Antiqua et Nova

Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Manusia

DIKASTERI UNTUK AJARAN IMAN

DIKASTERI UNTUK KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN

ANTIQUA ET NOVA

Catatan tentang hubungan antara
kecerdasan buatan dan kecerdasan manusia

I. Pendahuluan

1. Dengan kebijaksanaan, baik yang lama maupun yang baru (bdk. Mat. 13:52), kita dipanggil untuk mempertimbangkan tantangan dan peluang masa kini yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya perkembangan terkini Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI). Tradisi Kristen memandang karunia kecerdasan sebagai aspek penting dari penciptaan manusia menurut “gambar Allah” (Kej. 1:27). Berdasarkan pandangan yang menyeluruh tentang pribadi manusia dan panggilan alkitabiah untuk “mengolah” dan “menjaga” bumi (bdk. Kej. 2:15), Gereja menekankan bahwa karunia kecerdasan ini harus diungkapkan melalui penggunaan akal budi dan kemampuan teknis yang bertanggung jawab dalam pengelolaan (stewardship) dunia ciptaan.

2. Gereja mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bentuk-bentuk usaha manusia lainnya, dengan memandangnya sebagai bagian dari “kerja sama antara pria dan wanita dengan Allah demi penyempurnaan ciptaan yang kelihatan.”[1] Sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Sirakh, Allah “memberikan kepada manusia pengetahuan, supaya dimuliakan karena pekerjaan-pekerjaan-Nya yang ajaib” (Sir. 38:6). Kemampuan dan kreativitas manusia berasal dari Allah dan, ketika digunakan dengan bijak, memberikan kemuliaan kepada-Nya sebagai cerminan dari kebijaksanaan dan kebaikan-Nya. Oleh karena itu, ketika kita bertanya kepada diri sendiri apa artinya “menjadi manusia”, kita tidak dapat mengabaikan pertimbangan tentang kemampuan ilmiah dan teknologi kita.

3. Dalam perspektif inilah Catatan ini membahas tantangan-tantangan antropologis dan etis yang ditimbulkan oleh AI—pertanyaan-pertanyaan yang semakin relevan mengingat salah satu tujuan teknologi ini adalah untuk meniru kecerdasan manusia yang merancangnya. Misalnya, berbeda dengan banyak ciptaan manusia lainnya, AI dapat dilatih berdasarkan hasil-hasil kreativitas manusia dan kemudian menghasilkan “artefak” baru dengan tingkat kecepatan dan keahlian yang sering kali menyamai atau melampaui kemampuan manusia, seperti menghasilkan teks atau gambar yang tidak dapat dibedakan dari komposisi buatan manusia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang peran potensial AI dalam krisis kebenaran yang berkembang dalam debat publik. Selain itu, karena teknologi ini dirancang untuk belajar dan membuat pilihan-pilihan tertentu secara mandiri, dengan beradaptasi terhadap situasi baru dan memberikan solusi yang tidak diantisipasi oleh pemrogramnya, muncul masalah-masalah mendasar terkait dengan tanggung jawab etis dan keamanan, dengan implikasi yang lebih luas bagi masyarakat secara keseluruhan. Situasi baru ini mendorong umat manusia untuk merenungkan tentang identitas dan perannya di dunia.

4. Dengan mempertimbangkan semua hal ini, ada konsensus luas bahwa AI menandai fase penting baru dalam hubungan manusia dengan teknologi, menempatkannya di pusat dari apa yang digambarkan Paus Fransiskus sebagai “perubahan zaman”[2]. Pengaruhnya terasa secara global di berbagai bidang, termasuk hubungan interpersonal, pendidikan, pekerjaan, seni, perawatan kesehatan, hukum, peperangan dan hubungan internasional. Karena AI terus maju pesat menuju pencapaian yang lebih besar, sangat penting untuk mempertimbangkan implikasi antropologis dan etisnya. Hal ini tidak hanya terkait dengan pengurangan risiko dan pencegahan kerusakan, tetapi juga memastikan bahwa aplikasinya diarahkan untuk mempromosikan kemajuan manusia dan kebaikan bersama.

5. Untuk memberikan kontribusi positif bagi pertimbangan tentang AI, dan sebagai tanggapan atas seruan Paus Fransiskus untuk “kebijaksanaan hati” yang baru,[3] Gereja menawarkan pengalamannya melalui refleksi antropologis dan etika yang terkandung dalam Catatan ini. Berkomitmen pada peran aktifnya dalam dialog global mengenai isu-isu ini, Gereja mengundang mereka yang dipercaya untuk mewariskan iman—termasuk orang tua, guru, pastor, dan uskup—untuk membaktikan diri mereka pada subjek penting ini dengan penuh perhatian dan kepedulian. Sementara dokumen ini ditujukan khusus bagi mereka, dokumen ini juga dimaksudkan agar dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas, khususnya mereka yang memiliki keyakinan yang sama bahwa kemajuan ilmiah dan teknologi harus diarahkan untuk melayani pribadi manusia dan kebaikan bersama.[4]

6. Untuk tujuan ini, dokumen ini pertama-tama akan membedakan antara konsep “kecerdasan” yang terkait dengan AI dan kecerdasan manusia. Kemudian, dokumen ini akan mengeksplorasi perspektif Kristen tentang kecerdasan manusia, dengan menawarkan kerangka refleksi umum berdasarkan tradisi filosofis dan teologis Gereja. Di bagian akhir, dokumen ini akan mengusulkan beberapa pedoman untuk memastikan bahwa pengembangan dan penggunaan AI menjunjung tinggi martabat manusia dan mendorong perkembangan integral manusia dan masyarakat.

II. Apa itu Kecerdasan Buatan?

7. Konsep “kecerdasan” dalam AI telah berkembang dari waktu ke waktu, menggabungkan banyak ide dari berbagai disiplin ilmu. Meskipun akarnya dapat ditelusuri dari beberapa abad lalu, tonggak penting dalam evolusi ini terjadi pada tahun 1956 ketika ilmuwan komputer Amerika John McCarthy menyelenggarakan lokakarya musim panas di Universitas Dartmouth untuk membahas masalah “Kecerdasan Buatan”, yang didefinisikannya sebagai “membuat mesin mampu berperilaku dengan cara yang akan disebut cerdas jika dilakukan oleh manusia.”[5] Lokakarya tersebut meluncurkan program penelitian yang berfokus pada perancangan mesin yang mampu melakukan tugas-tugas yang biasanya terkait dengan kecerdasan manusia dan perilaku cerdas.

8. Sejak saat itu, penelitian di bidang AI telah berkembang pesat, mengarah pada pengembangan sistem kompleks yang mampu melakukan tugas-tugas yang sangat canggih.[6] Sistem yang disebut “Kecerdasan Terbatas Buatan” (Artificial Narrow Intelligence, ANI) ini umumnya dirancang untuk melaksanakan fungsi-fungsi terbatas dan spesifik, seperti menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, memprediksi lintasan badai, mengklasifikasikan gambar, memberikan jawaban atas pertanyaan, atau menghasilkan konten visual sesuai permintaan pengguna. Meskipun definisi “kecerdasan” dalam bidang studi AI bervariasi, sebagian besar sistem AI yang ada pada saat ini—terutama yang menggunakan teknologi pembelajaran otomatis (machine learning)—bergantung pada inferensi statistik daripada deduksi logis. Dengan menganalisis kumpulan data besar untuk mengidentifikasi pola di dalamnya, AI dapat “memprediksi”[7] hasil dan mengusulkan pendekatan baru, meniru beberapa proses kognitif yang khas dari kemampuan manusia dalam memecahkan masalah. Pencapaian tersebut dimungkinkan oleh kemajuan dalam teknologi komputasi (seperti jaringan saraf [neural networks], pembelajaran otomatis tanpa pengawasan [unsupervised machine learning], dan algoritma evolusioner [evolutionary algorithms]) serta inovasi dalam perangkat keras (seperti prosesor khusus). Bersama-sama, teknologi ini memungkinkan sistem AI untuk menanggapi berbagai bentuk masukan (input) dari manusia, beradaptasi dengan situasi baru, dan bahkan menyarankan solusi baru yang tidak diantisipasi oleh pemrogram awal.[8]

9. Berkat kemajuan pesat ini, banyak tugas yang sebelumnya hanya bisa dilakukan manusia kini dipercayakan kepada AI. Sistem-sistem ini dapat melengkapi, atau bahkan menggantikan apa yang dapat dilakukan manusia di banyak bidang, terutama dalam tugas-tugas khusus seperti analisis data, pengenalan gambar dan diagnosis medis. Meskipun setiap aplikasi dari “Kecerdasan Terbatas Buatan” (ANI) dirancang untuk tugas tertentu, banyak peneliti bercita-cita mengembangkan apa yang disebut sebagai “Kecerdasan Umum Buatan” (Artificial General Intelligence, AGI), yaitu sistem tunggal yang mampu beroperasi di semua domain kognitif dan melakukan tugas apa pun yang dapat dilakukan oleh kecerdasan manusia. Beberapa orang bahkan berpendapat bahwa AI semacam itu (AGI) suatu hari nanti dapat mencapai tahap “kecerdasan super” (superintelligence), melampaui kapasitas intelektual manusia, atau berkontribusi pada “umur panjang super” (super-longevity) berkat kemajuan dalam bioteknologi. Namun, yang lain khawatir bahwa kemungkinan-kemungkinan ini, meskipun hipotetis, suatu hari nanti dapat mengaburkan pribadi manusia itu sendiri, sementara yang lain lagi menyambut baik potensi transformasi ini.[9]

10. Di balik pandangan-pandangan ini dan banyak pandangan lain tentang permasalahan ini, ada asumsi implisit bahwa istilah “kecerdasan” dapat digunakan dengan cara yang sama untuk mengacu pada kecerdasan manusia dan juga AI. Namun sebenarnya, konsep kecerdasan ini mencakup ruang lingkup yang berbeda. Dalam hal yang terkait dengan manusia, kecerdasan adalah kemampuan yang berkaitan dengan pribadi seseorang secara keseluruhan; sedangkan dalam konteks AI, “kecerdasan” dipahami dalam arti fungsional, sering kali dengan anggapan bahwa aktivitas yang menjadi ciri khas pikiran manusia dapat dipecah menjadi langkah-langkah yang dapat didigitalisasi, sedemikian rupa sehingga dapat ditiru oleh mesin.[10]

11. Perspektif fungsional ini nampak, sebagai contoh, dalam “Uji Turing” (Turing Test), di mana sebuah mesin dianggap “cerdas” jika seseorang tidak dapat membedakan perilaku mesin tersebut dari perilaku manusia.[11] Namun, dalam konteks ini, istilah “perilaku” hanya merujuk pada kinerja tugas-tugas intelektual tertentu, tanpa memperhitungkan seluruh pengalaman manusia, yang mencakup kemampuan abstraksi dan emosi, kreativitas, serta kepekaan estetika, moral dan religius. Hal itu juga tidak mencakup berbagai macam manifestasi yang menjadi ciri pikiran manusia. Oleh karena itu, dalam hal yang terkait dengan AI, “kecerdasan” suatu sistem dievaluasi, secara metodologis tetapi juga reduksionis, berdasarkan kemampuannya untuk menghasilkan respons yang tepat, yaitu respons yang terkait dengan kecerdasan manusia, terlepas dari bagaimana respons tersebut dihasilkan.

12. Fitur-fitur AI yang canggih memberinya kemampuan unggul untuk melakukan tugas, tetapi bukan kemampuan untuk berpikir.[12] Perbedaan ini sangat penting, karena cara “kecerdasan” didefinisikan secara tak terelakkan membentuk cara kita memahami hubungan antara pemikiran manusia dan teknologi ini.[13] Untuk melakukan hal ini, kita harus mengingat kekayaan tradisi filsafat dan teologi Kristen, yang menawarkan pemahaman yang lebih dalam dan lebih komprehensif tentang kecerdasan—pemahaman yang merupakan inti dari ajaran Gereja tentang sifat, martabat dan panggilan manusia.[14]

III. Kecerdasan dalam Tradisi Filsafat dan Teologi

Rasionalitas

13. Sejak awal mula refleksi manusia tentang dirinya sendiri, pikiran telah memainkan peran utama dalam pemahaman tentang apa artinya menjadi “manusia.” Aristoteles mengamati bahwa “semua manusia secara alami cenderung ingin tahu.”[15] Pengetahuan manusia ini, dengan kemampuan abstraksi yang memungkinkannya untuk memahami hakikat dan makna dari berbagai hal, membedakan manusia dari dunia hewan.[16] Hakikat dasar dari kemampuan intelektual telah menjadi subyek penelitian oleh filsuf, teolog dan psikolog, yang juga telah meneliti bagaimana manusia memahami dunia dan menjadi bagian darinya, serta menempati kedudukan unik di dalamnya. Berkat penelitian-penelitian ini, tradisi Kristen sampai pada pemahaman tentang pribadi manusia sebagai makhluk yang terdiri dari tubuh dan jiwa, terhubung erat dengan dunia ini namun sekaligus juga melampaui dunia ini.[17]

14. Dalam tradisi klasik, konsep kecerdasan sering dijabarkan melalui istilah yang saling melengkapi : “akal budi” (ratio) dan “intelek” (intellectus). Kedua hal ini bukanlah kemampuan yang terpisah, tetapi, seperti dijelaskan oleh Santo Thomas Aquinas, keduanya adalah cara beroperasi dari kecerdasan yang sama: “Istilah intelek berasal dari pemahaman batiniah akan kebenaran, sedangkan akal budi berasal dari pencarian dan proses diskursif.”[18] Deskripsi singkat ini memungkinkan untuk menyoroti dua dimensi mendasar dan saling melengkapi dari kecerdasan manusia. Intellectus mengacu pada pemahaman intuitif akan kebenaran—yaitu, memahaminya dengan “mata” pikiran—yang mendahului dan mendasari argumentasi itu sendiri. Sedangkan ratio berkaitan dengan penalaran yang tepat, yaitu proses diskursif dan analitis yang mengarah pada penilaian. Bersama-sama, intelek dan akal budi merupakan dua sisi dari tindakan tunggal intelligere, “tindakan khas manusia sebagai manusia.”[19]

