Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Hati

AI dan kebijaksanaan hati

PESAN PAUS FRANSISKUS

PADA HARI KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA KE-58

Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Hati:

Menuju Komunikasi yang Sungguh Manusiawi

 

Saudara-saudari terkasih,

Perkembangan sistem kecerdasan buatan, yang baru-baru ini saya refleksikan dalam Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia (1 Januari 2024), sedang mengubah secara radikal dunia informasi dan komunikasi, dan melalui itu, termasuk juga landasan-landasan kehidupan bersama dalam masyarakat. Perubahan ini memengaruhi semua orang, bukan hanya para profesional di bidang tersebut. Pesatnya penyebaran atas penemuan-penemuan menakjubkan, yang cara kerja dan potensinya melebihi kemampuan sebagian besar dari kita untuk memahami atau mengapresiasinya, telah terbukti menimbulkan antusiasme sekaligus kebingungan. Hal ini tak terelakkan lagi membawa kita pada pertanyaan yang lebih mendalam tentang hakikat manusia, kekhasan kita, dan masa depan spesies Homo sapiens di zaman kecerdasan buatan. Bagaimana kita bisa tetap menjadi sepenuhnya manusiawi dan mengarahkan transformasi budaya yang sedang berlangsung ini ke arah yang benar?

 

Mulai dari Hati

Pertama-tama, kita perlu kesampingkan dulu prediksi bencana dan dampak buruknya yang mematikan. Seabad lalu, Romano Guardini, ketika berefleksi tentang teknologi dan kemanusiaan, mendesak kita untuk tidak menolak “kebaruan” dalam upaya “melestarikan dunia indah yang terancam punah ini.” Di saat yang sama, secara profetis dia memperingatkan bahwa “kita terus-menerus berada dalam proses menjadi. Kita harus terlibat dalam proses ini. Masing-masing dengan caranya sendiri dan dengan keterbukaan. Namun, juga dengan kepekaan terhadap segala sesuatu yang destruktif dan tidak manusiawi di dalamnya”. Guardini menyimpulkan: “Masalah-masalah ini bersifat teknis, ilmiah, dan politis; Namun tidak dapat diselesaikan kecuali dengan mulai dari rasa kemanusiaan kita. Makhluk manusia jenis baru harus terbentuk, dikaruniai spiritualitas yang lebih dalam dan kebebasan serta kesadaran baru”.[1]

Pada zaman sekarang ini, segala bentuk refleksi harus dimulai dari hati. Kalau tidak, risikonya; manusia bisa kaya di bidang teknologi, tetapi miskin dalam kemanusiaan.[2] Dengan mengadopsi cara tertentu dalam memandang realitas; dan memulihkan kebijaksanaan hati, kita dapat menghadapi dan menafsirkan kebaruan zaman serta menemukan kembali jalan menuju komunikasi yang sungguh manusiawi. Dalam Alkitab, hati dipandang sebagai tempat kebebasan dan pengambilan keputusan. Hati melambangkan integritas dan persatuan, tetapi juga keterlibatan emosi, keinginan, mimpi kita.

Dan di atas segalanya, hati adalah tempat terdalam perjumpaan kita dengan Tuhan. Dengan demikian, kebijaksanaan hati merupakan kebajikan yang memungkinkan kita mengintegrasikan keseluruhan serta bagian-bagiannya, keputusan-keputusan dan konsekuensi-konsekuensinya, kemuliaan dan kerentanan, masa lalu dan masa depan, individualitas dan keanggotaan kita dalam satu komunitas yang lebih besar.

Kebijaksanaan hati ini membiarkan dirinya ditemukan oleh mereka yang mencarinya dan dilihat oleh mereka yang mencintainya. Kebijaksanaan hati mengantisipasi mereka yang menginginkannya dan mencari mereka yang pantas mendapatkannya (lih. Keb. 6:12-16). Ia menemani mereka yang mau menerima nasihat (lih. Ams. 13:10), mereka yang diberkahi dengan ketaatan dan hati yang mendengarkan (lih. 1 Raj. 3:9). Karunia Roh Kuduslah yang memampukan kita melihat segala sesuatu dengan cara pandang Tuhan; juga memampukan kita dalam melihat hubungan, situasi, peristiwa-peristiwa, dan mengungkapkan makna sebenarnya. Tanpa kebijaksanaan ini, hidup menjadi hambar. Kebijaksanaan [Lat. sapientia] – yang akar kata Latinnya adalah sapere, yang terkait dengan kata benda sapor – mempunyai arti memberi “rasa” bagi kehidupan.

