya Allah dalam Perjanjian Lama prabentuk dari apa yang dilaksanakan Tuhan dalam kepenuhan waktu dalam pribadi Putra-Nya yang menjadi manusia.”[135] Kemudian, orang-orang Kristiani membaca Perjanjian Lama dalam terang Kristus yang disalibkan dan bangkit. Sementara penafsiran tipologis memperlihatkan isi yang tak habis-habisnya dari Perjanjian Lama dari sudut pandang Perjanjian Baru, namun kita tidak boleh lupa bahwa Perjanjian Lama mempertahankan nilainya sendiri yang melekat sebagai wahyu, sebagaimana ditegaskan kembali oleh Tuhan kita sendiri (bdk. Mrk. 12:29-31). Oleh karenanya, “Perjanjian Baru juga perlu dibaca dalam cahaya Perjanjian Lama. Katekese perdana Kristen selalu menggunakan Perjanjian Lama (bdk. 1Kor. 5:6-8; 10:1-11).”[136] Karena alasan ini para Bapa Sinode menekankan bahwa “pemahaman orang Yahudi mengenai Kitab Suci dapat membantu orang-orang Kristiani dalam memahami dan mempelajari Kitab Suci.”[137]

“Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Lama ditampilkan oleh Perjanjian Baru”,[138] seperti ditulis dengan tepat oleh Santo Agustinus. Maka, pentinglah baik dalam konteks pastoral maupun akademik untuk menampilkan hubungan erat antara kedua Perjanjian, menurut ucapan Santo Gregorius Agung bahwa “apa yang dijanjikan Perjanjian Lama, diperlihatkan oleh Perjanjian Baru; apa yang diberitakan Perjanjian Lama secara tersembunyi, Perjanjian Baru dengan terang-terangan mewartakannya sebagaimana sekarang ini. Maka dari itu, Perjanjian Lama merupakan nubuat mengenai Perjanjian Baru, dan komentar terbagus mengenai Perjanjian Lama adalah Perjanjian Baru.”[139]

Bagian-bagian “gelap” dari Alkitab

42. Dalam membahas hubungan antara Perjanjian Lama dan Baru, Sinode juga mempertimbangkan bagian-bagian dalam Alkitab, yang, oleh karena kekerasan dan tindak asusila yang kadang-kadang termuat di dalamnya, kelihatan gelap dan sulit. Di sini haruslah diingat pertama-tama dan terutama bahwa wahyu alkitabiah berakar secara mendalam di dalam sejarah. Rencana Allah diperlihatkan secara bertahap dan diselesaikan secara perlahan-lahan, dalam tahap-tahap yang berturutan, terlepas dari perlawanan manusiawi. Allah memilih sebuah bangsa dan dengan sabar berkarya untuk membimbing dan mendidik mereka. Pewahyuan disesuaikan dengan tingkat budaya dan moral dari zaman dulu dan dengan demikian melukiskan fakta-fakta dan kebiasaan-kebiasaan, misalnya kecurangan dan pembohongan, dan tindakan kekerasan serta pembunuhan, tanpa secara eksplisit mengecam pelanggaran susila dari hal-hal demikian. Hal ini dapat dijelaskan oleh konteks sejarah, namun dapat menyebabkan pembaca modern terkaget-kaget, terutama jika mereka gagal mempertimbangkan banyaknya perbuatan “gelap” yang dilakukan selama berabad-abad dan juga pada zaman kita. Dalam Perjanjian Lama, khotbah para nabi dengan keras menentang setiap jenis ketidakadilan dan kekerasan, entah kolektif entah perorangan, dan dengan demikian menjadi cara Allah melatih umat-Nya mempersiapkan Injil. Maka, mengabaikan bagian-bagian Kitab Suci yang kita anggap bermasalah adalah keliru. Sebaliknya, kita hendaknya menyadari bahwa penafsiran yang benar atas bagian-bagian ini menuntut tingkat keahlian, yang didapat melalui suatu pelatihan yang menafsirkan teks-teks dalam konteks historis-literernya dan dalam perspektif Kristiani yang memiliki sebagai kunci hermeneutika utamanya “Injil dan perintah baru dari Yesus Kristus yang terpenuhi dalam misteri Paskah.”[140] Saya mendorong para ahli dan para Pastor untuk membantu semua kaum beriman untuk mendekati bagian-bagian tersebut melalui suatu tafsiran yang mampu memunculkan maknanya dalam terang misteri Kristus.

Orang Kristiani, Yahudi, dan Kitab-kitab Suci

43. Sesudah memperhatikan hubungan erat antara Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, kita sekarang beralih kepada ikatan khusus yang muncul dari hubungan antara orang-orang Kristiani dan Yahudi, suatu ikatan yang tidak pernah bisa diabaikan. Paus Yohanes Paulus II ketika berbicara kepada orang-orang Yahudi, menyebut mereka “’saudara-saudara terkasih kami’ dalam iman Abraham, bapa bangsa kita.”[141] Untuk mengakui fakta ini tidak berarti bahwa kita sama sekali tidak memedulikan adanya diskontinuitas yang ditegaskan Perjanjian Baru dalam kaitan dengan penetapan Perjanjian Lama, apalagi pemenuhan Kitab Suci dalam misteri Yesus Kristus, yang diakui sebagai Mesias dan Anak Allah. Namun, perbedaan yang mendalam dan radikal ini sama sekali tidak mengandung pertentangan timbal balik antara keduanya. Teladan Santo Paulus (bdk. Rm. 9-11) menunjukkan sebaliknya bahwa “suatu sikap hormat, penghargaan dan kasih bagi bangsa Yahudi adalah satu-satunya sikap orang Kristiani pada saat ini, yang merupakan bagian misterius dari seluruh rencana Allah yang positif.”[142] Tentu saja, Santo Paulus mengatakan tentang orang-orang Yahudi bahwa:“mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang. Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya”(Rm. 11:28-29).

Santo Paulus juga menggunakan gambaran yang bagus mengenai pohon zaitun untuk melukiskan hubungan yang sangat erat antara orang-orang Kristiani dan Yahudi: Gereja Bangsa-bangsa kafir adalah seperti tunas zaitun liar yang muncul, dicangkokkan kepada pohon zaitun sejati yang adalah umat Perjanjian (bdk. Rm. 11:17-24). Dengan kata lain, kita mengambil makanan kita dari akar rohani yang sama. Kita menjumpai satu dengan yang lain seperti saudara-saudara yang pada waktu tertentu dalam sejarah mereka telah mengalami hubungan yang tegang, tetapi sekarang dengan teguh bertekad membangun jembatan persahabatan kekal.[143] Seperti dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II pada kesempatan lain: “Kita memiliki banyak kesamaan. Bersama-sama kita dapat berbuat banyak bagi perdamaian, keadilan dan bagi dunia yang lebih bersaudara dan lebih manusiawi.”[144]

Saya ingin menekankan sekali lagi betapa Gereja menghargai sungguh dialognya dengan bangsa Yahudi. Bila keadaan memungkinkan, baiklah menciptakan kesempatan perjumpaan dan pertukaran baik secara umum maupun secara pribadi, dan dengan demikian mendorong pertumbuhan dalam pengenalan timbali balik, dalam penghargaan dan kerjasama satu sama lain, juga dalam studi Kitab-kitabsuci.

Penafsiran fundamentalis atas Kitab Suci

44. Perhatian yang telah kita curahkan kepada berbagai aspek tema hermeneutika alkitabiah sekarang memungkinkan kita untuk membahas pokok masalah yang beberapa kali muncul dalam Sinode, yaitu penafsiran fundamentalis Kitab Suci.[145] Komisi Kitab Suci Kepausan dalam dokumennya Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja telah merumuskan beberapa ketentuan penting. Di sini saya ingin secara khusus berbicara mengenai pendekatan-pendekatan yang gagal menghargai otentisitas teks suci, tetapi mempromosikan penafsiran yang subjektif dan sesuka hati. “Literalisme” yang didukung oleh pendekatan fundamentalis sesungguhnya memperlihatkan suatu pengkhianatan baik terhadap makna harfiah maupun makna rohaniah, dan membuka jalan kepada berbagai macam manipulasi, seperti, misalnya menyebarkan penafsiran Kitab suci yang anti-gerejawi. “Masalah mendasar dengan penafsiran fundamentalis adalah, bahwa dengan menolak memperhitungkan sifat historis wahyu Alkitab, membuat dirinya tidak mampu menerima kebenaran penuh dari inkarnasi sendiri. Berkaitan dengan relasi dengan Allah, fundamentalisme berusaha melepaskan diri dari setiap kedekatan yang ilahi dan yang manusiawi… Untuk alasan ini, fundamentalisme cenderung untuk memperlakukan teks alkitabiah seolah-olah didiktekan kata demi kata oleh Roh. Ia gagal mengakui bahwa Sabda Allah telah dirumuskan dalam bahasa dan ungkapan yang dipengaruhi oleh berbagai zaman.”[146] Di sisi lain, Kekristenan memahami bahwa dalam kata-kata adalah Sabda itu sendiri, Logos yang memperlihatkan misteri-Nya melalui kompleksitas dan realitas sejarah manusia.[147] Jawaban benar kepada pendekatan fundamentalis adalah “penafsiran Kitab Suci yang penuh iman.” Cara penafsiran demikian, “yang dipraktikkan dari zaman kuno dalam Tradisi Gereja, mencari kebenaran yang menyelamatkan bagi kehidupan individu orang Kristiani dan bagi Gereja. Hal ini mengakui nilai historis dari tradisi alkitabiah. Justru karena nilai tradisional sebagai kesaksian historis, bacaan ini berusaha menemukan makna hidup dari Kitab Suci bagi kehidupan orang-orang beriman saat ini,”[148] sementara tanpa mengabaikan perantaraan manusiawi dari teks yang diilhami dan dari jenis sastranya.

Dialog antara para imam, teolog, dan ekseget

45. Suatu hermeneutika iman yang autentik memiliki beberapa konsekuensi penting bagi kegiatan pastoral Gereja. Para Bapa Sinode sendiri menyarankan, misalnya, suatu hubungan kerja lebih erat di antara para pastor, ekseget dan teolog. Konferensikonferensi para Uskup dapat mendorong pertemuan-pertemuan demikian itu dengan “tujuan untuk mengembangkan persekutuan lebih besar dalam pelayanan Sabda Allah.”[149] Kerja sama demikian akan membantu semua untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara lebih efektif bagi kebaikan seluruh Gereja. Bagi para ahli juga, orientasi pastoral ini melibatkanpendekatan teks suci dengan kesadaran bahwa inilah pesan yang ditujukan Tuhan kepada kita bagi keselamatan kita. Dalam kata-kata dari Konstitusi Dogmatis Dei Verbum: “Para ahli Kitab Suci Katolik dan ahli teologi lainnya dalam kerja sama erat harus berusaha supaya mereka di bawah pengawasan Wewenang Mengajar yang suci dan dengan upaya-upaya yang tepat menyelidiki dan menguraikan Kitab Suci sedemikian rupa, sehingga sebanyak mungkin pelayan Sabda Allah dengan hasil yang baik dapat menyajikan santapan Kitab Suci kepada Umat Allah, untuk menerangi budi, meneguhkan kehendak, dan mengobarkan hati sesama untuk mengasihi Allah.”[150]

Alkitab dan Ekumenisme

46. Menyadari bahwa Gereja memiliki fondasinya di dalam Kristus, Sabda Allah yang Menjelma, Sinode ingin menekankan sentralitas studi alkitabiah dalam dialog ekumene yang bertujuan pada ungkapan penuh dari kesatuan semua kaum beriman dalam Kristus.[151] Kitab Suci sendiri berisi doa Yesus yang penuh semangat kepada Bapa, supaya para murid-Nya menjadi satu, supaya dunia menjadi percaya (bdk. Yoh. 17:21). Semua ini dapat menguatkan keyakinan kita, bahwa dengan mendengarkan dan merenungkan bersama-sama Kitab Suci, kita mengalami suatu persekutuan yang nyata, meskipun belum penuh;[152] “Maka, mendengarkan Kitab Suci secara bersama mendorong kita kepada dialog kasih dan memungkinkan perkembangan kepada dialog kebenaran.”[153] Mendengarkan bersama Sabda Allah, terlibat dalam lectio divina Alkitab, membiarkan diri kita tersentuh oleh kesegaran yang tak habis-habisnya dari Sabda Allah yang tidak pernah menjadi tua, mengatasi ketulian kita terhadap kata-kata itu yang tidak cocok dengan pendapat atau prasangka kita sendiri, mendengarkan dan mempelajari dalam persekutuan kaum beriman dari segala abad: semua hal ini melukiskan suatu cara untuk mencapai kesatuan iman sebagai jawaban mendengarkan Sabda Allah.[154] Kata-kata Konsili Vatikan II jelas dalam hal ini “dalam dialog (ekumenis) sendiri Kitab Suci adalah alat berharga di tangan Allah yang mahakuasa untuk mencapai kesatuan yang diulurkan sang Juru Selamat kepada semua.”[155] Oleh karena itu, hendaknya ada perkembangan dalam studi ekumenis, diskusi dan perayaan Sabda Allah, dengan menghormati norma-norma yang ada dan berbagai macam tradisi.[156] Perayaan-perayaan ini mendorong alasan ekumenisme dan, bilamana dilaksanakan dengan baik, menghadirkan saat-saat intens doa sejati yang memohon kepada Allah untuk mempercepat hari yang dinanti-nanti, ketika kita pada akhirnya semua dapat duduk pada satu meja dan minum dari satu piala. Namun, meskipun layak dipuji dan tepat untuk memajukan pelayanan-pelayanan demikian, perlulah diperhatikan untuk tidak menganjurkan hal-hal itu kepada kaum beriman sebagai alternatif pengganti untuk merayakan Misa Kudus pada hari Minggu atau hari raya yang diwajibkan.

Dalam karya studi dan doa, kita dengan tenang mengakui bahwa aspek-aspek ini masih tetap perlu didalami lebih lagi dan dalam hal apa saja kita tetap berbeda, seperti pemahaman mengenai subjek yang berwenang untuk penafsiran dalam Gereja dan peranan menentukan dari Magisterium.[157]

Akhirnya, saya ingin menekankan pernyataan Bapa-bapa Sinode mengenai pentingnya, dalam karya ekumenis ini, penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa. Kita tahu bahwa penerjemahan sebuah teks bukan sekadar pekerjaan mekanis, melainkan dalam arti tertentu menjadi karya penafsiran. Dalam kaitan ini, Venerabilis Yohanes Paulus II menegaskan bahwa “Siapa pun yang mengenangkan, betapa besar pengaruh diskusi-diskusi tentang Kitab Suci atas perpecahan-perpecahan, terutama di Barat, dapat menghargai langkah maju yang relevan, yang ternyata dari terjemahan-terjemahan bersama itu.”[158] Mendorong terjemahan bersama Alkitab adalah bagian dari usaha-usaha ekumenis. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat dalam karya yang penting ini, dan saya mendorong mereka untuk bertekun dalam usaha mereka.

Berbagai konsekuensi bagi studi teologi

47. Konsekuensi lebih lanjut dari hermeneutika iman yang memadai berkaitan dengan implikasi-implikasi penting bagi pendidikan eksegese dan teologi, terutama bagi para calon imam. Hendaknya diperhatikan untuk memastikan bahwa studi Kitab Suci sungguh menjadi jiwa teologi sejauh diakui sebagai Sabda Allah yang ditujukan kepada dunia masa kini, kepada Gereja dan kepada masing-masing dari kita secara pribadi. Pentinglah bahwa kriteria yang disebut dalam Konstitusi Dogmatis Dei Verbum 12 mendapat perhatian sungguh dan menjadi obyek studi yang lebih mendalam. Hendaklah dihindari suatu gagasan penelaahan ilmiah yang menganggap diri netral berkenaan dengan Kitab Suci. Sambil mempelajari bahasa-bahasa asli yang digunakan untuk menulis Alkitab dan metode-metode penafsiran yang sesuai, para mahasiswa perlu memiliki hidup rohani mendalam, supaya mereka dapat menghargai bahwa Kitab Suci hanya dapat dipahami jika itu dihayati.

Oleh karena itu, saya mendesak supaya studi Sabda Allah, baik yang dalam bentuk tradisimaupun yang tertulis, hendaknya tetap dilaksanakan dengan semangat gerejawi yang mendalam dan supaya pendidikan akademis memperhitungkan intervensi Magisterium pada tema-tema itu, yang “tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh Firman itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipeliharanya dengan suci dan diterangkannya dengan setia.”[159] Maka, hendaknya diperhatikan bahwa pengajaran-pengajaran yang diberikan mengakui bahwa “Tradisi suci, Kitab Suci dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang mahabijaksana, saling berhubungan dan terpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak dapat ada tanpa kedua lainnya.”[160] Saya berharap bahwa dalam kesetiaan terhadap ajaran Konsili Vatikan II, studi Kitab Suci, yang dibaca dalam persekutuan dengan Gereja universal, akan sungguh-sungguh menjadi jiwa studi teologi.[161]

Para kudus dan penafsiran Kitab Suci

48. Penafsiran Kitab Suci akan tetap tidak lengkap bila tidak mencakup mendengarkan mereka yang sungguh telah menghayati Sabda Allah: yaitu para kudus.[162] Sungguh, “viva lectio est vita bonorum (kehidupan para Kudus adalah bacaan yang hidup).”[163] Penafsiran Alkitab yang paling mendalam justru berasal dari mereka yang membiarkan diri dibentuk oleh Sabda Allah dengan mendengarkan, membaca dan merenungkannya dengan tekun.

Tentu saja tidak secara kebetulan bahwa aliran-aliran spiritualitas besar dalam sejarah Gereja berasal dengan referensi eksplisit pada Kitab Suci. Saya berpikir misalnya pada teladan Santo Antonius Abas, yang tergerak hati dengan mendengarkan kata-kata Kristus: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan
beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat. 19:21).[164] Tidak kurang mengesankan adalah pertanyaan yang diajukan oleh Santo Basilius Agung dalam Moralia: “Apakah tanda distingtif iman? Kepastian yang penuh dan tanpa ragu-ragu bahwa Sabda yang diilhamkan oleh Allah adalah benar… Apakah tanda distingtif orang beriman? Menyesuaikan hidupnya dengan kepastian penuh yang sama pada makna kata-kata Kitab Suci, tidak berani menghilangkan atau menambahkan apa-apa.”[165]
Santo Benediktus dalam Regulanya, mengacu kepada Kitab suci sebagai “Norma yang paling sempurna bagi hidup manusia.”[166] Santo Fransiskus dari Asisi – kita tahu hal itu dari Thomas Celano – “ketika mendengar bahwa para murid Kristus hendaklah tidak memiliki emas, atau perak, atau uang, atau membawa kantong, atau roti, tongkat bagi perjalanan, atau sandal atau dua jubah… dengan bersuka riadalam Roh Kudus, tiba-tiba berteriak: Inilah apa yang saya kehendaki, inilah apa yang saya minta, inilah yang ingin saya lakukan dengan sepenuh hatiku!”[167] Santa Clara dari Asisi membagikan secara penuh pengalaman Santo Fransiskus: “Bentuk kehidupan dari Ordo Suster-suster Miskin – ia menulis – adalah demikian: menaati Injil suci Tuhan kita Yesus Kristus.”[168] Demikian juga, Santo Dominikus “di mana-mana menunjukkan dirinya sebagai manusia Injil, dalam perkataan dan perbuatan”[169] dan menginginkan para biarawannya juga menjadi “manusia Injil.”[170] Santa Theresia Avila seorang Karmelit, yang di dalam tulisan-tulisannya terus-menerus menggunakan gambaran alkitabiah untuk menjelaskan pengalaman mistiknya, mengatakan bahwa Yesus sendiri mewahyukan kepadanya bahwa “semua kejahatan di dunia disebabkan karena tidak mengetahui dengan jelas kebenaran Kitab Suci.”[171] Santa Theresia Kanak-kanak Yesus menemukan bahwa kasih adalah panggilan pribadinya karena membaca Kitab Suci dengan rajin, terutama bab 12 dan 13 Surat Pertama kepada Jemaat Korintus;[172] Santa yang sama melukiskan daya tarik Kitab Suci: “Tidak lama setelah aku menatap Injil, tiba-tiba aku menghirup keharuman kehidupan Yesus dan aku tahu kemana aku harus lari.”[173] Setiap orang kudus adalah seperti seberkas cahaya yang memancar dari Sabda Allah: kita dapat membayangkan Santo Ignatius dari Loyola dalam pencarian kebenarannya dan dalam disermen rohaninya; Santo Yohanes Bosco dalam hasratnya bagi pendidikan orang-orang muda; Santo Yohanes Maria Vianney dalam kesadarannya akan keagungan imamat sebagai karunia dan tugas; Santo Pius dari Pietrelcina dalam pelayanannya sebagai alat belas kasih Ilahi; Santo Jose Maria Escriva dalam khotbahnya mengenai panggilan universal kepada kekudusan; Beata Teresa dari Kalkuta, misionaris belas kasih Allah terhadap orang-orang paling miskin dari yang miskin, dan kemudian para martir Nazisme dan Komuni, yang diwakili Santa Theresa Benedikta dari Salib (Edith Stein), seorang biarawati Karmelit, dan Beato Aloysius Stepinac, Kardinal Uskup Agung Zagreb.

49. Kekudusan yang dijiwai oleh Sabda Allah dituliskan, dengan cara tertentu, dalam tradisi kenabian, di mana Sabda Allah membawa hidup para nabi kepada pelayanan. Dalam arti ini, kesucian dalam Gereja merupakansuatu penafsiran Kitab Suci yang tak boleh dilalaikan. Roh Kudus yang mengilhami para penulis suci adalah Roh yang sama yang mendorong para kudus untuk menyerahkan hidup mereka bagi Injil. Dalam usaha untuk belajar dari teladan mereka, kita memulai jalan pasti menuju hermeneutik yang hidup dan efektif dari Sabda Allah.

Kita melihat suatu kesaksian langsung yang menghubungkan kesucian dan Sabda Allah selama Sidang Sinode ke-12 ketika empat santo baru dikanonisasi pada 12 Oktober di Lapangan Santo Petrus; Gaetano Errico, imam dan pendiri dari Kongregasi Misionaris Hati Kudus Yesus dan Maria; Ibu Maria Bernarda Bütler, kelahiran Switzerland dan seorang misionaris di Ekuador dan Kolombia; Suster Alfonsa dari Immaculata Conceptio, santa pertama kelahiran India yang dikanonisasi; dan seorang perempuan awam muda dari Ekuador Narcisa de Jesús Martillo Morán. Dengan kehidupan mereka, mereka memberi kesaksian di hadapan dunia dan Gereja tentang kesuburan abadi Injil Kristus. Melalui perantaraan para kudus yang dikanonisasi pada waktu sidang sinode mengenai Sabda Allah ini, marilah kita mohon kepada Tuhan agar hidup kita bisa menjadi “tanah yang subur” di mana penabur ilahi menanamkan Sabda, sehingga Sabda itu dapat menghasilkan buah kekudusan dalam diri kita “tiga puluh kali lipat, enam puluh kali lipat, seratus kali lipat” (Mrk. 4:20).

Bagian Kedua :
VERBUM IN ECCLESIA

(Sabda dalam Gereja)

“Tetapi semua orang yang menerima-Nya
diberi-Nya kuasa supaya menjadi
Anak-anak Allah.”
(Yoh. 1:12)

Sabda Allah dan Gereja

Gereja menerima Sabda

50. Tuhan mengucapkan Sabda-Nya supaya itu dapat diterima oleh mereka yang diciptakan “melalui” Sabda yang sama. “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya” (Yoh. 1:11): Sabda-Nya bukanlah sesuatu yang secara hakiki asing bagi kita, dan penciptaan dikehendaki dalam hubungan akrab dengan hidup Allah sendiri. Prolog Injil Keempat juga menempatkan kita di hadapan penolakan Sabda Allah oleh orang “kepunyaan-Nya,” yang “tidak menerima-Nya” (Yoh. 1:11). Tidak menerima-Nya berarti tidak mendengarkan suara-Nya, tidak menyesuaikan diri dengan Logos. Di sisi lain, bilamana pria dan wanita, meskipun lemah dan berdosa, terbuka secara tulus pada perjumpaan dengan Kristus, mulailah perubahan radikal: “Semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah” (Yoh. 1:12). Menerima Sabda berarti membiarkan diri untuk dibentuk oleh-Nya, dan dengan demikian diserupakan oleh kuasa Roh Kudus dengan Kristus, “Anak Tunggal Bapa” (Yoh. 1:14). Ini adalah permulaan penciptaan baru; ciptaan baru lahir, suatu bangsa baru. Mereka yang percaya, maksudnya, mereka yang hidup dalam ketaatan iman, “diperanakkan.. dari Allah” (Yoh. 1:13) dan mendapat bagian dalam hidup ilahi: “anak-anak dalam Anak Allah” (bdk. Gal 4:5-6; Rm. 8:14-17). Seperti diungkapkan dengan bagus oleh Santo Agustinus dalam komentarnya mengenai bagian Injil Yohanes ini: “kamu diciptakan melalui Sabda, tetapi sekarang melalui Sabda kamu harus diciptakan kembali.”[174] Di sini kita dapat melihat sekilas wajah Gereja, sebagai kenyataan yang ditentukan dengan menerima Sabda Allah yang, dengan menjadi manusia, datang untuk memasang kemah-Nya di antara kita (bdk. Yoh. 1:14). Tempat tinggal Allah di antara manusia, shekinah ini (bdk. Kel 26:1), yang dipralambangkan dalam Perjanjian Lama, sekarang terpenuhi dalam kehadiran Allah secara definitif di antara kita dalam Kristus.

Kehadiran tetap Kristus dalam kehidupan Gereja

51. Hubungan antara Kristus, Sabda Bapa dan Gereja tidak dapat dipahami sepenuhnya hanya sebagai peristiwa masa lalu, melainkan itu merupakan hubungan hidup di mana tiap-tiap anggota umat beriman secara pribadi dipanggil untuk masuk ke dalamnya. Kita sedang berbicara mengenai kehadiran Sabda Allah kepada kita sekarang ini: ”Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Seperti dikatakan Paus Yohanes Paulus II, “Relevansi Kristus bagi manusia sepanjang masa diperlihatkan dalam tubuh-Nya, yaitu Gereja. Karena alasan ini Tuhan menjanjikan kepada para murid-Nya Roh Kudus, yang akan ‘mengingatkan mereka’ dan mengajar mereka untuk memahami perintah-Nya (bdk. Yoh. 14:26), dan yang akan menjadi prinsip dan sumber abadi dari hidup baru di dunia (bdk. Yoh. 3:5-8; Rm. 8:1-13).”[175] Konstitusi Dogmatis Dei Verbum mengungkapkan misteri ini dengan menggunakan gambaran alkitabiah mengenai dialog pernikahan “Allah yang dulu telah bersabda, tiada hentinya bercakap-cakap dengan Mempelai Putra-Nya yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang melalui-Nya suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui Gereja dalam dunia, membimbing Umat beriman menuju segala kebenaran, dan menyebabkan sabda Kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (bdk. Kol 3:16).”[176]

Mempelai Kristus – guru agung seni mendengarkan – sekarang juga mengulang dalam iman: “Bersabdalah, Tuhan, Gereja-Mu mendengarkan.”[177] Untuk alasan ini Konstitusi Dogmatis Dei Verbum dengan sengaja mulai dengan kata-kata: “Dengan mendengarkan Sabda Allah dengan khidmat dan mewartakannya penuh kepercayaan, Konsili suci….”[178] Di sini kita berjumpa dengan pengertian dinamis hidup Gereja: “Dengan kata-kata ini Konsili menunjukkan aspek yang menegaskan tentang hidup Gereja: Gereja adalah komunitas yang mendengarkan dan mewartakan Sabda Allah. Gereja memperoleh kehidupan bukan dari dirinya sendiri melainkan dari Injil, dan dari Injil ia menemukan arah yang selalu baru bagi perjalanannya. Ini adalah pendekatan yang harus dipahami dan diterapkan setiap orang Kristiani pada dirinya sendiri: hanya mereka yang pertama-tama menempatkan dirinya dalam sikap mendengarkan Sabda dapat meneruskan menjadi pewartanya.”[179] Dalam Sabda Allah yang diwartakan dan didengarkan dan dalam sakramen-sakramen, Yesus mengatakan hari ini, sekarang dan di sini, kepada masing-masing dari kita “Aku milikmu, Aku memberikan diri-Ku kepadamu”; sehingga kita dapat menerima dan menjawab, dengan mengatakan pada gilirannya: “Aku milik-Mu.”[180] Dengan demikian Gereja muncul sebagai lingkungan di mana, oleh rahmat, kita dapat mengalami apa yang dikatakan Yohanes dalam Prolog Injilnya: “Semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah”(Yoh 1:12).

