SURAT DARI PAUS FRANSISKUS
TENTANG PERAN SASTRA DALAM PEMBINAAN (FORMASIO)
1. Awalnya, saya memilih untuk memberi judul Surat ini dengan merujuk pada pembinaan imamat. Namun, setelah direnungkan lebih lanjut, tema ini juga berlaku untuk pembinaan semua orang yang terlibat dalam karya pastoral, bahkan semua umat Kristiani. Apa yang ingin saya bahas di sini adalah nilai dari membaca novel dan puisi sebagai bagian dari jalan menuju kedewasaan pribadi.
2. Seringkali selama masa-masa membosankan di hari libur, di tengah panas dan sunyinya lingkungan yang sepi, menemukan buku yang bagus untuk dibaca dapat menjadi oase yang menjauhkan kita dari pilihan-pilihan lain yang kurang sehat. Demikian juga pada saat-saat kelelahan, kemarahan, kekecewaan atau kegagalan, dan bahkan ketika doa juga tidak membantu kita menemukan ketenangan batin, buku yang baik dapat membantu kita untuk menghadapi badai hingga kita mendapatkan sedikit ketenangan. Waktu yang dihabiskan untuk membaca dapat membuka ruang batin baru yang membantu kita untuk tidak terjebak oleh pikiran-pikiran obsesif yang dapat menghalangi pertumbuhan pribadi kita. Memang, sebelum kita terpapar tanpa henti oleh media sosial, ponsel dan perangkat lainnya, membaca adalah pengalaman yang umum, dan mereka yang pernah mengalaminya tahu apa yang saya maksud. Hal ini bukanlah sesuatu yang benar-benar ketinggalan zaman.
3. Tidak seperti media audio-visual, di mana produknya lebih lengkap dan waktu yang tersedia untuk “memperkaya” narasi atau mengeksplorasi maknanya biasanya cukup terbatas, sebuah buku menuntut keterlibatan pribadi yang lebih besar dari pembacanya. Dalam arti tertentu, pembaca menulis ulang teks tersebut, memperluas cakupannya melalui imajinasi mereka, menciptakan sebuah dunia yang utuh dengan membawa keterampilan, ingatan, impian, dan kisah pribadi mereka sendiri yang penuh dengan drama dan simbolisme. Dengan cara ini, apa yang muncul adalah sebuah karya yang sangat berbeda dari apa yang ingin ditulis oleh pengarangnya. Dengan demikian, sebuah karya sastra adalah sebuah teks yang hidup dan terus berkembang, yang mampu berbicara kembali dengan cara yang berbeda dan menghasilkan sintesis yang orisinal dari setiap pembacanya. Dalam proses membaca, kita diperkaya oleh apa yang kita terima dari penulis, dan hal tersebut memungkinkan kita pada gilirannya untuk dapat mengembangkan kekayaan pribadi kita sendiri, sehingga setiap karya baru yang kita baca akan memperbaharui dan memperluas pandangan dunia (worldview) kita.
4. Karena alasan inilah saya sangat menghargai fakta bahwa setidaknya beberapa seminari telah bereaksi atas obsesi terhadap “layar” dan fake news (berita palsu) yang beracun, dangkal dan penuh kekerasan, dengan mengalokasikan waktu dan perhatian pada sastra. Mereka telah melakukan hal tersebut dengan menyisihkan waktu untuk membaca dengan tenang dan mendiskusikan buku-buku, baik yang baru maupun yang lama, yang terus memberikan banyak hal kepada kita. Namun, sangat disayangkan, pemahaman yang memadai tentang sastra pada umumnya tidak menjadi bagian dari program-program pembinaan untuk pelayanan imamat. Sastra sering dianggap hanya sebagai bentuk hiburan, sebuah “seni minor” yang tidak perlu menjadi bagian dari pendidikan calon imam dan persiapan mereka untuk pelayanan pastoral. Dengan beberapa pengecualian, sastra dianggap tidak esensial. Saya menganggap penting untuk menegaskan bahwa pendekatan seperti itu tidak sehat. Pendekatan tersebut dapat menyebabkan kemiskinan intelektual dan rohani yang serius bagi para calon imam, yang akan kehilangan akses istimewa yang diberikan oleh sastra kepada jantung budaya manusia dan, lebih khusus lagi, ke dalam hati setiap individu.
5. Melalui Surat ini, saya ingin mengusulkan sebuah perubahan arah yang radikal. Dalam hal ini, saya setuju dengan pengamatan seorang teolog bahwa, “sastra […] berasal dari inti yang paling tidak dapat direduksi dari seseorang, tingkat misterius [dari keberadaan mereka]. … Sastra adalah kehidupan, sadar akan dirinya sendiri, yang mencapai ekspresi diri sepenuhnya melalui penggunaan semua sumber daya konseptual bahasa”.[1]
6. Maka, dengan satu atau lain cara, sastra berkaitan dengan Hasrat terdalam kita dalam hidup ini, karena sastra berhubungan erat dengan eksistensi konkret kita, dengan ketegangan, hasrat, dan maknanya yang esensial.