 

Peluang dan Bahaya

Kebijaksanaan seperti itu tidak bisa diperoleh dari mesin. Meskipun istilah “kecerdasan buatan” (artificial intelligence) kini lebih banyak menggantikan istilah yang lebih tepat, yaitu “pemelajaran mesin” (machine learning), yang digunakan dalam literatur ilmiah, penggunaan kata “kecerdasan” (intelligence) terbukti bisa menyesatkan. Tidak diragukan lagi, mesin memiliki kapasitas yang jauh lebih besar dari manusia dalam menyimpan dan menghubungkan data, tetapi hanya manusia yang mampu memberi makna atas data tersebut. Jadi, ini bukan sekadar masalah membuat mesin tampak lebih manusiawi, tetapi membangunkan umat manusia dari tidur akibat ilusi kemahakuasaan, berdasarkan keyakinan bahwa kita adalah subjek yang sepenuhnya otonom dan mengacu pada diri sendiri, terlepas dari semua ikatan sosial dan lupa akan status sebagai makhluk.

Manusia selalu menyadari dirinya tidak cukup, karena itu berusaha mengatasi kerentanannya dengan menggunakan segala cara. Dari artefak masa prasejarah paling awal, kita tahu bahwa manusia telah menggunakan banyak alat untuk membantu tangannya. Lalu muncullah media yang digunakan untuk memperluas penyebaran kata-kata. Dan sekarang, kita mampu menciptakan mesin-mesin rumit yang bertindak sebagai pendukung bagi pikiran manusia. Bagaimanapun, masing-masing instrumen ini dapat disalahgunakan. Kita bisa terjerumus dalam godaan primordial, menjadi serupa dengan Tuhan dan tanpa Tuhan (lih. Kej. 3). Sebuah keinginan untuk menggapai semua hal dengan upaya kita sendiri padahal Tuhan telah memberi kita secara cuma-cuma sehingga kita bisa menikmatinya bersama dengan orang lain.

Segala sesuatu yang ada dalam jangkauan kita dapat menjadi peluang atau ancaman, tergantung kecenderungan hati kita. Tubuh kita misalnya, diciptakan untuk berkomunikasi dan bersekutu. Namun, bisa kita pakai sebagai alat untuk menyerang yang lain. Demikian juga, teknologi yang dikembangkan untuk membantu manusia dapat menjadi sarana untuk melayani dengan kasih atau alat untuk memusuhi yang lain. Oleh karena itu, sistem kecerdasan buatan dapat membantu mengatasi ketidaktahuan dan memfasilitasi pertukaran informasi antarmanusia dari berbagai bangsa dan generasi.

Ambil contoh misalnya, kecerdasan buatan membantu kita mengerti dan mengakses ilmu pengetahuan warisan masa lampau. Dengan kecerdasan itu juga, kita dapat berkomunikasi dengan orang lain yang menggunakan bahasa yang berbeda. Namun, di saat yang sama, hal-hal tersebut dapat menjadi sumber “polusi pikiran”, karena disebarkan secara tidak utuh atau dengan narasi yang salah. Parahnya, informasi itu disebar dan diyakini seolah-olah sebagai sebuah kebenaran. Kita perlu memikirkan persoalan disinformasi ini, yang bakal muncul terus dalam bentuk berita palsu,[3] dan yang sekarang mewujud dengan istilah deepfake. Deepfake merupakan bentuk manipulasi gambar, yang tampaknya sempurna tetapi salah (saya juga pernah menjadi objek dari deepfake ini). Atau manipulasi audio yang sebenarnya tidak pernah dikatakan oleh seseorang. Teknologi simulasi yang berada di belakang semua program ini sebenarnya bermanfaat dalam bidang-bidang tertentu dalam hidup kita. Namun, ini bisa menjadi persoalan kalau sudah mendistorsi hubungan kita dengan orang lain dan kenyataan hidup yang kita alami.

Dimulai dengan gelombang pertama kemunculan kecerdasan buatan, berupa media sosial, kita telah merasakan ambivalensinya, baik dari sisi kemungkinan pengembangannya, maupun risiko dan persoalan yang dimunculkannya. Tahap kedua pengembangan kecerdasan buatan generatif, tidak diragukan lagi merupakan suatu lompatan kualitatif. Oleh karena itu, penting memahami, mengapresiasi, dan mengatur instrumen-instrumen, yang jika berada di tangan yang salah dapat membawa pada skenario yang tidak kita inginkan. Seperti juga hasil kecerdasan dan keterampilan manusia yang lain, algoritma tidaklah netral. Untuk itu, perlu tindakan pencegahan, yakni dengan membuat pedoman-pedoman dalam bertindak (kode etik). Kode etik ini berguna untuk mencegah dampak buruk penggunaan sistem kecerdasan buatan, yang bisa jadi menyebabkan ketidakadilan dan diskriminasi sosial. Juga mencegah upaya mereduksi pluralisme dan polarisasi opini publik atau penciptaan pikiran-pikiran sektarian/primordial. Sekali lagi, saya mengimbau komunitas internasional “untuk bekerja sama mengadopsi perjanjian internasional yang telah mengatur pengembangan dan penggunaan kecerdasan buatan dalam berbagai bentuk”.[4] Di saat yang sama, dalam berbagai konteks, regulasi saja memang tidak cukup.