Liturgi, Tempat Istimewa Bagi Sabda Allah

Sabda Allah dalam liturgi suci

52. Dengan memperhitungkan Gereja sebagai “tempat tinggal Sabda”,[181] perhatian pertama-tama hendaknya diberikan kepada liturgi suci, karena liturgi adalah tempat istimewa di mana Allah berbicara kepada kita di tengah-tengah kehidupan kita; Ia sekarang berbicara kepada umat-Nya, yang mendengarkan dan menjawab. Setiap tindakan liturgi seturut hakikatnya sendiri diresapi dengan Kitab Suci. Dalam kata-kata Konstitusi Sacrosanctum Concilium, “Dalam perayaan Liturgi, Kitab Suci sangat penting. Sebab dari Kitab Sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab Sucilah dilambungkan permohanan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; daripadanya pula tindakan-tindakan serta lambang-lambang liturgis memperoleh maknanya.”[182] Terlebih lagi, harus dikatakan bahwa Kristus sendiri “hadir dalam Sabda-Nya, sebabIa sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja.”[183] Sungguh, “perayaan liturgi menjadi itu menjadi perwujudan nyata, lestari dan penuh daya dari Sabda Allah sendiri. Maka Sabda Allah, yang terus-menerus diwartakan dalam Liturgi itu, hidup dan penuh daya berkat kuasa Roh Kudus. Pun pula menampakkan cinta kasih Bapa, yang tiada pernah berhenti berkarya bagi semua orang.”[184] Gereja selalu menyadari bahwa dalam tindakan liturgis Sabda Allah disertai oleh karya batiniah Roh Kudus, yang membuatnya efektif dalam hati umat beriman. Berkat Sang Penolong, “Sabda Allah menjadi dasar dari perayaan liturgi, dan aturan serta pendukung dari semua kehidupan kita. Karya Roh Kudus yang sama… menjelaskan kepada masing-masing orang secara individual segala sesuatu yang dikatakan dalam pewartaan Sabda Allah demi kebaikan dari seluruh jemaat yang hadir. Dalam menguatkan kesatuan dari semua, Roh Kudus pada waktu yang sama mendorong keragaman karunia dan memajukan karya yang beraneka bentuk.”[185]

Maka, untuk memahami Sabda Allah, kita perlu menghargai dan mengalami makna dan nilai hakiki tindakan liturgi. Pemahaman penuh iman akan Kitab Suci harus selalu mengacu kembali kepada liturgi, di mana Sabda Allah dirayakan sebagai Sabda yang aktual dan yang hidup.“Dalam liturgi Gereja dengan setia mengikuti cara Kristus sendiri membaca dan menjelaskan Kitab Sui, dimulai dengan kedatangan-Nya di rumah ibadat dan mendesak semua untuk menyelidiki Kitab Suci.”[186]

Di sini orang bisa melihat pedagogi bijaksana dari Gereja, yang mewartakan dan mendengarkan Kitab Suci dengan mengikuti irama tahun liturgi. Penyebaran Sabda Allah dari waktu ke waktu terutama terjadi dalam perayaan Ekaristi dan dalam Liturgi Ibadat Harian. Pada pusat dari semuanya misteri Paskah bersinar, dan di sekitarnya bersinarlah semua misteri Kristus dan sejarah keselamatan yang dihadirkan secara sakramental: “Dengan mengenangkan misteri-misteri penebusan itu dengan cara ini, Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan tindakan yang menyelamatkan serta pahala Tuhannya sehingga misteri-misteri itu senantiasa hadir setiap saat. Umat dimungkinkan untuk bersentuhan dengan misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan.”[187] Karena alasan ini saya mendorong para Pastor Gereja dan semua yang terlibat dalam karya pastoral untuk memperhatikan, bahwa semua kaum beriman belajar mencecap makna mendalam Sabda Allah yang setiap tahun diungkapkan dalam liturgi, dengan membuka misteri fundamental iman kita. Ini pada gilirannya adalah dasar bagi suatu pendekatan yang benar kepada Kitab Suci.

Kitab Suci dan Sakramen-sakramen

53. Dalam membahas pentingnya liturgi bagi pemahaman Sabda Allah, Sinode para Uskup menyoroti hubungan antara Kitab Suci dan karya sakramen-sakramen. Ada kebutuhan besar untuk menyelidiki secara lebih mendalam hubungan antara Sabda dan sakramen dalam kegiatan pastoral Gereja dan dalam refleksi teologis.[188] Jelaslah, “liturgi Sabda adalah unsur menentukan dalam perayaan masing-masing dari setiap sakramen Gereja,”[189] namun dalam praktik pastoral, kaum beriman tidak selalu menyadari hubungan ini, atau mereka tidak menghargai kesatuan antara gerak-isyarat dan kata. Adalah “tugas para imam dan diakon, terutama bila mereka melayani sakramen, untuk menjelaskan kesatuan antara Sabda dan Sakramen dalam pelayanan Gereja.”[190] Hubungan antara Sabda dan gerak sakramental adalah ungkapan liturgis kegiatan Gereja dalam sejarah keselamatan melalui sifat performatif Sabda sendiri. Dalam sejarah keselamatan tidak ada pemisahan antara apa yang Allah katakan dan apa yang Ia lakukan. Sabda-Nya nampak hidup dan aktif (bdk. Ibr. 4:12), seperti dijelaskan oleh istilah Ibrani dabar itu sendiri. Juga dalam tindakan liturgis, kita berjumpa dengan Sabda-Nya yang melaksanakan apa yang Ia katakan. Dengan mendidik Umat Allah untuk menemukan sifat performatif Sabda Allah dalam liturgi, kita akan membantu mereka untuk memahami tindakan Allah dalam sejarah keselamatan dan dalam kehidupan pribadi mereka masing-masing.

Sabda Allah dan Ekaristi

54. Apa yang dikatakan secara umum mengenai hubungan antara Sabda dan sakramen mempunyai makna lebih dalam jika kita kembali pada perayaan Ekaristi. Kesatuan mendalam dari Sabda dan Ekaristi didasarkan pada kesaksian Kitab Suci (bdk. Yoh. 6; Luk. 24), yang dipersaksikan oleh para Bapa Gereja, dan diteguhkan kembali oleh Konsili Vatikan Kedua.[191] Di sini kita memikirkan wejangan Yesus tentang roti hidup dalam rumah ibadat di Kapernaum (bdk. Yoh. 6:22-69), dengan perbandingan yang ada di baliknya antara Musa dan Yesus, antara seseorang yang berbicara langsung dengan Allah (bdk. Kel. 33:11) dan seseorang yang membuat Allah dikenal (bdk. Yoh. 1:18). Wejangan Yesus mengenai roti berbicara mengenai karunia Allah, yang didapat Musa bagi umatnya dengan manna di padang gurun, yang sesungguhnya adalah Torah, Sabda Allah yang memberi hidup (bdk. Mzm. 119; Ams. 9:5). Dalam diri-Nya Yesus mencapai pemenuhan gambaran kuno: “Roti yang dari Allah ialah roti yang turun dari surga dan yang memberi hidup kepada dunia”… “Akulah roti hidup” (Yoh. 6:33-35). Di sini “Hukum telah menjadi Seorang pribadi. Bila kita berjumpa dengan Yesus, kita mendapat makan dari Allah sendiri yang hidup, demikian dapat dikatakan; kita sungguh makan ‘roti dari surga’.”[192] Dalam wejangan di Kapernaum, Prolog Yohanes diangkat ke tingkat yang lebih dalam. Di situ Logos Allah menjadi daging, tetapi di sini daging ini menjadi “roti” yang diberikan bagi hidup dunia (bdk. Yoh. 6:51), dengan mengacu kepada pemberian Diri Yesus dalam misteri salib, yang diteguhkan oleh kata-kata mengenai darah-Nya yang diberikan sebagai minuman (bdk. Yoh. 6:53). Misteri Ekaristi menyingkapkan manna sejati, roti sejati dari surga: Logos Allah menjadi daging, yang memberikan Diri-Nya bagi kita dalam misteri Paskah.

Kisah Lukas mengenai para murid dalam perjalanan ke Emmaus memungkinkan kita untuk merefleksikan lebih lanjut mengenai hubungan antara mendengarkan Firman dan memecah-mecahkan roti (bdk. Luk. 24:13-35). Yesus mendekati para murid pada hari sesudah Sabat, mendengarkan ketika mereka bercakap-cakap mengenai harapan mereka yang pupus, dan sambil bergabung dengan mereka dalam perjalanan mereka, “menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci” (24:27). Kedua murid mulai melihat Kitab Suci dengan cara baru ditemani musafir yang nampaknya secara mengherankan sangat akrab dengan hidup mereka. Apa yang telah terjadi pada hari-hari itu tidak lagi nampak bagi mereka sebagai suatu kegagalan, melainkan sebagai suatu pemenuhan dan permulaan yang baru. Namun, tampaknya kata-kata ini belum cukup bagi kedua murid. Injil Lukas menceritakan bahwa mata mereka terbuka dan mereka mengenal Dia” (24:31), hanya ketika Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada para murid-Nya, yang sebelumnya “ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia” (24:16). Kehadiran Yesus, pertama dengan kata-kata-Nya dan kemudian dengan tindakan pemecahan roti, ini memungkinkan para murid mengenali Dia. Sekarang mereka mampu menghargai dengan cara yang baru semua yang telah mereka alami sebelumnya bersama Dia: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (24:32).

55. Dari kisah-kisah ini jelaslah bahwa Kitab Suci sendiri menunjukkan kepada kita penghargaan atas ikatannya yang tak terpisahkan dengan Ekaristi. “Hendaklah selalu diperhatikan bahwa Sabda Allah, yang dibaca dan diwartakan Gereja dalam liturgi, mengantar kepada kurban perjanjian serta perjamuan rahmat yakni kepada Ekaristi sebagai tujuannya.”[193] Sabda dan Ekaristi begitu dalam terikat bersama sehingga kita tidak dapat memahami yang satu tanpa yang lain: Sabda Allah secara sakramental menjadi daging dalam peristiwa Ekaristi. Ekaristi membuka kita agar memahami Kitab Suci, sama seperti Kitab Suci dari dirinya menyinari dan menjelaskan misteri Ekaristi. Jika kita tidak mengakui kehadiran nyata Tuhan dalam Ekaristi, pemahaman kita mengenai Kitab Suci tetap tidak sempurna. Karena alasan ini “Gereja menaruh penghormatan yang sama terhadap Sabda Allah dan terhadap misteri Ekaristi, meskipun dalam bentuk kebaktian yang berbeda. Dan Gereja berketetapan untuk selalu dan di manamana melestarikan penghormatan itu; maka, digerakkan oleh teladan Pendirinya, ia senantiasa merayakan misteri paskah-Nya dengan berkumpul bersama untuk membaca ‘apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci’ (Luk. 24:27), dan melaksanakan karya keselamatan melalui perayaan pengenangan
akan Tuhan serta melalui sakramen-sakramen.”[194]

Sakramentalitas Sabda

56. Refleksi atas sifat performatif Sabda Allah dalam tindakan sakramental dan penghargaan yang semakin bertambah terhadap hubungan antara Sabda dan Ekaristi mengantar kepada tema penting yang muncul selama sidang sinode, yaitu sakramentalitas Sabda.[195] Di sini mungkin membantu mengingatkan bahwa Paus Yohanes Paulus II telah mengacu kepada “ciri sakramental Wahyu, dan khususnya kepada tanda Ekaristi; sebab di situ kesatuan yang tak terceraikan antara yang menandakan dan yang ditandakan memungkinkan untuk menggapai titik-titik kedalaman misteri.”[196] Kita melihat bahwa pada inti sakramentalitas Sabda Allah terletak misteri Inkarnasi sendiri: “Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh. 1:14), realitas misteri yang diungkapkan ditawarkan kepada kita dalam “daging” sang Putra. Sabda Allah dapat ditangkap oleh iman melalui “tanda” kata-kata dan tindakan manusiawi. Iman mengenal Sabda Allah dengan menerima kata-kata dan tindakan-tindakan yang membuat diri-Nya kita kenal. Maka, ciri sakramental Wahyu menunjuk pada sejarah keselamatan, pada jalan Sabda Allah memasuki waktu dan ruang, dan berbicara kepada manusia, yang dipanggil untuk menerima karunia-Nya dalam iman.

Oleh karena itu, sakramentalitas Sabda dapat dimengerti melalui analogi dengan kehadiran riil Kristus dalam perwujudan roti dan anggur yang dikonsekrasikan.[197] Dengan mendekati altar dan ambil bagian dalam perjamuan Ekaristi kita sungguh ambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus. Pewartaan Sabda Allah dalam perayaan menuntut pengakuan bahwa Kristus sendiri hadir, bahwa Ia berbicara kepada kita,[198] dan bahwa Ia ingin agar didengarkan. Santo Hieronimus berbicara mengenai bagaimana seharusnya sikap kita dalam mendekati Ekaristi dan Sabda Allah: “Kita membaca Kitab Suci. Bagiku, Injil adalah Tubuh Kristus; bagiku, Kitab Suci adalah ajaran-Nya. Dan bila Ia berkata: siapa yang tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku (Yoh. 6:53), meskipun kata-kata ini dapat juga dipahami mengenai Misteri (Ekaristi), tubuh dan darah Kristus sungguh kata-kata Kitab Suci, ajaran Allah. Jika kita mendekati Misteri (Ekaristi), bila ada remah-remah yang jatuh ke lantai kita sedih. Demikian juga ketikakita mendengarkan Sabda Allah, dan Sabda Allah dan tubuh Kristus dan darah-Nya dicurahkan ke dalam telinga kita namunkita tidak mengindahkan, ke dalam bahaya besar apa kita tidak masuk?”[199] Kristus, sungguh hadir dalam wujud roti dan anggur, secara analog hadir juga dalam Sabda yang diwartakan dalam liturgi. Maka, pemahaman yang lebih mendalam mengenai sakramentalitas Sabda Allah dapat mengantar kita kepada pemahaman yang lebih menyatu tentang misteri Wahyu, yang berwujud melalui “perbuatan dan kata-kata yang berhubungan sangat erat”[200]; penghargaan demikian bermanfaat bagi kehidupan rohani kaum beriman dan kegiatan pastoral Gereja.

Kitab Suci dan Buku Bacaan Misa

57. Dalam menekankan ikatan antara Sabda dan Ekaristi, Sinode juga ingin menarik perhatian kepada beberapa aspek tertentu dari perayaan yang terkait dengan pelayanan Sabda. Pada tempat pertama saya ingin mengingatkan pentingnya Buku Bacaan Misa. Pembaruan yang diserukan Konsili Vatikan Kedua[201] telah menghasilkan buah dalam akses yang lebih banyak kepada Kitab Suci, yang sekarang disajikan secara berlimpah, terutama dalam Misa Minggu. Susunan Buku Bacaan Misa yangsekarang tidak hanya menyajikan teks-teks Kitab Suci yang lebih penting dengan lebih kerap, tetapi juga membantu kita untuk memahami kesatuan rencana Allah berkat jalinan antara bacaan-bacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, “di mana Kristus adalah tokoh sentral, yangdikenangkan dalam misteri Paskah-Nya.”[202] Kesulitan-kesulitan yang ada dalam melihat hubungan antara bacaan-bacaan itu hendaklah didekati dalam terang penafsiran kanonik, yaitu, dengan mengacu kepada kesatuan yang melekat pada Alkitab sebagai keseluruhan. Bilamana perlu, lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok yang berwenang dapat membuat ketentuan untuk publikasi yang bertujuan menampilkan keterkaitan satu sama lain dari bacaan-bacaan Buku Bacaan Misa, yang kesemuanya harus diwartakan dalam pertemuan liturgi, seperti disebut oleh liturgi harian. Masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan lain hendaknya disampaikan kepada Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen-sakramen.

Selanjutnya, kita hendaklah jangan melupakan fakta bahwa Buku Bacaan Misa dari ritus Latin sekarang ini mempunyai makna ekumenis, karena juga dihargai dan digunakan oleh komunitas-komunitas yang belum bersatu sepenuhnya dengan Gereja Katolik. Masalah bahwa Buku Bacaan Misa menampilkan diri secara berbeda dalam liturgi Gereja-gereja Katolik Timur, Sinode mengharapkan agar hal ini “diperiksa secara otoritatif,”[203] sesuai dengan tradisi dan kompetensi yang tepat dari Gereja-gereja sui iuris, begitu juga dengan memperhitungkan konteks ekumenis.

Pewartaan Sabda dan pelayanan pembaca

58. Sinode mengenai Ekaristi telah menyerukan agar perhatian yang lebih besar hendaklah diberikan dalam pewartaan Sabda Allah.[204] Seperti diketahui, sementara Injil diwartakan oleh seorang imam atau diakon, dalam tradisi Latin bacaan pertama dan kedua diwartakan oleh lektor yang ditunjuk, entah pria entah wanita. Saya ingin menggemakan suara para Bapa Sinode yang sekali lagi lebih menekankan perlunya pelatihan yang memadai[205] bagi mereka yang melaksanakan munus (tugas) lektor dalam perayaan liturgi,[206] dan terutama mereka yang melaksanakan pelayanan Lektor, yang dalam ritus Latin, adalah pelayanan awam. Semua yang dipercaya untuk tugas ini, bahkan juga mereka yang tidak ditetapkan dalam pelayanan sebagai Lektor, hendaknya sungguh sesuai dan dilatih secara saksama. Latihan ini hendaknya liturgis dan alkitabiah, maupun juga secara teknis. “Tujuan dari pembinaan alkitabiah mereka adalah untuk memberi para pembaca kemampuan untuk mengerti bacaan dalam konteks dan untuk menangkap inti pesan yang diwahyukan. Pembinaan liturgis hendaknya melengkapi pembaca untuk memiliki kemampuan untuk memahami makna dan susunan liturgi Sabda dan makna hubungannya dengan liturgi Ekaristi. Persiapan teknis hendaknya membuat pembaca memiliki ketrampilan seni membaca di depan umum, baik dengan kekuatan suara mereka sendiri maupun dengan bantuan pengeras suara.”[207]

Pentingnya Homili

59. Setiap anggota Umat Allah “mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda dalam kaitan dengan Sabda Allah. Karena itu, umat beriman mendengarkan Sabda Tuhan dan merenungkannya, tetapi mereka yang mempunyai tugas karena tahbisan suci atau yang telah dipercaya dengan pelaksanaan pelayanan itu,” yaitu para uskup, imam, dan diakon, “menjelaskan Sabda Allah.”[208] Maka dari itu, kita dapat memahami perhatian yang dicurahkan kepada homili selama Sinode. Dalam Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis, saya menunjukkan bahwa “mengingat pentingnya Sabda Allah, mutu homili perlu ditingkatkan. Homili, adalah ‘bagian dari tindakan liturgi,’ dan dimaksudkan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang Sabda Allah, sehingga itu akan dapat membuahkan hasil dalam kehidupan kaum beriman.”[209] Homili adalah sarana untuk membawa pesan Kitab Suci ke dalam hidup dengan cara yang membantu kaum beriman menyadari bahwa Sabda Allah hadir dan berkarya dalam hidup keseharian mereka. Homili hendaklah membimbing untuk memahami misteri yang sedang dirayakan, memanggil kepada misi, dan menyiapkan umat kepada pengakuan iman, doa umat dan liturgi Ekaristi. Karenanya, mereka yang berkat pelayanan khusus bertugas berkhotbah hendaknya mengemban tugas ini sepenuh hati. Homili yang umum dan abstrak yang mengaburkan keterusterangan Sabda Allah hendaklah dihindari, maupun juga pelanturan yang tak berguna yang berisiko menarik perhatian lebih besar kepada pengkhotbah daripada inti pesan Injil. Kaum beriman hendaknya dapat menangkap dengan jelas bahwa pengkhotbah memiliki keinginan kuat untuk menghadirkan Kristus, yang harus menjadi pusat dari setiap homili. Karena alasan ini para pengkhotbah perlu selalu dekat dan terus-menerus berhubungan dengan teks suci.[210] Mereka hendaknya mempersiapkan homili dengan meditasi dan doa, sehingga berkhotbah dengan keyakinan dan semangat. Sidang Sinode mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut supaya diperhatikan: “Apa yang dikatakan oleh Kitab Suci yang diwartakan? Apa yang dikatakannya kepadaku secara pribadi? Apa yang harus saya katakan kepada umat sehubungan dengan situasi konkret mereka?”[211] Pengkhotbah “hendaklah menjadi yang pertama yang mendengarkan Sabda Allah yang ia wartakan,”[212] karena, sebagaimana dikatakan oleh Santo Agustinus, “tak diragukan lagi tanpa buah, pengkhotbah yang mewartakan Sabda Allah secara lahiriah tanpa mendengarkannya secara batiniah.”[213] Homili untuk hari-hari Minggu dan Hari Raya hendaknya dipersiapkan secara saksama, tanpa melalaikan, sejauh mungkin pada misa harian dan dengan umat untuk memberikan suatu refleksi yang singkat dan sesuai waktunya, yang dapat membantu umat untuk menyambut Sabda yang diwartakan dan membiarkan Sabda itu memberikan buah dalam hidup mereka.

Perlunya sebuah Pedoman homili

60. Seni berkhotbah yang baik yang berdasar pada Buku Bacaan Misa adalah suatu seni yang perlu diolah. Maka dari itu, selaras dengan keinginan yang diungkapkan oleh Sinode sebelumnya,[214] saya minta kepada para pejabat yang berwenang, sejalan dengan Kompendium Ekaristi,[215] juga untuk menyiapkan publikasi-publikasi praktis untuk membantu para pelayan dalam melaksanakan tugas mereka sebaik mungkin: seperti misalnya suatu Pedoman homili, di mana para pengkhotbah dapat menemukan bantuan yang bermanfaat dalam mempersiapkan untuk melaksanakan pelayanan mereka. Seperti diingatkan Santo Hieronimus, khotbah perlu disertai kesaksian hidup yang baik: “Tindakan anda hendaknya jangan bertentangan dengan kata-kata anda, jika tidak ketika anda berkhotbah dalam Gereja, seseorang mungkin mulai berpikir: ‘Jadi mengapa anda sendiri tidak berbuat secara demikian itu?’… Di dalam imam Kristus, pikiran dan perkataan harus bersesuaian.”[216]

Sabda Allah, Rekonsiliasi, dan Pengurapan orang sakit

61. Meskipun tentu saja Ekaristi tetap merupakan pusat dari hubungan antara sabda Allah dan sakramen-sakramen, kita juga harus menekankan pentingnya Kitab Suci dalam sakramen-sakramen lainnya, khususnya sakramen-sakramen penyembuhan, yaitu sakramen Rekonsiliasi atau Pengampunan dosa dan sakramen Pengurapan Orang Sakit. Peranan Kitab Suci dalam sakramen-sakramen itu kerap kali kurang diperhatikan, namun itu perlu dijamin tempatnya yang semestinya. Kita hendaknya jangan lupa bahwa “Sabda Allah adalah sabda rekonsiliasi, karena di dalamnya Allah telah mendamaikan segala hal dalam diri-Nya (bdk. 2Kor. 5:18-20; Ef. 1:10). Pengampunan penuh kasih dari Allah, menjadi daging dalam Yesus, mengangkat orang berdosa.”[217] “Melalui Sabda Allah orang-orang Kristiani menerima terang untuk mengenal dosa-dosanya dan dipanggil untuk bertobat dan percaya kepada belas kasih Allah.”[218] Untuk memiliki pengalaman yang lebih mendalam akan kekuatan Sabda Allah yang mendamaikan, masing-masing peniten hendaknya didorong untuk mempersiapkan pengakuan dengan merenungkan teks Kitab Suci yang sesuai dan mengawali pengakuan dengan membaca atau mendengarkan nasihat Kitab Suci seperti yang terdapat dalam ritus. Ketika mengungkapkan penyesalan, akan baik bila peniten menggunakan “doa berdasar pada kata-kata Kitab Suci,”[219] seperti yang ditunjukkan dalam ritus. Bilamana mungkin, baiklah pada saat-saat khusus dalam tahun, atau setiap kali ada kesempatan, pengakuan pribadi oleh sejumlah peniten hendaklah diadakan di dalam perayaan tobat sebagaimana diatur dalam upacara, dengan memperhatikan bermacam-macam tradisi liturgi; di mana waktu lebih banyak dapat digunakan untuk perayaan Sabda dengan menggunakan bacaan-bacaan yang sesuai.

Dalam Sakramen Pengurapan orang Sakit juga, hendaknya jangan dilupakan bahwa “kekuatan Sabda Allah yang menyembuhkan adalah panggilan terus-menerus kepada pertobatan pribadi pendengar.”[220] Kitab Suci berisi banyak sekali halaman yang berbicara mengenai penghiburan, dukungan dan penyembuhan yang diberikan oleh Allah. Kita dapat berpikir secara khusus mengenai kedekatan Yesus sendiri dengan mereka yang menderita, dan bagaimana Ia, Sabda Allah yang menjadi Daging, memikul rasa sakit kita dan menderita karena kasih kepada kita, dengan demikian memberi makna pada sakit dan kematian. Baiklah bahwa di paroki-paroki dan rumah-rumah sakit, sesuai keadaan, perayaan sakramen Pengurapan Orang Sakit dilakukan dalam kebersamaan.
Pada kesempatan demikian diberi waktu lebih banyak untuk perayaan Sabda, dan membantu yang sakit untuk menanggung penderitaan mereka dalam iman, dalam persatuan dengan kurban penebusan Kristus yang membebaskan kita dari yang jahat.