15. Menggambarkan manusia sebagai makhluk yang “rasional” tidak mereduksi manusia menjadi suatu cara berpikir tertentu; sebaliknya, hal itu mengakui bahwa kemampuan pemahaman intelektual tentang realitas membentuk dan meresapi semua aspek aktivitas manusia.[20] Entah digunakan dengan baik atau buruk, kapasitas tersebut merupakan aspek intrinsik dari kodrat manusia. Dalam pengertian ini, “istilah ‘rasional’ mencakup semua kemampuan manusia”, termasuk yang terkait dengan “kemampuan untuk mengetahui dan memahami, maupun kemampuan untuk berkehendak, mencintai, memilih dan menginginkan; istilah tersebut juga mencakup semua fungsi jasmani yang terkait erat dengan kemampuan-kemampuan ini.”[21] Perspektif komprehensif ini menggarisbawahi bagaimana rasionalitas terintegrasi dalam pribadi manusia, yang diciptakan menurut “gambar Allah”, dengan cara yang mengangkat, membentuk, dan mengubah baik kehendak maupun tindakan manusia.[22]

Inkarnasi

16. Pemikiran Kristiani memandang kemampuan intelektual dalam kerangka antropologi integral yang memahami manusia sebagai makhluk yang pada hakikatnya berwujud. Dalam pribadi manusia, roh dan materi “bukanlah dua kodrat yang bersatu, melainkan kesatuan mereka membentuk satu kodrat tunggal.”[23] Dengan kata lain, jiwa bukanlah semata-mata “bagian” tak berwujud dari pribadi seseorang yang terkandung di dalam tubuh, dan tubuh juga bukan cangkang luar yang menampung “inti” yang tak berwujud. Sebaliknya, seluruh pribadi manusia secara bersamaan bersifat material dan spiritual. Pemahaman ini mencerminkan ajaran Kitab Suci, yang memandang pribadi manusia sebagai makhluk yang menjalani hubungannya dengan Allah dan sesama, dan karenanya memiliki dimensi spiritual yang otentik, di dalam dan melalui keberadaan jasmani yang berwujud ini.[24] Makna mendalam dari kondisi ini diterangi oleh misteri Inkarnasi, yang melaluinya Allah sendiri mengambil rupa manusia dan “[kodrat manusia pun] diangkat mencapai martabat yang amat luhur.”[25]

17. Meskipun berakar kuat pada eksistensi jasmani, manusia melampaui dunia material berkat jiwanya, yang “seolah-olah berada di cakrawala keabadian dan waktu.”[26] Jiwa memiliki kapasitas untuk mentransendensikan akal budi dan memiliki kebebasan kehendak, yang dengannya manusia “ambil bagian dalam terang pikiran ilahi.”[27] Meskipun demikian, roh manusia tidak menjalankan cara pengetahuannya yang normal tanpa tubuh.[28] Dengan demikian, kemampuan intelektual manusia merupakan bagian integral dari antropologi yang mengakui bahwa ia adalah “kesatuan jiwa dan raga.”[29] Aspek-aspek lebih lanjut dari pemahaman ini akan dikembangkan dalam uraian berikut.

Relasionalitas

18. Manusia “secara kodrati diarahkan untuk menjalin persekutuan antarpribadi”,[30] memiliki kemampuan untuk mengenal satu sama lain, memerikan diri mereka sendiri dalam cinta kasih, dan masuk dalam persekutuan dengan orang lain. Oleh karena itu, kecerdasan manusia bukanlah kemampuan yang terisolasi, tetapi digunakan dalam hubungan relasional, dan menemukan ekspresinya yang paling penuh dalam dialog, kerja sama dan solidaritas. Kita belajar dengan orang lain, dan kita belajar melalui orang lain.

19. Orientasi relasional manusia pada hakikatnya didasarkan pada pemberian diri abadi Allah Tritunggal, yang kasih-Nya dinyatakan dalam penciptaan dan penebusan.[31] Manusia dipanggil “untuk mengambil bagian, melalui pengetahuan dan kasih, dalam kehidupan Allah sendiri.”[32]

20. Panggilan untuk bersekutu dengan Allah ini tentu saja terkait dengan panggilan untuk bersekutu dengan orang lain. Kasih kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada sesama (bdk. 1 Yoh. 4:20; Mat. 22:37-39). Berkat rahmat untuk berbagi kehidupan dengan Allah, orang Kristen juga dipanggil untuk meneladan karunia Kristus yang melimpah (bdk. 2 Kor. 9:8-11; Ef. 5:1-2) dengan mengikuti perintah-Nya : “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh. 13:34).[33] Kasih dan pelayanan, yang menggemakan kehidupan ilahi dalam pemberian diri, melampaui kepentingan pribadi untuk menanggapi panggilan manusia secara lebih penuh (bdk. 1 Yoh. 2:9). Komitmen untuk saling peduli bahkan lebih luhur daripada mengetahui banyak hal, karena bahkan sekalipun “aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan […] tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna” (1 Kor. 13:2).

Hubungan dengan Kebenaran

21. Kecerdasan manusia pada hakikatnya adalah “karunia Allah yang diberikan untuk memahami kebenaran.”[34] Dalam pengertian ganda intellectus – ratio, kecerdasan memungkinkan seseorang untuk menjelajahi realitas yang melampaui pengalaman indrawi atau kegunaan semata, karena “keinginan akan kebenaran adalah bagian dari kodrat manusia itu sendiri. Merupakan sifat bawaan akal budi manusia untuk bertanya mengapa segala sesuatu menjadi seperti adanya saat ini.”[35] Dengan melampaui batas-batas data empiris, kecerdasan manusia “mampu menangkap dengan sungguh pasti kenyataan yang terbuka bagi budi manusia.”[36] Meskipun realitas hanya diketahui secara sebagian, “hasrat akan kebenaran mendorong […] akal budi untuk melangkah lebih jauh lagi; akal budi bahkan seakan-akan tenggelam dalam kesadaran akan kemampuannya yang semakin besar atas apa yang telah dicapainya.”[37] Meskipun Kebenaran itu sendiri melampaui batas-batas kecerdasan manusia, namun manusia tetap tertarik padanya,[38] dan didorong oleh ketertarikan ini, manusia dituntun untuk terus mencari dan menemukan “kebenaran-kebenaran yang semakin mendalam.”[39]

22. Dorongan bawaan untuk mencari kebenaran ini secara khusus terlihat jelas dalam kapasitas manusia yang unik untuk pemahaman semantik dan produksi kreatif,[40] yang melaluinya pencarian ini terungkap dengan “cara yang sesuai dengan martabat manusia serta kodrat sosialnya.”[41] Demikian pula, orientasi yang teguh kepada kebenaran sangatlah penting agar amal kasih menjadi otentik dan sekaligus universal.[42]

23. Pencarian kebenaran menemukan ekspresi tertingginya dalam keterbukaan terhadap realitas yang melampaui dunia fisik dan ciptaan. Di dalam Allah, semua kebenaran menemukan makna tertinggi dan hakikinya.[43] Mempercayakan diri kepada Allah adalah “keputusan mendasar yang melibatkan seluruh pribadi.”[44] Dengan cara ini, pribadi manusia menjadi sepenuhnya seperti apa yang menjadi panggilannya: “kecerdasan dan kehendak menjalankan sifat spiritualnya secara penuh sehingga memungkinkan seorang subyek untuk bertindak dengan cara yang mewujudkan kebebasan pribadi sepenuhnya.”[45]

Pengelolaan Dunia

24. Iman Kristiani memandang penciptaan sebagai tindakan bebas Allah Tritunggal yang, seperti dijelaskan oleh Santo Bonaventura dari Bagnoregio, menciptakan “bukan untuk menambah kemuliaan-Nya sendiri, tetapi untuk menyatakan dan mengomunikasikannya.”[46] Karena Allah menciptakan menurut Kebijaksanaan-Nya (bdk. Keb. 9:9; Yer. 10:12), maka dunia ciptaan dipenuhi dengan tatanan hakiki yang mencerminkan rencana-Nya (bdk. Kej. 1; Dan. 2:21-22; Yes. 45:18; Mzm. 74:12-17; 104),[47] di mana Allah memanggil manusia untuk mengemban peran khusus : yaitu mengolah dan memelihara dunia.[48]

25. Dibentuk oleh Sang Pengrajin Ilahi, manusia menghayati jati dirinya sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar Allah (imago Dei) dengan “memelihara” dan “mengolah” (bdk. Kej. 2:15) ciptaan, dengan menggunakan kecerdasan dan keterampilannya untuk merawat dan mengembangkan ciptaan sesuai dengan rencana Allah.[49] Dalam hal ini, kecerdasan manusia mencerminkan Kecerdasan Ilahi yang menciptakan segala sesuatu (bdk. Kej. 1-2; Yoh. 1),[50] terus-menerus menopangnya dan menuntunnya menuju tujuan akhirnya di dalam Dia.[51] Selain itu, manusia dipanggil untuk mengembangkan kemampuannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi karena dalam hal-hal ini, Allah dimuliakan (bdk. Sir. 38:6). Oleh karena itu, dalam hubungan yang tepat dengan ciptaan, manusia, di satu sisi, menggunakan kecerdasan dan keterampilannya untuk bekerja sama dengan Allah dalam membimbing ciptaan menuju tujuan yang telah Ia tetapkan.[52] Di sisi lain, dunia ciptaan itu sendiri, seperti yang diamati oleh Santo Bonaventura, membantu pikiran manusia untuk “naik secara bertahap, seperti melalui berbagai tingkat tangga, menuju Prinsip tertinggi, yaitu Allah.”[53]

Pemahaman Komprehensif tentang Kecerdasan Manusia

26. Dalam konteks ini, kecerdasan manusia menjadi lebih jelas dipahami sebagai kemampuan yang membentuk bagian integral dari bagaimana seluruh pribadi manusia berinteraksi dengan realitas. Keterlibatan yang otentik haruslah merangkul seluruh lingkup keberadaan manusia : spiritual, kognitif, inkarnasi (wujud jasmani), dan relasional.

27. Keterlibatan dengan realitas (engagement with reality) ini terungkap dalam berbagai cara, karena setiap orang, dalam keunikannya yang beraneka ragam[54], berusaha untuk memahami dunia, berhubungan dengan orang lain, memecahkan masalah, mengekspresikan kreativitasnya, dan mencari kesejahteraan integral melalui sinergi dari berbagai dimensi kecerdasan orang tersebut.[55] Hal ini melibatkan kemampuan logika dan linguistik, tetapi juga dapat mencakup cara-cara lain dalam berinteraksi dengan realitas. Pikirkanlah tentang karya seorang seniman, yang “harus mampu membedakan, dalam materi yang tak bernyawa, suatu bentuk tertentu yang tidak dapat dikenali oleh orang lain”[56] dan mewujudkannya melalui intuisi dan keterampilannya. Masyarakat adat yang hidup dekat dengan bumi sering memiliki pemahaman yang mendalam tentang alam dan siklusnya.[57] Demikian pula, seorang teman yang tahu menemukan kata yang tepat untuk diucapkan atau seseorang yang mahir dalam mengelola hubungan manusia, hal-hal tersebut menggambarkan kecerdasan yang merupakan “buah dari refleksi, dialog dan perjumpaan yang murah hati antar pribadi.”[58] Seperti yang dicatat oleh Paus Fransiskus, “di era kecerdasan buatan, kita tidak boleh lupa bahwa puisi dan cinta diperlukan untuk menyelamatkan kemanusiaan kita.”[59]

28. Inti dari visi Kristiani tentang kecerdasan adalah integrasi kebenaran ke dalam kehidupan moral dan spiritual seseorang, yang mengarahkan tindakannya dalam terang kebaikan dan kebenaran Allah. Menurut rencana-Nya, kecerdasan dalam arti sepenuhnya juga mencakup kemampuan untuk menikmati apa yang benar, baik dan indah. Seperti yang diungkapkan oleh penyair Prancis abad ke-20 Paul Claudel, “kecerdasan tidak ada artinya tanpa kesenangan.”[60] Demikian pula, Dante Alighieri, ketika mencapai surga tertinggi di Paradiso, bersaksi bahwa puncak kesenangan intelektual ini ditemukan dalam “cahaya intelektual yang penuh dengan cinta, cinta akan kebaikan sejati yang dipenuhi dengan sukacita, sukacita yang melampaui segala kemanisan.”[61]

29. Oleh karena itu, konsepsi yang tepat tentang kecerdasan manusia tidak dapat direduksi menjadi sekadar perolehan fakta atau kemampuan untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Sebaliknya, hal itu melibatkan keterbukaan pribadi terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kehidupan dan mencerminkan orientasi terhadap Kebenaran dan Kebaikan.[62] Sebagai ungkapan gambar ilahi dalam diri seseorang, kecerdasan manusia memiliki kemampuan untuk mengakses totalitas keberadaan, yaitu merenungkan eksistensi dalam kepenuhannya yang melampaui apa yang dapat diukur, dan dengan demikian memahami makna dari apa yang telah dipahami. Bagi orang beriman, kapasitas ini mencakup, secara khusus, kemampuan untuk bertumbuh dalam pengetahuan tentang misteri-misteri Allah melalui pendalaman rasional kebenaran-kebenaran yang diwahyukan (intellectus fidei).[63] Intelligentia sejati dibentuk oleh kasih ilahi, yang “telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rm. 5:5). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan manusia memiliki dimensi kontemplatif yang hakiki, yaitu keterbukaan yang tanpa pamrih terhadap apa yang Benar, Baik dan Indah di luar kegunaan praktis tertentu.