7. Sebagai seorang guru muda, saya menemukan hal ini dengan murid-murid saya. Antara tahun 1964 dan 1965, pada usia 28 tahun, saya mengajar sastra di sebuah sekolah Yesuit di Santa Fe. Saya mengajar dua tahun terakhir sekolah menengah atas dan harus memastikan bahwa murid-murid saya mempelajari El Cid. Para siswa tidak senang; mereka sering bertanya apakah mereka bisa membaca García Lorca sebagai gantinya. Jadi saya memutuskan bahwa mereka boleh membaca El Cid di rumah, dan selama pelajaran saya akan mendiskusikan penulis yang paling disukai oleh para siswa. Tentu saja, mereka ingin membaca karya sastra kontemporer. Namun, ketika mereka membaca karya-karya yang menarik bagi mereka pada saat itu, mereka mengembangkan selera yang lebih umum terhadap sastra dan puisi, dan dengan demikian mereka beralih ke penulis lain. Pada akhirnya, hati kita selalu mencari sesuatu yang lebih besar, dan setiap orang akan menemukan jalannya sendiri dalam sastra.[2] Saya sendiri menyukai para penulis tragedi, karena kita semua dapat menerima karya mereka sebagai karya kita sendiri, sebagai ungkapan drama pribadi kita. Dalam menangisi nasib tokoh mereka, pada dasarnya kita menangisi diri kita sendiri, atas kekosongan, kekurangan, dan kesepian kita sendiri. Tentu saja, saya tidak meminta Anda untuk membaca hal yang sama seperti yang saya lakukan. Setiap orang akan menemukan buku yang sesuai dengan kehidupan mereka sendiri dan menjadi teman yang otentik dalam perjalanan mereka. Tidak ada yang lebih kontraproduktif daripada membaca sesuatu karena kewajiban, melakukan upaya yang besar hanya karena orang lain mengatakan bahwa hal itu penting. Sebaliknya, sambil selalu terbuka terhadap bimbingan, kita harus memilih bacaan kita dengan pikiran terbuka, kesediaan untuk terkejut, fleksibilitas tertentu, dan kesiapan untuk belajar, mencoba menemukan apa yang kita butuhkan di setiap titik kehidupan kita.
Iman dan budaya
8. Sastra juga terbukti penting bagi orang-orang beriman yang dengan tulus berusaha untuk berdialog dengan budaya pada zamannya, atau dengan kehidupan dan pengalaman orang lain. Konsili Vatikan II dengan tepat menyatakan bahwa “kesusastraan dan kesenian […] berusaha menyelami kodrat khas manusia” dan “menggambarkan duka-derita maupun kegembiraannya, kebutuhan-kebutuhan maupun daya kekuatannya”.[3] Sastra sejatinya mengambil inspirasi dari kehidupan kita sehari-hari, dari hasrat dan peristiwa-peristiwanya yang nyata seperti “tindakan, pekerjaan, cinta, kematian, dan semua hal sederhana yang mengisi kehidupan”.[4]
9. Bagaimana kita dapat menjangkau inti dari budaya lama dan baru jika kita mengabaikan, menolak atau membungkam simbol-simbol, pesan-pesan, ekspresi artistik, dan kisah-kisah yang mereka tangkap, dan yang ingin mereka ungkapkan dan bangkitkan, usaha-usaha dan cita-cita mereka yang tertinggi, beserta dengan penderitaan, ketakutan, dan hasrat mereka yang terdalam? Bagaimana kita dapat berbicara kepada hati manusia jika kita mengabaikan, mengesampingkan, atau tidak menghargai “kata-kata” yang mereka gunakan untuk mengekspresikan dan membeberkan drama kehidupan dan perasaan mereka melalui novel dan puisi?
10. Gereja, dalam pengalaman misionernya, telah belajar bagaimana menampilkan semua keindahan, kesegaran dan kebaruan dalam perjumpaannya – sering kali melalui kesusastraan – dengan berbagai budaya yang berbeda di mana imannya telah berakar, tanpa ragu-ragu untuk berinteraksi dan memanfaatkan yang terbaik dari apa yang ditemukan di setiap budaya. Pendekatan ini membebaskannya dari godaan untuk merujuk pada diri sendiri secara fundamentalis, suatu sikap yang menganggap “tata bahasa” budaya-historis tertentu sebagai sesuatu yang mampu mengekspresikan seluruh kekayaan dan kedalaman Injil.[5] Banyak nubuat tentang kiamat yang mencoba menabur keputusasaan pada masa kini justru berakar pada keyakinan semacam itu. Kontak dengan gaya sastra dan tata bahasa yang berbeda akan selalu membantu kita untuk mengeksplorasi lebih dalam polifoni wahyu ilahi tanpa memiskinkannya atau mereduksinya menjadi sesuai dengan kondisi-kondisi historis atau cara berpikir kita.
11. Oleh karena itu, bukanlah suatu kebetulan bahwa orang-orang Kristen pada zaman dahulu, misalnya, dengan jelas menyadari perlunya keterlibatan yang serius dengan budaya klasik pada masa itu. Basil dari Kaisarea, salah satu Bapa Gereja Timur, dalam bukunya Discourse to the Young, yang ditulis antara tahun 370 dan 375, dan kemungkinan besar ditujukan kepada keponakan-keponakannya, memuji kekayaan sastra klasik yang dihasilkan oleh para hoi éxothen (“mereka yang berada di luar”), sebutan untuk para penulis pagan. Ia melihat hal ini baik dari segi argumentasi, yaitu lógoi (wacana), yang berguna untuk teologi dan eksegesis [penafsiran alkitab], dan konten etisnya, yaitu práxeis (tindakan, perilaku) yang berguna untuk kehidupan asketis dan moral. Basil mengakhiri karya ini dengan mendorong kaum muda Kristen untuk mempertimbangkan karya-karya klasik sebagai ephódion (“viaticum” [sarana atau bekal]) untuk pengajaran dan pembinaan mereka, dengan mengambil dari karya-karya tersebut suatu “manfaat bagi jiwa” (IV, 8-9). Dan justru dari perjumpaan antara Kekristenan dan budaya pada masa itu, lahirlah sebuah penjabaran ulang yang orisinal dari pewartaan Injil.