Sabda Allah dan Liturgi Ibadat Harian

62. Di antara bentuk-bentuk doa yang menekankan Kitab Suci, Liturgi Ibadat Harian mempunyai tempat yang tak diragukan lagi. Para Bapa Konsili menyebut itu “suatu bentuk istimewa mendengarkan Sabda Allah, karena hal itu mengantar umat beriman berhubungan dengan Kitab Suci dan Tradisi hidup Gereja.”[221] Terlebih-lebih, kita hendaknya ingat akan martabat teologis dan gerejawi yang mendalam dari doa ini. “Dalam Liturgi Ibadat Harian, Gereja, dengan melaksanakan tugas imamat dari Kepalanya, mempersembahkan ‘tanpa henti’ (1Tes. 5:17) kepada Allah kurban pujian, yaitu buah dari bibir yang mengakui nama-Nya (bdk. Ibr. 13:1). Doa ini adalah ‘suara pengantin perempuan yang berbicara kepada pengantin laki-lakinya, ini adalah doa Kristus sendiri, bersama Tubuh-Nya, yang ditujukan kepada Bapa.’”[222] Konsili Vatikan II telah menegaskan tentang hal ini bahwa: “semua orang yang mendoakan Ibadat Harian, menunaikan tugas Gereja sekaligus ikut serta dalam kehormatan tertinggi Mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan pujian kepada Allah, mereka berdiri di hadapan takhta-Nya atas nama Bunda Gereja.”[223] Liturgi Ibadat Harian, sebagai doa umum Gereja, menampilkan cita-cita Kristiani untuk menyucikan seluruh hari, yang ditandai dengan irama mendengarkan Sabda Allah dan mendoakan Mazmur; dengan cara demikian setiap kegiatan dapat menemukan titik acuannya dalam pujian yang dipersembahkan kepada Allah.

Mereka yang oleh status mereka dalam hidup berkewajiban mendoakan Liturgi Ibadat Harian hendaknya melaksanakan tugas ini dengan setia bagi kebaikan seluruh Gereja. Para Uskup, imam dan diakon calon imam, semua yang telah ditugasi Gereja untuk merayakan liturgi ini, wajib mendoakan Ibadat Harian setiap hari.[224] Berkaitan dengan kewajiban merayakan liturgi ini, dalam Gereja-gereja Katolik Timur sui iuris, ketentuan-ketentuan hukum mereka sendiri harus diikuti.[225] Saya juga mendorong komunitaskomunitas Hidup Bakti supaya menjadi contoh dalam perayaan Liturgi Ibadat Harian, dan dengan demikian menjadi titik acuan dan inspirasi bagi hidup spiritual dan pastoral seluruh Gereja.

Sinode meminta agar doa ini menjadi makin tersebar luas di antara Umat Allah, terutama pendarasan Ibadat Pagi dan Ibadat Sore. Ini dapat mengantar kaum beriman kepada keakraban lebih besar dengan Sabda Allah. Tekanan juga harus diletakkan pada nilai Liturgi Ibadat Sore Pertama hari Minggu dan Hari-hari Raya, terutama dalam Gereja-gereja Katolik Timur. Untuk maksud ini saya menyarankan agar, bilamana mungkin, paroki-paroki dan komunitas-komunitas religius mengembangkan doa ini dengan partisipasi umat beriman awam.

Sabda Allah dan Buku Berkat

63. Begitu juga, dalam penggunaan Buku Ibadat Berkat hendaknya diberikan perhatian pada kesempatan yang disediakan untuk mewartakan, mendengarkan dan menjelaskan Sabda Allah secara singkat. Sesungguhnya pemberkatan, dalam kasus-kasus yang disediakan oleh Gereja dan diminta oleh umat beriman, hendaklah bukan sebagai sesuatu yang terpisah melainkan dikaitkan dalam batas-batas tertentu kepada kehidupan liturgi umat Allah. Dalam arti ini berkat, sebagai tanda suci sejati, “mengambil makna dan daya gunanya dari Sabda Allah yang diwartakan.”[226] Maka, pentinglah juga menggunakan kesempatan itu sebagai sarana untuk membangkitkan dalam diri umat beriman rasa haus dan lapar akan setiap firman yang berasal dari mulut Allah (bdk. Mat. 4:4).

Saran dan usul praktis untuk meningkatkan partisipasi lebih penuh dalam liturgi

64. Sesudah mendiskusikan beberapa unsur dasariah dari hubungan antara liturgi dan Sabda Allah, sekarang saya ingin mengambil dan mengembangkan beberapa saran dan usul yang dikemukakan Bapa-bapa Sinode dengan tujuan membuat Umat Allah semakin akrab dengan Sabda Allah dalam konteks tindakan liturgis atau, dalam hal apa pun, dengan mengacu padanya.

a) Perayaan Sabda Allah

65. Para Bapa Sinode mendorong semua Pastor untuk menggalakkan kesempatan-kesempatan yang disediakan untuk perayaan Sabda dalam komunitas-komunitas yang dipercayakan kepada pemeliharaan mereka.[227] Perayaan-perayaan ini merupakan kesempatan istimewa untuk berjumpa dengan Tuhan. Praktik ini tentu akan bermanfaat bagi kaum beriman, dan hendaklah dianggap sebagai unsur penting pembinaan liturgi. Perayaan semacam ini terutama penting sebagai persiapan untuk Ekaristi Minggu; itu juga merupakan cara untuk membantu umat beriman menggali secara mendalam kekayaan Buku Bacaan Misa, dan untuk berdoa dan merenungkan Kitab Suci, terutama selama masa liturgi besar Adven dan Natal, Prapaskah dan Paskah. Perayaan Sabda Allah sangat dianjurkan terutama dalam komunitas-komunitas yang, karena kurangnya imam, tidak mungkin merayakan kurban Ekaristi pada hari Minggu dan Hari Raya yang diwajibkan. Dengan memperhatikan petunjuk-petunjukyang telah ditetapkan dalam Anjuran Apostolik Pasca-Sinode Sacramentum Caritatis terkait dengan perayaan Minggu tanpa kehadiran imam,[228] saya menyarankan supaya pejabat yang berwenang menyiapkan pedoman-pedoman upacara, dengan mengambil pengalaman Gereja-gereja partikular. Ini akan menguntungkan, dalam situasi-situasi itu, perayaan Sabda yang mampu memupuk iman umat beriman, namun dengan menghindari bahaya bahwa perayaan Sabda dirancukan dengan perayaan Ekaristi: “sebaliknya, perayaan itu hendaknya menjadi saat yang istimewa untuk berdoa kepada Allah supaya mengutus imam-imam sesuai kehendak hati-Nya sendiri.”[229]

Para Bapa Sinode juga menyarankan perayaan Sabda Allah pada saat berziarah, pesta-pesta khusus, misi kepada umat, retret, dan hari khusus tobat, silih atau pengampunan. Berbagai ungkapan kesalehan umat, meskipun bukan tindakan liturgis dan hendaklah jangan dianggap sama dengan perayaan liturgis, namun sebaiknya diinspirasikan olehnya dan, terutama, memberi kesempatan bagi pewartaan dan untuk mendengarkan Sabda Allah; “Kesalehan umat dapat menemukan dalam Sabda Allah suatu sumber inspirasi yang tak pernah kering, model doa yang tak tertandingi dan poin-poin yang bermanfaat untuk refleksi.”[230]

b) Sabda dan Keheningan

66. Dalam intervensi-intervensi mereka, sejumlah besar Bapa Sinode menekankan pentingnya keheningan terkait dengan Sabda Allah dan penerimaannya dalam kehidupan kaum beriman.[231] Pada kenyataannya, Sabda hanya dapat diucapkan dan didengarkan dalam keheningan, lahiriah dan batiniah. Zaman kita bukan zaman yang mendukung keheningan; kadang-kadang ada kesan bahwa manusia takut melepaskan diri dari media massa, bahkan untuk sebentar saja. Untuk itu, pentinglah sekarang bahwa Umat Allah dididik menghargai keheningan. Menemukan kembali bahwa Sabda Allah adalah pusat kehidupan Gereja juga berarti menemukan kembali makna keheningan dan ketenangan batin. Tradisi luhur patristik mengajar kita bahwa misteri Kristus melibatkan keheningan.[232] Hanya dalam keheningan Sabda Allah dapat bersemayam dalam diri kita, seperti terjadi pada Maria, yang secara tak terpisahkan sebagai wanita Sabda dan wanita keheningan. Liturgi kita harus memfasilitasi sikap mendengarkan sejati: Verbo crescente, verba deficiunt.[233]

Pentingnya semua hal ini terutama tampak dalam Liturgi Sabda “yang harus dirayakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung.”[234] Saat hening, ketika diminta, hendaklah dipandang “sebagai bagian perayaan.”[235] Maka dari itu, saya mendorong para Pastor untuk memupuk saat-saat hening, yang melaluinya, dengan bantuan Roh Kudus, Sabda Allah dapat diterima dalam hati kita.

c) Pewartaan Sabda Allah secara meriah

67. Saran lain yang muncul dari Sinode adalah agar pewartaan Sabda Allah, khususnya Injil, hendaklah dibuat lebih meriah, terutama dalam pesta-pesta liturgis yang besar, dengan menggunakan Evangelarium, yang dibawa dalam prosesi selama upacara pembuka dan kemudian dibawa ke mimbar Sabda oleh seorang diakon atau imam untuk diwartakan. Ini akan membantu umat Allah menyadari bahwa “pembacaan Injil adalah puncak dari liturgi Sabda.”[236] Dengan mengikuti petunjuk yang terdapat dalam Tata Bacaan Misa, baiklah bahwa Sabda Allah, terutama Injil, dibuat agung dengan diwartakan dengan nyanyian, terutama pada pesta-pesta tertentu. Ucapan salam, pemberitahuan pembuka: “Inilah Injil Suci Yesus Kristus…” dan kata-kata penutup “Demikianlah Injil Tuhan kita,” dapat dinyanyikan dengan baik sebagai cara untuk menekankan pentingnya apa yang dibacakan.[237]

d) Sabda Allah di Gereja

68. Untuk memudahkan mendengarkan Sabda Allah, hendaknya diperhatikan sarana-sarana yang dapat membantu umat beriman memusatkan perhatian. Hendaknya diperhatikan akustik gereja, dengan mengingat norma-norma liturgi dan arsitektur. “Para Uskup, dengan dibantu sewajarnya, dalam pembangunan gerejagereja hendaklah memperhatikan agar bangunan itu sesuai untuk pewartaan Sabda, untuk meditasi dan untuk merayakan Ekaristi. Ruang-ruang kudus, meski terpisah dari kegiatan liturgis, hendaknya indah dan hendaknya menghadirkan misteri Kristus dalam hubungan dengan Sabda Allah.”[238]

Perhatian khusus hendaklah diberikan kepada ambo (mimbar Sabda) sebagai tempat liturgisyang dari situ Sabda Allah diwartakan. Ambo itu hendaknya diletakkan di tempat yang terlihat dengan jelas yang kepadanya perhatian umat selama liturgi biasanya akan diarahkan. Ambo hendaklah ditempatkan dengan tetap, dan dihias dalam keselarasan estetis dengan altar untuk menampilkan secara jelas makna teologis dari dua meja, yakni meja Sabda dan Ekaristi. Bacaan-bacaan, mazmur tanggapan dan Exultet harus diwartakan dari ambo; di situ juga bisa digunakan bagi homili dan doa umat.[239]

Para Bapa Sinode juga mengusulkan supaya gereja-gereja memberi tempat terhormat kepada Kitab Suci, bahkan juga di luar perayaan liturgi.[240] Baik bahwa buku yang berisi Sabda Allah diberi tempat yang kelihatan dan terhormat di dalam tempat ibadat Kristiani, tanpa mengurangi tempat pusat yang semestinya bagi tabernakel yang berisi Sakramen Mahakudus.[241]

e) Penggunaan eksklusif teks Alkitab dalam Liturgi

69. Sinode dengan jelas juga menegaskan kembali pokok yang sudah ditetapkan dalam norma liturgi,[242] yaitu bahwa bacaan yang diambil dari Kitab Suci tidak pernah dapat diganti dengan teks lain, meskipun teks itu mungkin penting dari segi spiritual atau pastoral: “Tak ada teks yang dari segi spiritual atau pastoral dapat menyamai nilai dan kekayaan yang terdapat dalam Kitab Suci, yang adalah Sabda Allah.”[243] Ini merupakan aturan kuno Gereja yang harus diperhatikan.[244] Berhadapan dengan penyelewengan tertentu, Paus Yohanes Paulus II telah kembali menekankan pentingnya untuk tidak pernah menggunakan bacaan lain untuk menggantikan Kitab Suci.[245] Hendaknya juga diperhatikan bahwa Mazmur Tanggapan adalah juga Sabda Allah dan karenanya hendaknya jangan digantikan oleh teks-teks lain; tentu saja sangat sesuai jika dinyanyikan.

f) Nyanyian liturgis yang diilhami Kitab Suci

70. Sebagai bagian penghargaan terhadap Sabda Allah dalam liturgi, perhatian hendaknya juga diberikan pada penggunaan nyanyian pada saat-saat yang ditetapkan dalam ritus tertentu.
Hendaknya lebih dipilih nyanyian-nyanyian yang jelas-jelas diilhami Kitab Suci dan yang mengungkapkan, melalui keselarasan musik dan kata-kata, keindahan Sabda Allah. Kita hendaknya menggunakan nyanyian-nyanyian yang diturunkan dari tradisi Gereja yang menghormati kriteria ini. Saya berpikir terutama mengenai pentingnya lagu Gregorian.[246]

g) Perhatian khusus bagi mereka yang terganggu penglihatan
dan pendengaran

71. Di sini saya ingin mengingatkan rekomendasi Sinode tentang
perlunya memberi perhatian khusus, kepada mereka, yang karena kondisi mereka, menghadapi masalah-masalah dalam ambil bagian secara aktif dalam liturgi. Saya berpikir misalnya mengenai mereka yang terganggu penglihatan dan pendengaran. Saya mendorong komunitas-komunitas Kristiani untuk sedapat mungkin memberikan bantuan praktis kepada saudara-saudari yang menderita gangguan demikian, sehingga mereka juga dapat mengalami kontak yang hidup dengan Sabda Tuhan.[247]

Sabda Allah dalam Kehidupan Gereja

Menjumpai Sabda Allah dalam Kitab Suci

72. Jika memang benar bahwa liturgi adalah tempat istimewa untuk mewartakan, mendengarkan dan merayakan Sabda Allah, begitu juga halnya bahwa perjumpaan ini harus dipersiapkan dalam hati kaum beriman dan kemudian diperdalam dan dihayati, terutama oleh mereka. Kehidupan Kristiani secara hakiki ditandai oleh perjumpaan dengan Yesus Kristus, yang memanggil kita untuk mengikuti-Nya. Karena alasan ini, Sinode para Uskup kerap kali berbicara mengenai pentingnya pelayanan pastoral dalam komunitas-komunitas Kristiani sebagai konteksyang sesuai di mana perjalanan secara pribadi dan bersama yang berdasar pada Sabda Allah dapat terjadi dan sungguh bermanfaat sebagai landasan kehidupan rohani kita. Bersama para Bapa Sinode saya mengungkapkan harapan yang tulus bagi berkembangnya “suatu musim baru dari kecintaan yang lebih besar bagi Kitab Suci dari setiap anggota Umat Allah, sehingga bacaan Alkitab dengan penuh doa dan penuh iman, dalam perjalanan waktu, akan memperdalam hubungan pribadi mereka dengan Yesus.”[248]

Sepanjang sejarah Gereja, banyak orang kudus telah berbicara mengenai perlunya mengetahui Kitab Suci untuk berkembang dalam kasih terhadap Kristus. Hal ini nampak jelas khususnya pada Bapa-Bapa Gereja. Santo Hieronimus, dalam kecintaannya yang besar pada Sabda Allah, kerap kali heran: “Bagaimana orang dapat hidup tanpa mengetahui Kitab Suci, yang melaluinya kita mengenal Kristus sendiri, yang adalah kehidupan kaum beriman?”[249] Ia sungguh mengetahui bahwa Alkitab adalah sarana “Allah berbicara kepada kaum beriman setiap hari.”[250] Nasihatnya kepada Leta, seorang ibu Roma mengenai mendidik putrinya adalah demikian: “Pastikan bahwa ia setiap hari mempelajari satu bagian Kitab Suci… Doa hendaknya mengikuti bacaan, dan bacaan mengikuti doa… sehingga sebagai ganti barang-barang perhiasan dan sutera, ia menyukai Kitab Suci.”[251] Nasihat Hieronimus kepada imam Nepotian dapat juga diterapkan kepada kita: “Sering-seringlah membaca Kitab Suci; sungguh, Kitab Suci janganlah lepas dari tanganmu. Pelajarilah di situ apa yang harus kamu ajarkan.”[252] Marilah kita ikuti teladan Santo Agung ini yang mengabdikan hidupnya untuk mempelajari Kitab Suci dan yang memberikan kepada Gereja terjemahan Kitab Suci bahasa Latin, Vulgata, maupun juga teladan dari semua orang kudus yang membuat perjumpaan dengan Kristus sebagai pusat kehidupan rohani mereka. Marilah kita perbarui usaha kita untuk memahami secara mendalam Sabda yang telah diberikan Kristus kepada Gereja-Nya: dengan demikian kita dapat mengarah kepada “tingginya mutu hidup Kristiani yang biasa-biasa saja”[253] yang diusulkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada permulaan milenium Kristiani ketiga, yang menemukan pemeliharaan tetap dengan mendengarkan secara saksama Sabda Allah.

Hendaklah Alkitab mengilhami kegiatan pastoral

73. Sejalan dengan gagasan ini Sinode menyerukan suatu komitmen pastoral khusus dengan menekankan sentralitas Sabda Allah dalam kehidupan Gereja dan merekomendasikan untuk “meningkatkan ‘kerasulan Kitab Suci’ yang lebih besar, bukan dalam kesejajaran dengan bentuk-bentuk karya pastoral lain, melainkan sebagai sebuah sarana yang menjadikan Alkitab mengilhami semua karya pastoral.”[254] Ini tidak berarti menambahkan beberapa pertemuan di paroki-paroki atau keuskupan-keuskupan, melainkan memeriksa kegiatan-kegiatan biasa komunitas-komunitas Kristiani, di paroki, perkumpulan-perkumpulan dan gerakan-gerakan, untuk melihat apakah mereka sungguh berkomitmen dalam mengembangkan perjumpaan pribadi dengan Kristus, yang memberikan diri-Nya sendiri kepada kita dalam Sabda-Nya. Karena “tidak mengenal Kitab Suci sama dengan tidak mengenal Kristus,”[255] maka membuat Alkitab sebagai inspirasi setiap usaha pastoral yang biasa atau luar biasa akan mengantar kepada kesadaran lebih besar mengenai pribadi Kristus, yang menyingkapkan Bapa dan merupakan kepenuhan dari wahyu ilahi.

Karena alasan ini, saya mendorong para Pastor dan umat beriman untuk mengakui pentingnya penekanan pada Alkitab: ini juga merupakan cara terbaik untuk menghadapi masalah-masalah pastoral tertentu yang dibahas dalam Sinode dan berkaitan dengan, misalnya, perkembangan sekte-sekte yang menyebarkan penafsiran Kitab Suci yang menyimpang dan menyeleweng. Di mana orang beriman tidak dibantu untuk mengenal Kitab Suci sesuai dengan iman Gereja dan berdasar pada Tradisinya yang hidup, kekosongan pastoral ini menjadi tanah yang subur bagi kenyataan-kenyataan seperti sekte-sekte untuk berakar. Pembekalan juga harus dilakukan untuk persiapan yang sesuai bagi para imam dan orang-orang awam yang dapat mengajar Umat Allah dalam pendekatan yang benar pada Kitab Suci.

Terlebih lagi, seperti dikemukakan selama sidang-sidang Sinode, baiklah bahwa kegiatan pastoral juga mendukung tumbuhnya komunitas-komunitas kecil, “yang terbentuk dari keluarga-keluarga atau berbasis di paroki atau dikaitkan dengan bermacam gerakan gerejawi dan komunitas-komunitas baru,”[256] yang dapat membantu mengembangkan pembinaan, doa dan pengetahuan Alkitab sesuai dengan iman Gereja.

Dimensi alkitabiah katekese

74. Suatu aspek penting karya pastoral Gereja, bila digunakan secara bijaksana, dapat membantu menemukan bahwa tempat sentral Sabda Allah adalah katekese, yang dalam berbagai bentuk dan tingkatannya harus menyertai secara terus-menerus perjalanan Umat Allah. Uraian Lukas (bdk. Luk. 24:13-35) mengenai para murid yang berjumpa dengan Yesus dalam perjalanan ke Emmaus, dalam arti tertentu, menampilkan model katekese yang berpusat pada “penjelasan mengenai Kitab Suci,” suatu penjelasan yang hanya dapat diberikan Kristus (bdk. Luk. 24:27-28), seperti Ia tunjukkan bahwa mereka mendapat kepenuhan dalam pribadi-Nya.[257] Dengan demikian, pengharapan yang mengalahkan setiap kegagalan lahir kembali, dan membuat murid-murid itu sebagai saksi-saksi yang yakin dan dapat dipercaya dari Tuhan yang bangkit.

Petunjuk Umum Katekese berisi petunjuk-petunjuk yang berharga bagi katekese yang diilhami Kitab Suci dan saya menganjurkan agar ini dijadikan acuan.[258] Di sini saya ingin pertama-tama dan terutama menekankan bahwa katekese “harus diresapi oleh pemikiran, semangat dan pandangan kepada Alkitab dan Injil melalui kontak penuh perhatian dengan teks-teks itu sendiri; namun ini juga berarti mengingatkan bahwa katekese akan menjadi lebih kaya dan lebih efektif untuk membaca teks-teks dengan pikiran dan hati Gereja,”[259] dan untuk mengambil inspirasi dari dua abad refleksi dan hidup Gereja. Suatu pengetahuan akan tokoh-tokoh Alkitab, peristiwa-peristiwa dan ucapan-ucapan terkenal harus didorong; ini juga bisa dikembangkan dengan hafalan yang cerdas dari beberapa perikop yang secara khusus menampilkan misteri Kristiani. Karya katekese selalu memerlukan pendekatan Kitab Suci dalam iman dan dalam Tradisi Gereja, sehingga kata-katanya dapat ditangkap seperti hidup, sama seperti Kristus sekarang hidup bilamana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya (bdk. Mat. 18:20). Katekese hendaklah mengomunikasikan dengan cara yang hidup sejarah keselamatan dan isi iman Gereja, dan juga memampukan setiap anggota umat beriman untuk menyadari bahwa sejarah itu juga merupakan bagian dari hidup mereka.

Di sini pentinglah untuk menekankan hubungan antara Kitab Suci dengan Katekismus Gereja Katolik, seperti dinyatakan dalam Petunjuk Umum Katekese: “Kitab Suci sesungguhnya sebagai ‘sabda Allah yang ditulis di bawah inspirasi Roh Kudus,’ dan Katekismus Gereja Katolik, sebagai suatu ungkapan kontemporer (sezaman) yang penting dari Tradisi hidup Gereja serta suatu norma pasti bagi pengajaran iman, dipanggil, masing-masing dengan caranya sendiri dan seturut wewenang khususnya, untuk menyuburkan katekese dalam Gereja masa kini.”[260]

Pembinaan alkitabiah umat Kristiani

75. Dalam usaha untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh Sinode, yaitu penkanan yang semakin besar pada Alkitab dalam kegiatan pastoral Gereja, semua orang Kristiani, dan terutama para katekis, perlu menerima pembinaan yang layak. Hendaknya diberiperhatian kepada kerasulan Kitab Suci, yang merupakan sarana yang sangat berharga untuk maksud itu, seperti telah ditunjukkan oleh pengalaman Gereja. Para Bapa Sinode juga menyarankan, mungkin melalui penggunaan struktur-struktur
akademis yang sudah ada, hendaknya dibangun pusat-pusat pembinaan di mana umat awam dan para misionaris dapat dilatih untuk memahami, menghayati dan mewartakan Sabda Allah. Juga, bila diperlukan, hendaknya didirikan institusi-institusi khusus bagi studi Alkitab untuk menjamin bahwa para ekseget memiliki pemahaman yang kokoh mengenai teologi dan suatu penghargaan yang selayaknya bagi konteks di mana mereka melaksanakan tugas misi mereka.[261]

Kitab Suci dalam pertemuan gerejawi besar

76. Di antara berbagai prakarsa yang mungkin diambil, Sinode menyarankan bahwa dalam pertemuan-pertemuan entah itu tingkat keuskupan, nasional atau internasional, penekanan yang lebih besar hendaknya diberikan kepada pentingnya Sabda Allah, sikap mendengarkan yang penuh perhatian, dan pembacaan Alkitab dengan penuh iman dan doa. Dalam Kongres Ekaristi, entah nasional ataupun internasional, pada Hari Orang Muda Sedunia dan pertemuan-pertemuan lain, sangat terpuji untuk memberi ruang lebih luas bagi perayaan Sabda dan momen-momen pembinaan yang diilhami oleh Alkitab.[262]

Sabda Allah dan panggilan

77. Dalam menegaskan panggilan hakiki iman kepada hubungan lebih dalam dengan Kristus, Sabda Allah di tengah-tengah kita, Sinode juga menekankan bahwa Sabda ini memanggil masing-masing dari kita secara pribadi, dengan mengungkapkan bahwa hidup itu sendiri adalah panggilan dari Allah. Dengan kata lain, semakin kita memperdalam hubungan pribadi dengan Tuhan Yesus, semakin kita menyadari bahwa Ia memanggil kita kepada kekudusan dalam dan melalui pilihan-pilihan definitif, yang dengannya kita menjawab kasih-Nya dalam kehidupan kita, dengan menerima tugas-tugas dan pelayanan yang membantu membangun Gereja. Itulah sebabnya mengapa Sinode sering mendorong semua orang Kristiani untuk berkembang dalam hubungan mereka dengan Sabda Allah, tidak hanya karena Baptis mereka, tetapi juga sesuai dengan panggilan mereka dalam berbagai status hidup. Di sini kita menyentuh salah satu pokok yang sangat penting dalam ajaran Konsili Vatikan II, yang menegaskan bahwa setiap anggota umat beriman dipanggil kepada kekudusan sesuai status hidupnya sendiri.[263] Panggilan kita kepada kekudusan diwahyukan dalam Kitab Suci: “Haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus” (Im. 11:44; 19:2; 20:7). Santo Paulus kemudian menunjukkan dasar Kristologisnya: dalam Kristus, Bapa “telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Ef. 1:4). Salam Paulus kepada saudara-saudarinya dalam komunitas Roma dapat dianggap seolah-olah ditujukan kepada masing-masing dari kita: “Kepada kamu sekalian, … yang dikasihi Allah, yang dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus. Kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus!” (Rm 1:7).

a) Para pelayan tertahbis dan Sabda Allah

78. Saya ingin berbicara pertama-tama kepada para pelayan tertahbis Gereja, untuk mengingatkan mereka akan pernyataan Sinode bahwa “Sabda Allah sangat diperlukan dalam membentuk hati seorang gembala baik dan pelayan Sabda.”[264] Para Uskup, imam, dan diakon hampir tidak bisa memikirkan bahwa mereka menghayati panggilan dan misi mereka terlepas dari komitmen yang menentukan dan yang diperbarui kepada kekudusan, yang salah satu pilarnya adalah kontak dengan Sabda Allah.

79. Kepada mereka yang dipanggil kepada episkopat, yang adalah para pewarta Sabda yang pertama dan yang paling berwenang, saya ingin mengulang kata-kata Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Pasca Sinode Pastores Gregis. Demi pemeliharaan dan kemajuan hidup rohaninya, Uskup haruslah selalu meletakkan pada “tempat pertama, bacaan dan perenungan mengenai Sabda Allah. Setiap uskup harus mempercayakan dirinya dan merasa dirinya dipercayakan ‘kepada Tuhan dan kepada Sabda kasih karunia-Nya yang berkuasa membangun dan menganugerahkan bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya’ (Kis. 20:32). Sebelum menjadi seorang penerus Sabda, Uskup, bersama dengan para imamnya dan juga seperti setiap anggota umat beriman, dan seperti Gereja sendiri, hendaklah menjadi pendengar Sabda. Ia hendaklah tinggal ‘dalam’ Sabda dan membiarkan diri dilindungi dan dipelihara olehnya, seperti oleh rahim ibu.”[265] Kepada semua Saudara Uskup, saya menyarankan untuk sering mengadakan pembacaan pribadi dan studi Kitab Suci, dengan meneladan Maria, Virgo audiens (Perawan yang mendengarkan) dan Ratu Para Rasul.