Keterbatasan Kecerdasan Buatan

30. Berdasarkan pembahasan di atas, perbedaan antara kecerdasan manusia dan sistem AI saat ini menjadi jelas. Meskipun AI merupakan pencapaian teknologi luar biasa yang mampu meniru beberapa hasil (output) tertentu yang terkait dengan rasionalitas, AI hanya berfungsi dengan melakukan tugas, mencapai tujuan, atau membuat keputusan berdasarkan data kuantitatif dan logika komputasional. Misalnya, dengan kekuatan analitisnya, AI unggul dalam mengintegrasikan data dari berbagai bidang, memodelkan sistem yang kompleks, dan memfasilitasi hubungan interdisipliner. Dengan cara ini, AI dapat membantu para ahli untuk berkolaborasi dalam memecahkan masalah yang kompleksitasnya sedemikian rupa sehingga “tidak dapat ditangani dari satu perspektif atau dari satu set kepentingan.”[64]

31. Akan tetapi, meskipun AI memproses dan mensimulasikan ekspresi kecerdasan tertentu, pada dasarnya ia tetap terbatas pada kerangka kerja logika-matematis, yang memberinya batasan-batasan yang melekat. Sebaliknya, kecerdasan manusia terus berkembang secara organik melalui pertumbuhan fisik dan psikologis seseorang, yang dibentuk oleh berbagai pengalaman hidup dalam kehidupan nyata. AI tidak memiliki kemampuan untuk berkembang dalam arti ini. Meskipun sistem AI tingkat lanjut dapat “belajar” melalui proses seperti pembelajaran otomatis (machine learning), pelatihan semacam ini pada dasarnya berbeda dari pertumbuhan perkembangan kecerdasan manusia, yang dibentuk oleh pengalaman jasmaninya : rangsangan sensorik, respons emosional, interaksi sosial, dan konteks unik yang mencirikan setiap momen. Elemen-elemen ini membentuk dan mengembangkan individu dalam sejarah pribadi mereka. Sebaliknya, AI, yang tidak memiliki tubuh fisik, bergantung pada penalaran komputasional dan pembelajaran berdasarkan sekumpulan data besar yang mencakup pengalaman dan pengetahuan yang dikumpulkan oleh manusia.

32. Oleh karena itu, meskipun AI dapat mensimulasikan beberapa aspek dari penalaran manusia dan melaksanakan tugas-tugas tertentu dengan kecepatan dan efisiensi yang luar biasa, kemampuan komputasinya hanya mewakili sebagian kecil dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dari pikiran manusia. Sebagai contoh, AI saat ini tidak dapat meniru pertimbangan moral dan kemampuan untuk membangun hubungan yang otentik. Selain itu, kecerdasan seseorang tertanam dalam sejarah pembentukan intelektual dan moral yang dialami secara pribadi, yang secara fundamental membentuk perspektif individu, yang mencakup dimensi fisik, emosional, sosial, moral, dan spiritual dalam kehidupannya. Karena AI tidak dapat menawarkan pemahaman yang menyeluruh ini, pendekatan yang hanya mengandalkan teknologi ini atau menganggapnya sebagai sarana utama untuk menafsirkan dunia dapat menyebabkan “hilangnya kepekaan terhadap keseluruhan (totalitas), terhadap hubungan antara pelbagai hal, dan terhadap cakrawala yang lebih luas.”[65]

33. Kecerdasan manusia bukan hanya tentang menyelesaikan tugas-tugas fungsional, tetapi juga tentang memahami dan terlibat secara aktif dengan realitas dalam semua aspeknya; kecerdasan ini juga mampu memberikan wawasan yang mengejutkan. Karena AI tidak memiliki kekayaan jasmani, relasionalitas dan keterbukaan hati manusia terhadap kebenaran dan kebaikan, kemampuannya, meskipun tampaknya tak terbatas, tidak sebanding dengan kemampuan manusia untuk memahami realitas. Kita dapat belajar banyak dari suatu penyakit, seperti halnya kita dapat belajar dari sebuah pelukan rekonsiliasi, dan bahkan dari hal sederhana seperti matahari terbenam. Semua yang kita alami sebagai manusia membuka cakrawala baru bagi kita dan memberi kita kesempatan untuk memperoleh kebijaksanaan baru. Tidak ada perangkat, yang hanya bekerja dengan data, dapat menyamai pengalaman-pengalaman ini dan banyak pengalaman lain yang hadir dalam hidup kita.

34. Membuat kesetaraan secara berlebihan antara kecerdasan manusia dan AI membawa risiko untuk tunduk pada perspektif fungsionalis, di mana orang dihargai berdasarkan tugas yang dapat mereka lakukan. Namun, nilai diri seseorang tidak bergantung pada kepemilikan keterampilan tertentu, pencapaian kognitif dan teknologi, atau keberhasilan individual, tetapi pada martabat intrinsiknya yang didasarkan pada fakta bahwa ia diciptakan menurut gambar Allah.[66] Oleh karena itu, martabat ini tetap utuh dalam segala keadaan, bahkan pada mereka yang tidak dapat menggunakan kemampuannya, baik itu anak yang belum lahir, orang yang tidak sadar, atau orang tua yang menderita.[67] Hal ini mendasari tradisi hak asasi manusia (dan, khususnya, apa yang sekarang disebut “hak-hak saraf” [neurorights]), yang “merupakan titik temu penting dalam mencari landasan bersama”[68] dan karenanya dapat berfungsi sebagai panduan etis fundamental dalam diskusi tentang pengembangan dan penggunaan AI yang bertanggung jawab.

35. Dengan mempertimbangkan semua poin ini, seperti dicatat oleh Paus Fransiskus, “penggunaan kata ‘kecerdasan’ itu sendiri” dalam kaitannya dengan AI “dapat menyesatkan”[69] dan berisiko mengabaikan apa yang paling berharga dalam pribadi manusia. Dalam perspektif ini, AI tidak boleh dianggap sebagai bentuk artifisial dari kecerdasan manusia, tetapi sebagai salah satu produknya.[70]

IV. Peran Etika dalam Mengarahkan Pengembangan dan Penggunaan AI

36. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, kita dapat bertanya bagaimana AI dapat dipahami dalam kerangka rencana Allah. Untuk menjawab pertanyaan ini, pentinglah untuk diingat bahwa aktivitas tekno-ilmiah tidak bersifat netral, karena merupakan suatu kegiatan manusiawi yang melibatkan dimensi-dimensi humanistik dan kultural dari daya cipta manusia.[71]

37. Dipandang sebagai hasil dari potensi yang tertanam dalam kecerdasan manusia,[72] penelitian ilmiah dan pengembangan keterampilan teknis merupakan bagian dari “kerja sama antara pria dan wanita dengan Allah demi penyempurnaan ciptaan yang kelihatan.”[73] Pada saat yang sama, semua pencapaian ilmiah dan teknologi pada hakikatnya merupakan anugerah dari Allah.[74] Oleh karena itu, manusia harus selalu menggunakan kemampuan mereka dengan mempertimbangkan tujuan yang lebih tinggi yang telah diberikan Allah kepada mereka.[75]

38. Kita dapat dengan penuh rasa syukur mengakui bahwa teknologi telah “menyembuhkan penyakit yang tak terhitung jumlahnya yang dulunya menimpa dan membatasi manusia”,[76] dan kita semua dapat bersukacita akan hal ini. Namun demikian, tidak semua inovasi teknologi dengan sendirinya mewakili kemajuan manusia yang sejati.[77] Oleh karena itu, Gereja secara khusus menentang penerapan-penerapan teknologi yang mengancam kesucian hidup atau martabat pribadi manusia.[78] Seperti setiap kegiatan manusia lainnya, perkembangan teknologi harus diarahkan untuk melayani pribadi manusia dan berkontribusi pada upaya mencapai “keadilan yang lebih besar, persaudaraan yang lebih luas dan tatanan hubungan sosial yang lebih manusiawi”, yang “lebih berharga daripada kemajuan-kemajuan di bidang teknis.”[79] Keprihatinan tentang implikasi-implikasi etis dari perkembangan teknologi tidak hanya dimiliki oleh Gereja, tetapi juga oleh para ilmuwan, ahli teknologi, dan asosiasi-asosiasi profesional, yang semakin sering menyerukan refleksi etis untuk memandu kemajuan ini secara bertanggung jawab.

39. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, perlulah untuk menekankan pentingnya tanggung jawab moral yang berlandaskan pada martabat dan panggilan pribadi manusia. Prinsip ini juga berlaku untuk pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan AI. Dalam konteks ini, dimensi etis menjadi sangat penting karena manusialah yang merancang sistem dan menentukan tujuan penggunaannya.[80] Di antara mesin dan manusia, hanya manusia yang benar-benar merupakan agen moral, yaitu subjek yang bertanggung jawab secara moral yang menggunakan kebebasannya dalam mengambil keputusan dan menanggung konsekuensinya.[81] Bukan mesin, melainkan hanya manusia, yang memiliki hubungan dengan kebenaran dan kebaikan, yang dibimbing oleh hati nurani moral yang memanggilnya “untuk mengasihi, berbuat baik dan menghindari kejahatan”,[82] yang memberi kesaksian tentang “otoritas kebenaran dalam kaitannya dengan Kebaikan Tertinggi, yang menjadi tujuan hidup manusia.”[83] Demikian pula, antara mesin dan manusia, hanya manusia yang dapat cukup sadar diri untuk dapat mendengarkan dan mengikuti suara hati nurani, membedakan dengan bijaksana dan mencari kebaikan yang mungkin terjadi dalam setiap situasi.[84] Sesungguhnya semua ini juga merupakan bagian dari latihan kecerdasan manusia.

40. Seperti halnya setiap produk daya cipta manusia lainnya, AI dapat digunakan untuk tujuan positif atau negatif.[85] Ketika digunakan dengan cara yang menghormati martabat manusia dan meningkatkan kesejahteraan individu dan masyarakat, AI dapat memberikan kontribusi positif bagi panggilan hidup manusia. Namun demikian, seperti dalam semua bidang di mana manusia dipanggil untuk membuat keputusan, bayang-bayang kejahatan juga ada di sini. Ketika kebebasan manusia memungkinkan untuk memilih apa yang salah, evaluasi moral terhadap teknologi ini bergantung pada bagaimana teknologi ini diarahkan dan digunakan.

41. Namun pada saat yang sama, bukan hanya tujuan yang signifikan secara etis, tetapi juga cara yang digunakan untuk mencapainya. Selain itu, visi keseluruhan dan pemahaman tentang pribadi manusia yang tertanam dalam sistem tersebut juga penting untuk dipertimbangkan. Produk teknologi mencerminkan pandangan dunia dari para perancang, pemilik, pengguna dan regulatornya,[86] dan memiliki kekuatan untuk “membentuk dunia dan melibatkan hati nurani pada tingkat nilai.”[87] Pada tingkat masyarakat, beberapa perkembangan teknologi juga dapat memperkuat hubungan dan dinamika kekuasaan yang tidak sesuai dengan pemahaman yang tepat tentang pribadi manusia dan masyarakat.

42. Oleh karena itu, tujuan dan sarana yang digunakan dalam suatu penerapan tertentu dari AI, serta visi keseluruhan yang terkandung di dalamnya, semuanya harus dievaluasi untuk memastikan bahwa tujuan dan sarana tersebut menghormati martabat manusia dan memajukan kebaikan bersama.[88] Seperti yang telah dinyatakan oleh Paus Fransiskus, “martabat intrinsik setiap pria dan wanita” harus menjadi “kriteria utama dalam mengevaluasi teknologi-teknologi yang baru muncul; teknologi-teknologi ini akan terbukti etis sejauh membantu memanifestasikan martabat tersebut dan meningkatkan ekspresinya di setiap tingkat kehidupan manusia”,[89] termasuk dalam bidang sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini, kecerdasan manusia memainkan peran penting tidak hanya dalam merancang dan memproduksi teknologi, tetapi juga dalam mengarahkan penggunaannya sesuai dengan kebaikan sejati pribadi manusia.[90] Tanggung jawab untuk menjalankan pengelolaan teknologi ini dengan bijaksana ada pada semua tingkat masyarakat, yang dipandu oleh prinsip subsidiaritas dan prinsip-prinsip lain dari Ajaran Sosial Gereja.

Membantu Kebebasan Manusia dan Pengambilan Keputusan

43. Komitmen untuk memastikan bahwa AI selalu menghormati dan mempromosikan nilai tertinggi martabat setiap pribadi manusia dan kepenuhan panggilannya adalah kriteria pertimbangan bagi para pengembang, pemilik, operator, dan regulator AI, serta bagi para penggunanya. Komitmen ini tetap berlaku untuk setiap penerapan teknologi di semua tingkat penggunaannya.

44. Evaluasi implikasi dari prinsip utama ini dapat dimulai dengan memeriksa pentingnya tanggung jawab moral. Mengingat bahwa kausalitas moral dalam arti penuh hanya dimiliki oleh pelaku personal, bukan pelaku buatan, sangat penting untuk dapat mengidentifikasi dan menentukan siapa yang bertanggung jawab atas proses AI, terutama yang melibatkan kemungkinan pembelajaran, koreksi, dan pemrograman ulang. Meskipun metode empiris (bottom-up) dan jaringan saraf yang sangat dalam (very deep neural networks) memungkinkan AI untuk memecahkan masalah yang kompleks, metode-metode tersebut juga mempersulit pemahaman tentang proses yang mengarah pada solusi yang diadopsi. Hal ini mempersulit penetapan tanggung jawab, karena jika aplikasi AI menghasilkan hasil yang tidak diinginkan, maka akan sulit untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab. Untuk mengatasi masalah ini, perhatian perlu diarahkan pada sifat proses pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam konteks yang kompleks dan sangat terotomatisasi, di mana hasilnya sering hanya dapat diamati dalam jangka menengah atau panjang. Oleh karena itu, pentinglah bahwa tanggung jawab utama atas keputusan yang dibuat menggunakan AI berada di tangan para pengambil keputusan manusia (human decision-makers) dan bahwa ada akuntabilitas untuk penggunaan AI di setiap tahap proses pengambilan keputusan.[91]

45. Selain menentukan siapa yang bertanggung jawab, pentinglah untuk mengidentifikasi tujuan yang ditetapkan untuk sistem AI. Meskipun sistem ini dapat menggunakan mekanisme pembelajaran otonom tanpa pengawasan (unsupervised autonomous learning mechanisms) dan terkadang mengikuti jalur yang tidak dapat direkonstruksi manusia, sistem ini pada akhirnya mengejar tujuan yang telah ditetapkan oleh manusia dan diatur oleh proses yang ditetapkan oleh para perancang dan pemrogramnya. Hal ini menghadirkan tantangan tersendiri karena, ketika model AI menjadi semakin mampu belajar secara mandiri, kemampuan untuk mengendalikan mereka guna memastikan bahwa aplikasi tersebut melayani tujuan manusia dapat berkurang secara efektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang bagaimana memastikan bahwa sistem AI diatur untuk kebaikan manusia dan bukan untuk melawan mereka.