12. Berkat pemahaman dalam kearifan injili (evangelical discernement) atas budaya, kita dapat mengenali kehadiran Roh dalam berbagai pengalaman manusia, melihat benih-benih kehadiran Roh yang telah tertanam dalam berbagai peristiwa, kepekaan, keinginan dan kerinduan mendalam yang ada di dalam hati dan di dalam lingkungan sosial, budaya, dan spiritual. Kita dapat melihat hal ini, misalnya, dalam pendekatan yang dilakukan oleh Paulus di depan Areopagus, seperti yang diceritakan dalam Kisah Para Rasul (17:16-34). Dalam pidatonya, Paulus berkata tentang Allah: “ ‘Di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada’, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: ‘Sebab kita ini dari keturunan Allah juga’.” (Kis. 17:28). Ayat ini berisi dua kutipan: satu kutipan tidak langsung, dari penyair Epimenides (abad ke-6 SM), dan satu kutipan langsung, dari Phaenomena, karya penyair Aratus dari Soli (abad ke-3 SM), yang menulis tentang rasi bintang dan tanda-tanda cuaca baik dan buruk. Di sini, “Paulus mengungkapkan bahwa ia adalah seorang ‘pembaca’ sekaligus menunjukkan metodenya dalam mendekati teks sastra, yang merupakan sebuah pemahaman dalam kearifan injili atas budaya. Orang-orang Athena menganggapnya sebagai seorang spermologos, seorang ‘pengoceh’, yang secara harfiah berarti ‘pengumpul benih’. Apa yang pasti dimaksudkan sebagai penghinaan, secara ironis, terbukti benar adanya. Paulus mengumpulkan benih-benih puisi pagan dan, mengatasi kesan pertamanya (lih. Kis. 17:16), ia mengakui bahwa orang-orang Athena ‘sangat religius’ dan melihat di dalam karya-karya sastra klasik mereka sebuah praeparatio evangelica yang sesungguhnya.”[6]
13. Apa yang dilakukan Paulus? Ia memahami bahwa “sastra menyingkapkan jurang-jurang yang ada di dalam diri manusia, sementara wahyu, dan kemudian teologi, memanfaatkannya untuk menunjukkan bagaimana Kristus datang untuk memasuki jurang-jurang tersebut dan meneranginya”.[7] Oleh karena itu, karya sastra adalah sebuah “jalan masuk”[8] menuju jurang-jurang tersebut, yang membantu para gembala jiwa-jiwa untuk memasuki dialog yang bermanfaat dengan budaya pada zamannya.
Kristus tak terpisah dari tubuh-Nya
14. Sebelum mengeksplorasi alasan-alasan spesifik mengapa studi sastra harus didorong dalam pembinaan para calon imam, saya ingin terlebih dahulu mengatakan sesuatu tentang lanskap religius kontemporer. “Kembali kepada kesucian dan pencarian spiritualitas yang menandai zaman kita merupakan fenomena yang mendua. Saat ini tantangan kita bukanlah terutama soal ateisme, namun lebih pada kebutuhan untuk menanggapi dengan tepat rasa haus banyak orang akan Allah, supaya mereka tidak mencoba memuaskannya dengan solusi-solusi yang mengasingkan atau dengan Yesus yang terpisah dari tubuh-Nya.”[9] Oleh karena itu, tugas mendesak untuk mewartakan Injil di zaman kita memerlukan komitmen dari umat beriman, dan khususnya para imam, untuk memastikan bahwa setiap orang dapat berjumpa dengan Yesus Kristus yang telah menjadi daging (flesh), menjadi manusia (man), menjadi sejarah (history). Kita harus selalu berhati-hati agar tidak melupakan “daging” Yesus Kristus: daging yang terdiri dari hasrat, emosi, perasaan, kisah-kisah konkret yang menantang dan menghibur, tangan yang menyentuh dan menyembuhkan, tatapan yang membebaskan dan menguatkan; daging yang mencakup keramahtamahan, pengampunan, tindakan melawan ketidakadilan, keberanian, dan ketegasan; dalam satu kata : cinta.
15. Dan pada tingkat ini, keakraban dengan sastra dapat membuat para calon imam dan semua orang yang terlibat dalam karya pastoral semakin peka terhadap kemanusiaan Tuhan Yesus yang seutuhnya, di mana keilahian-Nya hadir sepenuhnya. Dengan cara ini, mereka dapat mewartakan Injil dengan cara yang memungkinkan setiap orang untuk mengalami kebenaran ajaran Konsili Vatikan II yang menyatakan bahwa “hanya dalam misteri Sabda yang menjelmalah, misteri manusia benar-benar menjadi jelas”.[10] Ini bukanlah misteri umat manusia yang abstrak, tetapi misteri semua pria dan wanita, dengan luka, cita-cita, kenangan, dan harapan yang merupakan bagian nyata dari kehidupan mereka.