80. Juga kepada para imam, saya ingin mengingatkan kata-kata Paus Yohanes Paulus II, yang dalam Anjuran Apostolik Pasca Sinode Pastores Dabo Vobis, menekankan bahwa “imam itu pertama-tama pelayan Sabda Allah. Ia ditahbiskan serta diutus untuk mewartakan Kabar Baik tentang Kerajaan Allah kepada semua orang, untuk memanggil setiap pribadi kepada ketaatan iman, dan untuk membimbing umat beriman kepada pengertian yang makin mendalam akan misteri Allah yang diwahyukan dan disampaikan kepada kita dalam Kristus, dan kepada persekutuan makin erat di dalam misteri itu. Oleh karena itu, imam sendiri terutama wajib mengembangkan keakraban yang sangat pribadi dengan Sabda Allah. Tentu saja dibutuhkan pengetahuan segi-segi bahasa atau tafsirnya, tetapi itu belum mencukupi. Imam hendaknya mendekati Sabda Allah dengan hati yang sungguh terbuka dan dalam sikap doa, sehingga Sabda itu secara mendalam meresapi pikiran maupun perasaannya, dan menciptakan wawasan baru padanya – ‘pikiran Kristus’ (1Kor. 2:16).”[266] Maka, kata-kata, pilihan-pilihan dan tingkah lakunya harus semakin menjadi pancaran, pewartaan dan kesaksian Injil; “hanya jika ia ‘tinggal’ dalam Sabda, imam menjadi murid sempurna Tuhan. Hanya dengan demikian ia akan mengetahui kebenaran dan akan benar-benar bebas.”[267]

Dengan kata lain, panggilan imamat menuntut bahwa seseorang dikuduskan “dalam kebenaran.” Yesus menegaskan hal ini dengan jelas berkenaan dengan murid-murid-Nya: “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yoh. 17:17-18). Para murid – dalam arti tertentu “ditarik ke dalam keakraban dengan Allah dengan dibenamkan ke dalam Sabda Allah. Bisa dikatakan bahwa Sabda Allah adalah pembasuhan yang memurnikan, daya cipta yang mengubah mereka dan membuat mereka menjadi milik Allah.”[268] Karena Kristus sendiri adalah Sabda Allah yang telah menjadi manusia (Yoh. 1:14) – “Kebenaran” (Yoh. 14:6) – doa Yesus kepada Bapa, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran,” dalam makna yang paling dalam berarti: “Persatukanlah mereka dengan Aku, Kristus. Ikatlah mereka dengan-Ku. Tariklah mereka ke dalam Diri-Ku. Karena hanya ada satu imam Perjanjian Baru, Yesus Kristus sendiri.”[269] Para imam perlu berkembang terus-menerus dalam kesadaran mereka akan kenyataan ini.

81. Saya juga ingin mengatakan mengenai tempat Sabda Allah dalam kehidupan mereka yang dipanggil kepada diakonat, tidak hanya sebagai langkah terakhir menuju tahbisan imamat, tetapi sebagai pelayanan tetap. Pedoman bagi Diakonat Permanen menyatakan bahwa “identitas teologis diakon dengan jelas memberi ciri spiritualitasnya yang khas, yang secara hakiki ditampilkan sebagai spiritualitas pelayanan. Model istimewa adalah Kristus sebagai pelayan, yang hidup secara total untuk melayani Allah, untuk kebaikan umat manusia.”[270] Dari perspektif ini, orang dapat melihat bagaimana, dalam berbagai dimensi pelayanan diakonat, suatu “unsur khas spiritualitas diakonat adalah Sabda
Allah, yang kepadanya diakon dipanggil untuk menjadi pewarta yang berwenang, dengan mempercayai apa yang ia wartakan, mengajarkan apa yang ia percaya, dan menghayati apa yang ia ajarkan.”[271] Maka dari itu, saya menganjurkan supaya para diakon memelihara hidup mereka dengan membaca Kitab Suci dengan penuh iman, disertai studi dan doa. Mereka hendaklah diperkenalkan dengan “Kitab Suci dan penafsirannya yang benar; hubungan antara Kitab Suci dan Tradisi; terutama penggunaan Kitab Suci dalam khotbah, katekese dan dalam kegiatan pastoral pada umumnya.”[272]

b) Sabda Allah dan para calon tahbisan suci

82. Sinode memberi arti penting khusus terhadap peran penentu yang harus dimainkan Sabda Allah dalam hidup kerohanian para calon imam: “Calon imam harus belajar mencintai Sabda Allah. Maka, Kitab Suci hendaknya menjadi jiwa pendidikan teologi mereka, dan harus ditekankan saling keterkaitan yang sangat diperlukan antara eksegese, teologi, spiritualitas dan misi.”[273] Mereka yang mencalonkan diri untuk imamat pelayanan dipanggil kepada hubungan pribadi mendalam dengan Sabda Allah, terutama dalam lectio divina, sehingga hubungan ini pada gilirannya akan memupuk panggilan mereka: dalam terang dan kekuatan Sabda Allahlah panggilan khusus seseorang dapat ditemukan dan dihargai, dikasihi dan diikuti, dan misi khas seseorang dilaksanakan, dengan memelihara hati dengan pikiran-pikiran Allah, sehingga iman, sebagai jawaban kita kepada Sabda, dapat menjadi kriteria baru untuk menilai dan mengevaluasi orang-orang dan benda-benda, peristiwa dan persoalan.[274]

Perhatian kepada pembacaan Kitab Suci yang penuh doa demikian itu, hendaknya jangan menyebabkan dikotomi dengan cara apa pun terkait dengan studi eksegetis yang merupakan bagian dari pendidikan. Sinode menganjurkan agar para seminaris secara konkret dibantu untuk melihat hubungan antara studi Alkitab dan doa dengan Kitab Suci. Studi Kitab Suci harus mengantar kepada kesadaran yang semakin bertambah mengenai misteri wahyu ilahi dan mengembangkan suatu sikap jawaban penuh doa kepada Tuhan yang berbicara. Di pihak lain, hidup doa yang sejati memupuk dalam hati para calon kerinduan untuk semakin mengenal Allah yang telah mewahyukan diri-Nya dalam Sabda-Nya sebagai kasih yang tanpa batas. Maka dari itu, perhatian besar hendaklah diberikan untuk menjamin agar para seminaris selalu mengembangkan hubungan timbal balik antara studi dan doa dalam hidup mereka. Tujuan ini akan tercapai jika para calon diperkenalkan dengan studi Kitab Suci melalui metode-metode yang mendukung pendekatan menyeluruh ini.

c) Sabda Allah dan hidup bakti

83. Berkaitan dengan hidup bakti, Sinode pertama-tama mengingatkan bahwa Hidup Bakti “lahir dari mendengarkan Sabda Allah dan menerima Injil sebagai aturan hidupnya.”[275] Hidup yang dibaktikan untuk mengikuti Kristus dalam kemurnian, kemiskinan dan ketaatan dengan demikian menjadi “’eksegese yang hidup’ dari Sabda Allah.”[276] Roh Kudus, yang di dalam diri-Nya Kitab Suci dituliskan, adalah Roh yang sama yang menyinari “Sabda Allah dengan cahaya baru bagi para pendiri. Setiap kharisma dan setiap peraturan mengalir dari pada-Nya dan berusaha menjadi ungkapan dari-Nya,”[277] dengan demikian membuka jalan-jalan baru bagi hidup Kristiani yang ditandai oleh radikalisme Injil.

Di sini saya akan menyebut bahwa tradisi besar hidup monastik telah selalu memandang meditasi Kitab Suci sebagai bagian hakiki dari spiritualitasnya yang khas, terutama dalam bentuk lectio divina. Sekarang ini juga, baik ungkapan-ungkapan lama maupun baru pembaktian diri yang khusus dipanggil untuk menjadi sekolah sejati kehidupan rohani, di mana Kitab Suci dapat dibaca sesuai dengan Roh Kudus dalam Gereja, demi kebaikan seluruh Umat Allah. Maka dari itu, Sinode menyarankan agar komunitaskomunitas Hidup Bakti selalu menyiapkan pembinaan yang kokoh dengan pembacaan Alkitab dengan penuh iman.[278]

Sekali lagi saya ingin menggemakan perhatian dan rasa syukur yang diungkapkan Sinode berkenaan dengan bentuk-bentuk hidup kontemplatif yang melalui kharisma khususnya membaktikan sebagian besar harinya untuk meneladan Bunda Allah, yang dengan setia merenungkan kata-kata dan perbuatan-perbuatan Putranya (bdk. Luk. 2:19.51), dan Maria dari Betania, yang duduk di kaki Tuhan dan mendengarkan dengan penuh perhatian kata-kata-Nya (bdk. Luk. 10:38). Saya mengingat secara khusus para rahib dan rubiah, yang berkat keterpisahannya dari dunia menjadi lebih dekat bersatu dengan Kristus, jantung dunia. Lebih dari sebelumnya Gereja membutuhkan saksi-saksi pria dan wanita yang memutuskan untuk “tidak mengutamakan sesuatu melebihi kasih Kristus.”[279] Dunia masa kini kerap kali terlalu terperangkap dalam kegiatan lahiriah dan berisiko kehilangan arah. Pria dan wanita kontemplatif, melalui hidup doa mereka, dengan penuh perhatian mendengarkan dan merenungkan Sabda Allah, mengingatkan kita, bahwa orang tidak hanya hidup dari roti saja, tetapi dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah (bdk. Mat. 4:4). Maka, semua kaum beriman hendaknya menyadari dengan jelas bahwa bentuk hidup demikian “menunjukkan kepada dunia sekarang apa yang paling penting, sungguh, satu-satunya hal yang dibutuhkan: ada alasan pokok yang membuat hidup layak dihayati dan itu adalah Allah dan kasih-Nya yang tak terpahami.”[280]

d) Sabda Allah dan kaum awam

84. Sinode kerap kali berbicara mengenai kaum awam dan berterima kasih kepada mereka atas kegiatan murah hati mereka dalam menyebarkan Injil pada berbagai situasi kehidupan seharihari, dalam pekerjaan dan di sekolah-sekolah, dalam keluarga dan pendidikan.[281] Tanggung jawab ini, yang berakar pada Baptis, perlu dikembangkan melalui cara hidup Kristiani yang semakin disadari yang mampu “mempertanggungjawabkan pengharapan” dalam diri kita (bdk. 1Ptr 3:15). Dalam Injil Matius, Yesus menunjukkan bahwa “ladang ialah dunia. Benih yang baik itu anak-anak Kerajaan” (13:38). Kata-kata ini secara khusus diterapkan kepada kaum awam Kristiani, yang menghayati panggilan khusus mereka kepada kesucian dengan hidup dalam Roh yang diungkapkan “secara khusus melalui keterlibatan mereka dalam hal-hal duniawi dan partisipasi mereka dalam kegiatan-kegiatan duniawi.”[282] Kaum awam perlu dilatih untuk mengenal kehendak Allah melalui keakraban dengan Sabda-Nya, membaca dan mempelajarinya di dalam Gereja di bawah bimbingan para gembala yang sah. Mereka dapat menerima latihan ini di sekolah-sekolah spiritualitas gerejawi yang besar, yang kesemuanya didasarkan pada Kitab Suci. Bilamana mungkin, keuskupan-keuskupan sendiri hendaklahnya menyediakan kesempatan pembinaan berkelanjutan bagi kaum awam yang diberi tanggung jawab gerejawi tertentu.[283]

e) Sabda Allah, perkawinan dan keluarga

85. Sinode juga merasa perlu menekankan hubungan antara Sabda Allah, perkawinan dan keluarga Kristiani. Tentu saja, “dengan mewartakan Sabda Allah, Gereja memaparkan kepada keluarga Kristen jati dirinya yang sesungguhnya, sebagaimana adanya dan bagaimana seharusnya menurut Rancangan Tuhan.”[284] Akibatnya, hendaknya tidak pernah boleh dilupakan bahwa Sabda Allah adalah asal mula perkawinan (bdk. Kej. 2:24), dan bahwa Yesus sendiri menghendaki perkawinan sebagai salah satu lembaga dari Kerajaan-Nya (bdk. Mat. 19:4-8), dengan mengangkat kepada martabat sakramen apa yang tertulis dalam kodrat manusia sejak awal mula. “Dalam perayaan sakramen, seorang pria dan seorang wanita mengucapkan kata-kata kenabian dengan pemberian diri timbal balik, menjadi ‘satu daging’, tanda dari misteri persatuan Kristus dengan Gereja (bdk. Ef. 5:31-32).”[285] Kesetiaan kepada Sabda Allah menuntun kita untuk menunjukkan bahwa pada masa kini institusi itu dalam banyak cara diserang oleh mentalitas zaman sekarang. Berhadapan dengan kekacauan yang tersebar dalam lingkup afektivitas, dan kebangkitan cara berpikir yang meremehkan tubuh manusia dan perbedaan seksual, Sabda Allah menegaskan kebaikan asli manusia, yang diciptakan sebagai pria dan wanita dan dipanggil kepada kasih yang setia, timbal balik dan berbuah.

Misteri besar perkawinan adalah sumber tanggung jawab hakiki orangtua terhadap anak-anak mereka. Bagian dari kedudukan sebagai orangtua sejati adalah untuk meneruskan dan memberi kesaksian akan makna hidup dalam Kristus: melalui kesetiaan mereka dan kesatuan hidup keluarga, pasangan suami istri adalah yang pertama mewartakan Sabda Allah kepada anak-anak mereka. Komunitas gerejawi harus mendukung dan membantu mereka mendorong untuk mengadakan doa keluarga, mendengarkan Sabda Allah dengan penuh perhatian, dan memperdalam pengetahuan tentang Kitab Suci. Untuk tujuan ini Sinode mendesak agar setiap rumah tangga memiliki Kitab Sucinya, menyimpannya di tempat yang pantas dan menggunakannya untuk bacaan dan doa. Bantuan apa pun yang dibutuhkan dalam hal ini dapat diberikan oleh para imam, diakon dan awam yang dipersiapkan dengan baik. Sinode juga menganjurkan pembentukan komunitas-komunitas kecil dalam keluarga-keluarga, di mana dapat dikembangkan doa-doa dan renungan bersama atas perikop-perikop Kitab Suci.[286] Pasangan-pasangan seharusnya juga ingat bahwa “Sabda Allah adalah bantuan berharga di tengah kesulitan yang muncul dalam perkawinan dan kehidupan keluarga.”[287]

Di sini saya ingin menyoroti rekomendasi Sinode mengenai peranan wanita dalam hubungan dengan Sabda Allah. Saat ini, lebih daripada waktu silam, “kecerdasan perempuan,”[288] istilah yang digunakan Yohanes Paulus II, telah memberi sumbangan besar kepada pemahaman Kitab Suci dan seluruh hidup Gereja, dan ini sekarang juga dalam hal studi Alkitab. Sinode menaruh perhatian khusus kepada peranan penting yang dimainkan wanita dalam keluarga, pendidikan, katekese dan penerusan nilai-nilai. “Mereka memiliki kemampuan untuk membimbing orang untuk mendengarkan Sabda Allah, untuk memiliki hubungan pribadi dengan Allah dan untuk menunjukkan makna pengampunan dan sharing Injili.”[289] Mereka adalah juga pembawa pesan kasih, model belas kasih dan pembawa damai; mereka menyampaikan kehangatan dan kemanusiaan dalam dunia yang terlalu sering menghakimi orang menurut kriteria kejam eksploitasi dan cari untung semata.

Bacaan Kitab Suci yang penuh doa dan “lectio divina”

86. Sinode kerap kali menekankan perlunya pendekatan penuh doa kepada teks suci sebagai unsur dasariah dalam kehidupan rohani setiap kaum beriman, dalam berbagai macam pelayanan dan status hidup, dengan referensi khusus kepada lectio divina.[290] Sabda Allah adalah dasar dari semua spiritualitas Kristiani sejati. Karena itu, para Bapa Sinode menegaskan kembali kata-kata Konstitusi Dogmatis Dei Verbum: “Hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi nas yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan Sabda Ilahi, entah melalui bacaan yang saleh, entah melalui prakarsa-prakarsayang cocok untuk itu serta bantuanbantuan lain, yang berkat persetujuan dan usaha para Gembala Gereja, dewasa ini tersebar di mana-mana dengan amat baik. Namun, hendaklah mereka ingat bahwa doa harus menyertai pembacaan Kitab Suci.”[291] Dengan demikian, Konsili berusaha melanjutkan tradisi patristik agung, yang selalu menyarankan untuk mendekati Kitab Suci dalam dialog dengan Allah. Seperti dikatakan Santo Agustinus: “Doamu adalah kata-kata yang engkau ucapkan kepada Allah. Bila engkau membaca Alkitab, Allah berbicara kepadamu, bila engkau berdoa, engkau berbicara kepada Allah.”[292] Origenes, salah seorang guru agung dalam hal membaca Alkitab, menekankan bahwa pemahaman Kitab Suci menuntut, lebih daripada studi, tetapi keakraban dengan Kristus dan doa. Origenes yakin bahwa cara terbaik untuk mengenal Allah adalah melalui kasih, dan bahwa tidak ada scientia Christi (pengenalan akan Kristus) sejati tanpa bertumbuh dalam kasih-Nya. Dalam Suratnya kepada Gregorius, seorang ahli teologi agung dari Aleksandria, ia memberi nasihat demikian: “Baktikanlah dirimu pada pembacaan Kitab Suci ilahi; lakukanlah dengan tekun. Lakukan pembacaanmu dengan tujuan untuk mempercayai dan menyenangkan Allah. Jika selama lectio divina engkau mendapati pintu tertutup, ketuklah, engkau akan dibukakan oleh sang penjaga. Tentang hal itu Yesus telah berkata ‘Penjaga pintu akan membukanya baginya’. Dengan dirimu bertindak demikian terhadap lectio divina, carilah dengan tekun dan dengan keyakinan yang tak tergoyahkan kepada Allah makna Kitab ilahi, yang tersembunyi dalam segala kepenuhan di dalamnya. Namun, engkau janganlah puas hanya dengan mengetuk dan mencari: untuk memahami hal-hal tentang Allah, apa yang secara mutlak diperlukan adalah oratio. Karena alasan itu, Sang Penebus tidak hanya berkata kepada kita: ‘Carilah dan engkau akan mendapat’, dan ‘Ketuklah dan akan dibukakan bagimu’, tetapi Ia juga menambahkan, ‘Mintalah dan engkau akan menerima’.”[293]

Namun, dalam hal ini orang harus menghindari risiko pendekatan individualistis, dan ingat bahwa Sabda Allah diberikan kepada kita justru untuk membangun persekutuan, untuk mempersatukan kita dalam Kebenaran sepanjang perjalanan kita kepada Allah. Sementara itu adalah Sabda yang ditujukan kepada masing-masing kita secara pribadi, Sabda itu juga yang membangun komunitas, yang membangun Gereja. Karena itu teks suci harus selalu didekati dalam persekutuan Gereja. Maka, “membaca Kitab Suci secara bersama sangatlah penting, karena subjek yang hidup dalam Kitab Suci adalah Umat Allah, itu adalah Gereja. Kitab Suci bukanlah milik masa lalu, karena subjeknya, Umat Allah yang diilhami oleh Allah sendiri, adalah selalu sama, dan karenanya Sabda itu selalu hidup dalam subjek yang hidup. Dengan demikian, perlulah membaca dan mengalami Kitab Suci dalam persekutuan dengan Gereja, yaitu, dengan semua saksi-saksi agung Sabda itu, mulai dari para Bapa paling awal hingga para Kudus zaman kita, hingga Magisterium sekarang.”[294]

Karena alasan ini, tempat istimewa bagi pembacaan Kitab Suci penuh doa adalah liturgi dan secara khusus Ekaristi. Di dalamnya, ketika kita merayakan Tubuh dan Darah Kristus dalam sakramen, Sabda sendiri hadir dan berkarya di tengah kita. Dalam arti tertentu pembacaan Alkitab yang penuh doa, secara pribadi maupun bersama-sama, harus selalu dihubungkan dengan perayaan Ekaristi. Seperti halnya adorasi Ekaristi mempersiapkan, menyertai dan mengikuti liturgi Ekaristi,[295] demikian juga pembacaan penuh doa, pribadi dan bersama, menyiapkan, menyertai dan memperdalam apa yang dirayakan Gereja ketika ia mewartakan Sabda dalam konteks liturgi. Dengan menghubungkan lectio dan liturgi sedemikian erat, kita dapat memahami secara lebih baik kriteria yang akan menuntun praktik ini di bidang reksa pastoral dan dalam kehidupan rohani Umat Allah.

87. Dokumen-dokumen yang dikeluarkan sebelum dan selama Sinode menyebut sejumlah metode bagi suatu pendekatan Kitab Suci yang penuh iman dan berbuah. Sekarang perhatian terbesar ditujukan kepada lectio divina, yang sungguh “mampu membuka kekayaan Sabda Allah kepada umat beriman, tetapi juga menghasilkan perjumpaan dengan Kristus, Sabda Allah yang hidup.”[296] Di sini saya ingin melihat kembali langkah-langkah dasar prosedur ini. Dibuka dengan pembacaan (lectio) teks, yang mengantar kepada keinginan untuk memahami isi yang sesungguhnya: Apa yang dikatakan teks alkitabiah sendiri? Tanpa momen ini, ada resiko bahwa teks akan menjadi pra-teks karena tidak pernah bergerak melampaui gagasan-gagasan kita sendiri. Kemudian meditasi (meditatio), yang pertanyaannya adalah: apa yang dikatakan teks alkitabiah kepada kita? Di sini, setiap pribadi, secara individual tetapi juga sebagai anggota komunitas, harus membiarkan diri disentuh dan ditantang, karena ini bukan tentang memikirkan Sabda yang diucapkan di masa lalu, melainkan di masa sekarang. Lalu dilanjutkan saat doa (oratio), yang mengajukan pertanyaan: apa yang kita katakan kepada Tuhan sebagai jawaban atas Sabda-Nya? Doa, sebagai permintaan, perantaraan, terima kasih dan pujian, adalah jalan utama yang dengan itu Sabda mengubah diri kita. Akhirnya, lectio divina ditutup dengan kontemplasi (contemplatio), yang melaluinya kita menganggap sebagai karunia dari Allah cara pandang-Nya sendiri dalam menilai kenyataan, dan bertanya kepada diri kita sendiri apakah pertobatan pikiran, hati dan kehidupan yang Allah minta dari diri kita? Dalam surat kepada jemaat di Roma, Santo Paulus berkata kepada kita: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (12:2). Kontemplasi bertujuan menciptakan dalam diri kita suatu pandangan yang sungguh bijak dan tajam atas kenyataan, seperti Allah melihatnya, dan bertujuan membentuk dalam diri kita “pikiran Kristus” (1Kor. 2:16). Sabda Allah nampak di sini sebagai kriteria untuk discernment: Sabda itu “hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibr. 4:12). Kita hendaknya juga mengingat bahwa proses lectio divina tidak berakhir sampai kita mencapai tindakan (actio), yang menggerakkan umat beriman untuk membuat hidupnya sebagai karunia bagi orang lain dalam cinta kasih.

Kita menemukan sintesis dan pemenuhan sempurna dari proses ini dalam diri Bunda Allah. Bagi setiap umat beriman, Maria adalah model dalam menerima Sabda Allah dengan taat, karena ia “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk. 2:19; bdk. 2:1), ia menemukan ikatan mendalam yang mempersatukan – dalam rencana besar Allah, kejadian, tindakan dan hal-hal yang nampaknya terpisah-pisah.[297]

Saya juga ingin menggemakan apa yang diusulkan Sinode mengenai pentingnya membaca Kitab Suci secara pribadi, juga sebagai suatu praktik yang memungkinkan, sesuai dengan persyaratan biasa dari Gereja, untuk mendapat indulgensi, entah untuk diri sendiri entah untuk kaum beriman yang sudah meninggal.[298] Praktik indulgensi[299] mencakup ajaran tentang pahala Kristus yang tak terbatas – bersama Gereja, sebagai pelayan penebusan, menyalurkan dan menerapkan, tetapi itu juga mencakup persekutuan para Kudus, dan itu mengajarkan bahwa “tingkat apa pun persatuan kita dengan Kristus, kita dipersatukan satu dengan yang lain, dan hidup adikodrati masing-masing dari kita dapat bermanfaat bagi yang lain.”[300] Dari sudut pandang ini, bacaan Sabda Allah menopang kita dalam perjalanan kita dari penebusan dosa dan pertobatan, memampukan kita memperdalam perasaan ikut memiliki Gereja, dan membantu kita untuk berkembang dalam keakraban dengan Allah. Santo Ambrosius mengatakan: “Jika kita mengambil Kitab Suci dalam iman dan membacanya bersama Gereja, kita kembali berjalan bersama Allah di Taman Eden.”[301]

Sabda Allah dan doa Maria

88. Sadar akan ikatan tak terpisahkan antara Sabda Allah dan Maria dari Nazaret, bersama para Bapa Sinode, saya mendesak agar doa Maria digalakkan di antara kaum beriman, terutama dalam kehidupan keluarga, karena doa itu merupakan bantuan untuk merenungkan misteri-misteri suci yang terdapat dalam Kitab Suci. Bantuan yang sangat bermanfaat, misalnya, pendarasan Rosario Suci secara sendiri atau bersama,[302] yang merenungkan misterimisteri kehidupan Kristus dalam persatuan dengan Maria,[303] dan yang oleh Paus Yohanes Paulus II ingin diperkaya dengan misteri-misteri terang.[304] Tepatlah bahwa penyebutan setiap misteri disertai oleh teks singkat Kitab Suci yang sesuai dengan misteri itu, agar menjadi dorongan untuk mengingat perikop alkitabiah singkat yang relevan dengan misteri kehidupan Kristus.

Sinode juga menganjurkan agar umat beriman didorong untuk mendoakan doa Angelus. Doa ini, sederhana tetapi mendalam, memungkinkan kita “mengenangkan setiap hari misteri Penjelmaan Sabda.”[305] Tepatlah bahwa Umat Allah, keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas Hidup Bakti, setia dengan doa Maria ini dan secara tradisional mendoakan setiap pagi, siang hari dan malam hari. Dalam doa Angelus kita mohon agar Allah mengabulkan bahwa melalui perantaraan Maria, kita dapat meniru dia dalam melaksanakan kehendak-Nya dan dalam menyambut Sabda-Nya dalam hidup kita. Praktik ini dapat membantu kita untuk berkembang dalam suatu kasih sejati kepada misteri penjelmaan.

Doa kuno orang Kristiani Timur yang merenungkan seluruh sejarah keselamatan dalam terang Theotokos, Bunda Allah, juga layak dikenal, dihargai dan digunakan secara luas. Di sini pantas disebutkan doa-doa Akathistos dan Paraklesis. Doa-doa madah pujian ini, yang dinyanyikan dalam bentuk litani dan diperdalam dalam iman Gereja dan referensi Kitab Suci, membantu kaum beriman merenungkan misteri Kristus dalam persatuan dengan Maria. Terutama, madah hormat Akathistos kepada Bunda Allah – disebut demikian karena dinyanyikan sambil berdiri – menunjukkan salah satu ungkapan tertinggi penghormatan Maria dari tradisi Byzantium.[306] Berdoa dengan kata-kata ini membuka lebar-lebar jiwa dan membawanya kepada kedamaian yang datang dari atas, dari Allah, pada kedamaian yang adalah Kristus sendiri, lahir dari Maria untuk keselamatan kita.