46. Jika tanggung jawab atas penggunaan etis dari sistem AI dimulai dengan mereka yang mengembangkan, memproduksi, mengelola, dan mengawasi sistem tersebut, tanggung jawab tersebut juga dipikul oleh mereka yang menggunakannya. Seperti yang dicatat oleh Paus Fransiskus : “Mesin membuat pilihan teknis di antara beberapa kemungkinan dan [pilihan tersebut] didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan, atau pada deduksi statistik. Manusia, sebaliknya, tidak hanya memilih, tetapi dalam hatinya mereka mampu memutuskan.”[92] Mereka yang menggunakan AI untuk melakukan suatu tugas dan mengikuti hasilnya menciptakan suatu konteks di mana mereka pada akhirnya bertanggung jawab atas kekuatan yang telah mereka delegasikan. Oleh karena itu, sejauh AI dapat membantu manusia dalam membuat keputusan, algoritma yang menggerakkannya harus dapat diandalkan, aman, cukup kuat untuk menangani inkonsistensi dan transparan dalam pengoperasiannya untuk mengurangi bias dan efek samping yang tidak diinginkan.[93] Kerangka peraturan harus memastikan bahwa semua badan hukum dapat mempertanggungjawabkan penggunaan AI dan semua konsekuensinya, dengan tindakan yang tepat untuk menjamin transparansi, privasi dan akuntabilitas.[94] Selain itu, mereka yang menggunakan AI harus berhati-hati agar tidak menjadi terlalu bergantung pada AI dalam pengambilan keputusan, yang akan menaikkan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi yang menjadi ciri masyarakat kontemporer.

47. Ajaran moral dan sosial Gereja menyediakan sumber daya untuk membantu memastikan bahwa AI digunakan dengan cara yang mempertahankan kapasitas manusia untuk bertindak. Pertimbangan tentang keadilan, misalnya, juga harus menyangkut masalah-masalah seperti mendorong dinamika sosial yang adil, membela keamanan internasional dan mempromosikan perdamaian. Dengan menunjukkan kebijaksanaan, individu dan komunitas dapat memahami cara-cara yang tepat untuk menggunakan AI demi kepentingan umat manusia, sambil menghindari penerapan yang dapat merendahkan martabat manusia atau merusak lingkungan. Dalam konteks ini, konsep “tanggung jawab” harus dipahami tidak hanya dalam arti yang paling sempit, tetapi juga sebagai “menjaga dan peduli terhadap orang lain, dan bukan hanya […] memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan.”[95]

48. Oleh karena itu, AI, seperti teknologi apa pun, dapat menjadi bagian dari jawaban yang sadar dan bertanggung jawab terhadap panggilan manusia untuk kebaikan. Akan tetapi, seperti yang dibahas sebelumnya, AI harus diarahkan oleh kecerdasan manusia agar selaras dengan panggilan ini, dengan memastikan bahwa ia menghormati martabat pribadi manusia. Mengakui “martabat yang luhur” ini, Konsili Vatikan Kedua menegaskan bahwa “tata-masyarakat serta kemajuannya harus tiada hentinya menunjang kesejahteraan pribadi-pribadi [manusia].”[96] Mengingat hal ini, penggunaan AI, seperti yang dikatakan Paus Fransiskus, harus “disertai dengan etika yang diilhami oleh visi kebaikan bersama, etika kebebasan, tanggung jawab dan persaudaraan, yang mampu membina perkembangan penuh manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan dengan seluruh ciptaan.”[97]

V. Masalah-Masalah Khusus

49. Dalam perspektif umum ini, poin-poin berikut akan menggambarkan bagaimana argumen-argumen yang dipaparkan di atas dapat membantu memberikan orientasi etika dalam situasi-situasi konkret, sesuai dengan “kebijaksanaan hati” yang diusulkan oleh Paus Fransiskus.[98] Meskipun tidak menyeluruh, diskusi ini ditawarkan untuk melayani dialog yang berupaya mengidentifikasi cara-cara di mana AI dapat digunakan untuk menegakkan martabat manusia dan memajukan kebaikan bersama.[99]

Kecerdasan Buatan dan Masyarakat

50. Seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, “martabat yang melekat pada setiap manusia dan persaudaraan yang mengikat kita bersama sebagai anggota satu keluarga manusia harus menjadi dasar pengembangan teknologi-teknologi baru dan berfungsi sebagai kriteria yang tidak terbantahkan untuk mengevaluasi teknologi-teknologi tersebut sebelum digunakan.”[100]

51. Dalam perspektif ini, AI dapat “memperkenalkan inovasi penting dalam bidang pertanian, pendidikan dan budaya, peningkatan taraf hidup bagi seluruh bangsa dan masyarakat, serta pengembangan persaudaraan manusia dan persahabatan sosial”, dan dengan demikian dapat “digunakan untuk mendorong pembangunan manusia seutuhnya.”[101] AI juga dapat membantu organisasi mengidentifikasi orang-orang yang membutuhkan dan melawan diskriminasi dan marginalisasi. Melalui cara-cara ini dan cara-cara serupa lainnya, AI dapat berkontribusi pada pembangunan manusia dan kebaikan bersama.[102]

52. Akan tetapi, meskipun AI menawarkan banyak kemungkinan untuk memajukan kebaikan, ia juga dapat menghambat atau bahkan menentang pembangunan manusia dan kebaikan bersama. Paus Fransiskus mencatat bahwa “data yang dikumpulkan sejauh ini tampaknya menunjukkan bahwa teknologi digital telah meningkatkan kesenjangan di dunia kita. Bukan hanya perbedaan dalam kekayaan materi, yang signifikan, tetapi juga perbedaan dalam akses terhadap pengaruh politik dan sosial.”[103] Dalam hal ini, AI dapat digunakan untuk melanggengkan marginalisasi dan diskriminasi, menciptakan bentuk-bentuk kemiskinan baru, memperlebar “kesenjangan digital”, dan memperburuk kesenjangan sosial yang ada.[104]

53. Selain itu, fakta bahwa sebagian besar kekuasaan atas aplikasi AI arus utama saat ini terkonsentrasi di tangan beberapa perusahaan yang kuat menimbulkan kekhawatiran etis yang signifikan. Masalah ini diperburuk oleh sifat bawaan sistem AI itu sendiri, di mana tidak ada satu orang pun yang dapat melakukan pengawasan sepenuhnya atas kumpulan data yang luas dan kompleks yang digunakan untuk komputasi. Kurangnya akuntabilitas yang terdefinisi dengan jelas ini menimbulkan risiko bahwa AI dapat dimanipulasi untuk kepentingan pribadi atau komersial, atau untuk mengarahkan opini publik demi keuntungan sektoral tertentu. Entitas-entitas semacam itu, yang dimotivasi oleh kepentingan mereka sendiri, memiliki kemampuan untuk “menjalankan bentuk-bentuk kontrol yang begitu halus sekaligus invasif, menciptakan mekanisme untuk memanipulasi hati nurani dan proses demokrasi.”[105]

54. Lebih jauh lagi, ada risiko bahwa AI dapat digunakan untuk mempromosikan apa yang disebut Paus Fransiskus sebagai “paradigma teknokratis”, yang cenderung menyelesaikan semua masalah dunia hanya dengan cara-cara teknologi.[106] Menurut paradigma ini, martabat manusia dan persaudaraan sering dikesampingkan atas nama efisiensi, “seolah-olah realitas, kebaikan dan kebenaran secara otomatis mengalir dari kekuatan teknologi dan ekonomi itu sendiri.”[107] Namun, martabat manusia dan kebaikan bersama tidak boleh diabaikan demi efisiensi,[108] karena “perkembangan teknologi yang tidak mengarah pada peningkatan kualitas hidup seluruh umat manusia, tetapi sebaliknya memperburuk kesenjangan dan konflik, tidak akan pernah dapat dianggap sebagai kemajuan sejati.”[109] AI seharusnya lebih ditempatkan “untuk melayani jenis kemajuan lain yang lebih sehat, lebih manusiawi, lebih sosial dan lebih integral.”[110]

55. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan refleksi yang lebih mendalam tentang hubungan antara otonomi dan tanggung jawab. Otonomi yang lebih besar menyiratkan tanggung jawab yang lebih besar dari setiap orang dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Bagi umat Kristiani, dasar tanggung jawab ini terletak pada pengakuan bahwa setiap kemampuan manusia, termasuk otonomi pribadi, berasal dari Allah dan dimaksudkan untuk digunakan dalam pelayanan kepada orang lain.[111] Oleh karena itu, daripada dibatasi pada pencapaian tujuan ekonomi atau teknologi, AI harus digunakan untuk mendukung “kebaikan bersama seluruh keluarga manusia”, yang merupakan “keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri.”[112]

Kecerdasan Buatan dan Relasi Manusiawi

56. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya.”[113] Keyakinan ini menegaskan bahwa hidup bermasyarakat merupakan kodrat dan panggilan hidup manusia.[114] Sebagai makhluk sosial, kita mencari hubungan yang melibatkan pertukaran timbal balik dan pencarian kebenaran, yang dalam prosesnya, manusia “menjelaskan kepada sesamanya kebenaran yang telah ditemukannya, atau yang ia telah merasa menemukan, sehingga mereka saling membantu dalam mencari kebenaran.”[115]

57. Pencarian semacam itu, bersama dengan aspek-aspek lainnya dari komunikasi manusia, mengandaikan adanya perjumpaan dan pertukaran timbal balik antara individu-individu yang membawa dalam diri mereka jejak sejarah, pemikiran, keyakinan dan hubungan mereka yang unik. Kita juga tidak boleh lupa bahwa kecerdasan manusia adalah realitas yang beragam, beraneka segi dan kompleks : individual dan sosial, rasional dan afektif, konseptual dan simbolis. Paus Fransiskus menggarisbawahi dinamika ini dengan menyatakan bahwa “bersama-sama, kita dapat mencari kebenaran dalam dialog, entah dalam percakapan yang tenang atau debat yang sengit. Ini adalah perjalanan yang membutuhkan ketekunan, juga ditandai dengan keheningan dan penderitaan, yang mampu dengan sabar mengumpulkan pengalaman luas individu dan bangsa-bangsa. […] Jalan persaudaraan, baik lokal maupun universal, hanya dapat ditempuh oleh jiwa-jiwa bebas yang bersedia untuk berjumpa secara nyata.”[116]

58. Dalam konteks inilah tantangan-tantangan yang ditimbulkan AI terhadap hubungan antar manusia dapat dilihat. Seperti halnya sarana teknologi lainnya, AI memiliki potensi untuk memupuk ikatan dalam keluarga manusia. Namun, AI juga dapat menghalangi perjumpaan sejati dengan realitas dan, pada akhirnya, membawa orang pada “ketidakpuasan yang mendalam dan muram dalam hubungan antarpribadi, atau pada suatu perasaan keterasingan yang berbahaya.”[117] Padahal, hubungan antar manusia yang otentik membutuhkan dimensi-dimensi kemanusiaan yang utuh untuk dapat berada bersama orang lain, berbagi penderitaan, harapan dan kegembiraan mereka.[118] Karena kecerdasan manusia diungkapkan dan diperkaya juga secara interpersonal dan jasmaniah, perjumpaan-perjumpaan yang otentik dan spontan dengan orang lain sangat diperlukan untuk terlibat dengan realitas secara penuh.

59. Karena “kebijaksanaan sejati mengandaikan perjumpaan dengan realitas”,[119] kemajuan dalam bidang AI menghadirkan tantangan lebih lanjut : karena AI dapat secara efektif meniru cara kerja kecerdasan manusia, kita tidak bisa lagi menganggap remeh kemampuan untuk memahami apakah kita sedang berinteraksi dengan manusia atau mesin. Meskipun AI “generatif” (Generative AI) bisa menghasilkan teks, ucapan, gambar dan hasil-hasil canggih lainnya yang biasanya merupakan hasil karya manusia, AI tersebut harus dilihat sebagaimana adanya: sebuah alat, dan bukan manusia.[120] Perbedaan ini sering kali dikaburkan oleh bahasa yang digunakan oleh para praktisi, yang cenderung mengantropomorfiskan AI (: menganggap AI memiliki sifat-sifat khas manusia) dan dengan demikian mengaburkan batas antara apa yang manusiawi dan apa yang artifisial.

60. Antropomorfisasi AI juga menimbulkan masalah khusus bagi pertumbuhan anak-anak, yang berpotensi mendorong mereka untuk mengembangkan pola interaksi yang memperlakukan hubungan antar manusia secara transaksional, seperti halnya yang terjadi dengan chatbot (robot percakapan). Pendekatan semacam itu akan berisiko mengarahkan kaum muda untuk memandang guru hanya sebagai penyedia informasi alih-alih sebagai mentor yang membimbing dan mendukung mereka dalam perkembangan intelektual dan moral. Hubungan yang otentik, yang berakar pada empati dan komitmen teguh terhadap kebaikan orang lain, sangat penting dan tak tergantikan dalam membina perkembangan pribadi manusia secara penuh.