Berbagai manfaat dari membaca
16. Dari sudut pandang praktis, banyak ilmuwan berpendapat bahwa kebiasaan membaca memiliki banyak dampak positif pada kehidupan manusia, membantu mereka memperoleh kosakata yang lebih luas dan dengan demikian mengembangkan kemampuan intelektual yang lebih luas. Hal ini juga merangsang imajinasi dan kreativitas mereka, memungkinkan mereka untuk belajar menceritakan kisah-kisah mereka dengan cara yang lebih kaya dan lebih ekspresif. Hal ini juga meningkatkan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi, mengurangi tingkat penurunan kognitif, dan menenangkan stres dan kecemasan.
17. Lebih dari itu, membaca mempersiapkan kita untuk memahami dan dengan demikian menghadapi berbagai situasi yang muncul dalam kehidupan. Dalam membaca, kita menyelami pikiran, kekhawatiran, tragedi, bahaya, dan ketakutan para tokoh yang pada akhirnya berhasil mengatasi tantangan hidup. Mungkin juga, dengan mengikuti sebuah cerita hingga akhir, kita memperoleh wawasan yang nantinya akan berguna dalam kehidupan kita sendiri.
18. Dalam upaya untuk mendorong membaca, saya ingin menyebutkan dua teks dari penulis terkenal, yang, dalam beberapa kata, memiliki banyak hal yang dapat diajarkan kepada kita:
Novel membebaskan “dalam diri kita, selama satu jam, semua kemungkinan kegembiraan dan kesedihan, yang dalam kehidupan kita akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengetahui beberapa di antaranya, dan di mana yang paling intens tidak akan pernah terungkap kepada kita karena kelambanan realisasinya membuat kita tidak dapat melihatnya”.[11]
“Ketika membaca karya-karya sastra yang hebat, saya menjadi ribuan orang dan, pada saat yang sama, saya tetap menjadi diri saya sendiri. Seperti langit malam dalam puisi Yunani, saya melihat dengan sejuta mata, namun tetap saja saya yang melihat. Di sini, seperti dalam doa, cinta, tindakan moral, dan pengetahuan, saya melampaui diri saya sendiri; dan ketika saya melampaui diri sendiri, saya lebih menjadi diri saya sendiri dari sebelumnya”.[12]
19. Namun, saya tidak bermaksud untuk hanya berfokus pada keuntungan pribadi yang dapat diperoleh dari membaca, tetapi untuk merefleksikan alasan-alasan yang paling penting untuk mendorong kecintaan yang baru untuk membaca.
Mendengarkan suara orang lain
20. Ketika saya berpikir tentang sastra, saya teringat akan apa yang dikatakan oleh penulis besar Argentina, Jorge Luis Borges,[13] kepada murid-muridnya, yaitu bahwa hal yang paling penting adalah membaca, bersentuhan langsung dengan sastra, menyelami teks yang hidup di depan kita, daripada terpaku pada ide-ide dan komentar-komentar kritis. Borges menjelaskan ide ini kepada murid-muridnya dengan mengatakan bahwa pada awalnya mereka mungkin hanya memahami sedikit saja dari apa yang mereka baca, tetapi bagaimanapun juga mereka sedang mendengarkan “suara orang lain”. Ini adalah definisi sastra yang sangat saya sukai: mendengarkan suara orang lain. Kita tidak boleh lupa betapa berbahayanya berhenti mendengarkan suara orang lain ketika mereka menantang kita! Kita langsung jatuh ke dalam isolasi diri; kita masuk ke dalam semacam “ketulian rohani”, yang berdampak negatif pada hubungan kita dengan diri kita sendiri dan hubungan kita dengan Allah, tidak peduli seberapa banyak teologi atau psikologi yang mungkin telah kita pelajari.
21. Pendekatan terhadap sastra ini, yang membuat kita peka terhadap misteri orang lain, mengajarkan kita bagaimana menyentuh hati mereka. Di sini, saya teringat akan kata-kata berani yang disampaikan oleh Santo Paulus VI kepada para seniman dan juga kepada para penulis pada tanggal 7 Mei 1964: “Kami membutuhkan Anda. Pelayanan kami membutuhkan kerja sama Anda. Karena seperti yang Anda ketahui, pelayanan kami adalah untuk mewartakan, dan untuk memastikan bahwa dunia rohani, dunia yang tak terlihat, dunia yang tak terlukiskan, dunia Allah, dapat diakses dan dipahami, bahkan menggerakkan emosi. Dan Anda adalah para ahli dalam bidang ini, yaitu membuat dunia yang tak terlihat dapat dijangkau dan dimengerti”.[14] Inilah intinya: tugas umat beriman, dan khususnya para imam, adalah untuk “menyentuh” hati manusia masa kini agar tergerak dan terbuka terhadap pewartaan Tuhan Yesus. Dalam tugas besar ini, kontribusi yang dapat diberikan oleh sastra dan puisi memiliki nilai yang tak tertandingi.