 

Bertumbuh dalam Kemanusiaan

Kita semua dipanggil untuk tumbuh bersama, dalam kemanusiaan dan sebagai manusia. Kita ditantang untuk membuat lompatan kualitatif menuju arah yang kompleks, multietnik, pluralistik, multireligius dan masyarakat yang multikultural. Kita dipanggil untuk merenungkan secara hati-hati pengembangan teoretis dan penggunaan instrumen-instrumen komunikasi dan ilmu pengetahuan baru ini. Dan tentu saja, manfaat penggunaan instrumen ini bakal disertai risiko yang mengubah segalanya menjadi hitungan abstrak yang mereduksi individu menjadi data, pemikiran menjadi satu proses mekanis, pengalaman menjadi sebuah cerita individual, kebaikan menjadi profit, dan di atas semua itu adalah penyangkalan pada keunikan masing-masing individu dengan berbagai kisahnya. Realitas konkret larut lenyap sebagai sekadar data statistik.

Revolusi digital akan memberi kita kebebasan yang lebih besar asal kita tidak terpenjara dalam sebuah kondisi yang saat ini disebut ruang gema (echo chambers). Situasi seperti ini, bukannya meningkatkan pluralisme informasi, malah berisiko menjerumuskan kita pada kebingungan. Kita bisa menjadi mangsa kepentingan dan kekuasaan pasar. Oleh karena itu, kita tidak dapat menerima bila penggunaan kecerdasan buatan membuat kita mudah berpikir prematur, mudah mengumpulkan data tanpa verifikasi, dan gagal menjalankan tugas editorial kolektif. Representasi realitas dalam sebuah “data besar” (big data), betapapun bergunanya bagi pengoperasian mesin-mesin, pada akhirnya menyebabkan hilangnya kebenaran substansial dari berbagai hal yang kemudian menghambat komunikasi antarpribadi dan mengancam kemanusiaan kita. Informasi tidak dapat dipisahkan dari hubungan eksistensial antar manusia : informasi melibatkan tubuh dan keterlibatan di dunia nyata. Informasi selalu terkait tidak hanya dengan data, tetapi juga dengan pengalaman manusia. Oleh karena itu, informasi menuntut kepekaan pada wajah dan ekspresi-ekspresinya, yang berupa kasih sayang dan sikap saling berbagi.

Dalam hal ini, saya kemudian merenung tentang berbagai pemberitaan seputar perang dan “perang paralel” yang dilancarkan dengan cara menyebarkan informasi yang salah. Saya juga memikirkan para reporter yang terluka atau terbunuh saat menjalankan tugas; mereka, yang memungkinkan kita melihat apa yang mereka saksikan. Sebab hanya kontak langsung dengan penderitaan anak-anak, perempuan dan laki-laki, membuat kita makin memahami absurditas perang.

Pemanfaatan kecerdasan buatan dapat memberi kontribusi positif pada sektor komunikasi asalkan peran Jurnalisme di lapangan sungguh didukung, bukannya dilenyapkan. Sumbangan positif tersebut itu juga bisa berupa penghargaan dan penguatan profesionalisme komunikasi, dengan membuat setiap komunikator semakin sadar akan tanggung jawabnya. Dan tentu saja dengan memungkinkan semua orang untuk menjadi, sebagaimana mestinya, para pelaku yang cerdas dan kritis dalam karya-karya komunikasi.

 

Pertanyaan untuk Masa Kini dan Masa Depan

Terkait dengan semua hal yang sudah disampaikan, sejumlah pertanyaan muncul secara alamiah. Bagaimana kita dapat melindungi profesionalisme dan martabat para pekerja di bidang informasi dan komunikasi serta martabat para penggunanya di seluruh dunia? Bagaimana kita dapat memastikan interoperabilitas[5] platform-platform yang ada? Bagaimana kita dapat memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang mengembangkan platform digital bertanggung jawab atas konten dan iklan yang mereka siarkan sebagaimana dilakukan oleh para editor di media tradisional?