61. Dalam konteks ini, penting untuk mengklarifikasi bahwa, meskipun terminologi antropomorfik sering digunakan, tidak ada aplikasi AI yang benar-benar dapat merasakan empati. Emosi tidak dapat disederhanakan menjadi ekspresi wajah atau kalimat yang dihasilkan sebagai respons terhadap permintaan pengguna. Sebaliknya, emosi dipahami dalam cara seseorang, secara keseluruhan, berhubungan dengan dunia dan kehidupannya sendiri, dengan tubuh memainkan peran utama. Empati sejati membutuhkan kemampuan untuk mendengarkan, mengenali keunikan orang lain yang tidak dapat diubah, menerima perbedaan mereka, dan juga memahami makna di balik keheningan mereka.[121] Tidak seperti ranah penilaian analitis yang menjadi keunggulan AI, empati sejati termasuk dalam ranah relasional. Empati melibatkan persepsi dan menjadikan pengalaman hidup orang lain sebagai milik sendiri, sambil tetap mempertahankan perbedaan antara diri sendiri dan orang lain.[122] Meskipun AI dapat mensimulasikan respons empatik, sifat empati otentik yang sangat personal dan relasional tidak dapat ditiru oleh sistem artifisial.[123]

62. Berdasarkan hal di atas, jelaslah mengapa menampilkan AI sebagai manusia harus selalu dihindari; dan melakukannya untuk tujuan penipuan merupakan pelanggaran etika serius yang dapat mengikis kepercayaan sosial. Demikian pula, penggunaan AI untuk menipu dalam konteks lain—seperti dalam pendidikan atau dalam relasi manusiawi, termasuk bidang seksualitas—harus dianggap tidak etis dan memerlukan pengawasan yang cermat untuk mencegah kemungkinan bahaya, menjaga transparansi dan menjamin martabat semua orang.[124]

63. Dalam dunia yang semakin individualistis, beberapa orang beralih ke AI untuk mencari relasi manusiawi yang mendalam, persahabatan sederhana, atau bahkan ikatan emosional. Akan tetapi, meskipun mengakui bahwa manusia diciptakan untuk mengalami hubungan yang otentik, perlu ditegaskan bahwa AI hanya dapat mensimulasikannya. Hubungan dengan orang lain merupakan bagian integral dari bagaimana seseorang tumbuh menjadi pribadi manusia yang sejati. Oleh karena itu, jika AI digunakan untuk membantu orang membina hubungan yang tulus antar manusia, maka AI dapat memberikan kontribusi positif terhadap terwujudnya jati diri manusia seutuhnya. Sebaliknya, jika kita mengganti hubungan dengan Tuhan dan dengan sesama dengan sarana-sarana teknologi, kita berisiko menggantikan relasi yang otentik dengan tiruan tanpa kehidupan (bdk. Mazmur 106:20; Roma 1:22-23). Alih-alih menarik diri ke dalam dunia artifisial, kita dipanggil untuk terlibat secara serius dan berkomitmen dengan dunia nyata, terutama dengan mengidentifikasikan diri dengan orang-orang miskin dan menderita, menghibur mereka yang berduka, dan menjalin ikatan persekutuan dengan semua orang.

Kecerdasan Buatan, Ekonomi dan Pekerjaan

64. Mengingat sifatnya yang interdisipliner, AI juga semakin banyak diterapkan dalam sistem ekonomi dan keuangan. Saat ini, investasi yang paling menonjol tidak hanya terlihat pada sektor teknologi tetapi juga di sektor energi, keuangan dan media, khususnya di bidang pemasaran dan penjualan, logistik, inovasi teknologi, pemenuhan ketentuan (compliance) dan manajemen risiko. Penerapan di bidang-bidang ini menyingkapkan sifat AI yang ambivalen, sumber peluang yang luar biasa tetapi juga risiko yang mendalam. Kekritisan nyata pertama dalam hal ini menyangkut kemungkinan bahwa, akibat terkonsentrasinya pasokan AI di tangan beberapa perusahaan, hanya perusahaan-perusahaan itulah yang akan memperoleh keuntungan dari nilai yang diciptakan oleh AI, bukannya perusahaan-perusahaan yang menggunakannya.

65. Lebih jauh lagi, dalam bidang ekonomi dan keuangan, terdapat aspek-aspek yang lebih umum di mana AI dapat menghasilkan efek yang harus dinilai dengan cermat, terutama terkait dengan interaksi antara realitas konkret dan dunia digital. Hal pertama yang perlu dipertimbangkan adalah mengenai koeksistensi lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang, dalam konteks tertentu, memiliki bentuk yang beragam dan alternatif. Hal ini merupakan faktor yang perlu dipromosikan karena dapat memberikan manfaat dalam hal mendukung perekonomian riil dengan mendorong perkembangan dan stabilitasnya, terutama pada masa krisis. Namun, perlu ditegaskan bahwa realitas digital, yang tidak dibatasi oleh ikatan spasial apa pun, cenderung lebih homogen dan impersonal daripada komunitas yang berakar di tempat tertentu dan dengan sejarah konkret tertentu, dengan perjalanan bersama yang dicirikan oleh nilai-nilai dan harapan yang sama, tetapi juga oleh perselisihan dan perbedaan pendapat yang tak terelakkan. Keragaman tersebut merupakan aset yang tidak dapat dipungkiri bagi kehidupan ekonomi suatu masyarakat. Menempatkan ekonomi dan keuangan sepenuhnya di tangan teknologi digital akan mengurangi keragaman dan kekayaan ini. Akibatnya, banyak solusi untuk masalah ekonomi, yang semestinya dapat dicapai melalui dialog alami antara pihak-pihak yang terkait, berisiko tidak lagi dapat dicapai di dunia yang didominasi oleh prosedur dan kedekatan yang hanya bersifat semu.

66. Bidang lain yang telah merasakan dampak mendalam dari AI adalah dunia kerja. Seperti di banyak bidang lainnya, AI mendorong transformasi substansial dalam banyak profesi, dengan beragam dampak. Di satu sisi, AI berpotensi meningkatkan ketrampilan dan produktivitas, menciptakan lapangan kerja baru, memungkinkan pekerja berfokus pada tugas yang lebih inovatif, dan membuka cakrawala baru bagi kreativitas dan inovasi.

67. Namun, meskipun AI menjanjikan peningkatan produktivitas dengan mengambil alih tugas-tugas rutin, pekerja sering kali dipaksa untuk beradaptasi dengan kecepatan dan tuntutan mesin, alih-alih mesin dirancang untuk mendukung mereka yang bekerja. Dengan demikian, berlawanan dengan manfaat yang dijanjikan AI, pendekatan teknologi saat ini secara paradoks dapat menurunkan keterampilan pekerja, membuat mereka tunduk pada pengawasan otomatis dan membatasi mereka pada tugas-tugas yang kaku dan berulang. Kebutuhan untuk mengikuti laju perkembangan teknologi dapat mengikis otonomi dan tanggung jawab pekerja, serta menghambat ketrampilan inovatif yang diharapkan dapat mereka bawa ke dalam pekerjaan mereka.[125]

68. AI meniadakan kebutuhan akan beberapa aktivitas yang dulunya dilakukan oleh manusia. Jika AI digunakan untuk menggantikan pekerja manusia dan bukan untuk melengkapi mereka, maka akan ada “risiko besar akan adanya keuntungan yang tidak proporsional bagi segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang.”[126] Selain itu, seiring dengan semakin kuatnya AI, ada pula bahaya yang menyertai, yaitu bahwa tenaga kerja manusia dapat kehilangan nilainya dalam ranah ekonomi. Inilah konsekuensi logis dari paradigma teknokratis: dunia manusia yang diperbudak oleh efisiensi, yang pada akhirnya akan mengurangi nilai kemanusiaan. Sebaliknya, kehidupan manusia itu sendiri pada hakikatnya sangat berharga, terlepas dari keuntungan ekonominya. Paus Fransiskus menjelaskan bahwa, sebagai konsekuensi dari paradigma tersebut, model saat ini “tidak tampak mendukung investasi dalam upaya-upaya membantu mereka yang tertinggal, yang lemah atau yang kurang berbakat untuk dapat menemukan peluang-peluang dalam hidup.”[127] Dan bersamanya kita menyimpulkan bahwa “kita tidak bisa membiarkan alat yang sekuat dan sangat diperlukan seperti Kecerdasan Buatan untuk memperkuat paradigma semacam itu, tetapi sebaliknya kita justru harus menjadikan Kecerdasan Buatan sebagai benteng pertahanan untuk melawan perkembangannya.”[128]

69. Oleh karena itu, penting untuk diingat bahwa “penataan hal-hal harus dibawahkan kepada tingkatan pribadi-pribadi, dan jangan sebaliknya.”[129] Karena itu, kerja manusia tidak boleh hanya dipandang dalam perspektif demi kepentingan keuntungan, tetapi juga demi “pelayanan kepada manusia, yakni manusia seutuhnya, dengan mengindahkan tata urutan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya maupun tuntutan-tuntutan hidupnya di bidang intelektual, moral, rohani, rohani dan keagamaan.”[130] Dalam konteks ini, Gereja mengakui bahwa pekerjaan “bukan hanya sarana untuk mencari nafkah”, tetapi juga “dimensi kehidupan sosial yang hakiki” dan “sarana untuk pengembangan pribadi, untuk membangun hubungan yang sehat, untuk mengekspresikan diri, untuk berbagi anugerah, untuk merasa turut bertanggung jawab dalam mengembangkan dunia dan, pada akhirnya, untuk hidup sebagai bangsa.”[131]

70. Karena pekerjaan merupakan “bagian dari makna hidup di bumi ini, jalan menuju pendewasaan, pengembangan manusia, dan perwujudan diri”, kita seharusnya tidak berusaha agar “kemajuan teknologi semakin menggantikan tenaga kerja manusia, karena dengan demikian manusia akan merugikan dirinya [sendiri]”[132] ; justru sebaliknya, kemajuan teknologi harus memajukan tenaga kerja manusia. Dilihat dari sudut pandang ini, AI seharusnya membantu dan bukan menggantikan penilaian manusia. Demikian pula, AI tidak boleh menurunkan kreativitas atau mereduksi pekerja menjadi sekadar “roda penggerak dalam mesin.” Oleh karena itu, “penghormatan terhadap martabat pekerja dan pentingnya pekerjaan bagi kesejahteraan ekonomi individu, keluarga, dan masyarakat, untuk keamanan kerja dan upah yang adil, harus menjadi prioritas utama bagi masyarakat internasional karena bentuk-bentuk teknologi ini menembus lebih dalam ke tempat kerja kita.”[133]

Kecerdasan Buatan dan Perawatan Kesehatan

71. Ambil bagian dalam karya penyembuhan Allah, para profesional perawatan kesehatan memiliki panggilan dan tanggung jawab untuk menjadi “penjaga dan pelayan kehidupan manusia.”[134] Oleh karena itu, profesi perawatan kesehatan memiliki “dimensi etika yang hakiki dan tak terelakkan”, sebagaimana diakui oleh Sumpah Hipokrates, yang mengharuskan para dokter dan pemberi layanan kesehatan untuk berkomitmen “menghormati sepenuhnya kehidupan manusia dan hakikat sakralnya.”[135] Komitmen ini, seperti halnya Orang Samaria yang Baik Hati, harus dilaksanakan oleh pria dan wanita “yang tidak membiarkan terciptanya masyarakat yang terkucil, tetapi menjadi sesama, membangkitkan dan merehabilitasi manusia yang terpuruk, sehingga kebaikan dapat menjadi milik bersama.”[136]

72. Dalam hal ini, AI tampaknya memiliki potensi yang sangat besar untuk berbagai macam aplikasi di bidang medis, misalnya membantu pekerjaan diagnostik para profesional kesehatan, memfasilitasi hubungan antara pasien dan staf medis, menawarkan perawatan baru, dan memperluas akses ke perawatan berkualitas, bahkan bagi orang-orang yang menderita situasi isolasi atau marginalisasi. Dengan cara-cara ini, teknologi dapat meningkatkan “kedekatan yang penuh kasih sayang dan kelembutan”[137] yang harus diberikan oleh para profesional kesehatan kepada mereka yang sakit dan menderita.

73. Namun, jika AI digunakan bukan untuk meningkatkan, melainkan untuk menggantikan sepenuhnya hubungan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan, sehingga pasien berinteraksi dengan mesin dan bukan manusia, hal ini akan mereduksi struktur hubungan manusia yang sangat penting menjadi kerangka kerja yang tersentralisasi, impersonal dan tidak setara. Alih-alih menggalang solidaritas dengan orang sakit dan menderita, penerapan AI semacam itu berisiko memperburuk kesepian yang sering menyertai penyakit, terutama dalam konteks budaya di mana “pribadi manusia tidak lagi dipandang sebagai nilai utama yang perlu dihormati dan dilindungi.”[138] Penggunaan AI semacam itu tidak sejalan dengan penghormatan terhadap martabat pribadi manusia dan solidaritas dengan mereka yang menderita.

74. Tanggung jawab atas kesejahteraan pasien dan atas keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka merupakan inti dari profesi perawatan kesehatan. Tanggung jawab ini mengharuskan tenaga medis untuk menggunakan semua keterampilan dan kecerdasan mereka untuk membuat pilihan yang bijaksana dan berlandaskan etika mengenai orang-orang yang dipercayakan kepada perawatan mereka, dengan selalu menghormati martabat pasien yang tidak dapat diganggu gugat dan perlunya persetujuan yang diinformasikan. Oleh karena itu, keputusan mengenai perawatan pasien dan beban tanggung jawab yang menyertainya harus selalu berada di tangan manusia dan tidak boleh didelegasikan kepada AI.[139]

75. Lebih jauh lagi, penggunaan AI untuk menentukan siapa yang harus menerima perawatan, yang terutama didasarkan pada kriteria ekonomi atau metrik efisiensi, merupakan contoh dari “paradigma teknokratis” yang sangat bermasalah dan harus ditolak.[140] Memang benar bahwa “mengoptimalkan sumber daya berarti menggunakannya dengan cara yang etis dan mendukung, serta tidak menghukum mereka yang paling rentan.”[141] Selain itu, dalam bidang ini, perangkat-perangkat AI rentan terhadap “bentuk-bentuk prasangka (bias) dan diskriminasi”, di mana “kesalahan-kesalahan sistemik dapat dengan mudah berlipat ganda, yang tidak hanya menimbulkan ketidakadilan dalam kasus-kasus individual, tetapi juga, melalui efek domino, merupakan bentuk-bentuk nyata dari ketimpangan sosial.”[142]

76. Integrasi AI ke dalam layanan kesehatan juga menimbulkan risiko memperbesar kesenjangan lain yang sudah ada dalam akses terhadap perawatan medis. Karena layanan kesehatan semakin berfokus pada pencegahan dan gaya hidup, solusi berbasis AI mungkin secara tidak sengaja lebih mengutamakan populasi yang lebih kaya, yang sudah menikmati akses yang lebih baik ke sumber daya medis dan nutrisi yang berkualitas. Tren ini berisiko memperkuat model “pengobatan untuk orang kaya”, di mana mereka yang mampu secara finansial memperoleh manfaat dari peralatan yang canggih dan informasi medis yang dipersonalisasi, sementara yang lain kesulitan untuk mengakses bahkan layanan yang paling mendasar. Untuk mencegah ketidakadilan seperti itu, kerangka tata kelola yang adil diperlukan untuk memastikan bahwa penggunaan AI dalam layanan kesehatan tidak memperburuk kesenjangan yang ada, tetapi justru melayani kebaikan bersama.