22. T.S. Eliot, penyair yang puisi dan esainya, yang mencerminkan iman Kristennya, memiliki tempat yang menonjol dalam sastra modern, dengan jeli menggambarkan krisis agama saat ini sebagai krisis “ketidakmampuan emosional” yang meluas.[15] Dalam terang pemahaman atas realitas ini, masalah iman pada masa kini bukanlah terutama soal semakin percaya atau kurang percaya terhadap doktrin-doktrin tertentu. Melainkan ketidakmampuan banyak orang pada zaman kita untuk tergerak secara mendalam di hadapan Allah, ciptaan-Nya dan sesama manusia. Di sinilah kita melihat pentingnya upaya-upaya untuk menyembuhkan dan memperkaya daya tanggap kita. Itulah sebabnya, sekembalinya dari Perjalanan Apostolik ke Jepang, ketika ditanya tentang apa yang menurut saya harus dipelajari oleh dunia Barat dari dunia Timur, saya menjawab: “Saya pikir dunia Barat sedikit kekurangan puisi”.[16]
“Pelatihan untuk memahami dalam kearifan” (training in discernment)
23. Lantas, apa keuntungan yang diperoleh seorang imam dari kontak dengan sastra? Mengapa penting untuk mempertimbangkan dan mempromosikan pembacaan novel-novel besar sebagai sebuah elemen penting dalam paideia imamat? Mengapa penting bagi kita, dalam pembinaan para calon imam, untuk menemukan kembali wawasan Karl Rahner bahwa ada kedekatan spiritual yang mendalam antara imam dan penyair?[17]
24. Mari kita coba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan mendengarkan apa yang dikatakan oleh teolog Jerman ini.[18] Bagi Rahner, kata-kata penyair penuh dengan nostalgia, seolah-olah seperti “gerbang menuju ketidakterbatasan, gerbang menuju hal-hal yang tidak dapat dipahami. Mereka memanggil apa yang tidak memiliki nama. Mereka menjangkau apa yang tidak dapat digenggam”. Puisi “tidak dengan sendirinya memberikan yang tak terbatas, tidak membawa dan memuat yang tak terbatas”. Itulah tugas dari firman Allah dan, sebagaimana dikatakan oleh Rahner, “kata-kata puitis menyerukan firman Allah”.[19] Bagi umat Kristiani, Firman adalah Allah, dan semua kata-kata manusiawi kita mengandung jejak kerinduan yang hakiki kepada Allah, sebuah kecenderungan terhadap Firman tersebut. Dapat dikatakan bahwa kata yang benar-benar puitis berpartisipasi secara analogis dalam Firman Allah, seperti yang dinyatakan dengan jelas dalam Surat Ibrani (bdk. Ibr. 4:12-13).
25. Mengingat hal ini, Karl Rahner dapat menarik sebuah paralel yang indah antara imam dan penyair: “Hanya firman/kata yang secara mendalam mampu membebaskan semua realitas yang tak terekspresikan dari apa yang menahannya: kesunyian kecenderungan mereka kepada Allah”.[20]
26. Maka, sastra menyadarkan kita akan hubungan antara bentuk-bentuk ekspresi dan makna. Sastra menawarkan sebuah pelatihan untuk memahami dalam kearifan, mengasah kapasitas calon imam untuk memperoleh wawasan tentang gerak batinnya sendiri dan dunia di sekitarnya. Dengan demikian, membaca menjadi “jalan” yang membawanya pada kebenaran tentang dirinya sendiri dan kesempatan untuk proses Pembedaan Roh (Spiritual Discernment) yang tidak akan terlepas dari saat-saat kegelisahan dan bahkan krisis. Memang, banyak karya sastra yang berhubungan dengan apa yang disebut Santo Ignatius sebagai “desolasi” rohani.
27. Beginilah Ignatius menjelaskannya: “Saya menyebut desolasi sebagai kegelapan jiwa, gejolak rohani, kecenderungan pada hal-hal yang rendah dan duniawi, kegelisahan yang muncul dari berbagai gangguan dan godaan yang mengarah pada kurangnya iman, pengharapan dan kasih. Jiwa sepenuhnya malas, suam-suam kuku, sedih, dan seakan-akan terpisah dari Pencipta dan Tuhannya”.[21]
28. Kesulitan atau kebosanan yang kita rasakan dalam membaca teks-teks tertentu belum tentu buruk atau tidak berguna. Ignatius sendiri mengamati bahwa pada “mereka yang berubah dari buruk menjadi lebih buruk”, roh baik bekerja dengan menimbulkan kekhawatiran, kegelisahan, dan ketidakpuasan.[22] Ini adalah penerapan literal dari aturan pertama untuk Pembedaan Roh menurut St. Ignatius, yang diperuntukkan bagi mereka yang “beralih dari satu dosa berat ke dosa berat lainnya”. Dalam diri orang-orang seperti itu, roh baik, dengan “memanfaat cahaya akal budi akan membangkitkan rasa sakit dalam hati nurani mereka dan memenuhi mereka dengan penyesalan”,[23] dan dengan cara ini akan menuntun mereka kepada kebaikan dan keindahan.
29. Maka, jelaslah bahwa pembaca bukan sekadar penerima pesan yang membangun, tetapi seseorang yang ditantang untuk terus maju dalam situasi yang terus berubah di mana batas-batas antara keselamatan dan kebinasaan tidak secara apriori jelas dan terbedakan. Membaca, sebagai tindakan “pemahaman dalam kearifan” (discernment), secara langsung melibatkan pembaca baik sebagai “subjek” yang membaca maupun sebagai “objek” dari apa yang dibacanya. Dengan membaca sebuah novel atau karya puisi, pembaca sebenarnya merasakan pengalaman “dibaca” oleh kata-kata yang dibacanya.[24] Pembaca dapat diibaratkan sebagai pemain di lapangan: mereka memainkan permainan, namun permainan tersebut juga dimainkan melalui diri mereka, dalam arti bahwa mereka benar-benar terlibat dalam tindakan tersebut.[25]
Perhatian dan pencernaan
30. Dari segi isi, kita harus menyadari bahwa sastra itu seperti “teleskop”, meminjam gambaran terkenal dari Marcel Proust.[26] Dengan demikian, ia diarahkan pada makhluk dan benda-benda, dan memungkinkan kita untuk menyadari “jarak yang sangat jauh” yang memisahkan totalitas pengalaman manusia dari persepsi kita terhadapnya. “Sastra juga bisa diibaratkan seperti laboratorium foto, di mana gambar-gambar kehidupan diolah untuk menonjolkan kontur dan nuansanya. Inilah kegunaan sastra: sastra membantu kita untuk ‘mengembangkan’ gambar kehidupan”[27], menantang kita untuk menemukan maknanya, dan, dengan kata lain, untuk mengalami kehidupan sebagaimana adanya.