Sabda Allah dan Tanah Suci

89. Dengan mengingat Sabda Allah yang menjadi daging dalam rahim Maria dari Nazaret, hati kita sekarang mengarah ke tanah di mana misteri penyelamatan kita terpenuhi, dan dari mana Sabda Allah tersebar luas sampai ke ujung-ujung bumi. Karena kuasa Roh Kudus, Sabda menjadi daging dalam waktu dan tempat tertentu, pada sebidang tanah di ujung perbatasan Kekaisaran Romawi. Oleh karena itu, semakin kita menghargai universalitas dan keunikan pribadi Kristus, semakin kita memandang dengan penuh syukur ke tanah di mana Yesus dilahirkan, dimana Ia hidup dan di mana Ia menyerahkan hidup-Nya bagi kita. Batu-batu yang di atasnya Penebus kita berjalan tetap penuh dengan kenangan akan Dia dan terus “meneriakkan” Kabar Gembira. Karena alasan ini, para Bapa Sinode mengingatkan kita kepada ungkapan yang menggembirakan yang menyebut Tanah Suci sebagai “Injil Kelima.”[307] Betapa
pentingnya bahwa di tempat-tempat itu ada komunitas-komunitas Kristiani, meskipun mengalami sejumlah kesulitan! Sinode para Uskup mengungkapkan kedekatan yang mendalam kepada semua orang Kristiani yang bermukim di tanah Yesus dan memberi kesaksian iman mereka dalam Dia yang Bangkit. Orang-orang Kristiani di sana dipanggil untuk melayani tidak hanya sebagai “mercusuar iman bagi Gereja universal, tetapi juga sebagai ragi keharmonisan, kebijaksanaan dan keseimbangan dalam kehidupan sebuah masyarakat yang secara tradisional adalah dan akan selalu tetap pluralistis, multietnik dan multiagama.”[308]

Tanah Suci sekarang tetap menjadi tujuan ziarah bagi umat Kristiani, tempat doa dan pertobatan, seperti para pengarang seperti Santo Hieronimus[309] telah memberi kesaksiannya di zaman kuno. Semakin kita mengarahkan mata dan hati kita kepada Yerusalem di bumi, semakin dambaan kita bagi Yerusalem surgawi, tujuan sejati setiap peziarahan, bersama dambaan kita yang lebih besar bahwa nama Yesus, satu-satunya nama yang membawa keselamatan, diakui oleh semua orang (bdk. Kis 4:12).

Bagian Ketiga :
VERBUM MUNDO

(Sabda bagi Dunia)

“Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah;
tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa,
Dialah yang menyatakan-Nya.”
(Yoh. 1:18)

Perutusan Gereja: Mewartakan Sabda Allah kepada Dunia

Sabda dari Bapa dan kepada Bapa

90. Santo Yohanes dengan tegas mengungkapkan paradoks dasariah dari iman Kristiani. Di satu sisi ia berkata bahwa “tidak seorangpun yang pernah melihat Allah” (Yoh. 1:18; bdk. 1Yoh. 4:12). Imajinasi, konsep atau kata-kata kita tak akan pernah dapat merumuskan dan merangkul kenyataan tanpa batas dari Allah Yang Maha Tinggi. Ia tetap Deus semper maior. Di sisi lain, Santo Yohanes juga menceritakan kepada kita bahwa Sabda sungguhsungguh “menjadi daging” (Yoh. 1:14). Putra Tunggal, yang pernah bersama Bapa, telah mewahyukan Allah: yang “tidak seorangpun yang pernah melihat-Nya” (Yoh. 1:18). Yesus Kristus datang kepada kita, “penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh. 1:14), Ia memberikan kepada kita kasih karunia itu (bdk. Yoh. 1:17); dan “dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia”(Yoh. 1:16). Dalam Prolog Injilnya, Yohanes merenungkan Sabda dari keberadaan-Nya dengan Allah hingga menjadi daging dan kembali-Nya kepada Bapa dengan kemanusiaan kita; yang telah Ia kenakan selamanya. Dalam datang-Nya dari Allah dan kembali-Nya kepada-Nya (bdk. Yoh. 13:3; 16:28; 17:8.10) Kristus ditampilkan sebagai Seseorang yang “menyatakan kepada kita” mengenai Allah (bdk. Yoh. 1:18). Tentu saja, seperti dikatakan Santo Ireneus dari Lyon, sang Putra adalah“Penyataan dari Bapa.”[310] Yesus dari Nazaret adalah, boleh dikatakan, “ekseget” dari Allah, “tak ada seorang pun yang pernah melihat-Nya”. “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15). Di sini kita melihat pemenuhan nubuat nabi Yesaya mengenai kemanjuran Sabda Allah: seperti hujan dan salju turun laksana air dari langit dan membuat bumi subur, demikian juga Sabda Allah “tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya” (bdk. Yes 55:10 dst). Yesus Kristus adalah Sabda yang definitif dan efektif yang datang dari Bapa dan kembali kepada-Nya, sesudah memenuhi kehendak-Nya dengan sempurna di dunia.

Mewartakan kepada dunia “Logos” pengharapan

91. Sabda Allah telah melimpahkan kepada kita hidup ilahi yang mengubah permukaan bumi, dengan membuat segala sesuatunya baru (bdk. Why. 21:5). Sabda-Nya melibatkan kita tidak hanya sebagai pendengar wahyu ilahi, tetapi juga sebagai pewarta-Nya. Ia yang diutus Bapa untuk melakukan kehendak-Nya (bdk. Yoh. 5:36-38; 6:38-40; 7:16-18) menarik kita kepada-Nya dan membuat kita menjadi bagian dari hidup dan misi-Nya. Roh Tuhan yang bangkit menguatkan kita untuk mewartakan Sabda di mana-mana melalui kesaksian hidup kita. Ini dialami oleh komunitas Kristiani perdana, yang melihat Sabda tersebar melalui pewartaan dan kesaksian (bdk. Kis 6:7). Sekarang, di sini kita secara khusus dapat berpikir mengenai kehidupan rasul Paulus, seorang yang sepenuhnya ditangkap oleh Tuhan (bdk. Fil. 3:12) “bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”(Gal 2:20) – dan pada perutusannya “celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil!” (1Kor. 9:16). Paulus mengetahui dengan baik bahwa apa yang diwahyukan dalam Kristus adalah sungguh keselamatan bagi semua bangsa, pembebasan dari perbudakan dosa untuk dapat menikmati kebebasan anak-anak Allah.

Apa yang diwartakan Gereja kepada dunia adalah Logos pengharapan (bdk. 1Ptr :15); untuk dapat menghidupi sepenuhnya setiap saat, pria dan wanita memerlukan “pengharapan besar” yang adalah “Allah yang memiliki wajah manusia dan yang ‘mengasihi kita sampai kepada kesudahannya’ (Yoh. 13:1).”[311] Itulah sebabnya mengapa Gereja pada hakikatnya adalah misioner. Kita tak bisa menyimpan bagi diri kita sendiri Sabda kehidupan kekal yang dianugerahkan kepada kita dalam perjumpaan dengan Yesus Kristus; Sabda itu dimaksudkan bagi semua, bagi setiap orang. Setiap orang di zaman ini, apakah ia memahaminya atau tidak, memerlukan pewartaan itu. Semoga Tuhan sendiri, seperti pada zaman nabi Amos, membangkitkan di tengah-tengah kita rasa haus dan lapar yang baru akan Sabda Allah (bdk. Ams 8:11). Tanggung jawab kitalah untuk meneruskan apa yang telah kita terima berkat kasih karunia Allah.

Sabda Allah, sumber perutusan Gereja

92. Sinode para Uskup menegaskan kembali dengan kuat perlunya dalam Gereja untuk membangkitkan kembali kesadaran misioner yang ada pada Umat Allah dari sejak permulaan. Umat Kristiani Perdana melihat pewartaan misionaris mereka sebagai suatu keharusan yang berakar dalam hakikat iman mereka: Allah yang mereka imani adalah Allah dari semua orang, Allah tunggal sejati yang mewahyukan diri-Nya dalam sejarah Israel dan pada akhirnya dalam Anak-Nya, yang menyiapkan jawaban yang, dalam keberadaan
mereka yang paling dalam, dinantikan semua orang. Komunitas Kristiani perdana merasa bahwa iman mereka bukanlah bagian dari tradisi budaya khusus, yang berbeda dari satu bangsa ke bangsa lainnya, melainkan sebaliknya menjadi milik dunia kebenaran, yang melibatkan semua orang secara sama.

Lagi-lagi Santo Pauluslah, yang dengan hidupnya, melukiskan makna perutusan Kristiani dan sifat universalnya yang fundamental. Kita membayangkan di sini pada episode yang diceritakan dalam Kisah Para Rasul mengenai Areopagus di Athena (bdk. 17:16-4). Paulus terlibat dalam dialog dengan orang-orang dari berbagai budaya justru karena ia yakin bahwa misteri Allah, Yang Diketahui dan Yang Tidak Diketahui, yang dipahami oleh setiap orang, betapapun membingungkannya itu, sesungguhnya telah diwahyukan dalam sejarah: “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu” (Kis 17:23). Pada kenyataannya, kebaruan pewartaan Kristiani adalah bahwa kita dapat mengatakan kepada semua orang: “Allah telah memperkenalkan diri, dalam pribadi. Dan sekarang jalan kepada-Nya telah terbuka. Hal baru dari pesan Kristiani tidak terdapat dalam gagasan, tetapi dalam fakta: Allah telah mewahyukan diri-Nya sendiri.”[312]

Sabda dan Kerajaan Allah

93. Oleh karena itu, misi Gereja tidak bisa dipandang sebagai suatu pilihan atau unsur tambahan dalam hidupnya. Malahan, hal itu termasuk membiarkan Roh Kudus mempersatukan kita dengan Kristus sendiri, dan demikian mengambil bagian dalam misi-Nya sendiri: “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”(Yoh. 20:21) untuk menyampaikan Sabda dengan hidupmu seluruhnya. Sabda sendirilah yang mendorong kita kepada saudara dan saudari kita: Sabda itulah yang menerangi, memurnikan, menobatkan; kita hanyalah hamba-hamba-Nya.

Maka, perlulah kita menemukan selalu dengan cara baru kemendesakan dan keindahan dari pewartaan Sabda, bagi kedatangan Kerajaan Allah, yang diwartakan oleh Kristus sendiri. Dengan demikian, kita berkembang dalam kesadaran, yang demikian jelas bagi para Bapa Gereja, bahwa pewartaan Sabda berisi Kerajaan Allah (bdk. Mark 1:14-15), yang, dalam kalimat yang mengesankan dari Origenes,[313] adalah pribadi Yesus sendiri (Autobasileia). Tuhan menawarkan keselamatan kepada semua orang pada setiap zaman. Semua dari kita mengakui betapa besar terang Kristus perlu menyinari setiap wilayah kehidupan manusia: keluarga, sekolah, budaya, pekerjaan, hiburan dan aspek-aspek lain dari kehidupan sosial.[314] Ini bukan masalah mewartakan kata penghiburan, melainkan kata yang menyentakkan, yang memanggil kepada pertobatan dan yang membuka jalan menuju suatu perjumpaan dengan Seseorang yang melalui Dia berkembang suatu kemanusiaan baru.

Semua yang dibaptis bertanggung jawab atas pewartaan

94. Karena seluruh Umat Allah adalah umat yang “telah diutus”, Sinode menegaskan kembali bahwa “misi untuk mewartakan Sabda Allah adalah tugas dari semua murid Yesus Kristus berdasarkan Baptis mereka.”[315] Tak seorang beriman pun dalam Kristus dapat merasa dikecualikan dari tanggung jawab ini, yang datang dari kenyataan bahwa kita termasuk dalam Tubuh Kristus secara sakramental. Kesadaran mengenai hal ini harus dihidupkan kembali di setiap keluarga, paroki, komunitas, perkumpulan dan gerakan gerejawi. Gereja, sebagai misteri persekutuan, dengan demikian sepenuhnya bersifat misioner, dan setiap orang, sesuai dengan status hidupnya, dipanggil untuk memberikan sumbangan jelas bagi pewartaan Kristus.

Para Uskup dan para imam, sesuai dengan misi khusus mereka, pertama-tama dipanggil untuk menghayati hidup sepenuhnya dalam pelayanan Sabda, mewartakan Injil, merayakan sakramensakramen dan membentuk umat beriman dalam pengetahuan yang benar akan Kitab Suci. Para Diakon juga harus merasa dipanggil untuk bekerja sama, sesuai dengan misi khusus mereka, dalam tugas evangelisasi ini.

Sepanjang sejarah Gereja, Hidup Bakti telah begitu dikenal mengemban tugas secara eksplisit untuk mewartakan dan mengkhotbahkan Sabda Allah dalam misi kepada bangsa-bangsa lain dan dalam situasi yang amat sulit, untuk selalu siap menyesuaikan dengan keadaan baru dan merintis dengan penuh semangat dan berani jalan-jalan baru dalam menghadapi tantangan-tantangan baru bagi pewartaan efektif Sabda Allah.[316]

Kaum awam dipanggil untuk melaksanakan peranan kenabian mereka sendiri, yang secara langsung berasal dari Baptis mereka, dan untuk memberi kesaksian Injil dalam kehidupan harian, di mana pun mereka berada. Dalam kaitan ini para Bapa Sinode mengungkapkan “penghargaan tertinggi, terima kasih dan dorongan bagi pelayanan pewartaan yang diberikan dengan murah hati oleh begitu banyak kaum awam, khususnya para perempuan, dan komitmen dalam komunitas-komunitas mereka di seluruh dunia, dengan mengikuti teladan Maria Magdalena, saksi pertama kegembiraan Paskah.”[317] Sinode juga mengakui dengan rasa syukur bahwa gerakan-gerakan gerejawi dan komunitas-komunitas baru merupakan kekuatan besar bagi evangelisasi di zaman kita dan suatu dorongan bagi perkembangan cara-cara baru mewartakan Injil.[318]

Perlunya “misi kepada bangsa-bangsa”

95. Dalam menganjurkan semua kaum beriman untuk mewartakan Sabda Allah, para Bapa Sinode menekankan kembali perlunya dalam zaman kita juga komitmen yang menentukan bagi “misi kepada bangsa-bangsa.” Bagaimana pun juga Gereja tidak dapat membatasi karya pastoralnya dengan “pemeliharaan biasa” dari mereka yang sudah mengenal Injil Yesus Kristus. Jangkauan misioner adalah tanda jelas dari kedewasaan komunitas gerejawi. Para Bapa juga menekankan bahwa Sabda Allah adalah kebenaran yang menyelamatkan yang harus didengarkan oleh setiap orang di setiap zaman. Karena alasan itu, Sabda itu harus diwartakan secara eksplisit. Gereja harus keluar untuk menjumpai setiap orang dalam kekuatan Roh (bdk. 1Kor. 2:5) dan secara profetis terus membela hak dan kebebasan orang untuk mendengarkan Sabda Allah, sementara terus menerus mencari cara yang paling efektif untuk mewartakan Sabda itu, juga meskipun ada risiko penganiayaan.[319] Gereja merasa berkewajiban untuk mewartakan kepada setiap orang Sabda yang menyelamatkan (bdk. Rm. 1:14).

Pewartaan dan Evangelisasi Baru

96. Paus Yohanes Paulus II, dengan mengutip kata-kata kenabian Paus Paulus VI dalam Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi, dengan berbagai cara mengingatkan kaum beriman mengenai perlunya suatu tahap misioner baru bagi seluruh umat Allah.[320] Pada permulaan milenium ketiga tidak hanya masih banyak orang yang belum mengenal Kabar Gembira, tetapi juga ada sejumlah besar orang Kristiani yang membutuhkan agar Sabda Allah sekali lagi diwartakan kepada mereka secara lebih meyakinkan, supaya mereka dapat secara konkret mengalami kekuatan Injil. Banyak saudara-saudari “yang telah dibaptis, tetapi tidak cukup menerima pewartaan.”[321] Dalam sejumlah kasus, bangsa-bangsa yang pada suatu saat pernah kaya dalam iman dan dalam panggilan, kehilangan identitas mereka di bawah pengaruh budaya yang tersekularisasi.[322] Perlunya evangelisasi baru, yang begitu dalam dirasakan oleh Pendahulu saya yang terhormat, harus ditekankan lagi dengan berani, dalam kepastian bahwa Sabda Tuhan berdaya guna. Gereja, yakin akan kesetiaan Tuhannya, tidak pernah lelah mewartakan kabar baik Injil dan mengundang semua orang Kristiani untuk menemukan kembali daya tarik mengikuti Kristus.

Sabda Allah dan kesaksian Kristiani

97. Cakrawala misi Gereja yang sangat luas dan kompleksitas keadaan masa kini menuntut cara baru untuk mengomunikasikan Sabda Allah secara efektif. Roh Kudus, pelaku utama dari semua evangelisasi, tidak akan pernah gagal memimpin Gereja dalam kegiatan ini. Namun, perlulah agar segala bentuk pewartaan mengingat, pertama-tama, hubungan intrinsik antara komunikasi Sabda Allah dan kesaksian kristiani. Kredibilitas pewartaan kita tergantung pada hal itu. Di satu pihak, Sabda harus mengomunikasikan segala sesuatu yang dikatakan Kristus kepada kita. Di pihak lain, sangat diperlukan, melalui kesaksian, agar membuat Sabda ini dapat dipercaya, jika tidak itu hanya kelihatan seperti filsafat yang indah atau utopia daripada sebuah realitas yang dapat dihayati dan yang memberi hidup. Hubungan timbal balik antara Sabda dan kesaksian ini memperlihatkan cara bagaimana Allah mengomunikasikan diri-Nya melalui inkarnasi Sabda-Nya. Sabda Allah mencapai manusia “melalui perjumpaan dengan para saksi yang menghadirkan dan menjadikan-Nya hidup.”[323] Secara khusus orang-orang muda perlu diperkenalkan dengan Sabda Allah “melalui perjumpaan dan kesaksian sejati orang-orang dewasa, melalui pengaruh positif para sahabat dan perkumpulan besar komunitas gerejawi.”[324]

Ada hubungan erat antara kesaksian Kitab Suci, sebagai penyataan diri dari Sabda Allah, dan kesaksian-kesaksian yang diberikan oleh kehidupan kaum beriman. Yang satu melibatkan dan mengantar kepada yang lain. Kesaksian Kristiani mengomunikasikan kata-kata yang dinyatakan dalam Kitab Suci. Pada gilirannya, Kitab Suci menjelaskan kesaksian orang Kristiani yang dipanggil untuk memberikannya melalui hidup mereka. Mereka yang berjumpa dengan saksi-saksi Injil yang dapat dipercaya ini dengan demikian dapat menyadari betapa berdaya gunanya Sabda Allah dalam diri mereka yang menerimanya.

98. Dalam hubungan timbal balik antara kesaksian dan Sabda, kita dapat memahami apa yang ditegaskan Paus Paulus VI dalam Anjuran Apostoliknya Evangelii Nuntiandi. Tanggung jawab kita tidak terbatas dengan menganjurkan nilai-nilai bersama kepada dunia, kita perlu sampai pada pewartaan eksplisit Sabda Allah. Hanya dengan cara ini kita akan setia kepada perintah Kristus “Kabar Gembira yang diwartakan oleh kesaksian hidup cepat atau lambat harus diwartakan oleh Sabda kehidupan. Tidak ada pewartaan yang benar jika nama, ajaran hidup, janji-janji, Kerajaan dan misteri Yesus dari Nazaret, Anak Allah, tidak diwartakan”.[325]

Fakta bahwa pewartaan Sabda Allah menuntut kesaksian hidup seseorang adalah data yang dengan jelas terdapat dalam kesadaran Kristiani sejak semula. Kristus sendiri adalah Saksi yang setia dan sejati (bdk. Kis 1:8; 3:14), Dialah yang memberi kesaksian akan Kebenaran (bdk. Yoh. 18:7). Di sini saya ingin menggemakan kesaksian yangtak terhitung jumlahnya yang merupakan rahmat bagi kami untuk mendengarkannya selama Sidang Sinode. Kami sangat tergerak hati mendengarkan cerita-cerita dari mereka yang menghayati iman mereka dan memberikan kesaksian yang cemerlang tentang Injil, bahkan juga di bawah penguasa yang melawan Kekristenan atau dalam situasi penganiayaan.

Semua itu tidak perlu menyebabkan kita takut. Yesus sendiri mengatakan kepada para murid-Nya: “Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya. Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu”(Yoh. 15:20). Karena alasan itu, bersama dengan seluruh Gereja saya ingin menaikkan sebuah madah pujian kepada Allah untuk kesaksian dari banyak saudara-saudari kita yang, bahkan pada zaman kita, telah memberikan hidup mereka untuk mengomunikasikan kebenaran kasih Allah yang dinyatakan kepada kita dalam Kristus yang disalibkan dan yang dibangkitkan. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh Gereja bagi orang-orang Kristiani yang tidak gentar menghadapi rintangan, bahkan juga penganiayaan demi Injil. Kita juga merangkul dengan perasaan persaudaraan yang mendalam kaum beriman dari semua komunitas Kristiani, terutama di Asia dan di Afrika, yang sekarang ini mempertaruhkan hidup mereka atau menghadapi pengucilan sosial karena iman mereka. Di sini kita menjumpai semangat sejati dari Injil, yang mewartakan berbahagialah mereka yang dianiaya demi Tuhan Yesus (bdk. Mat. 5:11). Dengan berbuat demikian, kita sekali lagi menyerukan kepada pemerintahan bangsa-bangsa untuk menjamin bagi setiap orang kebebasan suara hati dan beragama, juga kemampuan untuk mengungkapkan iman mereka secara publik.[326]

Sabda Allah
dan Tanggung Jawab di Dunia

Melayani Yesus dalam “yang terkecil dari saudara-Nya yang paling hina” (Mat. 25:40)

99. Sabda Allah menerangi eksistensi manusiawi dan menggerakkan suara hati kita untuk melihat lebih dalam hidup kita, karena seluruh sejarah umat manusia berada di bawah pengadilan Allah: “Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya. Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya” (Mat. 25:31-32). Sekarang ini, kita cenderung berhenti pada cara yang dangkal berhadapan dengan pentingnya momen yang sedang berjalan, seolah-olah itu tak ada kaitannya dengan masa yang akan datang. Di sisi lain, Injil mengingatkan kita bahwa setiap saat dari hidup kita penting dan harus dihayati secara intensif, dengan menyadari bahwa setiap orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri. Dalam bab kedua puluh lima Injil Matius, Anak Manusia memperhitungkan apa pun yang kita lakukan atau tidak lakukan terhadap “yang paling kecil dari saudara-saudara-Nya” (bdk. 25:40.45) seperti yang dilakukan atau tidak dilakukan bagi diri-Nya sendiri: “Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (25:35-36). Sabda Allah sendiri menekankan perlunya keterlibatan dalam dunia dan tanggung jawab kita di hadapan Kristus, Tuhan yang menyejarah. Jika kita mewartakan Injil, marilah kita saling menyemangati satu sama lain untuk berbuat baik dan berkomitmen untuk melaksanakan keadilan, rekonsiliasi dan kedamaian.

Sabda Allah dan komitmen kepada keadilan dalam masyarakat

100. Sabda Allah memberikan inspirasi kepada manusia untuk membangun hubungan yang berlandaskan kejujuran dan keadilan, dan memberi kesaksian betapa agung nilai di hadapan Allah atas setiap usaha untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan lebih layak huni.[327] Sabda Allah sendiri dengan jelas mengecam ketidakadilan dan mendorong solidaritas dan kesetaraan.[328] Dalam terang Sabda Tuhan, marilah kita mengenali “tanda-tanda zaman” yang hadir dalam sejarah, dan tidak melarikan diri dari komitmen bagi mereka yang menderita dan menjadi korban egoisme. Sinode mengingatkan bahwa komitmen pada keadilan dan perubahan dunia kita adalah unsur hakiki evangelisasi. Seperti dikatakan Paus Paulus VI: “Lapisan-lapisan umat manusia yang harus diubah: kriteria penilaian umat manusia, nilai-nilai yang menentukan, bidang-bidang minat, garis-garis pemikiran sumber-sumber inspirasi dan model-model kehidupan, yang bertentangan dengan Sabda Allah dan rencana penyelamatan. Bagi Gereja yang menjadi soal bukan hanya mewartakan Injil dalam kawasan geografis yang lebih luas atau jumlah manusia yang lebih banyak, tapi juga bagaimanakah mempengaruhinya dan menjungkirbalikannya dengan kekuatan Injil.”[329]

Karena alasan ini, Para Bapa Sinode ingin menyampaikan kata-kata khusus kepada mereka semua yang mengambil bagian dalam kehidupan politik dan sosial. Evangelisasi dan penyebaran Sabda Allah hendaknya memberi inspirasi kepada kegiatan mereka di dunia, sejauh mereka berkarya bagi kebaikan bersama sejati dalam menghormati dan memajukan martabat setiap orang. Tentu saja, bukanlah tugas langsung Gereja untuk menciptakan sebuah masyarakat yang lebih adil, meskipun ia mempunyai hak dan kewajiban untuk campur tangan pada masalah-masalah etika dan moral terkait kebaikan tiap-tiap orang dan bangsa. Adalah tugas utama kaum awam, yang dibina dalam sekolah Injil, untuk terlibat secara langsung dalam kegiatan politik dan sosial. Karena alasan ini, Sinode menyarankan agar mereka menerima pendidikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran sosial Gereja.[330]

101. Saya juga ingin meminta perhatian setiap orang mengenai pentingnya membela dan memajukan hak asasi manusia setiap orang, berdasar pada hukum kodrat yang tertulis dalam hati manusia, yang, “universal, tak dapat diganggu gugat dan tak dapat dicabut.”[331] Gereja mengungkapkan harapan bahwa dengan pengakuan atas hak-hak ini, martabat manusia akan lebih efektif diakui dan secara universal dimajukan,[332] karena itu merupakan tanda khususyang ditanamkan oleh Pencipta pada ciptaan-Nya, diangkat dan ditebus oleh Yesus Kristus melalui inkarnasi, kematian dan kebangkitan-Nya. Penyebaran Sabda Allah tak dapat gagal untuk menguatkan pengakuan dan rasa hormat terhadap hak-hak asasi manusia setiap orang.[333]

Pewartaan Sabda Allah, rekonsiliasi dan perdamaian di antara bangsa-bangsa

102. Di antara banyak bidang di mana dibutuhkan komitmen, Sinode menyebutkan pemajuan rekonsiliasi dan perdamaian. Dalam konteks sekarang, lebih penting daripada sebelumnya untuk menemukan kembali Sabda Allah sebagai sumber rekonsiliasi dan perdamaian, karena Sabda Allah mendamaikan pada diri-Nya semua hal (bdk. 2Kor. 5:18-20; Flp. 1:10): Kristus “adalah damai sejahtera kita” (Ef. 2:14), Ia yang menghancurkan tembok pemisah. Sejumlah intervensi dalam Sinode mencatat konflik berat dan keras dan ketegangan yang sekarang ada di planet kita. Kadang-kadang permusuhan ini tampak mengambil wajah konflik antaragama. Di sini saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa agama tidak pernah membenarkan intoleransi atau perang. Kita tidak bisa membunuh atas nama Allah![334] Setiap agama harus mendorong penggunaan akal budi dengan benar dan mengembangkan nilai-nilai etika yang memperteguh koeksistensi sipil.