Kecerdasan Buatan dan Pendidikan

77. Kata-kata Konsili Vatikan II masih relevan sepenuhnya hingga saat ini: “Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya adalah mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya.”[143] Oleh karena itu, pendidikan “tidak pernah sekadar menjadi proses mewariskan pengetahuan dan keterampilan intelektual; melainkan, tujuannya adalah untuk memberikan kontribusi pada pembentukan manusia seutuhnya dalam berbagai dimensinya (intelektual, kultural, spiritual, dll.), termasuk, misalnya, kehidupan bermasyarakat dan hubungan-hubungan yang dialami dalam lingkungan akademis”,[144] dengan tetap menghormati hakikat dan martabat manusia.

78. Pendekatan ini menyiratkan komitmen untuk mendidik pikiran, tetapi selalu dalam kerangka pengembangan integral pribadi manusia: “Kita harus mematahkan gagasan pendidikan yang menganggap bahwa mendidik berarti mengisi kepala seseorang dengan ide-ide. Itulah cara kita mendidik robot, pikiran yang cerdas, dan bukan manusia. Mendidik berarti mengambil risiko dalam ketegangan antara kepala, hati dan tangan.”[145]

79. Inti dari upaya pembentukan pribadi manusia seutuhnya adalah hubungan yang tak terpisahkan antara guru dan siswa. Guru tidak hanya menyampaikan pengetahuan; mereka juga menjadi teladan kualitas manusia yang esensial dan pemberi inspirasi kegembiraan dalam proses penemuan.[146] Kehadiran mereka memotivasi siswa baik melalui konten yang mereka ajarkan maupun perhatian yang mereka tunjukkan kepada siswa mereka. Ikatan ini menumbuhkan kepercayaan, saling pengertian, dan kemampuan untuk mempertimbangkan martabat dan potensi unik setiap orang. Di pihak siswa, hal ini dapat membangkitkan keinginan nyata untuk maju. Kehadiran fisik seorang guru menciptakan dinamika relasional yang tidak dapat ditiru oleh AI, dinamika yang memperdalam keterlibatan dan memelihara perkembangan integral siswa.

80. Dalam konteks ini, AI menghadirkan peluang dan tantangan. Jika digunakan dengan bijaksana, dalam konteks hubungan guru-murid yang sejati dan sejalan dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya, AI dapat menjadi sumber daya pendidikan yang berharga dengan meningkatkan akses ke pendidikan dan memberikan dukungan yang dipersonalisasi serta umpan balik langsung kepada murid. Manfaat-manfaat ini dapat meningkatkan pengalaman belajar, terutama dalam kasus-kasus yang membutuhkan perhatian khusus terhadap individu atau ketika sumber daya pendidikan terbatas.

81. Di sisi lain, tugas penting pendidikan adalah membina “akal budi untuk bernalar dengan baik dalam segala hal, untuk menggapai kebenaran dan untuk memahaminya”,[147] sambil membantu “bahasa kepala” untuk tumbuh secara harmonis dengan “bahasa hati” dan “bahasa tangan.”[148] Hal ini menjadi semakin penting di zaman yang ditandai dengan teknologi, di mana tantangan utama kita “tidak lagi hanya sebatas ‘menggunakan’ alat komunikasi, melainkan hidup dalam sebuah budaya yang hampir seluruhnya digital. Hal itu telah sangat mempengaruhi […] cara berkomunikasi, cara belajar, cara mendapatkan informasi, dan cara berelasi dengan orang lain.”[149] Akan tetapi, alih-alih menumbuhkan “kecerdasan yang terdidik” yang “membawa serta kekuatan dan keanggunan untuk setiap pekerjaan dan profesi yang dilakukannya”,[150] penggunaan AI secara ekstensif dalam pendidikan dapat meningkatkan ketergantungan siswa pada teknologi, mengikis kemampuan mereka untuk melakukan beberapa keterampilan secara mandiri dan memperburuk ketergantungan mereka pada layar.[151]

82. Lebih jauh lagi, sementara beberapa sistem AI secara khusus dirancang untuk membantu orang mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan memecahkan masalah, banyak program lain hanya memberikan jawaban daripada mendorong siswa untuk menemukannya sendiri atau menulis teks sendiri.[152] Alih-alih melatih kaum muda untuk mengumpulkan informasi dan memberikan jawaban cepat, pendidikan seharusnya “mendorong kebebasan yang bertanggung jawab, [sehingga] di titik persimpangan mereka mampu memilih dengan tepat dan cerdas.”[153] Berdasarkan hal ini, “pendidikan dalam penggunaan bentuk-bentuk kecerdasan buatan haruslah bertujuan untuk mendorong pemikiran kritis. Pengguna dari segala usia, terutama yang masih muda, perlu mengembangkan pendekatan yang cerdas terhadap penggunaan data dan konten yang dikumpulkan di web atau yang dihasilkan oleh sistem kecerdasan buatan. Sekolah, universitas, dan masyarakat ilmiah ditantang untuk membantu para siswa dan profesional untuk memahami aspek sosial dan etika dalam pengembangan dan penggunaan teknologi.”[154]

83. Seperti yang diingatkan oleh Santo Yohanes Paulus II, “di dunia dewasa ini, yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, tugas-tugas Universitas Katolik menjadi semakin penting dan mendesak.”[155] Secara khusus, universitas-universitas Katolik didesak untuk hadir sebagai laboratorium harapan yang besar di persimpangan sejarah ini. Dengan perspektif interdisipliner dan lintas disiplin, mereka didesak untuk terlibat “dengan kebijaksanaan dan kreativitas”[156] dalam penelitian yang cermat tentang fenomena ini, membantu menggali potensi-potensi yang bermanfaat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan realitas, dan selalu mengarahkannya menuju penerapan yang memenuhi syarat etika, melayani secara nyata keterpaduan masyarakat kita dan kebaikan bersama, menjangkau batas-batas baru dalam dialog antara iman dan akal budi.

84. Lebih jauh, perlu dicatat bahwa program AI saat ini diketahui dapat memberikan informasi yang terdistorsi atau dipalsukan, yang dapat membuat siswa mengandalkan konten yang tidak akurat. Dengan cara ini, “kita tidak hanya berisiko melegitimasi berita palsu dan mengukuhkan keunggulan budaya dominan, tetapi juga merusak proses pendidikan secara keseluruhan.”[157] Seiring berjalannya waktu, perbedaan antara penggunaan AI yang tepat dan tidak tepat, baik dalam pendidikan maupun penelitian, akan semakin jelas. Pada saat yang sama, prinsip panduan yang menentukan adalah bahwa penggunaan AI harus selalu transparan dan tidak pernah ambigu.

Kecerdasan Buatan, Disinformasi, Deepfake dan Penyalahgunaan

85. AI dapat mendukung martabat manusia ketika digunakan sebagai alat bantu untuk memahami fakta-fakta yang kompleks atau sebagai panduan untuk sumber daya yang tepat untuk mendukung pencarian kebenaran.[158]

86. Namun, ada pula risiko serius bahwa AI akan menghasilkan konten yang dimanipulasi dan informasi palsu yang, karena sangat sulit dibedakan dari data sebenarnya, dapat dengan mudah menyesatkan. Disinformasi semacam itu dapat terjadi secara tidak sengaja, seperti dalam kasus “halusinasi” AI, di mana sistem AI generatif menghasilkan konten yang tampaknya mencerminkan kenyataan tetapi tidak benar. Meskipun sulit untuk mengelola fenomena ini, karena menghasilkan informasi yang meniru apa yang dihasilkan oleh manusia adalah salah satu karakteristik utama AI, merupakan sebuah tantangan untuk menjaga agar risiko ini tetap terkendali. Konsekuensi dari penyimpangan dan informasi palsu tersebut bisa sangat serius. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam memproduksi dan menggunakan sistem AI harus berkomitmen untuk menjamin kebenaran dan keakuratan informasi yang diproses oleh sistem ini dan disebarluaskan kepada publik.

87. Meskipun AI memiliki potensi laten untuk menghasilkan informasi palsu, masalah yang lebih meresahkan terletak pada penyalahgunaan AI yang disengaja untuk tujuan manipulatif. Hal ini dapat terjadi, misalnya, ketika operator individu atau organisasi dengan sengaja membuat dan menyebarkan informasi palsu, seperti gambar, video, dan audio “deepfake”, dengan tujuan untuk menipu atau menyakiti. Deepfake adalah penggambaran palsu seseorang yang telah dimodifikasi atau dibuat oleh algoritma AI. Bahaya yang ditimbulkan oleh deepfake khususnya terlihat jelas ketika digunakan untuk menargetkan atau menyakiti seseorang. Meskipun gambar atau video itu sendiri mungkin buatan, kerusakan yang ditimbulkannya nyata dan meninggalkan “bekas luka yang dalam di hati orang yang mengalaminya”, yang merasa “terluka dalam martabat kemanusiannya.”[159]

88. Dalam skala yang lebih luas, dengan mendistorsi “hubungan kita dengan orang lain dan dengan realitas”,[160] produk audiovisual palsu yang dihasilkan oleh AI secara bertahap dapat merusak fondasi masyarakat. Hal ini memerlukan regulasi yang ketat, karena disinformasi, terutama melalui media yang dikendalikan atau dipengaruhi AI, dapat menyebar tanpa sengaja dan memicu polarisasi politik dan keresahan sosial. Memang benar, ketika masyarakat menjadi acuh tak acuh terhadap kebenaran, berbagai kelompok membangun versi mereka sendiri tentang “fakta”, yang melemahkan “ikatan timbal balik dan ketergantungan bersama”[161] yang mendasari jalinan kehidupan sosial. Karena deepfake membuat orang mempertanyakan segalanya dan konten palsu yang dihasilkan AI mengikis kepercayaan terhadap apa yang dilihat dan didengar, polarisasi dan konflik hanya akan semakin dalam. Penipuan yang tersebar luas seperti itu bukanlah masalah sepele; hal itu menyerang inti kemanusiaan, menghancurkan kepercayaan mendasar yang menjadi fondasi dibangunnya masyarakat.[162]

89. Memerangi kebohongan yang didukung oleh AI bukan hanya tugas para ahli di bidangnya, tetapi juga memerlukan upaya semua orang yang beritikad baik. “Jika teknologi dimaksudkan untuk melayani martabat manusia dan bukan untuk merusaknya, dan jika teknologi dimaksudkan untuk mempromosikan perdamaian dan bukan kekerasan, maka komunitas manusia harus proaktif dalam menanggapi tren ini dengan cara yang menghargai martabat manusia dan mempromosikan kebaikan.”[163] Mereka yang memproduksi dan membagikan konten yang dihasilkan oleh AI harus selalu berhati-hati dalam memverifikasi kebenaran dari apa yang mereka sebarkan dan, dalam semua kasus, mereka harus “menghindari penyebaran kata-kata dan gambar yang merendahkan martabat manusia, yang memicu kebencian dan intoleransi, yang merendahkan keindahan dan keintiman seksualitas manusia, dan yang mengeksploitasi yang lemah dan tak berdaya.”[164] Hal ini menuntut kehati-hatian yang berkelanjutan dan kebijaksanaan yang cermat dari semua pengguna mengenai aktivitas mereka secara daring.[165]

Kecerdasan Buatan, Privasi dan Pengawasan

90. Manusia pada dasarnya bersifat relasional, sehingga data yang dihasilkan setiap orang di dunia digital dapat dilihat sebagai ekspresi objektif dari sifat relasional ini. Sesungguhnya, data tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga pengetahuan pribadi dan relasional yang, dalam konteks yang semakin digital, dapat menjadi kekuatan atas individu. Selain itu, sementara beberapa jenis data mungkin berkaitan dengan aspek publik kehidupan seseorang, data lainnya mungkin menyentuh privasi mereka, atau bahkan mungkin hati nurani mereka. Dilihat dari perspektif ini, privasi memainkan peran penting dalam melindungi batas-batas kehidupan batin seseorang dan menjaga kebebasan mereka untuk berhubungan dengan orang lain, mengekspresikan diri mereka, dan membuat keputusan tanpa dikendalikan pihak luar secara tidak semestinya. Perlindungan ini juga terkait dengan pembelaan kebebasan beragama, karena pengawasan digital juga dapat disalahgunakan untuk melakukan kontrol atas kehidupan pemeluk agama dan bagaimana mereka mengekspresikan imannya.

91. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita membahas masalah privasi dari sudut pandang kebebasan yang sah dan martabat yang tidak dapat dicabut dari pribadi manusia “dalam segala situasi.”[166] Konsili Vatikan Kedua memasukkan hak “atas perlindungan kehidupan pribadi” di antara hak-hak dasar “yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang benar-benar manusiawi”, hak yang harus diberikan kepada semua orang berdasarkan “martabat luhur” mereka.[167] Gereja selanjutnya menegaskan hak atas penghormatan yang sah terhadap kehidupan pribadi dalam konteks penegasan hak pribadi atas reputasi yang baik, atas perlindungan integritas fisik dan mentalnya, dan atas kebebasan dari pelanggaran serta gangguan yang tidak semestinya[168]: semua unsur tersebut termasuk dalam lingkup penghormatan yang semestinya terhadap martabat hakiki pribadi manusia.[169]

92. Kemajuan dalam pemrosesan dan analisis data yang didukung oleh AI memungkinkan untuk mendeteksi pola dalam perilaku dan pemikiran seseorang bahkan dari sejumlah kecil informasi, yang membuat privasi data semakin penting sebagai perlindungan terhadap martabat dan hakikat relasional manusia. Seperti yang telah diamati oleh Paus Fransiskus, “seiring berkembangnya sikap menutup diri dan tidak toleran yang mengisolasi kita dari orang lain, jarak pun berkurang atau menghilang hingga pada titik hilangnya hak atas privasi. Segala sesuatu menjadi semacam tontonan yang dapat dimata-matai dan dipantau, dan kehidupan pun menjadi sasaran pengawasan terus-menerus.”[170]

93. Meskipun ada cara-cara yang sah dan tepat untuk penggunaan AI yang menghormati martabat manusia dan kebaikan bersama, menggunakan AI untuk pengawasan yang bertujuan untuk mengeksploitasi, membatasi kebebasan individu atau menguntungkan segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang tidak dapat dibenarkan. Risiko pengawasan yang berlebihan harus dipantau oleh badan pengawas yang tepat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas publik. Mereka yang bertanggung jawab atas pengawasan ini tidak boleh melampaui batas kewenangannya, yang harus selalu mengutamakan martabat dan kebebasan setiap orang sebagai dasar utama dari masyarakat yang adil dan manusiawi.

94. Lebih jauh lagi, “penghormatan mendasar terhadap martabat manusia menuntut kita untuk menolak mengizinkan keunikan seseorang diidentifikasikan dengan sekumpulan data.”[171] Hal ini khususnya berlaku untuk penggunaan AI yang terkait dengan evaluasi individu atau kelompok berdasarkan perilaku, karakteristik atau riwayat mereka, sebuah praktik yang dikenal sebagai “penilaian sosial” (social scoring): “Dalam pengambilan keputusan sosial dan ekonomi, kita harus berhati-hati dalam mendelegasikan penilaian kepada algoritma yang memproses data, yang sering kali dikumpulkan secara diam-diam, tentang individu dan karakteristik serta perilaku mereka sebelumnya. Data tersebut dapat terkontaminasi oleh prasangka dan prakonsepsi masyarakat. Terlebih lagi, perilaku masa lalu seseorang tidak boleh digunakan untuk menghalangi mereka memperoleh kesempatan untuk berubah, bertumbuh dan berkontribusi pada masyarakat. Kita tidak dapat membiarkan algoritma membatasi atau mengkondisikan rasa hormat terhadap martabat manusia, atau mengecualikan kasih sayang, belas kasihan, pengampunan dan, yang terpenting, keterbukaan terhadap harapan bahwa orang mampu berubah.”[172]

Kecerdasan Buatan dan Perlindungan Rumah Bersama Kita

95. AI memiliki banyak aplikasi yang menjanjikan untuk meningkatkan hubungan kita dengan “rumah bersama” (common home) yang menjadi tempat tinggal kita, seperti membuat model untuk memperkirakan peristiwa iklim ekstrem, mengusulkan solusi teknik untuk mengurangi dampaknya, mengelola operasi penyelamatan dan memprediksi pergeseran populasi.[173] Selain itu, AI dapat mendukung pertanian berkelanjutan, mengoptimalkan penggunaan energi dan menyediakan sistem peringatan dini untuk keadaan darurat kesehatan masyarakat. Semua kemajuan ini dapat memperkuat ketahanan terhadap tantangan terkait iklim dan mendorong pembangunan yang lebih berkelanjutan.

96. Pada saat yang sama, model AI saat ini dan perangkat keras yang diperlukan untuk mendukungnya membutuhkan sejumlah besar energi dan air, yang secara signifikan berkontribusi terhadap emisi CO2 dan membebani sumber daya. Realitas ini sering kali dikaburkan oleh cara teknologi ini disajikan dalam imajinasi populer, di mana kata-kata seperti “cloud” (awan)[174] dapat memberikan kesan bahwa data disimpan dan diproses dalam area yang tidak berwujud, terpisah dari dunia fisik. Namun cloud bukanlah dunia maya yang terpisah dari dunia fisik; seperti halnya perangkat komputasi lainnya, cloud membutuhkan mesin fisik, kabel dan energi. Hal yang sama juga berlaku untuk teknologi di balik AI. Seiring dengan meningkatnya kompleksitas sistem tersebut, terutama model bahasa yang besar (large language model, LLM), mereka membutuhkan kumpulan data yang lebih besar, daya komputasi yang meningkat dan infrastruktur penyimpanan data yang masif. Mengingat beban berat yang ditimbulkan teknologi ini terhadap lingkungan, pengembangan solusi berkelanjutan sangatlah penting untuk mengurangi dampaknya terhadap “rumah bersama” kita.

97. Oleh karena itu, seperti yang diajarkan Paus Fransiskus, penting bagi kita untuk “mencari solusi tidak hanya dalam teknologi, tetapi juga dalam perubahan manusia.”[175] Pemahaman yang lengkap dan otentik tentang ciptaan mengakui bahwa nilai semua yang diciptakan tidak dapat direduksi menjadi sekadar kegunaannya. Oleh karena itu, pendekatan yang sepenuhnya manusiawi terhadap pengelolaan bumi menolak antroposentrisme yang menyimpang dari paradigma teknokratis, yang berusaha untuk “memeras segala hal yang mungkin” dari dunia[176], dan menolak “mitos kemajuan”, yang mengasumsikan bahwa “masalah ekologi akan terpecahkan dengan sendirinya hanya dengan penerapan teknologi baru dan tanpa perlu pertimbangan etika atau perubahan yang mendasar.”[177] Pola pikir semacam itu harus digantikan oleh pendekatan yang lebih holistik, yang menghormati tatanan ciptaan dan memajukan kebaikan seutuhnya bagi pribadi manusia, tanpa mengabaikan perlindungan “rumah bersama” kita.[178]

Kecerdasan Buatan dan Perang

98. Konsili Vatikan Kedua dan ajaran yang konsisten dari para Paus setelahnya, menegaskan bahwa perdamaian bukanlah sekadar tidak adanya perang dan tidak terbatas pada upaya menjaga keseimbangan kekuatan di antara pihak-pihak yang bertikai. Sebaliknya, dalam kata-kata Santo Agustinus, perdamaian adalah “ketenangan ketertiban.”[179] Memang, perdamaian tidak dapat dicapai tanpa perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, komunikasi yang bebas, penghormatan terhadap martabat individu dan bangsa-bangsa, serta praktik persaudaraan yang tekun. Perdamaian merupakan hasil karya keadilan dan buah dari kasih amal, dan tidak dapat dicapai hanya dengan kekerasan atau tanpa adanya perang saja; sebaliknya, perdamaian harus dibangun terutama melalui diplomasi yang sabar, promosi aktif keadilan, solidaritas, pengembangan manusia seutuhnya dan penghormatan terhadap martabat semua orang.[180] Maka, sarana yang dimaksudkan untuk menjaga perdamaian tidak boleh digunakan untuk tujuan ketidakadilan, kekerasan atau penindasan. Sebaliknya, sarana tersebut harus selalu tunduk pada “kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan bangsa-bangsa lain serta martabat mereka, begitu pula kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata.”[181]

99. Meskipun kemampuan analisis AI dapat digunakan untuk membantu negara-negara mencapai perdamaian dan memastikan keamanan, “penggunaan Kecerdasan Buatan di masa perang” juga dapat menimbulkan banyak masalah. Paus Fransiskus memberikan catatan bahwa “kemampuan untuk melakukan operasi militer melalui sistem kendali jarak jauh telah menyebabkan berkurangnya persepsi tentang kehancuran yang ditimbulkan oleh sistem persenjataan tersebut dan beban tanggung jawab atas penggunaannya, yang menghasilkan pendekatan yang lebih dingin dan terpisah terhadap tragedi perang yang sangat besar.”[182] Terlebih lagi, kemudahan senjata otonom membuat perang lebih mungkin dilakukan, suatu hal yang bertentangan dengan prinsip perang sebagai pilihan terakhir dalam pembelaan diri yang sah,[183] yang berpotensi meningkatkan sarana peperangan jauh melampaui ruang lingkup pengawasan manusia dan mempercepat perlombaan senjata yang mengganggu kestabilan dengan konsekuensi yang menghancurkan bagi hak asasi manusia.[184]

100. Secara khusus, Sistem Senjata Otonom yang Mematikan (Lethal Autonomous Weapon Systems), yang mampu mengidentifikasi dan menyerang target tanpa campur tangan manusia secara langsung, merupakan “penyebab keprihatinan etika yang serius” karena sistem ini tidak memiliki “kapasitas unik manusia untuk penilaian moral dan pengambilan keputusan etis.”[185] Karena alasan-alasan ini, Paus Fransiskus telah mendesak agar pengembangan senjata-senjata ini dipertimbangkan kembali dan dilarang penggunaannya, dimulai dengan “komitmen proaktif dan konkret untuk memperkenalkan kontrol manusia yang lebih besar dan bermakna. Tidak ada mesin yang boleh memilih untuk mengambil nyawa manusia.”[186]

101. Mengingat kesenjangan yang kecil antara mesin yang mampu melakukan pembunuhan secara tepat dan otonom dengan mesin yang mampu melakukan pemusnahan massal, beberapa peneliti yang bekerja di bidang AI telah menyatakan kekhawatirannya terhadap “risiko eksistensial” yang ditimbulkan oleh teknologi tersebut, yang dapat bertindak dengan cara-cara yang mengancam keberlangsungan hidup umat manusia dan seluruh wilayah. Kekhawatiran ini harus ditanggapi dengan serius, sejalan dengan kekhawatiran saat ini tentang teknologi yang memberikan peperangan “kekuatan destruktif tak terkendali yang berdampak pada banyak warga sipil yang tak bersalah”,[187] bahkan tak terkecuali anak-anak. Dalam konteks ini, seruan dari Gaudium et Spes untuk “menilai perang dengan pandangan yang baru sama sekali”[188] menjadi lebih mendesak dari sebelumnya.

102. Pada saat yang sama, sementara risiko teoritis dari AI patut mendapat perhatian, ada juga bahaya yang lebih mendesak dan langsung terkait dengan bagaimana individu dengan niat jahat dapat menyalahgunakan teknologi ini.[189] AI, seperti alat lainnya, merupakan perpanjangan dari kekuatan manusia, dan meskipun kita tidak dapat memprediksi segala hal yang dapat dilakukannya di masa depan, apa yang kita ketahui tentang tindakan manusia di masa lalu memberikan peringatan yang jelas. Kekejaman yang telah terjadi sepanjang sejarah manusia sudah cukup untuk menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang potensi penyalahgunaan AI.

103. Santo Yohanes Paulus II mengamati bahwa “umat manusia dewasa ini memiliki instrumen yang kekuatannya belum pernah ada sebelumnya: ia dapat mengubah dunia ini menjadi sebuah taman atau menghancurkannya menjadi tumpukan puing.”[190] Mengingat fakta ini, Gereja mengingatkan kita, dalam kata-kata Paus Fransiskus, bahwa “kebebasan manusia dapat memberikan kontribusi cerdas kepada perkembangan positif”, tetapi dapat juga “menjadi jalan kemerosotan dan penghancuran satu sama lain.”[191] Untuk mencegah manusia terjerumus ke dalam pusaran penghancuran diri sendiri,[192] maka perlu diambil sikap tegas terhadap segala penerapan teknologi yang hakikatnya mengancam kehidupan dan martabat manusia. Komitmen semacam itu membutuhkan pertimbangan yang cermat tentang penggunaan AI, khususnya di bidang pertahanan militer, untuk memastikan bahwa AI selalu menghormati martabat manusia dan melayani kebaikan bersama. Pengembangan dan penggunaan AI dalam persenjataan harus tunduk pada tingkat pengawasan etika tertinggi, yang diatur untuk memastikan bahwa martabat manusia dan kesucian hidup dihormati.[193]

Kecerdasan Buatan dan Hubungan Manusia dengan Allah

104. Teknologi menyediakan berbagai sarana efektif untuk menemukan dan mengeksploitasi sumber daya planet ini. Namun, dalam beberapa kasus, manusia semakin menyerahkan kendali atas sumber daya ini kepada mesin. Di beberapa kalangan ilmuwan dan futuris, ada optimisme tentang potensi Kecerdasan Umum Buatan (Artificial General Intelligence, AGI), bentuk hipotetis dari AI yang dapat menyamai atau melampaui kecerdasan manusia dan menghasilkan kemajuan yang tak terbayangkan. Beberapa orang bahkan berspekulasi bahwa AGI dapat mencapai kemampuan manusia super. Pada saat yang sama, ketika masyarakat menjauh dari hubungan dengan yang transenden, sebagian orang tergoda untuk beralih ke AI dalam mencari makna atau kepuasan, kerinduan yang hanya dapat menemukan kepenuhan sejati dalam persekutuan dengan Allah.[194]

105. Akan tetapi, upaya menggantikan Allah dengan hasil karya tangan manusia sendiri merupakan penyembahan berhala, sebuah praktik yang secara eksplisit telah diperingatkan dalam Kitab Suci (misalnya, Kel. 20:4; 32:1-5; 34:17). Selain itu, AI bahkan bisa lebih menggoda daripada berhala-berhala tradisional karena, tidak seperti berhala yang “mempunyai mulut, tetapi tidak dapat berkata-kata; mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat; mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengar” (Maz. 115:5-6), AI bisa “berbicara” atau setidaknya memberikan ilusi bahwa ia bisa berbicara (bdk. Why. 13:15). Sebaliknya, haruslah diingat bahwa AI hanyalah bayangan pucat (refleksi superfisial) dari kemanusiaan, yang dibuat oleh pikiran manusia, dilatih dengan materi yang diproduksi oleh manusia, dikondisikan untuk merespons rangsangan manusia, dan didukung oleh kerja manusia. AI tidak bisa memiliki semua kemampuan yang melekat dalam kehidupan manusia, dan AI juga bisa salah. Oleh karena itu, dengan mencari di dalam AI suatu “Yang Lain” yang dianggap lebih besar dari dirinya sendiri untuk berbagi keberadaan dan tanggung jawab, manusia berisiko menciptakan pengganti Allah. Pada akhirnya, bukan AI yang didewakan dan disembah, melainkan manusia itu sendiri, yang dengan demikian, menjadi budak dari pekerjaannya sendiri.[195]

106. Meskipun AI dapat digunakan untuk melayani umat manusia dan memberikan kontribusi bagi kebaikan bersama, AI tetap merupakan hasil ciptaan tangan manusia, yang memiliki “ciptaan kesenian dan keahlian manusia” (Kis. 17:29), dan tidak boleh dianggap memiliki nilai yang tidak semestinya. Seperti yang ditegaskan dalam Kitab Kebijaksanaan: “Sebab mereka dibuat oleh seorang manusia, dan dibentuk oleh seorang yang rohnya sendiri adalah barang pinjaman. Sebab tidak ada seorang pun yang mampu membentuk allah yang sederajat dengan dirinya. Karena ia sendiri fana adanya, maka dengan tangannya yang jahat ia hanya dapat mengerjakan barang mati saja. Sebab ia sendiri sesungguhnya lebih baik dari pada benda pujaannya, oleh karena ia sendiri pernah hidup sedangkan benda itu tidak pernah” (Keb. 15:16-17).