31. Akan tetapi, pandangan kita sehari-hari terhadap dunia cenderung “sempit” dan terbatas karena tekanan yang diberikan kepada kita oleh berbagai tujuan praktis dan jangka pendek dari tindakan kita. Bahkan komitmen kita terhadap pelayanan – liturgi, pastoral dan amal – dapat menjadi terfokus hanya pada tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Namun, seperti yang diingatkan oleh Yesus dalam perumpamaan tentang penabur, benih harus jatuh di tanah yang dalam agar dapat berbuah dengan subur dari waktu ke waktu, tanpa terhimpit oleh tanah berbatu atau duri (Mat. 13:18-23). Selalu ada risiko bahwa perhatian yang berlebihan terhadap efisiensi akan menumpulkan daya pengamatan, melemahkan kepekaan, dan mengabaikan kompleksitas. Kita perlu mengimbangi godaan yang tak terelakkan terhadap gaya hidup yang hingar-bingar dan tidak kritis ini dengan mengambil langkah mundur, memperlambat langkah, meluangkan waktu untuk melihat dan mendengarkan. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang berhenti sejenak untuk membaca buku.
32. Kita perlu menemukan kembali cara-cara untuk berhubungan dengan realitas yang lebih ramah, tidak hanya strategis dan hanya bertujuan untuk hasil, cara-cara yang memungkinkan kita untuk mengalami keagungan yang tak terbatas. Perspektif, waktu luang, dan kebebasan adalah ciri-ciri pendekatan terhadap realitas yang ditemukan dalam sastra sebagai bentuk ekspresi yang istimewa, meskipun tidak eksklusif. Sastra dengan demikian menjadi sebuah gymnasium di mana pandangan kita dilatih untuk mencari dan mengeksplorasi realitas individu dan situasi sebagai misteri, yang sarat akan makna yang hanya bisa dimanifestasikan secara parsial dalam kategori dan skema penjelasan, dalam dinamika linier sebab dan akibat, sarana dan tujuan.
33. Gambaran indah lainya untuk mengungkapkan peran sastra berasal dari fisiologi tubuh manusia, dan khususnya tindakan pencernaan. Dalam hal ini, William dari Saint-Thierry, seorang Biarawan dari abad ke-11, dan Jean-Joseph Surin, seorang Yesuit dari abad ke-17, mengembangkan gambaran seekor sapi yang sedang mengunyah makanannya – ruminatio – sebagai gambaran pembacaan kontemplatif. Surin merujuk pada “perut jiwa”, sementara Michel de Certeau, SJ berbicara tentang “fisiologi pembacaan digestif” yang autentik.[28] Sastra membantu kita untuk merefleksikan makna kehadiran kita di dunia ini, untuk “mencerna” dan mengasimilasinya, serta untuk memahami apa yang ada di balik permukaan pengalaman kita. Singkatnya, sastra berfungsi untuk menafsirkan kehidupan, untuk memahami makna yang lebih dalam dan ketegangan-ketegangan esensialnya.[29]
Melihat melalui mata orang lain
34. Dari segi penggunaan bahasa, membaca teks sastra menempatkan kita pada posisi “melihat melalui mata orang lain”,[30] sehingga mendapatkan perspektif memadai yang memperluas kemanusiaan kita. Kita mengembangkan empati imajinatif yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi bagaimana orang lain melihat, mengalami, dan merespons realitas. Tanpa empati seperti itu, tidak akan ada solidaritas, berbagi, cinta kasih, belas kasihan. Saat membaca, kita menemukan bahwa perasaan kita bukan hanya milik kita sendiri, tetapi bersifat universal, sehingga orang yang paling miskin sekalipun tidak merasa sendirian.
35. Dalam sastra, keanekaragaman umat manusia yang luar biasa serta kemajemukan diakronis dan sinkronis dari budaya dan ilmu pengetahuan, menjadi sebuah Bahasa yang mampu menghormati dan mengekspresikan semua keragamannya. Pada saat yang sama, mereka diterjemahkan ke dalam tata bahasa simbolis yang membuatnya dapat dimengerti oleh kita, tidak asing, namun dimiliki bersama. Keunikan sastra terletak pada fakta bahwa sastra menyampaikan kekayaan pengalaman bukan dengan mengobjektifikasinya seperti dalam model-model deskriptif ilmu pengetahuan atau penilaian kritik sastra, tetapi dengan mengekspresikan dan menafsirkan maknanya yang lebih dalam.