Dalam kesetiaan pada karya rekonsiliasi yang digenapi oleh Allah dalam Yesus Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan, orang Katolik, dan semua orang yang berkehendak baik harus berkomitmen menjadi teladan rekonsiliasi untuk membangun masyarakat yang adil dan penuh kedamaian.[335] Kita hendaknya jangan pernah lupa bahwa “di mana kata-kata manusia menjadi tak berdaya karena pertentangan tragis dari kekerasan dan senjata menonjol, kuasa kenabian Sabda Allah tidak akan goyah, dengan mengingatkan kita bahwa perdamaian adalah mungkin dan bahwa kita sendiri harus menjadi alat rekonsiliasi dan perdamaian.”[336]

Sabda Allah dan cinta kasih yang tekun

103. Komitmen kepada keadilan, rekonsiliasi dan perdamaian menemukan landasan utamanya dan pemenuhannya dalam kasih yang dinyatakan kepada kita dalam Kristus. Dengan mendengarkan kesaksian-kesaksian yang disampaikan selama Sinode, kita melihat dengan lebih jelas kaitan antara sikap mendengarkan Sabda Allah dengan penuh kasih dan pelayanan tanpa pamrih terhadap saudara-saudari kita; semua kaum beriman hendaklah melihat perlunya “menerjemahkan Sabda yang telah kita dengar ke dalam sikap kasih, karena ini adalah cara satu-satunya untuk membuat pewartaan Injil dapat dipercaya, terlepas dari kelemahan manusia yang menjadi ciri perorangan.”[337] Yesus hidup di dunia dengan melakukan hal-hal yang baik (bdk. Kis. 10:38). Mendengarkan dengan penuh ketaatan kepada kata-kata Allah dalam Gereja, membangkitkan “kasih dan keadilan terhadap semua orang, terutama terhadap yang miskin.”[338] Kita hendaknya jangan lupa bahwa “kasih – caritas – akan selalu terbukti perlu, bahkan dalam masyarakat yang paling adil … siapa pun yang ingin menyingkirkan kasih, sedang bersiap menyingkirkan manusia sebagai manusia.”[339] Maka dari itu, saya mendorong umat beriman untuk kerap merenungkan madah Rasul Paulus mengenai kasih dan mengambil inspirasi dari situ “Kasih itu sabar, kasih itu murah hati; kasih itu tidak cemburu atau memegahkan diri; ia tidak sombong; ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri; Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain; ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran; Ia menutupi segala sesuatu, percaya pada segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan” (1Kor. 13:4-8).

Kasih kepada sesama, yang berakar dalam kasih kepada Allah, harus melihat kita terus-menerus melibatkan diri, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas gerejawi, baik lokal maupun universal. Seperti dikatakan Santo Agustinus: “Sangat pentinglah menyadari bahwa kasih adalah kepenuhan Hukum, seperti halnya semua Kitab ilahi… Siapa pun yang mengatakan telah memahami
Kitab Suci, atau sebagian dari itu, tanpa berupaya kerasuntuk tumbuh dalam kasih ganda kepada Allah dan sesama, menunjukkan bahwa ia belum memahaminya.”[340]

Pewartaan Sabda Allah dan orang muda

104. Sinode secara khusus menaruh perhatian pada pewartaan Sabda Allah kepada generasi muda. Orang muda sudah menjadi anggota aktif Gereja dan mereka mewakili masa depannya. Kerap kali kita menjumpai dalam diri mereka keterbukaan spontan untuk mendengarkan Sabda Allah dan keinginan tulus untuk mengenal Yesus. Masa muda adalah masa ketika muncul pertanyaan-pertanyaan autentik dan tak tertahankan mengenai makna hidup dan arah hidup yang harus kita tempuh. Hanya Allah dapat memberi jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan itu. Perhatian kepada orang-orang muda memerlukan keberanian dan kejelasan dalam pesan yang kita wartakan; kita perlu membantu orang-orang muda untuk mendapatkan kepercayaan dan keakraban dengan Kitab Suci sehingga itu dapat menjadi kompas yang menunjukkan jalan yang harus diikuti.[341] Orang-orang muda memerlukan saksi-saksi dan guru-guru yang dapat berjalan bersama mereka, dengan mengajar mereka untuk mencintai Injil dan membagikannya, terutama kepada kawan sebaya mereka, dan demikian menjadi para pewarta yang sejati dan dapat dipercaya.[342]

Sabda Allah harus disajikan dengan cara yang membawa implikasi bagi panggilan setiap pribadi dan membantu orang muda dalam memilih arah yang akan mereka tempuh dalam hidup mereka, termasuk persembahan diri total kepada Allah.[343] Panggilan sejati kepada hidup bakti dan kepada imamat menemukan tanah yang subur dalam hubungan penuh iman dengan Sabda Allah. Saya ulangi sekali lagi seruan yang saya sampaikan pada permulaan kepausan saya untuk membuka lebar-lebar pintu bagi Kristus: “Jika mempersilahkan Kristus masuk ke dalam hidup kita, kita tidak kehilangan apa-apa, tidak ada apapun yang hilang, sama sekali tidak kehilangan apa-apa yang membuat hidup bebas, indah dan agung. Tidak! Hanya dalam persahabatan ini pintu-pintu kehidupan terbuka lebar-lebar. Hanya dalam persahabatan ini potensi besar eksistensi manusia sungguh dibuka… Orang-orang muda yang terkasih: jangan takut terhadap Kristus! Ia tidak mengambil apa pun dan Ia akan memberimu segala sesuatu. Bila kita memberi diri kita kepada-Nya, kita menerima ratusan kali lipat. Ya, bukalah, bukalah lebar-lebar pintu-pintu bagi Kristus – dan engkau akan menemukan hidup sejati.”[344]

Pewartaan Sabda Allah dan kaum migran

105. Sabda Allah mendorong kita memperhatikan sejarah dan realitas yang muncul. Dalam memperhatikan misi evangelisasi Gereja, Sinode ingin mengarahkan perhatiannya juga kepada fenomena kompleks pergerakan migrasi, yang pada tahun-tahun terakhir ini bertambah dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masalah ini terkait dengan persoalan-persoalan sangat rumit mengenai keamanan bangsa-bangsa dan sambutan yang harus diberikan kepada mereka yang mencari perlindungan atau kondisi-kondisi hidup, kesehatan dan pekerjaan yang lebih baik. Sejumlah besar orangyang tidak mengenal apa pun tentang Kristus, atau yang memiliki pengetahuan yang kurang memadai mengenai Dia, tinggal di negara-negara dengan tradisi Kristiani. Pada saat yang sama, orang-orang dari bangsa-bangsa yang secara mendalam ditandai iman Kristiani berpindah ke negara-negara di mana Kristus perlu diwartakan dan evangelisasi baru dituntut. Keadaan ini menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru bagi tersebarnya Sabda Allah. Dalam kaitan ini para Bapa Sinode menyatakan bahwa kaum migran berhak mendengarkan pewartaan (kerygma), yang ditawarkan, tidak dipaksakan. Bila mereka adalah orang-orang Kristiani, mereka membutuhkan bentuk-bentuk reksa pastoral yang memungkinkan mereka tumbuh dalam iman dan pada gilirannya menjadi para pewarta Injil. Dengan memperhitungkan kompleksitas fenomena tersebut, pergerakan dari semua Keuskupan yang terlibat sangat penting, sehingga gerakan-gerakan migrasi juga dapat dilihat sebagai suatu kesempatan untuk menemukan bentuk-bentuk baru kehadiran dan pewartaan. Juga perlulah supaya mereka memastikan, sejauh mungkin, bahwa saudara-saudari kita ini menerima penerimaan dan perhatian yang layak, sehingga, tersentuh oleh Kabar Gembira, mereka sendiri akan mampu menjadi pewarta Sabda Allah dan saksi-saksi Kristus yang bangkit, harapan dunia.[345]

Pewartaan Sabda Allah dan mereka yang menderita

106. Selama kegiatan Sinode, para Bapa juga memikirkan perlunya mewartakan Sabda Allah kepada mereka semua yang menderita, baik secara fisik, psikologis maupun spiritual. Dalam saat-saat penderitaan, pertanyaan-pertanyaan pokok mengenai makna hidup seseorang dirasakan sangat tajam. Jika kata-kata manusia nampak terdiam berhadapan dengan misteri kejahatan dan penderitaan, dan jika masyarakat kita nampak menghargai kehidupan hanya bila itu sesuai dengan standar tertentu efisiensi dan kesejahteraan, Sabda Allah membuat kita melihat bahwa bahkan momen-momen semacam ini secara misterius “dirangkul” oleh kasih Allah. Iman yang lahir dari perjumpaan dengan Sabda Allah membantu kita untuk menyadari bahwa hidup manusia layak dihayati dengan penuh, juga meskipun menjadi lemah karena penyakit dan penderitaan. Allah menciptakan kita untuk bahagia dan untuk kehidupan, sedangkan penyakit dan kematian datang ke dunia sebagai akibat dari dosa (bdk. Keb. 2:2-24). Namun, Bapa kehidupan adalah sang Penyembuh umat manusia yang terbaik, dan Ia tiada henti membungkukkan diri dengan penuh kasih kepada penderitaan umat manusia. Kita mengontemplasikan puncak kedekatan Allah dengan penderitaan kita dalam diri Yesus sendiri, “Sabda yang menjelma. Ia menderita dan mati bagi kita. Oleh sengsara dan kematian-Nya Ia mengambil kelemahan kita dan secara total mengubahnya.”[346]

Kedekatan Yesus dengan mereka yang menderita adalah tetap: diperpanjang dari waktu ke waktu berkat karya Roh Kudus dalam misi Gereja, dalam Sabdadan dalam sakramen, dalam orang-orang yang berkehendak baik, dan dalam prakarsa-prakarsa amal kasih yang dilaksanakan dengan kasih persaudaraan oleh komunitas-komunitas, yang karena itu membuat wajah sejati Allah dan kasih-Nya dikenal. Sinode mengucap syukur kepada Allah atas kesaksian-kesaksian cemerlang, yang kerap kali tersembunyi, dari semua orang Kristiani – para imam, kaum religius dan umatberiman awam – yang telah mengulurkan dan terus mengulurkan tangan mereka, mata dan hati mereka bagi Kristus, Penyembuh tubuh dan jiwa yang sejati. Kemudian, Sinode menyerukan kepada semua untuk melanjutkan merawat yang sakit dan membawa kepada mereka kehadiran Tuhan Yesus yang memberi hidup dalam Sabda dan dalam Ekaristi. Mereka yang menderita hendaknya dibantu membaca Kitab Suci dan menyadari bahwa keadaan mereka sendiri membuat mereka sanggup ambil bagian dengan cara khusus dalam penderitaan Kristus yang menebus bagi keselamatan dunia (bdk. 2 Kor. 4:8-11.14).[347]

Pewartaan Sabda Allah dan kaum miskin

107. Kitab Suci memperlihatkan kasih khusus Allah kepada kaum miskin dan mereka yang berkekurangan (bdk. Mat. 25:31-46). Bapa-bapa Sinode kerap kali berbicara mengenai pentingnya memungkinkan mereka, saudara dan saudari kita ini, untuk mendengarkan kesaksian pesan Injil dan untuk mengalami kedekatan dengan para pastor dan komunitas mereka. Sesungguhnya, “Kaum miskin adalah yang pertama-tama berhak mendengar pewartaan Injil; mereka memerlukan tidak hanya makanan, tetapi juga sabda kehidupan.”[348] Pelayanan cinta kasih, yang tidak pernah boleh kurang dalam gereja-gereja kita, hendaknya selalu dikaitkan dengan pewartaan Sabda dan perayaan misteri suci.[349] Namun, kita juga perlu mengakui dan menghargai kenyataan bahwa kaum miskin adalah pelaku evangelisasi. Dalam Alkitab, orang miskin sesungguhnya adalah mereka yang mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah; dalam Injil Yesus menyebut mereka berbahagia “karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 5:3; bdk. Luk. 6:20). Tuhan meninggikan kesederhanaan hati dari mereka yang menemukan dalam Allah kekayaan sejati, dengan menaruh harapan kepada-Nya dan bukan pada barang-barang dunia ini. Gereja tidak boleh mengecewakan orang miskin: “Para pastor dipanggil untuk mendengarkan mereka, belajar dari mereka, membimbing mereka dalam iman dan menyemangati mereka untuk bertanggung jawab bagi kehidupan.”[350]

Gereja juga sadar bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai keutamaan, untuk direngkuh dan dipilih secara bebas, seperti telah dilakukan banyak orang kudus. Kemiskinan dapat juga hadir sebagai kemelaratan, kerap kali karena ketidakadilan atau egoisme, yang ditandai oleh kelaparan dan kebutuhan, dan sebagai sumber konflik. Dalam pewartaannya mengenai Sabda Allah, Gereja tahu bahwa “lingkaran keutamaan” harus dikembangkan di antara kemiskinan yang akan dipilih dan kemiskinan yang akan diperangi; kita perlu menemukan “sikap ugahari dan solidaritas, keutamaan-keutamaan Injil yang begitu universal. Ini memerlukan keputusan yang ditandai oleh keadilan dan sikap ugahari.”[351]

Pewartaan Sabda Allah dan perlindungan ciptaan

108. Keterlibatan di dalam dunia, seperti dituntut oleh Sabda Allah, membuat kita melihat dengan mata yang baru pada seluruh alam semesta yang diciptakan, yang berisi jejak Sabda yang menciptakan segala sesuatu (bdk. Yoh. 1:2). Sebagai orang-orang yang percaya kepada dan mewartakan Injil, kita mempunyai tanggung jawab terhadap ciptaan. Wahyu menyingkapkan rencana Allah bagi alam semesta, namun ini juga membuat kita mengecam sikap-sikap salah yang menolak melihat seluruh ciptaan sebagai suatu cerminan Pencipta mereka, tetapi sebaliknya semata-mata sebagai materi kasar, yang harus dieksploitasi tanpa rasa salah. Dengan demikian, manusia kehilangan kerendahan hati yang penting yang memungkinkan ia melihat ciptaan sebagai karunia Allah, untuk diterima dan digunakan sesuai dengan rencana-Nya. Malahan sebaliknya, kesombongan manusia yang hidup “seolah-olah Allah tidak ada” menyebabkan mereka memanfaatkan dan merusak alam, gagal melihat itu sebagai hasil karya Sabda yang mencipta. Dalam konteks teologis ini, saya ingin menggemakan pernyataan para Bapa Sinode yang mengingatkan kita bahwa “menerima Sabda Allah, yang dipersaksikan oleh Kitab Suci dan Tradisi hidup Gereja, membangkitkan suatu cara baru melihat hal-hal, mengembangkan suatu ekologi sejati yang akar terdalamnya terdapat di dalam ketaatan iman… (dan) mengembangkan suatu kepekaan teologis yang baru terhadap kebaikan segala hal, yang diciptakan dalam Kristus.”[352] Kita perlu dididik kembali dalam ketakjuban dan dalam kemampuan untuk mengenal keindahan yang menampakkan diri dalam kenyataan-kenyataan ciptaan.[353]

Sabda Allah dan Kebudayaan

Nilai kebudayaan bagi kehidupan umat manusia

109. Pernyataan Santo Yohanes bahwa Sabda menjadi daging menyingkapkan ikatan tak terpisahkan antara Sabda Allah dan kata-kata manusia yang melalui itu Ia berkomunikasi dengan kita. Dalam konteks ini para Bapa Sinode memperhatikan hubungan antara Sabda Allah dan kebudayaan. Allah tidak menyatakan diri-Nya secara abstrak, tetapi dengan menggunakan bahasa, gambaran dan ungkapan-ungkapan yang terikat dengan budaya yang berbeda-beda. Hubungan ini terbukti berbuah, seperti sejarah Gereja secara melimpah telah memberi kesaksian. Sekarang hubungan itu memasuki tahapan baru berkat penyebaran Injil dan mengakarnya dalam berbagai budaya, seperti perkembangan barubaru ini dalam kebudayaan Barat. Hal ini pertama-tama menuntut pengakuan mengenai pentingnya budaya sebagaimana adanya bagi hidup setiap orang. Fenomena budaya, dalam berbagai aspeknya, merupakan fakta penting bagi pengalaman manusia. “Manusia selalu hidup menurut suatu budaya yang selaras dengan dirinya, dan yang pada gilirannya menciptakan di antara manusia suatu ikatan yang sesuai dengan mereka, ikatan yang menentukan karakter antar manusia dan karakter sosial keberadaan manusia.”[354]

Selama berabad-abad Sabda Allah telah mengilhami bermacammacam budaya, dengan menghasilkan nilai-nilai moral dasariah, ungkapan-ungkapan seni yang luar biasa dan gaya hidup yang layak dicontoh.[355] Maka dari itu, dalam memandang perjumpaan yang diperbarui antara Alkitab dan kebudayaan, saya ingin menjamin semua yang menjadi bagian dalam dunia budaya, bahwa mereka tidak perlu khawatir akan keterbukaan terhadap Sabda Allah, yang tidak pernah menghancurkan budaya sejati, tetapi justru memberi dorongan terus-menerus untuk mencari bentukbentuk ungkapan manusiawi yang semakin sesuai dan penuh makna. Setiap budaya yang sejati, jika itu sungguh untuk melayani kemanusiaan, harus terbuka terhadap transendensi dan pada akhirnya, terhadap Allah.

Alkitab, tata aturan agung bagi kebudayaan

110. Para Bapa Sinode sangat menekankan pentingnya memajukan pengetahuan Alkitab yang sesuai di antara mereka yang terlibat di bidang kebudayaan, juga dalam konteks sekular dan di antara orang-orang tak beriman.[356] Kitab Suci berisi nilai-nilai antropologis dan filosofis yang telah mempunyai pengaruh positif bagi umat manusia secara keseluruhan.[357] Arti Alkitab sebagai tata aturan agung bagi kebudayaan perlu ditemukan kembali secara penuh.

Pengetahuan Alkitab di sekolah dan universitas

111. Suatu konteks khusus bagi suatu perjumpaan antara Sabda Allah dan kebudayaan adalah sekolah-sekolah dan universitasuniversitas. Para pastor hendaknya memperhatikan lingkungan ini secara istimewa, memajukan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai Alkitab agar mampu mencapai implikasi budaya yang subur juga bagi masa sekarang. Pusat-pusat studi yang didukung oleh kelompok-kelompok Katolik memberikan sumbangan yang penting untuk memajukan kebudayaan dan pendidikan – dan ini harus diakui. Hendaknya pendidikan agama jangan diabaikan dan guru-guru agama hendaknya diberi pelatihan yang cermat. Pendidikan agama kerap kali merupakan satu-satunya kesempatan yang dimiliki parasiswa untuk berjumpa dengan pesan iman. Dalam mengajar agama, tekanan hendaknya diberikan kepada pengetahuan Kitab Suci sebagai sarana untuk mengatasi prasangka-prasangka lama dan baru, dan memungkinkan kebenarannya dipahami dengan lebih baik.[358]

Kitab Suci dalam berbagai ungkapan seni

112. Hubungan antara Sabda Allah dan kebudayaan telah menemukan ungkapannya dalam banyak bidang, terutama dalam seni. Karena alasan itu, tradisi besar dari Timur dan Barat selalu menghargai karya-karya seni yang diilhami oleh Kitab Suci, seperti misalnya seni figuratif dan arsitektur, sastra dan musik. Saya juga berpikir mengenai bahasa kuno yang diungkapkan oleh ikon-ikon, yang dari tradisi Timur secara bertahap tersebar ke seluruh dunia. Bersama para Bapa Sinode, seluruh Gereja mengungkapkan penghargaan, penghormatan dan kekaguman terhadap senimanseniman “yang terpikat pada keindahan” yang mengambil inspirasinya dari teks-teks suci. Mereka telah memberikan sumbangan dalam menghias gereja-gereja kita, dalam merayakan iman kita, dalam memperkaya liturgi dan banyak dari mereka yang sedikit banyak telah membantu membuat terlihat jelas, sesuai waktu dan tempatnya, kenyataan-kenyataan yang tak kelihatan dan abadi.[359] Saya mendorong lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok yang berwenang untuk memajukan dalam Gereja pembinaan yang kuat bagi para seniman terkait dengan Kitab Suci dalam terang Tradisi hidup Gereja dan magisteriumnya.

Sabda Allah dan sarana komunikasi sosial

113. Terkait dengan hubungan antara Sabda Allah dan kebudayaan, perlulah menggunakan media komunikasi, lama dan baru, secara hati-hati dan cerdas. Para Bapa Sinode menganjurkan pengetahuan yang memadai atas media-media ini; mereka memperhatikan perkembangannya yang cepat dan berbagai tingkat interaksinya, dan meminta usaha yang lebih besar lagi untuk memperoleh keahlian dalam berbagai sektor terkait, terutama dalam media baru, seperti internet. Gereja sudah hadir secara signifikan dalam dunia komunikasi massa, dan magisteriumnya kerap kali telah campur tangan dalam masalah ini, mulai dengan Konsili Vatikan Kedua.[360] Penemuan metode-metode baru untuk meneruskan pesan Injil adalah bagian dari meneruskan jangkauan evangelisasi bagi mereka yang percaya. Komunikasi sekarang ini berlangsung melalui jaringan yang mencakup seluruh dunia, dan dengan demikian memberi makna baru pada kata-kata Kristus: “Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah” (Mat. 10:27). Sabda Allah hendaknya menggema tidak hanya melalui media cetak, tetapi juga melalui bentuk-bentuk komunikasi yang lain.[361] Karena alasan ini, bersama dengan Bapa-bapa Sinode, saya mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang-orang Katolik yang dengan serius berusaha memajukan kehadiran yang signifikan dalam dunia media, dan saya minta komitmen yang lebih luas dan lebih berkualitas dalam hal ini.[362]

Di antara bentuk-bentuk baru komunikasi massa, sekarang kita perlu mengakui peran internet yang semakin meningkat, yang mewakili bentuk-bentuk baru untuk membuat Injil bisa didengar. Namun demikian, kita juga perlu menyadari bahwa dunia virtual tidak pernah dapat menggantikan dunia nyata, dan bahwa evangelisasi dapat menggunakan dunia virtual yang ditawarkan oleh media baru untuk menciptakan hubungan penuh makna hanya jika itu dapat menawarkan hubungan pribadi yang tetap tak tergantikan. Dalam dunia internet, yang memungkinkan jutaan gambar muncul dalam jutaan layar di seluruh dunia, wajah Kristus perlu dilihat dan suara-Nya perlu diperdengarkan, karena “jika tidak ada ruang bagi Kristus, tidak ada ruang bagi manusia.”[363]

Alkitab dan inkulturasi

114. Misteri inkarnasi mengatakan kepada kita bahwa di satu sisi Allah selalu mengomunikasikan diri-Nya dalam sejarah konkret, dengan mengambil tata aturan budaya yang tertanam di dalamnya, namun, di sisi lain, kata-kata yang sama juga dapat dan harus diteruskan dalam budaya yang berbeda, dengan mengubah kata-kata itu dari dalam melalui apa yang oleh Paus Paulus VI disebut evangelisasi kebudayaan.[364] Sabda Allah, seperti iman Kristiani sendiri, mempunyai karakter antar-budaya yang mendalam; Sabda itu mampu menjumpai berbagai macam budaya dan pada gilirannya memungkinkan mereka untuk berjumpa satu sama lain.[365]

Di sini kita juga dapat menghargai pentingnya inkulturasi Injil.[366] Gereja sungguh yakin bahwa Sabda Allah pada dasarnya mampu berbicara kepada seluruh umat manusia dalam konteks budaya mereka sendiri: “Keyakinan ini muncul dari Alkitab sendiri, yang, sudah mulai dari Kitab Kejadian, mengambil sikap universal (bdk. Kej. 1:27-28), selanjutnya mempertahankannya dalam berkat yang dijanjikan kepada semua bangsa melalui Abraham dan keturunannya (bdk. Kej. 12:3; 18:18), dan menegaskan itu secara definitif dengan memperluas pewartaan Injil kepada ‘semua bangsa’.”[367] Karena alasan ini, inkulturasi hendaknya jangan dikacaukan dengan proses adaptasi yang dangkal, apa lagi dengan sinkretisme yang membingungkan yang akan mengurangi keunikan Injil dalam usaha untuk membuatnya lebih mudah diterima.[368] Paradigma inkulturasi sejati adalah Inkarnasi Sabda sendiri: “’Akulturasi’ atau ‘inkulturasi’ akan sungguh menjadi suatu pancaran dari inkarnasi Sabda, ketika sebuah budaya, yang diubah dan dilahirkan kembali oleh Injil, menghasilkan dalam tradisinya sendiri ungkapan-ungkapan asli kehidupan, perayaan dan pemikiran Kristiani”,[369] dengan menjadi ragi dalam budaya lokal, meningkatkan semina Verbi (benih-benih Sabda) dan semua unsur positif yang terdapat dalam budaya itu, dengan demikian membukanya terhadap nilai-nilai Injil.[370]

Menerjemahkan Alkitab dan membuatnya mudah didapat

115. Inkulturasi dari Sabda Allah adalah bagian integral dari misi Gereja di dunia, dan saat yang menentukan dalam proses ini adalah penyebaran Alkitab melalui karya penerjemahan yang berharga dalam berbagai macam bahasa. Di sini hendaknya selalu diingat bahwa karya penerjemahan Kitab Suci sudah dilakukan “dalam periode Perjanjian Lama, ketika teks Ibrani Alkitab diterjemahkan secara lisan ke dalam bahasa Aram (Neh. 8:8.12) dan kelak dalam bentuk tertulis ke dalam bahasa Yunani. Suatu terjemahan tentu saja selalu lebih dari sekadar transkripsi sederhana dari teks asli. Peralihan dari satu bahasa kepada bahasa lain tentu saja mencakup perubahan konteks budaya: konsep-konsep tidak sama dan simbolsimbol mempunyai makna berbeda, karena berhadapan dengan tradisi-tradisi pemikiran lain dan cara-cara hidup yang lain.”[371]

Selama Sinode, jelaslah bahwa sejumlah Gereja lokal masih kekurangan terjemahan lengkap dari Alkitab ke dalam bahasa mereka sendiri. Betapa banyak orang-orang sekarang lapar dan haus terhadap Sabda Allah, namun toh tetap kehilangan “akses luas kepada Kitab Suci”[372] yang diinginkan Konsili Vatikan II. Karena alasan itu Sinode menganggap penting, terutama, melatih orang-orang khusus untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam berbagai bahasa.[373] Saya ingin mendorong investasi sumber-sumber daya di wilayah ini. Secara khusus saya ingin menyarankan untuk membantu karya Federasi Biblika Katolik, dengan tujuan semakin meningkatkan jumlah penerjemahan Kitab Suci dan penyebaran-nya yang lebih luas.[374] Karena hakikat usaha yang demikian itu, hal itu hendaknya dilaksanakan sebanyak mungkin dalam kerja sama dengan berbagai Lembaga-lembaga Alkitab.