Bagaimana kita dapat membuat kriteria yang lebih transparan yang memandu pengoperasian algoritma dalam proses indeks (indexing) dan penghapusan indeks (de-indexing)[6], serta untuk mesin pencari yang mampu meningkatkan atau membatalkan individu-individu dan opini-opini, sejarah dan budaya? Bagaimana kita dapat menjamin transparansi pemrosesan informasi? Bagaimana kita bisa mengidentifikasi sumber tulisan dan menelusuri sumber-sumber yang tersembunyi di balik konten anonim? Bagaimana kita bisa mengetahui apakah sebuah gambar atau video benar-benar hasil jepretan di lapangan atau hasil simulasi? Bagaimana kita bisa mencegah upaya yang mereduksi sumber-sumber yang beragam menjadi satu sumber saja, sehingga mendorong pendekatan tunggal, yang dikembangkan berdasarkan algoritma? Bagaimana kita mempromosikan lingkungan yang cocok untuk melestarikan pluralisme dan menggambarkan kompleksitas realitas? Bagaimana kita dapat membuat teknologi yang kuat, mahal dan butuh energi besar ini menjadi lebih ramah lingkungan ? Dan bagaimana kita membuat semua itu bisa diakses oleh masyarakat di negara-negara berkembang?

Jawaban atas berbagai pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan lainnya akan menentukan masa depan pengaruh kecerdasan buatan : apakah ia akan mengarah pada pembentukan kasta-kasta sosial baru berdasarkan dominasi atas informasi, sehingga memunculkan jenis-jenis eksploitasi dan kesenjangan yang belum pernah ada sebelumnya; atau sebaliknya, apakah kecerdasan buatan akan menjadi alat untuk mencapai lebih banyak kesetaraan, menyebarkan informasi yang benar dan membawa pada kesadaran yang lebih besar atas perubahan zaman yang sedang kita alami, yang memungkinkan pengakuan atas kebutuhan beragam dari setiap individu dan masyarakat dalam sistem informasi yang terorganisir dengan baik dan pluralistik. Kita berada di persimpangan jalan pemanfaatan kecerdasan buatan di mana, di satu sisi, terdapat risiko terciptanya bentuk perbudakan baru yang menakutkan, sementara di sisi lain, terbuka peluang kesempatan untuk memperluas kebebasan. Ini juga bisa berarti bahwa ada kemungkinan segelintir orang bisa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemikiran khalayak luas ; namun, pada saat yang sama, terdapat peluang bagi semua orang untuk ikut ambil bagian dalam pengembangan pemikiran kolektif.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidak bisa secara langsung tertuang dalam kata-kata; semua tergantung pada pilihan kita. Manusia dihadapkan pada keputusan kritis : menjadi objek yang dimakan oleh algoritma atau memberi makan hati kita dengan kebebasan, yang tanpanya kita tidak dapat tumbuh dalam kebijaksanaan. Kebijaksanaan seperti itu menjadi dewasa dengan memanfaatkan waktu secara bijaksana dan dengan merangkul kerapuhan-kerapuhan kita. Pertumbuhan tersebut diperkaya melalui kerjasama lintas generasi, antara mereka yang memiliki ingatan akan masa lalu dan mereka yang memiliki visi masa depan. Hanya dengan bersama-sama kita dapat meningkatkan kapasitas dalam membuat keputusan (dicernment) dan bersikap mawas diri serta melihat segala sesuatu dalam terang pemenuhannya. Agar kita tidak kehilangan kemanusiaan kita, marilah kita mencari Kebijaksanaan yang ada sebelum segala sesuatu (lih. Sir. 1: 4), kebijaksanaan yang melalui hati yang murni, mempersiapkan para sahabat Allah dan para nabi (lih. Keb 7:27) : Kebijaksanaan inilah yang akan membantu kita dalam mengarahkan sistem-sistem kecerdasan buatan untuk mendukung komunikasi yang sungguh manusiawi.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 24 Januari 2024

 

FRANSISKUS

 

Diambil dengan beberapa perubahan terjemahan dari
Pesan Paus Fransiskus Pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-58, tahun 2024, di www.mirifica.net


Catatan kaki

[1] Romano Guardini, Surat dari Danau Como, Brescia, 2022, hlm. 95-97.

[2] Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia tahun 2024 ini merupakan kelanjutan dari pesan-pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia sebelumnya yang mengambil tema : Berkomunikasi dengan menjumpai orang lain apa adanya (2021), Mendengar dengan telinga hati (2022), dan Berbicara dengan hati (2023).

[3] Lih. “Kebenaran Akan Memerdekakan Kamu” (Yoh. 8: 32). Berita Palsu dan Jurnalisme untuk Perdamaian, Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2018.

[4] Kecerdasan buatan dan Perdamaian, Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Perdamaian Sedunia ke-57, 1 Januari 2024, 8.

[5] Interoperabilitas adalah kemampuan dua atau lebih sistem/platform untuk bertukar data/informasi dan menggunakannya.

[6] Tindakan untuk menghapus situs web atau bagian situs web dari indeks.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.