36. Ketika kita membaca sebuah cerita, berkat kekuatan deskriptif dari penulisnya, kita semua dapat melihat di depan mata kita tangisan seorang gadis yang ditinggalkan, seorang wanita tua yang menarik selimut untuk menutupi cucunya yang sedang tidur, perjuangan seorang pedagang kaki lima yang berusaha mencari nafkah, rasa malu seseorang yang menanggung beban dari kritik yang terus menerus, seorang anak laki-laki yang berlindung di dalam mimpi sebagai satu-satunya pelarian dari kehidupan yang menyedihkan dan penuh dengan kekerasan. Ketika kisah-kisah ini membangkitkan gema samar dari pengalaman batin kita sendiri, kita menjadi lebih peka terhadap pengalaman orang lain. Kita keluar dari diri kita sendiri untuk masuk ke dalam kehidupan mereka, kita bersimpati pada perjuangan dan keinginan mereka, kita melihat segala sesuatunya melalui sudut pandang mereka dan pada akhirnya kita menjadi teman dalam perjalanan mereka. Kita terlibat dalam kehidupan penjual buah, pelacur, anak yatim piatu, istri tukang batu, wanita tua yang masih percaya bahwa suatu hari nanti ia akan menemukan pangeran tampannya. Kita bisa melakukan ini dengan empati dan terkadang dengan kelembutan dan pengertian.
37. Seperti yang ditulis Jean Cocteau kepada Jacques Maritain: “Sastra itu mustahil. Kita harus melepaskan diri darinya. Tidak ada gunanya kita mencoba melarikan diri melalui sastra, karena hanya cinta dan iman yang memungkinkan kita untuk keluar dari diri kita sendiri”.[31] Namun, bisakah kita benar-benar keluar dari diri kita sendiri jika penderitaan dan sukacita orang lain tidak membara dalam hati kita? Di sini, saya ingin mengatakan bahwa, bagi kita sebagai orang Kristen, tidak ada satu pun hal yang bersifat manusiawi yang tidak kita pedulikan.
38. Lebih jauh lagi, sastra tidak bersifat relativistik karena ia tidak menghilangkan kriteria nilai. Representasi simbolis dari kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kepalsuan, sebagai dimensi-dimensi yang dalam sastra mengambil bentuk eksistensi individu dan peristiwa-peristiwa historis kolektif, tidak menghilangkan penilaian moral, namun mencegahnya untuk menjadi buta atau dangkal dalam menghakimi. Seperti yang dikatakan Yesus kepada kita, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat. 7:3).
39. Dalam membaca tentang kekerasan, keterbatasan, atau kerapuhan dari pihak orang lain, kita memiliki kesempatan untuk merefleksikan pengalaman kita sendiri tentang realitas ini. Dengan membuka pandangan yang lebih luas kepada pembaca tentang keagungan dan kesengsaraan pengalaman manusia, sastra mengajarkan kita kesabaran dalam mencoba memahami orang lain, kerendahan hati dalam menghadapi situasi yang rumit, kelemahlembutan dalam menilai individu, dan kepekaan terhadap kondisi manusia. Penilaian tentu saja diperlukan, tetapi kita tidak boleh melupakan ruang lingkupnya yang terbatas. Penilaian tidak boleh sampai menjatuhkan hukuman mati, melenyapkan seseorang atau menekan kemanusiaan kita demi mengabsolutkan hukum yang tak berjiwa.
40. Kebijaksanaan yang lahir dari sastra melatih pembaca untuk lebih berakal budi, merasakan keterbatasan, menanggalkan dominasi kognitif dan kritis atas pengalaman, dan mengajarkan pada mereka kemiskinan yang merupakan sumber kekayaan yang luar biasa. Dengan mengakui kesia-siaan dan bahkan mungkin ketidakmungkinan untuk mereduksi misteri dunia dan manusia ke dalam polaritas antinomik antara benar vs salah atau adil vs tidak adil, pembaca menerima tanggung jawab untuk menilai bukan sebagai sarana dominasi melainkan sebagai pendorong untuk lebih mendengarkan. Dan pada saat yang sama, hal tersebut juga mempersiapkan mereka untuk ambil bagian dalam kekayaan luar biasa dari sejarah yang disebabkan oleh kehadiran Roh Kudus, yang juga diberikan sebagai anugerah : yaitu sebagai peristiwa yang tidak terduga dan tidak dapat dipahami yang tidak bergantung pada tindakan manusia, tetapi yang mendefinisikan kembali kemanusiaan kita dalam hal pengharapan akan keselamatan.
Kekuatan rohani dari sastra
41. Saya percaya bahwa, dengan refleksi singkat ini, saya telah menekankan peran yang dapat dimainkan oleh literatur dalam mendidik hati dan pikiran para gembala dan calon gembala. Sastra dapat sangat merangsang penggunaan akal budi kita secara bebas dan rendah hati, pengenalan yang bermanfaat akan keragaman Bahasa manusia, perluasan kepekaan manusiawi kita, dan akhirnya, keterbukaan rohani yang besar untuk mendengar Suara yang berbicara melalui banyak suara.
42. Sastra membantu para pembaca untuk menggulingkan berhala-berhala dari bahasa yang merujuk pada diri sendiri, yang secara palsu berdiri sendiri dan statis, yang kadang-kadang juga berisiko mencemari wacana gerejawi kita, yang memenjarakan kebebasan Firman. Kata sastra adalah kata yang menggerakkan bahasa, membebaskan dan memurnikannya. Pada akhirnya, hal ini membuka kata tersebut ke dalam pandangan yang lebih ekspresif dan ekspansif. Hal ini membuka kata-kata manusiawi kita untuk menyambut Firman yang telah hadir dalam perkataan manusia, bukan ketika kata-kata itu melihat dirinya sendiri sebagai pengetahuan yang telah penuh, definitif, dan lengkap, tetapi ketika kata-kata itu menjadi sebuah pendengaran dan pengharapan akan Dia yang datang untuk menjadikan segala sesuatu baru (bdk. Why. 21:5).