Sabda Allah mengatasi batasan budaya

116. Pertemuan Sinode, dalam diskusi-diskusi tentang hubungan antara Sabda Allah dan kebudayaan, merasakan perlunya menegaskan kembali apa yang telah dialami oleh umat Kristiani perdana yang dimulai pada hari Pentakosta (Kis. 2:1-2). Sabda Allah mampu merasuki dan menemukan ungkapan dalam berbagai macam budaya dan bahasa, namun Sabda yang sama mengatasi batasanbatasan tiap-tiap budaya untuk menciptakan kebersamaan di antara berbagai bangsa yang berbeda. Sabda Tuhan mengundang kita untuk maju menuju persekutuan yang semakin luas. “Kita keluar dari keterbatasan pengalaman kita dan kita masuk ke dalam kenyataan yang sungguh universal. Dengan masuk ke dalam persekutuan dengan Sabda Allah, kita masuk ke dalam persekutuan Gereja yang menghayati Sabda Allah… Itu berarti mengatasi batasan-batasan budaya individual ke dalam universalitas yang menghubungkan semua, menyatukan semua, membuat kita semua saudara-saudari.”[375] Oleh karena itu, pewartaan Sabda Allah selalu menuntut dari kita pertama-tama, suatu eksodus baru, karena kita meninggalkan ukuran dan imajinasi kita yang terbatas untuk memberi ruang bagi kehadiran Kristus.

Sabda Allah dan Dialog Antaragama

Nilai-nilai dialog antaragama

117. Gereja menganggap bagian hakiki dari pewartaan Sabda terdapat dalam perjumpaan, dialog dan kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik, terutama dengan para pengikut berbagai macam tradisi keagamaan umat manusia. Ini berlangsung tanpa bentuk sinkretisme dan relativisme, melainkan sesuai dengan garis-garis yang ditunjukkan Deklarasi Konsili Vatikan II Nostra Aetate dan kemudian dikembangkan oleh Magisterium para Paus.[376] Sekarang ini laju globalisasi yang semakin cepat memungkinkan orang-orang dari berbagai macam budaya dan agama mengadakan hubungan yang lebih dekat. Ini merupakan kesempatan Penyelenggaraan Ilahi untuk menunjukkan bagaimana religiositas sejati dapat mengembangkan hubungan persaudaraan universal. Sekarang ini, dalam masyarakat kita yang kerap mengalami sekularisasi, sangatlah penting bahwa agama-agama dapat mengembangkan suatu mentalitas yang melihat Allah yang Mahakuasa sebagai dasar semua kebaikan, sumber kehidupan moral yang tiada habisnya, dan benteng dari maknapersaudaraan universal yang mendalam.

Dalam tradisi Yahudi-Kristen, misalnya, dapat ditemukan suatu kesaksian yang menggerakkan kepada kasih Allah bagi semua bangsa: dalam perjanjian dengan Nuh Ia mempersatukan mereka
dalam satu pelukan besar yang dilambangkan oleh “busur di langit” (Kej. 9:13,14,16) dan, menurut kata-kata para nabi, Ia ingin mengumpulkan mereka ke dalam satu-satunya keluarga universal (bdk. Yes. 2:22 dst; 42:6; 66:18-21; Yer. 4:2; Mzm. 47). Bukti ikatan erat antara hubungan dengan Allah dan etika kasih bagi setiap orang ditemukan dalam banyak tradisi agama-agama besar.

Dialog antara orang-orang Kristiani dan Muslim

118. Di antara berbagai macam agama,Gereja juga memandang dengan rasa hormat orang-orang Muslim, yang menyembah Allah yang Esa.[377] Mereka merujuk kepada Abraham dan menyembah Allah terutama melalui doa, memberi derma, dan berpuasa. Kita mengakui bahwa dalam tradisi Islam ada banyak tokoh-tokoh, juga lambang-lambang dan tema-tema Alkitab. Dengan meneruskan usaha yang sudah dimulai oleh Venerabilis Paus Yohanes Paulus II, saya mengungkapkan harapan saya agar hubungan penuh kepercayaan yang terjalin antara orang Kristiani dan Muslim selama bertahun-tahun akan tetap terus berkembang dalam semangat dialog yang tulus dan penuh hormat.[378] Dalam dialog ini Sinode meminta suatu refleksi lebih dalam mengenai hormat bagi kehidupan sebagai nilai hakiki, hak pria dan wanita yang tak dapat dicabut, dan kesetaraan martabat mereka. Dengan memperhitungkan perbedaan penting yang harus dibuat antara tatanan sosiopolitik dan tatanan keagamaan, bermacam-macam agama hendaknya memberi sumbangan khusus mereka bagi kesejahteraan bersama. Sinode meminta kepada konferensi-konferensi para uskup, apabila sesuai dan sangat membantu, untuk mendorong pertemuan-pertemuan yang bertujuan menolong orang-orang Kristiani dan Muslim untuk mencapai saling pengertian yang lebih baik, guna mengembangkan nilai-nilai yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup berdampingan secara damai dan positif.[379]

Dialog dengan agama-agama lain

119. Di sini saya juga ingin menyatakan rasa hormat Gereja terhadap agama-agama kuno dan tradisi-tradisi spiritual dari berbagai benua. Hal-hal ini berisi nilai-nilai yang dapat sungguh memajukan pemahaman baik antar individu maupun bangsa-bangsa.[380] Kerap kali kami memperhatikan keselarasan dengan nilai-nilai yang diungkapkan juga dalam buku-buku keagamaan mereka, seperti dalam Budhisme: hormat terhadap hidup, kontemplasi, keheningan, kesederhanaan; dalam Hinduisme: perasaan kesakralan, kurban dan puasa; dan lagi, dalam Konfusianisme: nilai-nilai keluarga dan sosial. Kita juga bersyukur menemukan dalam pengalaman agama-agama lain perhatian sejati bagi transendensi Allah, yang diakui sebagai Pencipta, maupun juga rasa hormat terhadap kehidupan, perkawinan dan keluarga, dan suatu perasaan kuat akan solidaritas.

Dialog dan kebebasan beragama

120. Namun, dialog tidak akan berbuah jika tidak disertai hormat sejati bagi tiap-tiap pribadi dan kemampuan bagi semua untuk mempraktikkan agama mereka dengan bebas. Maka dari itu Sinode, sembari mendorong kerja sama di antara para pengikut bermacam-macam agama, juga menunjukkan “perlunya kebebasan bagi seluruh umat beriman untuk mengakui agamanya, secara pribadi maupun publik, dan kebebasan hati nurani dijamin secara efektif”;[381] tentu saja “rasa hormat dan dialog menuntut hubungan timbal balik dalam semua bidang, terutama dalam hal yang terkait dengan kebebasan hakiki, lebih khusus lagi kebebasan beragama. Hormat dan dialog seperti itu mengembangkan perdamaian dan pemahaman antar bangsa-bangsa.”[382]

PENUTUP

Sabda Allah yang definitif

121. Pada penutup refleksi ini yang saya gunakan untuk mengumpulkan dan memeriksa secara lebih cermat buah-buah kaya dari Pertemuan Umum Biasa keduabelas Sinode para Uskup mengenai Sabda Allah dalam kehidupan dan misi Gereja, saya ingin sekali lagi mendorong semua Umat Allah, para Pastor, orang-orang Hidup Bakti dan umat awam, untuk menjadi semakin akrab dengan Kitab Suci. Kita hendaknya jangan pernah lupa bahwa semua spiritualitas Kristiani yang sejati dan hidup berdasar pada Sabda Allah yang diwartakan, diterima, dirayakan dan direnungkan dalam Gereja. Hubungan mendalam dengan Sabda Allah akan berlangsung dengan semangat yang semakin besar bila kita menyadari bahwa, dalam Kitab Suci dan Tradisi Gereja yang hidup, kita berdiri di hadapan Sabda Allah yang definitif dalam alam semesta dan dalam sejarah.

Prolog Injil Yohanes membimbing kita untuk merenungkan bahwa segala sesuatu yang ada berada di bawah tanda Sabda. Sabda berasal dari Bapa, datang untuk tinggal di tengah-tengah kita dan kemudian kembali kepada Bapa untuk membawa bersama-Nya seluruh ciptaan yang diciptakan dalam Dia dan bagi Dia. Gereja sekarang menghayati misinya dalam pengharapan besar atas pernyataan eskatologis dari Pengantin pria: “Roh dan Pengantin perempuan berkata: ‘Datanglah!’” (Why. 22:17). Penantian ini tidak pernah pasif, sebaliknya merupakan dorongan misioner untuk mewartakan Sabda Allah yang menyembuhkan dan menebus setiap orang. Saat ini Yesus yang bangkit berkata kepada kita: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15).

Evangelisasi baru dan mendengarkan secara baru

122. Maka, zaman kita harus semakin ditandai dengan sikap mendengarkan Sabda Allah secara baru dan dengan evangelisasi baru. Memulihkan kembali sentralitas Sabda Allah dalam kehidupan Kristiani membuat kita menghargai kembali makna terdalam seruan kuat Paus Yohanes Paulus II: untuk melanjutkan missio ad gentes dan dengan penuh semangat memulai evangelisasi baru, terutama di antara bangsa-bangsa di mana Injil telah dilupakan atau ditanggapi dengan acuh tak acuh sebagai akibat tersebarnya sekularisme. Semoga Roh Kudus membangkitkan rasa lapar dan haus akan Sabda Allah dan membangkitkan para pewarta dan saksi-saksi Injil yang penuh semangat.

Dengan mengikuti teladan Rasul Agung Bangsa-bangsa, yang mengubah arah hidupnya sesudah mendengar suara Tuhan (bdk. Kis. 9:1-30), marilah kita juga mendengarkan Sabda Allah yang berbicara kepada kita, selalu secara pribadi, di sini dan sekarang. Roh Kudus, sebagaimana disampaikan oleh Kisah Para Rasul kepada kita, mengkhususkan Paulus dan Barnabas untuk mewartakan dan menyebarkan Kabar Gembira (bdk. 13:2). Di zaman kita juga, Roh Kudus terus-menerus memanggil para pendengar dan pewarta Sabda Tuhan yang tangguh dan persuasif.

Sabda dan Sukacita

123. Semakin besar keterbukaan kita terhadap Sabda Allah, semakin kita mampu mengenal bahwa sekarang juga misteri Pentakosta sedang berlangsung dalam Gereja Allah. Roh Tuhan terus mencurahkan karunia-Nya kepada Gereja untuk membimbing kita kepada semua kebenaran, untuk menunjukkan kita makna Kitab Suci dan membuat kita menjadi pewarta Sabda keselamatan yang dapat dipercaya di hadapan dunia. Dengan demikian, kita kembali kepada Surat Pertama Santo Yohanes. Dalam Sabda Allah, kita juga mendengar, kita juga melihat dan menyentuh Sabda Kehidupan. Kita melalui rahmat telah menyambut pewartaan bahwa hidup abadi telah disingkapkan, sehingga kita sekarang mengakui persekutuan kita satu dengan yang lain, dengan mereka yang telah mendahului kita ditandai oleh tanda iman, dan dengan semua yang tersebar di seluruh dunia mendengarkan Sabda, merayakan Ekaristi dan dengan hidup mereka memberi kesaksian tentang cinta kasih. Pewartaan ini telah dibagikan dengan kita – seperti diingatkanRasul Yohanes kepada kita –supaya “sukacita kita menjadi sempurna” (1Yoh. 1:4).

Pertemuan Sinodal memungkinkan kita mengalami semua yang dikatakan Santo Yohanes mengenai: pewartaan Sabda menciptakan persekutuan dan menghasilkan sukacita. Ini adalah sukacita mendalam yang berasal dari kedalaman hati hidup triniter dan yang dikomunikasikan kepada kita dalam Putra. Sukacita ini adalah karunia yang tak terlukiskan yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Perayaan bisa diatur, tetapi sukacita tidak. Menurut Kitab Suci sukacita adalah buah dari Roh Kudus (bdk. Gal. 5:22) yang memampukan kita untuk masuk ke dalam Sabda dan memungkinkan Sabda Allah masuk ke dalam diri kita dan menghasilkan buah untuk kehidupan kekal. Dengan mewartakan Sabda Allah dalam kuasa Roh Kudus, kita juga ingin mengambil bagian dalam sumber sukacita sejati, bukan sukacita yang dangkal dan lekas hilang, melainkan sukacita yang lahir dari kesadaran bahwa hanya Tuhan Yesus saja yang memiliki sabda kehidupan kekal (bdk. Yoh. 6:68).

“Ibu Sabda dan Ibu Kegembiraan”

124. Hubungan erat antara Sabda Allah dan sukacita tampak jelas dalam diri Bunda Allah. Marilah kita mengingat perkataan Santa Elisabet: “Berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.” (Luk. 1:45). Maria berbahagia karena ia memiliki iman, karena ia percaya, dan dalam imannya ia menerima Sabda Allah dalam rahimnya untuk memberikan-Nya kepada dunia. Sukacita yang lahir dari Sabda sekarang dapat diperluas kepada semua yang, oleh iman, membiarkan diri mereka diubah oleh Sabda Allah. Injil Lukas menampilkan misteri sikap mendengarkan dan sukacita dalam dua teks. Yesus berkata, “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya”(8:21). Dan sebagai jawaban kepada seorang wanita dari orang banyak yang memberkati rahim yang melahirkan Dia dan payudara yang menyusui-Nya, Yesus mengungkapkan rahasia sukacita sejati: “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya!” (11:28). Yesus memperlihatkan keagungan Maria yang sesungguhnya, dengan memungkinkan kita masing-masing untuk mendapat kebahagiaan yang berasal dari Sabda yang diterima dan dipraktikkan. Saya mengingatkan semua orang Kristiani bahwa hubungan kita yang pribadi dan komunal dengan Allah tergantung pada keakraban kita yang semakin berkembang dengan Sabda Allah. Akhirnya, saya menyapa semua orang, termasuk mereka yang telah menjauhkan diri dari Gereja, yang telah meninggalkan iman mereka atau yang tidak pernah mendengar pewartaan keselamatan. Kepada setiap orang Tuhan bersabda: “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku” (Why. 3:20).

Dengan demikian, semoga setiap hari dari hidup kita dibentuk oleh perjumpaan yang dibarui dengan Kristus, Sabda Bapa yang menjadi daging: Ia ada pada permulaan dan akhir dan “segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kol. 1:17). Marilah kita hening agar dapat mendengar Sabda Tuhan dan merenungkannya, sehingga dengan karya Roh Kudus Sabda itu dapat tetap tinggal dalam hati kita dan berbicara kepada kita seluruh hari dari hidup kita. Dengan cara ini Gereja akan selalu diperbarui dan dimudakan kembali, berkat Sabda Tuhan yang tetap tinggal selamanya (bdk. 1Ptr. 1:25; Yes. 40:8). Dengan demikian, kita juga akan masuk ke dalam dialog perkawinan agung yang menutup Kitab Suci: “Roh dan pengantin perempuan itu berkata: ‘Marilah!’ Dan barangsiapa yang mendengarnya, hendaklah ia berkata: ‘Marilah!’… Ia yang memberi kesaksian tentang semuanya ini, berfirman: ‘Ya, Aku datang segera!’ Amin, datanglah, Tuhan Yesus!” (Why. 22:17. 20).

Diberikan di Roma, di Basilika Santo Petrus, pada 30 September, Peringatan Santo Hieronimus, pada tahun 2010, tahun keenam masa Kepausan saya.

BENEDIKTUS XVI

Daftar Singkatan

AA Apostolicam Actuositatem
AG Ad Gentes, Dekret Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja (7 Desember 1965)
KGK Katekismus Gereja Katolik (11 Oktober 1992)
CT Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II (16 Oktober 197), 27: AAS 71 (1979)
DH Dignitatis Humanae, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Kebebasan Beragama (7 Desember 1965)
DV Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi (18 September 1965)
EN Evangelii Nuntiandi, Anjuran Apostolik Paus Paulus VI
Pasca-Sinode (18 Desember 1975): AAS 58 (1976) hlm. 5-76
IM Inter Mirifica, Dekret Konsili Vatikan II tentang Sarana
Komunikasi Sosial
NA Nostra Aetate, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristiani (28 Oktober 1965)
OLM Ordo Lectionum Missae (Tata Bacaan Misa), Pedoman tentang Liturgi Sabda dalam Perayaan Ekaristi (25 Mei 1969 dan diperbarui 21 Januari 1981)
PC Perfectae Caritatis, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pembaruan Hidup Religius (28 Oktober 1965)
PO Presbyterorum Ordinis, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (7 Desember 1965)
SC Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II
tentang Liturgi Suci (4 Desember 1965)
SCa Sacramentum Caritatis, Anjuran Apostolik Pasca Sinode oleh
Paus Benediktus XVI (22 Februari 2007)
UR Unitatis Redintegratio, Dekret Konsili Vatikan II tentang Ekumenisme (21 November 1964)

Catatan kaki :

  1. Bdk. Propositio, 1.
  2. Bdk. Sidang Umum Biasa ke-Duabelas Sinode para Uskup, Instrumentum Laboris, 27.
  3. Bdk. Leo XIII, Ensiklik Providentissimus Deus (18 November 1893): ASS 26 (1893-94), hlm. 269-292; Benediktus XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus (15 September 1920): AAS 12 (1920), hlm. 385-422; Pius
    XII, Ensiklik Divino Afflante Spiritu (30 September 1943): AAS 35 (1943), hlm. 297-325.
  4. Propositio 2.
  5. Ibidem.
  6. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 2.
  7. Ibidem., 4.
  8. Di antara berbagai macam intervensi layak diperhatikan: Paulus VI, Surat Apostolik Summi Dei Verbum (4 November 1963); AAS 55(1963), 979-99; Motu Proprio Sedula Cura (27 Juni 1971), AAS 63 (1971), 665-
    669; Yohanes Paulus II, Audiensi Umum (1 Mei 1985); L’Osservatore Romano, 2-3 Mei 1985, hlm. 6, Sambutan mengenai Penafsiran Alkitab dalam Gereja (23 April 1993); AAS 86 (1994), 232-243; Benediktus XVI, Sambutan kepada Kongres Internasional yang diadakan pada Ulang Tahun ke-40 ‘Dei Verbum’ (16 September 2005); AAS 97 (2005), 957, Angelus (6 November 2005); Insegnamenti I (2005), 759-760. Juga layak diperhatikan intervensi Komisi Kitab Suci Kepausan, De Sacra Scriptura et Christologia (1984); Enchiridion Vaticanum 9, No 1208-1339; Unity and Diversity in the Church (11 April 1988): Enchiridion Vaticanum 11, no 544-643; Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993: Enchiridion Vaticanum 13, no. 2846-3150; The
    Jewish People and their Sacred Scriptures in the Christian Bible
    (24 Mei 2001): Enchiridion Vaticanum 20. No 733-1150; The Bible and Morality. Biblical Roots of Christian Conduct (11 Mei 2008), Kota Vatikan 2008.
  9. Bdk. Benediktus XVI, Sambutan kepada Kuria Romana (22 Desember 2008): AAS 101 (2009), hlm. 49.
  10. Bdk. Propositio 37.
  11. Bdk. Komisi Kitab Suci Kepausan, Bangsa Yahudi dan Kitab Suci Mereka dalam Alkitab Kristiani (24 Mei 2001): Enchriridion Vaticanum 20, No. 733-1150.
  12. Benediktus XVI, Sambutan kepada Kuria Romana (22 Desember 2008): AAS 101 (2009), hlm. 50.
  13. Bdk. Benediktus XVI, Angelus, (4 Januari, 2009): Insegnamenti V, 1 (2009), 13.
  14. Bdk. Relatio ante disceptationem, I.
  15. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 2.
  16. Benediktus XVI, Ensiklik Deus Caritas Est, (25 Desember 2005), 1: AAS 98 (2006), 217-218.
  17. Instrumentum Laboris, 9.
  18. Credo Nicea-Konstantinopel: DS 150.
  19. Santo Bernardus Dari Clairvaux, Homilia super missus est, IV, 11: PL 183, 86 B.
  20. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 10.
  21. Bdk. Propositio, 3.
  22. Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Deklarasi tentang Unitas dan Universalitas Penyelamatan Yesus Kristus dan Gereja, Dominus Iesus (6 Agustus 2000), 13-15: AAS 92 (2000) 754-756.
  23. Bdk. In Hexaemeron, XX, 5: Opera Omnia V, Quaracchi 1891, hlm. 425-426; Breviloquium I,8: Opera Omnia V, Quaracchi 1891, hlm. 216-217.
  24. Santo Bonaventura, Itinerarium mentis in Deum, II, 12: Opera Omnia V, Quaracchi 1891, dlm 302-303; bdk. Commentariusin librum Ecclesiastes, Cap.1, ayat 11; Quaestiones, II,3: Opera Omnia VI, Quaracchi 1891, hlm 16.
  25. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 3. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Pertama, Konstitusi Dogmatis tentang iman katolik, Dei Filius, bab 2, tentang Pewahyuan : DS 3004.
  26. Bdk. Propositio 13.
  27. Komisi Teologi Internasional, In Search of a Universal Ethics: A New Look at the Natural Law, Vatican City, 2009, no 39.
  28. Bdk. Summa Thelogiae, Ia-IIae, q.94, a.2.
  29. Bdk. Komisi Kitab Suci Kepausan, The Bible and Morality, Biblical Roots of Christian Conduct (11 Mei 2008), Vatican City, 2008, no. 13, 32, 109.
  30. Bdk. Komisi Teologi Internasional, In Search of a Universal Ehics: A New Look at the Natural Law, Vatican City, 2009, no. 102.
  31. Bdk. Benediktus XVI, Homili selama Ibadat Harian Ketiga pada Permulaan Sidang Umum Pertama Sinode para Uskup (6 Oktober 2008): AAS 100 (2008), 758-761.
  32. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 14.
  33. Benediktus XVI, Ensiklik Deus Caritas Est (25 Desember 2005), 1: AAS 98 (2006), 217-218.
  34. “Ho Logos pachynetai (atau brachynetai).” Bdk. ORIGENES, Peri Archon, I, 2, 8; SC 252, 127-129.
  35. Benediktus XVI, Homili pada Hari Raya Kelahiran Tuhan (24 Desember 2006): AAS 99 (2007), 12.
  36. Bdk. Pesan Terakhir, II, 4-6.
  37. Maximus Pengaku Iman, Hidup Maria, No. 89, Testi mariani del primo millenio, 2, Roma, 1989, hlm. 253.
  38. Bdk. Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Pasca-Sinode, Sacramentum Caritatis, (22 Februari 2007), 9-10: AAS 99 (2007), 111-112.
  39. Benediktus XVI, Audiensi umum (15 April 2009); L’Osservatore
    Romano
    , 16 April 2009, hlm. 1.
  40. Id., Homili untuk Hari Raya Epifani (6 Januari 2009): L’Osservatore Romano, 7-8 Januari 2009, hlm. 8.
  41. Konsili Vatikan Ekumenis Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
    Ilahi, Dei Verbum, 4.
  42. Propositio 4.
  43. Santo Yohanes dari Salib, Mendaki Gunung Karmel, II, 22.
  44. Propositio 47.
  45. Katekismus Gereja Katolik, 67.
  46. Bdk. Kongregasi Untuk Ajaran Iman, Pesan dari Fatima (26 Juni 2000):
    Enchiridion Vaticanum 19. No 974-1021.
  47. Adversus Haereses IV, 7, 4: PG 7, 992-993; V,1, 3: PG 7, 1123; V, 6, 1: PG 7, 1137; V, 28, 4: PG 7, 1200.
  48. Bdk. Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Pasca-Sinode, Sacramentum Caritatis, (22 Februari 2007) 12: AAS 99 (2007), 113-114.
  49. Bdk. Propositio 5.
  50. Adversus Haereses III, 24,1: PG 7, 966.
  51. Homiliae in Genesim XXII, 1: PG 53, 175.
  52. Epistula 120,10: CSEL 55, 500-506.
  53. Homiliae in Ezechielem, I, VII, 17:CC 142, hlm. 94.
  54. “Oculi ergo devotae animae sunt columbarum quia sensus eius per Spiritum sanctum sunt illuminati et edocti, spiritualia sapientes. Nunc quidem aperitur animae talis sensus, ut intelligat Scripturas.” Richard dari Santo Viktor, Explicatio in Cantica Canticorum 15: PL, 196, 450 B dan D.
  55. Sacramentarium Serapionis II (XX); Didascalia et Constitutiones Apostolorum ed F.X. FUNK, II, Paderborn, 1906, hlm. 161.
  56. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
    Ilahi, Dei Verbum, 7.
  57. Ibid. 8
  58. Ibid.
  59. Bdk. Propositio 3.
  60. Bdk. Pesan Terakhir II, 5
  61. Expositio Evangelii secundum Lucam, 6, 33: PL15, 1677.
  62. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
    Ilahi, Dei Verbum, 13.
  63. Katekismus Gereja Katolik, 102. bdk. juga Rupert Of Deutz, De Operibus Spiritus Sancti, I, 6: SC 131:72-74.
  64. Enarrationes in Psalmos, 103, IV, 1: PL 37, 1378. Pernyataanpernyataan serupa dalam ORIGENES, In Iohannem V, 5-6: SC 120, hlm. 380-384.
  65. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang
    Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 21.
  66. Ibid., 9.
  67. Bdk. Propositiones 5 dan 12.
  68. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang
    Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 12.
  69. Bdk. Propositio 12.
  70. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
    Ilahi, Dei Verbum, 11.
  71. Propositio 4.
  72. Prol.: Opera Omnia V, Quaracchi 1891, hlm. 201-202.
  73. Bdk. Benediktus XVI, Sambutan kepada Wakil-wakil dari Dunia Budaya di “College des Bernardins” di Paris (12 September 2008): AAS 100 (2008), hlm. 721-730.
  74. Bdk. Propositio 4.
  75. Bdk. Relatio post disceptationem, 12.
  76. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
    Ilahi, Dei Verbum, 5.
  77. Propositio 4.
  78. Misalnya: Ul 28:1-2.15.45; 32:1; di antara para nabi, lihat Yer 7:22-28;
    Yeh 2:8; 3:10; 6:3; 13:2 sampai pada yang terakhir: bdk. Za 3:8. Bagi
    Santo Paulus, bdk. Rm. 10:14-18; 1Tes 2:13.
  79. Propositio 55.
  80. Bdk. Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Pasca-Sinode, Sacramentum Caritatis, (22 Februari 2007) 33: AAS 99 (2007), 132-133.
  81. Id., Ensiklik Deus Caritas Est (25 Desember 2005), 41: AAS 98 (2006), hlm. 251.
  82. Propositio 55.
  83. Bdk. Expositio Evangelii secundum Lucam, 2, 19: PL 15, 1559-1560.
  84. Breviloquium, Prol.: Opera Omnia, V, Quaracchi 181, hlm. 201-202.
  85. Summa Theologiae, Ia-IIae, q.106, art. 2.
  86. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993), III, A, 3: Enchiridion Vaticanum 13, no. 3035.
  87. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
    Ilahi, Dei Verbum, 12.
  88. Contra epistulam Manichaei quam vocant fundamenti, V, 6: PL 42,176.
  89. Bdk. Benediktus XVI, Audiensi Umum (14 November 2007): Insegnamenti III 2 (2007), 586-591.
  90. Commentariorum in Isaiam libir, Prol.: PL 24, 17.
  91. Epistula 52: 7: CSEL 54, hlm. 426.
  92. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993), II, A, 2: Enchiridion Vaticanum 13, no. 2988.
  93. Ibid. II, A, 2:Enchiridion Vaticanum 13, no. 2991.
  94. Homiliae in Ezechielem I, VII,8: PL76, 843D.
  95. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
    Ilahi, Dei Verbum, 24; Bdk. Leo XIII, Ensiklik Providentissimus Deus (18 November 1893), Pars II, sub fine: ASS 26 (1893-94), 269-292; Benediktus XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus (15 September 1920), Pars III: AAS 12 (1920), 385-422.
  96. Bdk. Propositio 26.
  97. Bdk. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993), A-B: Enchiridion Vaticanum 13, no. 2846-3150.
  98. Benediktus XVI, Intervensi pada Sidang Umum ke-14 Sinode (14 Oktober 2008): Insegnamenti IV, 2 (2008), 492; bdk. Propositio 25.
  99. Benediktus XVI, Sambutan kepada para Wakil dari Dunia Budaya di “College des Bernardins” di Paris (12 September 2008): AAS 100 (2008), hlm. 722-723.
  100. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
    Ilahi, Dei Verbum, 10.
  101. Bdk. Yohanes Paulus II, Sambutan dalam Perayaan Seratus tahun Ensiklik Providentissimus Deus dan Ulang Tahun ke-50 Ensiklik Divino Afflante Spiritu (23 April 1993): AAS 86 (1994), hlm. 232-243.
  102. Ibid., 4: AAS 86 (1994), hlm. 235.
  103. Ibid., 5: AAS 86 (1994), hlm. 235.
  104. Ibid., 5: AAS 86 (1994), hlm. 236.
  105. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993), III, C, 1: Enchiridion Vaticanum 13, no. 3065.
  106. No 12.
  107. Benediktus XVI, Intervensi pada Sidang/Pertemuan Umum ke-14 Sinode
    (14 Oktober 2008): Insegnamenti IV, 2 (2008), 493; bdk. Propositio 25.
  108. Bdk. Propositio 26.
  109. Propositio 27.
  110. Benediktus XVI, Intervensi pada Sidang Umum ke-14 Sinode (14 Oktober 2008): Insegnamenti IV, 2 (2008), hlm. 493; bdk. Propositio 26.
  111. Bdk. Ibid.
  112. Ibid.
  113. Bdk. Propositio 27.
  114. Benediktus XVI, Intervensi pada Sidang Umum ke-14 Sinode (14 Oktober 2008): Insegnamenti IV, 2 (2008), 493-494.
  115. Yohanes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 55: AAS 91 (1999), hlm. 49-50.
  116. Bdk. Benediktus XVI, Sambutan pada Kongres Gereja Nasional keempat di Italia (19 Oktober 2006): AAS 98 (2006), hlm. 804-815.
  117. Bdk. Propositio 6.
  118. Bdk. Santo Agustinus, De libero arbitrio, III, XXI, 59: PL 32, 1300; De Trinitate, II, I, 2: PL 42, 845.
  119. Kongregasi Untuk Pendidikan Katolik, Instruksi Inspectis Dierum (10
    November 1989), 26: AAS 82 (1990), hlm. 618.
  120. Katekismus Gereja Katolik, 116.
  121. Summa Theologiae, I, q. 1. art. 10 ad 1.
  122. Katekismus Gereja Katolik, 118.
  123. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993), II, A, 2: Enchiridion Vaticanum 13, no. 2987.
  124. Ibid, II, B, 2: Enchiridion Vaticanum 13, no. 3003.
  125. Benediktus XVI, Sambutan kepada para Wakil dari Dunia Budaya di “College des Bernardins” di Paris (12 September 2008): AAS 100 (2008), hlm. 726.
  126. Ibid.
  127. Bdk. Id., Audiensi Umum (9 Januari 2008): Insegnamenti IV, I (2008),
    hlm. 41-45.
  128. Bdk. Propositio 29.
  129. De Arca Noe, 2, 8: PL 176, 642C-D.
  130. Bdk. Benediktus XVI, Sambutan kepada para Wakil dari Dunia Budaya di “College des Bernardins” di Paris (12 September 2008): AAS 100 (2008), hlm. 725.
  131. Bdk. Propositio 10; Komisi Kitab Suci Kepausan, Umat Yahudi dan Kitab Suci Mereka dalam Alkitab Kristiani (24 Mei 2001): Enchiridon Vaticanum 20, no. 748-755.
  132. Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 121-122.
  133. Propositio 52.
  134. Bdk. Komisi Kitab Suci Kepausan, Umat Yahudi dan Kitab Suci Mereka dalam Alkitab Kristiani (24 Mei 2001) 19: Enchiridion Vaticanum 20, no. 799-801; Origenes, Homili pada nomor 9, 4: SC 415, 238-242.
  135. Katekismus Gereja Katolik, 128.
  136. Ibid., 129.
  137. Propositio 52.
  138. Quaestiones in Heptateuchum, 2, 73: PL 34, 623.
  139. Homiliae in Ezechielem I, VI, 15: PL 76, 836B.
  140. Propositio 29.
  141. Yohanes Paulus II, Pesan kepada Ketua Rabbi Roma (22 Mei 2004): Insegnamenti XXVII, 1 (2004), hlm. 655.
  142. Bdk. Komisi Kitab Suci Kepausan, Umat Yahudi dan Kitab Suci Mereka dalam Alkitab Kristiani (24 Mei 2001), 87: Enchiridion Vaticanum 20, no. 1150.
  143. Bdk. Benediktus XVI, Pidato Perpisahan di Bandara Internasional Ben Gurion di Tel Aviv (15 Mei 2009): Insegnamenti, V, 1 (2009), hlm. 847-849.
  144. Yohanes Paulus II, Sambutan kepada Kepala Rabbi Israel (23 Maret 2000): Insegnamenti XXIII, 1 (2000), hlm. 434.
  145. Bdk. Propositio 46 dan 47.
  146. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993), I, F: Enchiridion Vaticanum 13, no. 2974.
  147. Bdk. Benediktus XVI, Sambutan kepada para Wakil Dunia Budaya di “College des Bernardins” di Paris (12 September 2008): AAS 100 (2008), hlm. 726.
  148. Propositio 46.
  149. Propositio 28.
  150. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 23.
  151. Namun, hendaklah diingat bahwa terkait dengan apa yang disebut kitab-kitab Deuterokanonika dari Perjanjian Lama dan inspirasinya, umat Katolik dan Ortodoks tidak mempunyai kanon Alkitab yang persis sama seperti jemaat Anglikan dan Protestan.
  152. Bdk. Relatio post disceptationem, 36.
  153. Propositio 36.
  154. Bdk. Benediktus XVI, Sambutan pada Sidang Dewan Biasa kesebelas Sekretariat Jenderal Sinode para Uskup (25 Januari 2007): AAS 99 (2007) 85-86.
  155. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Dekret tentang Ekumenisme Unitatis Redintegratio, 21.
  156. Bdk. Propositio 36.
  157. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 10.
  158. Ensiklik Ut Unum Sint (25 Mei 1995) 44: AAS 87 (1995), hlm. 947.
  159. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 10.
  160. Ibid.
  161. Bdk. Ibid., 24.
  162. Bdk. Propositio 22.
  163. Santo Gregorius Agung, Moralia in Job XXIV, VIII, 16: PL 76, 295.
  164. Bdk. Santo Athanasius, Vita Antonii, II:PL 7:127.
  165. Moralia, Regula LXXX, XXII: PG 31, 867.
  166. Regula, 73,3: SC 182, 672.
  167. Thomas Celano, La vita prima di S. Francesco, IX, 22: FF 356.
  168. Regula, I, 1-2: FF 2750.
  169. Beato Yordan Dari Saxony, Libellus de principiis Ordinis Praedicatorum, 104; Monumenta Fratrum Praedicatorum Historica, Roma, 1935, 16, hlm. 75.
  170. Ordo Para Pengkhotbah, Konstitusi Pertama atau Consuetudines, II, XXXI.
  171. Vita, 40,1.
  172. Bdk. Kisah Jiwa. Ms B, 254.
  173. Bdk. Ms C, 35v.
  174. In Iohannis Evangelium Tractatus, I, 12: PL 35, 1385.
  175. Ensiklik Veritatis Splendor (6 Agustus 1993), 25: AAS 85 (1993), hlm. 1153.
  176. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 8.
  177. Relatio post disceptationem, 11.
  178. No 1.
  179. Benediktus XVI, Sambutan dalam Kongres Internasional “Kitab Suci dalam kehidupan Gereja” (16 September 2005): AAS 97 (2005), hlm. 956.
  180. Bdk. Relatio post disceptationem, 10.
  181. Pesan Terakhir, III, 6.
  182. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 24.
  183. Ibid.,7.
  184. Ordo Lectionum Missae, 4.
  185. Ibid., 9.
  186. Ibid., 3; bdk. Luk. 4:16-21; 24:25-35, 44-49.
  187. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 102.
  188. Bdk. Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Pasca-Sinode, Sacramentum Caritatis, (22 Februari 2007), 44-45: AAS 99 (2007), 139-141.
  189. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993), IV, C, 1: Enchiridion Vaticanum 13, no. 3123.
  190. Ibid., III, B, 3: Enchiridion Vaticanum 13, no. 3056.
  191. Bdk. Sacrosanctum Concilium, 48, 51, 56; Dei Verbum, 21, 26; Ad Gentes 6, 15; Presbyterorum Ordinis, 18; Perfectae Caritatis, 6. Dalam Tradisi luhur Gereja kita menemukan ungkapan signifikan seperti “Corpus Christi intelligitur etiam [….] Scriptura Dei” (Kitab Suci Allah juga dipahami sebagai Tubuh Kristus”): Waltramus, De Unitate Ecclesiae Conservanda, 1, 14, ed. W. Schwenkenbecher, Hanoverae, 1883, hlm. 33 “Tubuh Tuhan sungguh makanan sejati dan darah-Nya minuman sejati; ini adalah kebaikan sejati yang disediakan bagi kita dalam kehidupan sekarang, untuk memberi makan diri kita dengan tubuh-Nya dan minum darah-Nya, tidak hanya dalam Ekaristi, tetapi juga dalam membaca Kitab Suci. Sungguh, makanan sejati dan minuman sejati adalah Firman Allah yang kita peroleh dari Kitab Suci”: Santo Hieronimus, Commentarius in Ecclesiasten, III: PL 23, 1092A.
  192. J. Ratzinger (Benediktus XVI), Jesus of Nazareth, New York, 2007, hlm. 268.
  193. Ordo Lectionum Missae, 10.
  194. Ibid.
  195. Bdk. Propositio 7.
  196. Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 13: AAS 91 (1999), hlm. 16.
  197. Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1373-1374.
  198. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 7.
  199. In Psalmum 147: CCL 78, 337-338.
  200. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
    Ilahi, Dei Verbum, 2.
  201. Bdk. Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 107-108.
  202. Ordo Lectionum Missae, 66.
  203. Propositio 16.
  204. Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Pasca-Sinode, Sacramentum Caritatis, (22 Februari 2007) 45: AAS 99 (2007), 140-141.
  205. Bdk. Propositio 14.
  206. Bdk. Kitab Hukum Kanonik, kan. 230 §2; 204 §1.
  207. Ordo Lectionum Missae, 55.
  208. Ibid., 8.
  209. No 46: AAS 99 (2007), 141.
  210. Bdk. Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 25.
  211. Propositio 15.
  212. Ibid.
  213. Sermo 179,1: PL 8, 966.
  214. Bdk. Anjuran Apostolik Pasca-Sinode, Sacramentum Caritatis, 93: AAS
    99 (2007), 177.
  215. Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, Compendium Eucharisticum (25 Maret 2009), Kota Vatikan, 2009.
  216. Epistula 52, 7: CSEL 54, 426-427.
  217. Propositio 8.
  218. Ritus Pengakuan dosa, 17.
  219. Ibid., 19.
  220. Propositio 8.
  221. Propositio 19.
  222. Prinsip dan Norma Liturgi Ibadat Harian, III, 15.
  223. Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 85.
  224. Bdk. Kitab Hukum Kanonik, kan. 276§3, 1174§1.
  225. Bdk. Kitab Hukum Kanonik Gereja-gereja Timur, kan. 377; 473§1 dan §2, 1°;
    538 §1, 881§1.
  226. Buku Berkat, Pengantar, 21.
  227. Bdk. Propositio 18; Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 35.
  228. Bdk. Anjuran Apostolik Pasca-Sinode, Sacramentum Caritatis (22 Februari 2007), 745: AAS 99 (2007), 162-163.
  229. Ibid.
  230. Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, Pedoman Kesalehan Umat dan Liturgi, Prinsip dan Petunjuk (17 Desember 2001), 87: Enchiridion Vaticanum 20, No. 2461.
  231. Bdk. Propositio 14.
  232. Bdk. Santo Ignatius dari Antiokhia, Ad Ephesios, XV, 2: Patres Apostolici, ed. F.X. FUNK, Tubingae, 1901, I, 224.
  233. Santo Agustinus, Sermo 288, 5: PL 38, 1307; Sermo 120, 2: PL 38, 677.
  234. Pedoman Umum Misale Romawi, 56.
  235. Ibid., 45; bdk. Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 30.
  236. Ordo Lectionum Missae, 13.
  237. Bdk. Ibid., 17.
  238. Propositio 40.
  239. Bdk. Pedoman Umum Misale Romawi, 309.
  240. Bdk. Propositio 14.
  241. Anjuran Apostolik Pasca-Sinode, Sacramentum Caritatis, (22 Februari 2007), 69: AAS 99 (2007), 157.
  242. Bdk. Pedoman Umum Misale Romawi, 57.
  243. Propositio 14.
  244. Bdk. Kanon 36 dari Sinode Hippo, pada tahun 399: DS 186.
  245. Bdk. Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Vicesimus Quintus Annus (4
    Desember 1988), 13: AAS 81 (1989), hlm. 910; Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, Instruksi Redemptionis Sacramentum (25 Maret 2004), 62: Enchiridion Vaticanum 22, no 2248.
  246. Bdk. Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium 116; Pedoman Umum Misale Romawi, 41.
  247. Bdk. Propositio 14.
  248. Propositio 9.
  249. Epistula 30, 7: CSEL 54, hlm. 246.
  250. Id., Epistula 133, 13: CSEL 56, hlm. 260.
  251. Id., Epistula 107, 9, 12: CSEL 55, hlm. 300, 302.
  252. Id., Epistula 52, 7: CSEL 54, hlm. 426.
  253. Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 31: AAS 93 (2001), hlm. 287-288.
  254. Propositio 30; bdk. Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum 24.
  255. Santo Hieronimus, Commentariorum in Isaiam libri, Prol.: PL 24, 17 B.
  256. Propositio 21.
  257. Bdk. Propositio 23.
  258. Bdk. Kongregasi Bagi Para Klerus, Petunjuk Umum Katekese (1 Agustus 1997), 94-96: Enchiridion Vaticanum 16, no. 875-878; Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (16 Oktober 1979), 27: AAS 71 (1979), 1298-1299.
  259. Ibid., 127: Enchiridion Vaticanum 16, no. 935; bdk. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (16 Oktober 1979), 27: AAS 71 (1979), 1299.
  260. Ibid., 128: Enchiridion Vaticanum 16, no. 936.
  261. Bdk. Propositio 33.
  262. Bdk. Propositio 45.
  263. Bdk. Konsili Ekumene Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis mengenai Gereja Lumen Gentium, 39-42.
  264. Propositio 31.
  265. No 15: AAS 96 2004), 846-847.
  266. No 26: AAS 84 (1992), 698.
  267. Ibid.
  268. Benediktus XVI, Homili pada Misa Krisma (9 April 2009): AAS 101
    (2009), 355.
  269. Ibid., 356.
  270. Kongregasi Bagi Pendidikan Katolik, Norma-norma fundamental bagi Pembinaan Diakon Permanen (22 Februari 1998), 11: Enchiridion Vaticanum, 17, no 174-175.
  271. Ibid., 74: Enchiridion Vaticanum 17, no. 263.
  272. Ibid., 81: Enchiridion Vaticanum 17, no. 271.
  273. Propositio 32.
  274. Bdk. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Pasca Sinode Pastores Dabo Vobis (25 Maret 1992), 47: AAS 84 (1992), hlm. 740-742.
  275. Propositio 24.
  276. Benediktus XVI, Homili pada Hari Hidup Bakti Sedunia (2 Februari 2008): AAS 100 (2008), 133; Bdk. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Pasca Sinode Vita Consecrata (25 Maret 1996), 82: AAS 88 (1996), 458-460.
  277. Kongregasi Bagi Lembaga Hidup Bakti dan Bagi Serikat Hidup Kerasulan, Instruksi Bertolak Segar Dalam Kristus: Komitmen Hidup Bakti Yang Dibaharui Di Milenium Ketiga (19 Mei 2002), 24: Enchiridion Vaticanum 21, no. 447.
  278. Bdk. Propositio 24.
  279. Santo Benediktus, Regula IV, 21:SC 181, 456-458.
  280. Benediktus XVI, Sambutan di Heiligenkreuz Abbey (9 September 2007): AAS 99 (2007), 856.
  281. Bdk. Propositio 30.
  282. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Pasca Sinode Christifideles Laici (30 Desember 1988), 17: AAS 81 (1989), hlm. 418.
  283. Bdk. Propositio 33.
  284. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Pasca Sinode Familiaris Consortio (22 November 1981), 49: AAS 74 (1982), hlm. 140-141.
  285. Propositio 20.
  286. Bdk. Propositio 21.
  287. Propositio 20.
  288. Bdk. Surat Apostolik Mulieris Dignitatem (15 Agustus 1988), 31: AAS 80 (1988), hlm. 1727-1729.
  289. Propositio 17.
  290. Propositio 9 dan 22.
  291. No. 25.
  292. Enarrationes in Psalmos, 85, 7: PL 7, 1086.
  293. Origenes, Epistola ad Gregorium, 3: PG 11,92.
  294. Benediktus XVI, Sambutan kepada para mahasiswa dari Seminari Tinggi Roma (19 Februari 2007): AAS 99 (2007), hlm. 253-254.
  295. Bdk. Id., Anjuran Apostolik Pasca Sinode Sacramentum Caritatis (22 Februari 2007), 66; AAS 99 (2007), 155-156.
  296. Pesan Terakhir, III, 9.
  297. Ibid.
  298. Plenaria indulgentia conceditur christifideli qui Sacram Scripturam, iuxta textum a competenti auctoritate adprobatum, cum veneratione divino eloquio debita et ad modum lectionis spiritalis, per dimidiam saltem horam legerit; si per minus tempus id egerit indulgentia erit partialis”: apostolic penitentiary, Enchiridion Indulgentiarum. Normae et Concessiones (16 Juli 1999), 30, §1.
  299. Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1471-1479.
  300. Paulus VI, Konstitusi Apostolik Indulgentiarum Doctrina (1 Januari
    1967): AAS 59 (1967), hlm. 18-19.
  301. Bdk. Epistula 49, 3: PL 16, 1204 A.
  302. Bdk. Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen,
    Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi: Asas-asas dan Pedoman (17 Desember 2001), 197-202: Enchiridion Vaticanum 20, no. 2638-2643.
  303. Bdk. Propositio 55.
  304. Bdk. Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae (16 Oktober 2002): AAS 95 (2003), hlm 5-36.
  305. Propositio 55.
  306. Bdk. Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi: Asas-asas dan Pedoman (17 Desember 2001), 207: Enchiridion Vaticanum 20, no. 2656-2657.
  307. Bdk. Propositio 51.
  308. Benediktus XVI, Homili dalam Misa di Lembah Yosafat, Yerusalem, (12 Mei 2009): AAS 101 (2009), hlm. 473.
  309. Bdk. Epistula 108, 14: CSEL 55, hlm. 324-325.
  310. Adversus Haereses, IV, 20,7: PG 7, 1037.
  311. Benediktus XVI, Ensiklik Spe Salvi (30 November 2007), 31: AAS 99 (2007), hlm. 1010.
  312. Benediktus XVI, Sambutan kepada para Wakil dari Dunia Budaya di “College des Bernardins” di Paris (12 September 2008): AAS 100 (2008), hlm. 730.
  313. Bdk. In Evangelium secundum Matthaeum 17:7: PG 13, 1197B, Santo Hieronimus, Translatio homiliarum Origenis in Lucam, 36: PL 26, 324-325.
  314. Bdk. Benediktus XVI, Homili pada pembukaan Sidang Umum Biasa ke-12 Sinode para Uskup (5 Oktober 2008): AAS 100 (2008), hlm. 757.
  315. Propositio 38.
  316. Bdk. Kongregasi Bagi Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Instruksi Bertolak Segar Dalam Kristus: Komitmen Hidup Bakti Yang Dibaharui Di Millenium Ketiga (19 Mei 2002), 36: Enchiridion Vaticanum 21, no. 488-491.
  317. Propositio 30.
  318. Bdk. Propositio 38.
  319. Bdk. Propositio 49.
  320. Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptoris Missio (7 Desember 1990): AAS 83(1991), hlm. 294-340; Surat Apostolik Novo Millenio Ineunte (6 Januari 2001), 40: AAS 93 (2001), hlm. 294-295.
  321. Propositio 38.
  322. Bdk. Benediktus XVI, Homili pada Pembukaan Sidang Umum Biasa ke-12 Sinode para Uskup (5 Oktober 2008): AAS 100 (2008), hlm. 753-757.
  323. Propositio 38.
  324. Pesan Terakhir, IV, 12.
  325. Paulus VI, Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 22: AAS 68 (1976), 20.
  326. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Deklarasi tentang Kebebasan Beragama Dignitatis Humanae, 2 dan 7.
  327. Bdk. Propositio 39.
  328. Bdk. Benediktus XVI, Pesan bagi Hari Perdamaian Sedunia 2009 (8 Desember 2008): Insegnamenti IV, 2 (2008), hlm. 792-802.
  329. Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 19: AAS 68 (1976), 18.
  330. Bdk. Propositio 39.
  331. Yohanes XXIII, Ensiklik Pacem in Terris (11 April 1963), 1: AAS 55 (1963), hlm. 259.
  332. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 47: AAS 83 (1991), 851-852; Sambutan kepada Sidang Umum PBB (2 Oktober 1979), 13: AAS 71 (1979), hlm. 1152-1153.
  333. Kompendium Ajaran Sosial Gereja, no. 152-159.
  334. Bdk. Benediktus XVI, Pesan bagi Hari Perdamaian Sedunia 2007 (8 Desember 2006), 10: Insegnamenti II, 2 (2006), hlm. 780.
  335. Bdk. Propositio 8.
  336. Benediktus XVI, Homili (25 Januari 2009): Insegnamenti V, 1 (2009), 141.
  337. Benediktus XVI, Homili pada Penutupan Sidang Umum Biasa Ke-12 Sinode para Uskup (26 Oktober 2008): AAS 100 (2008),
    779.
  338. Propositio 11.
  339. Benediktus XVI, Ensiklik Deus Caritas Est (25 Desember 2005), 28: AAS 98 (2006), hlm. 240.
  340. De Doctrina Christiana, I, 35,39-36, 40: PL 34,34.
  341. Bdk. Benediktus XVI, Pesan pada Hari Orang Muda Sedunia ke-21 (22
    Februari 2006): AAS 98 (2006), hlm. 282-286.
  342. Bdk. Propositio 34.
  343. Bdk. Ibid.
  344. Homili (24 April 2005): AAS 97 (2005), hlm. 712.
  345. Bdk. Propositio 38.
  346. Benediktus XVI, Homili pada Hari Orang Sakit Sedunia ke-17 (11 Februari 2009): Insegnamenti V, 1 (2009), 232.
  347. Bdk. Propositio 35.
  348. Propositio 11.
  349. Bdk. Benediktus XVI, Ensiklik Deus Caritas Est (25 Desember 2005), 25: AAS 98 (2006), hlm. 236-237.
  350. Propositio 11.
  351. Benediktus XVI, Homili (1 Januari 2009): Insegnamenti V, I, (2009), 236-237.
  352. Propositio 54.
  353. Bdk. Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Pasca Sinode Sacramentum Caritatis (22 Februari 2007), 92; AAS 99 (2007), 176-177.
  354. Yohanes Paulus II, Sambutan kepada UNESCO (2 Juni 1980), 6: AAS 72 (1980), 738.
  355. Bdk. Propositio 41.
  356. Bdk. Ibid.
  357. Yohanes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 80: AAS 91 (1999), 67-68.
  358. Bdk. Lineamenta 23.
  359. Bdk. Propositio 40.
  360. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Dekret tentang Upaya-upaya
    Komunikasi Sosial Inter Mirifica; Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Instruksi Pastoral Communio et Progressio (23 Mei 1971): AAS 63 (1971), hlm. 596-656; Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Perkembangan Cepat (24 Januari 2005): AAS 97 (2005) no. 265-274; Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Instruksi Pastoral Aetatis Novae (22 Februari 1992): AAS 84 (1992), hlm. 447-468; Gereja dan Internet (22 Februari 2002): Enchiridion Vaticanum 21, no. 66-95; Etika dalam Internet (22 Februari 2002): Enchiridion Vaticanum 21, no. 96-127.
  361. Bdk. Pesan Akhir IV, 11; Benediktus XVI, Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2009 (24 Januari 2009): Insegnamenti V, 1 (2009), hlm. 123-127.
  362. Bdk. Propositio 44.
  363. Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-36 (24
    Januari 2002): Insegnamenti XXV, 1 (2002), hlm. 94-95.
  364. Bdk. Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 20: AAS 68 (1976), 18-19.
  365. Bdk. Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Pasca Sinode Sacramentum Caritatis (22 Februari 2007), 78: AAS 99 (2007), 165.
  366. Bdk. Propositio 48.
  367. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993), IV, B: Enchiridion Vaticanum 13, no. 3112.
  368. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Dekret tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 22; Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993), IV, B: Enchiridion Vaticanum 13, no. 3111-3117.
  369. Yohanes Paulus II, Sambutan kepada para Uskup Kenya (7 Mei 1980), 6: AAS 72 (1980), hlm. 497.
  370. Bdk. Instrumentum Laboris, 56.
  371. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja (15 April 1993), IV, B: Enchiridion Vaticanum 13, no. 3113.
  372. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
    Ilahi, Dei Verbum, 22.
  373. Bdk. Propositio 42
  374. Bdk. Propositio 43.
  375. Benediktus XVI, Homili selama Ibadat Harian Ketiga pada permulaan Pertemuan/Sidang Umum pertama Sinode para Uskup (6 Oktober 2008): AAS 100 (2008), hlm. 760.
  376. Di antara sejumlah intervensi dari berbagai macam jenis, lihat: Yohanes Paulus II, Ensiklik Dominum et Vivificantem (18 Mei 1986): AAS 78 (1986), hlm. 809-900; Ensiklik Redemptoris Missio (7 Desember 1990): AAS 83 (1991), hlm. 249-340; Sambutan-sambutan dan Homili-homili di Assisi untuk Hari Doa bagi Perdamaian 27 Oktober 1986: Insegnamenti IX, 2 (1986), hlm. 1249-1273; Hari Doa bagi Perdamaian Dunia (24 Januari 2002): Insegnamenti XXV, 1, (2002), hlm. 97-108; Kongregasi untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dominus Iesus tentang Unitas dan Universalitas Penyelamatan Yesus Kristus dan Gereja (6 Agustus 2000): AAS 92 (2000), hlm. 742-765.
  377. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Deklarasi tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani Nostra Aetate, 3.
  378. Bdk. Benediktus XVI, Sambutan kepada para Duta Besar terutama dari Negara-negara Muslim yang diakreditasi untuk Takhta Suci (25 September 2006): AAS 98 (2006), hlm. 704-706.
  379. Bdk. Propositio 53.
  380. Bdk. Propositio 50.
  381. Ibid.
  382. Yohanes Paulus II, Sambutan pada Pertemuan dengan Remaja Muslim di Casablanca, Maroko (19 Agustus 1985), 5: AAS 78 (1986), hlm. 99.

Sumber Teks ini :
Seri Dokumen Gerejawi No. 125 : Verbum Domini, Dokpen KWI

#Evangelisasi #LectioDivina #SabdaAllah #VerbumDomini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.