43. Akhirnya, kekuatan rohani dari sastra membawa kita kembali kepada tugas utama yang dipercayakan oleh Allah kepada keluarga manusia: tugas untuk “menamai” makhluk-makhluk dan benda-benda lain (bdk. Kej. 2:19-20). Perutusan untuk menjadi pengelola ciptaan, yang diberikan oleh Allah kepada Adam, di atas segalanya, mensyaratkan pengakuan akan martabatnya sendiri dan makna keberadaan makhluk-makhluk lain. Para imam juga dipercayakan dengan tugas utama ini untuk “menamai”, untuk memberikan makna, untuk menjadi sarana persekutuan antara ciptaan dan Sabda yang menjadi manusia dan kuasa-Nya untuk menerangi setiap dimensi kehidupan manusia.
44. Dengan demikian, kesamaan antara imam dan penyair terpancar dalam persatuan sakramental yang misterius dan tak terpisahkan antara Sabda ilahi dan kata-kata manusiawi kita, yang memunculkan pelayanan yang menjadi sebuah pelayanan yang lahir dari pendengaran dan kasih sayang, karisma yang menjadi tanggung jawab, visi akan yang benar dan baik yang menyatakan dirinya sebagai keindahan. Bagaimana mungkin kita gagal merefleksikan kata-kata yang ditinggalkan oleh penyair Paul Celan: “Mereka yang benar-benar belajar untuk melihat, mendekat pada apa yang tidak terlihat”.[32]
Diberikan di Roma, di Santo Yohanes Lateran, pada tanggal 17 Juli tahun 2024, pada tahun kedua belas masa kepausan saya.
FRANSISKUS
Teks ini diterjemahkan dari dokumen berbahasa inggris
dengan perbandingan dengan dokumen berbahasa perancis dan itali.
[1] R. LATOURELLE, “Letteratura”, dalam R. LATOURELLE & R. FISICHELLA, Dizionario di Teologia Fondamentale, Assisi (PG) 1990, hlm. 631.
[2] Lih A. SPADARO, “J. M. Bergoglio, il ‘maestrillo’ creativo. Intervista all’alunno Jorge Milia”, dalam La Civiltà Cattolica 2014 I, hlm. 523-534.
[3] KONSILI VATIKAN KEDUA, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Modern Gaudium et Spes, n. 62.
[4] K. Rahner, “Il futuro del libro religioso”, dalam Nuovi saggi II, Roma 1968, hlm. 647.
[5] Bdk. FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, n. 117.
[6] A. SPADARO, Svolta di respiro. Spiritualità della vita contemporanea, Milano, Vita e Pensiero, p. 101.
[7] R. LATOURELLE, “Letteratura”, dalam R. LATOURELLE & R. FISICHELLA, Dizionario di Teologia Fondamentale, op.cit., hlm. 633.
[8] YOHANES PAULUS II, Surat kepada Para Seniman, 4 April 1999, n. 6.
[9] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, n. 89.
[10] KONSILI VATIKAN KEDUA, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Modern Gaudium et Spes, n. 22.
[11] M. PROUST, À la recherche du temps perdu – Du côté de chez Swann, B. Grasset, Paris 1914, hlm. 104-105.
[12] C.S. LEWIS, An Experiment in Criticism, Milano 1997, hlm. 89.
[13] Lihat J.L. BORGES, Borges, Oral, Buenos Aires 1979, hlm. 22.
[14] PAULUS VI, Homili, Misa dengan Para Seniman, Kapel Sistina, 7 Mei 1964.
[15] Lihat T.S. Eliot, The Idea of a Christian Society, London 1946, hlm. 30.
[16] Konferensi Pers tentang Penerbangan Kembali ke Roma, Perjalanan Kerasulan ke Thailand dan Jepang, 26 November 2019.
[17] Lih A. SPADARO, La grazia della parola. Karl Rahner e la poesia, Milano, Jaca Book, 2006.
[18] Bdk K. Rahner, “Priest and Poet”, Theological Investigations, Vol. III, London 1967, hlm. 294-317.
[19] Ibid. hlm. 316-317.
[20] Ibid. hlm. 302.
[21] IGNATIUS LOYOLA, Latihan Rohani, n. 317.
[22] Lihat ibid, n. 335.
[23] Ibid, n. 314.
[24] Lihat K. Rahner, “Priest and Poet”, Theological Investigations, Vol. III, op.cit. hlm. 299.
[25] Lih A SPADARO, La pagina che illumine. Scrittura creativa come esercizio spirituale, Milano, Ares, 2023, hlm. 46-47.
[26] M. PROUST, À la recherche du temps perdu. Le temps retrouvé, Vol III, Paris 1954, hlm. 1041.
[27] A SPADARO, La pagina che illumina. Scrittura creativa come esercizio spirituale, op.cit., hlm. 14.
[28] M. DE CERTEAU, Il parlare angelico. Figure per una poetica della lingua (Secoli XVI e XVII), Firenze 1989, hlm. 139 dst.
[29] A SPADARO, La pagina che illumina. Scrittura creativa come esercizio spirituale, op.cit., hlm. 16.
[30] Lihat C.S. LEWIS, An Experiment in Criticism, op.cit., hlm. 89.
[31] J. COCTEAU – J. MARITAIN, Dialogo sulla fede, Firenze, Passigli, 1988, hlm. 56 ; Bdk. A SPADARO, La pagina che illumina. Scrittura creativa come esercizio spirituale, op.cit., hlm. 11-12.
[32] P. CELAN, Microliti, Milano 2020, hlm. 101.