107. Sebaliknya, “dengan hidup batinnya [manusia] melampaui semesta alam. Ia kembali kepada hidup batinnya yang mendalam itu, bila ia berbalik kepada hatinya; disitulah Allah yang menyelami lubuk hati menantikannya; di situ pula ia mengambil keputusan tentang nasibnya sendiri di bawah pandangan Allah.”[196] Di dalam hati, seperti yang diingatkan Paus Fransiskus kepada kita, setiap orang menemukan “hubungan misterius antara pengenalan diri dan keterbukaan terhadap orang lain, antara perjumpaan dengan keunikan pribadi seseorang dan kemauan untuk memberikan dirinya sendiri kepada orang lain.”[197] Oleh karena itu, hanya hatilah yang “mampu menempatkan kemampuan dan hasrat kita yang lain serta seluruh diri kita, dalam sikap hormat dan ketaatan yang penuh kasih kepada Tuhan”[198], yang “menawarkan diri untuk memperlakukan kita masing-masing sebagai ‘engkau,’ selalu dan selama-lamanya.”[199]

VI. Refleksi Penutup

108. Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi, Paus Fransiskus menekankan perlunya pengembangan “tanggung jawab, nilai-nilai dan hati nurani manusia” yang sepadan dengan peningkatan potensi yang ditawarkan oleh teknologi ini[200], sambil mengakui bahwa “semakin kekuasaan manusia bertambah, semakin luas pula jangkauan tanggung jawabnya.”[201]

109. Di sisi lain, “pertanyaan mendasar dan hakiki” tetap selalu sama : “apakah dalam konteks kemajuan ini manusia, sebagai manusia, benar-benar menjadi lebih baik, artinya, menjadi priabdi yang lebih dewasa secara rohani, lebih sadar akan martabat kemanusiaannya, lebih bertanggung jawab, lebih terbuka kepada orang lain, terutama mereka yang paling membutuhkan dan paling lemah, serta lebih siap untuk memberi dan membantu semua orang.”[202]

110. Oleh karena itu, pentinglah untuk mampu mengevaluasi secara kritis penerapan AI dalam masing-masing konteks tertentu guna menentukan apakah penerapan tersebut memajukan martabat dan panggilan manusia serta kebaikan bersama. Seperti halnya banyak teknologi lainnya, dampak dari berbagai aplikasi AI tidak selalu dapat diprediksi sejak awal. Ketika aplikasi ini dan dampak sosialnya menjadi lebih jelas, umpan balik yang tepat harus mulai diberikan di semua tingkat masyarakat, sesuai dengan prinsip subsidiaritas. Pengguna individu, keluarga, masyarakat sipil, perusahaan, lembaga, pemerintah, dan organisasi internasional, masing-masing pada levelnya sendiri, harus bekerja untuk memastikan bahwa AI digunakan untuk kebaikan semua orang.

111. Saat ini, tantangan dan peluang yang signifikan untuk kebaikan bersama terletak pada cara pandang terhadap teknologi AI dalam kerangka kecerdasan relasional, yang menekankan keterkaitan antara individu dan masyarakat serta menyoroti tanggung jawab kita bersama untuk memajukan kesejahteraan orang lain secara utuh. Seorang filsuf abad kedua puluh, Nicholas Berdyaev, mengamati bahwa orang sering menyalahkan mesin atas masalah-masalah pribadi dan sosial; namun, “hal ini hanya merendahkan manusia dan tidak sesuai dengan martabatnya”, karena “tidaklah layak untuk mengalihkan tanggung jawab dari manusia ke mesin.”[203] Hanya manusia yang dapat dikatakan bertanggung jawab secara moral, dan tantangan masyarakat teknologi pada dasarnya menyangkut sisi spiritualnya. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan-tantangan ini “[kita] membutuhkan penguatan kembali kepekaan rohani.”[204]

112. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah seruan, yang didorong oleh kemunculan AI di panggung dunia, untuk menghargai kembali segala sesuatu yang bersifat manusiawi. Seperti yang diamati oleh seorang penulis Katolik Prancis, Georges Bernanos, bertahun-tahun lalu yang mengingatkan bahwa “bahayanya bukan terletak pada bertambahnya jumlah mesin, tetapi pada semakin banyaknya manusia yang terbiasa sejak kecil untuk hanya menginginkan apa yang dapat diberikan oleh mesin.”[205] Tantangan ini masih tetap berlaku hingga saat ini, karena laju digitalisasi yang pesat membawa risiko pada timbulnya “reduksionisme digital”, di mana aspek-aspek kehidupan yang tidak dapat diukur dikesampingkan dan kemudian dilupakan, atau bahkan dianggap tidak relevan karena tidak dapat dihitung secara formal. AI seharusnya hanya digunakan sebagai alat untuk melengkapi kecerdasan manusia dan tidak menggantikan kekayaannya.[206] Mengembangkan aspek-aspek kehidupan manusia yang melampaui kalkulasi sangat diperlukan untuk melestarikan “kemanusiaan yang otentik”, yang “tampaknya masih hadir di tengah peradaban teknologi, meski hampir tak kentara, seperti kabut yang menyusup dari bawah pintu yang tertutup.”[207]

Kebijaksanaan Sejati

113. Saat ini, pengetahuan yang luas dapat diakses dengan cara-cara yang akan membuat generasi-generasi sebelumnya takjub. Akan tetapi, untuk memastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak menjadi tandus secara manusiawi maupun spiritual, kita harus melampaui sekadar akumulasi data dan berusaha untuk mencapai kebijaksanaan sejati.[208]

114. Kebijaksanaan ini adalah karunia yang paling dibutuhkan manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendalam dan tantangan-tantangan etis yang ditimbulkan oleh AI: “Hanya dengan mengadopsi cara pandang spiritual terhadap realitas, dan menemukan kembali kebijaksanaan hati, kita dapat menghadapi dan menafsirkan kebaruan zaman kita.”[209] “Kebijaksanaan hati” seperti itu adalah “kebajikan yang memampukan kita untuk mengintegrasikan keseluruhan serta bagian-bagiannya, keputusan-keputusan dan konsekuensi-konsekuensinya.” Kebijaksanaan tersebut “tidak bisa diperoleh dari mesin”, tetapi “membiarkan dirinya ditemukan oleh mereka yang mencarinya dan dilihat oleh mereka yang mencintainya; [ia] mengantisipasi mereka yang menginginkannya dan mencari mereka yang pantas mendapatkannya (bdk. Keb 6:12-16).”[210]

115. Dalam dunia yang ditandai oleh AI, kita membutuhkan rahmat Roh Kudus, yang “memampukan kita melihat segala sesuatu dengan cara pandang Tuhan; juga memampukan kita dalam melihat hubungan, situasi, peristiwa-peristiwa, dan mengungkapkan makna sebenarnya.”[211]

116. Karena “kesempurnaan seseorang diukur bukan oleh banyaknya informasi atau pengetahuan yang dimilikinya, melainkan oleh kedalaman cinta kasihnya”,[212] maka cara di mana AI diadopsi “untuk mengikutsertakan saudara-saudari kita yang paling lemah, mereka yang rentan dan mereka yang paling membutuhkan, akan menjadi ukuran sejati dari kemanusiaan kita.”[213] “Kebijaksanaan hati” dapat menerangi dan membimbing penggunaan teknologi ini yang berpusat pada manusia, yang dengan demikian dapat membantu meningkatkan kebaikan bersama, merawat “rumah bersama” kita, memajukan pencarian kebenaran, mendukung pembangunan manusia seutuhnya, membina solidaritas dan persaudaraan manusia, dan menuntun manusia menuju tujuan utamanya: kebahagiaan dan persekutuan penuh dengan Allah.[214]

117. Dalam perspektif kebijaksanaan, umat beriman akan mampu bertindak sebagai pelaku moral yang bertanggung jawab, yang mampu memanfaatkan teknologi ini untuk memajukan visi otentik tentang pribadi manusia dan masyarakat.[215] Hal ini hendaknya dilakukan dengan bertolak dari pemahaman bahwa kemajuan teknologi merupakan bagian dari rencana Allah bagi ciptaan: sebuah kegiatan yang harus dilaksanakan oleh manusia untuk menuju Misteri Paskah Yesus Kristus, dalam pencarian terus-menerus akan Kebenaran dan Kebaikan.

Paus Fransiskus, dalam Audiensi yang diberikan pada tanggal 14 Januari 2025 kepada para Prefek dan Sekretaris Dikasteri untuk Ajaran Iman dan Dikasteri untuk Kebudayaan dan Pendidikan yang bertanda tangan di bawah ini, telah menyetujui Catatan ini dan memerintahkan penerbitannya.

Diberikan di Roma, di kantor Dikasteri untuk Ajaran Iman dan Dikasteri untuk Kebudayaan dan Pendidikan, pada tanggal 28 Januari 2025, pada Peringatan Liturgi Santo Thomas Aquinas, Pujangga Gereja.

Kardinal Víctor Manuel Fernández

Prefek

Kardinal José Tolentino de Mendonça

Prefek

Mgr. Armando Matteo

Sekretaris Bidang Doktrinal

Mgr. Paul Tighe

Sekretaris Bidang Kebudayaan

Ex audientia tertanggal 14 Januari 2025

Paus Fransiskus


Catatan kaki

[←1] Katekismus Gereja Katolik, n. 378. Lihat juga Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 34: AAS 58 (1966), 1052-1053.

[←2] Fransiskus, Pidato kepada Peserta Sidang Pleno Akademi Kepausan untuk Kehidupan (28 Februari 2020) : AAS 112 (2020), 307. Bdk. Ibid., Ucapan Selamat Natal kepada Kuria Roma (21 Desember 2019): AAS 112 (2020), 43.

[←3] Bdk. Fransiskus, Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia LVIII (24 Januari 2024): L’Osservatore Romano, 24 Januari 2024, 8.

[←4] Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 2293; Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 35: AAS 58 (1966), 1053.

[←5] J. McCarthy, dkk., “A Proposal for the Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence” (31 Agustus 1955), http://www-formal.stanford.edu/jmc/history/dartmouth/dartmouth.html (diakses: 21 Oktober 2024).

[←6] Bdk. Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 2-3: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 2.

[←7] Istilah-istilah yang digunakan dalam dokumen ini untuk menggambarkan hasil atau prosedur AI digunakan secara kiasan untuk menjelaskan sistem operasinya dan tidak dimaksudkan untuk menerapkan kualitas manusia pada mesin.

[←8] Bdk. Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024) : L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 3; Id., Pesan Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 2 : L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 2.

[←9] Di sini, kita dapat melihat posisi utama dari para pendukung “transhumanis” dan “posthumanis”. Transhumanis berpendapat bahwa kemajuan teknologi akan memungkinkan manusia untuk mengatasi keterbatasan biologis mereka dan meningkatkan kemampuan fisik dan kognitif mereka. Di sisi lain, penganut paham Posthumanis berpendapat bahwa kemajuan tersebut pada akhirnya akan mengubah identitas manusia sedemikian rupa sehingga manusia tidak lagi dapat dianggap sebagai sungguh-sungguh “manusia”. Kedua pandangan tersebut didasarkan pada persepsi negatif mendasar tentang jasmani manusia, yang lebih dilihat sebagai hambatan daripada sebagai bagian integral dari identitas dan panggilan manusia untuk mewujudkan diri pribadinya seacara penuh. Pandangan negatif tentang tubuh semacam itu bertentangan dengan pemahaman yang benar tentang martabat manusia. Sambil mendukung kemajuan ilmiah sejati, Gereja menegaskan bahwa martabat manusia berakar pada “pribadi sebagai kesatuan tubuh dan jiwa yang tidak terpisahkan”, dan bahwa martabat ini “juga melekat pada tubuh setiap orang, yang dengan caranya sendiri ambil bagian dalam keberadaan pribadi manusia sebagai gambar Allah (imago Dei)” (Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita [8 April 2024], no. 18).

[←10] Pendekatan ini mencerminkan perspektif fungsionalis, yang mereduksi pikiran manusia menjadi fungsinya dan berasumsi bahwa fungsinya dapat diukur sepenuhnya dalam istilah fisik atau matematika. Namun, bahkan jika AGI masa depan tampak benar-benar cerdas, sifatnya akan tetap fungsional.

[←11] Bdk. A.M. Turing, “Computing Machinery and Intelligence,” Mind 59 (1950) 443-460.

[←12] Jika “berpikir” dikaitkan dengan mesin, harus dijelaskan bahwa ini merujuk pada pemikiran kalkulatif dan bukan pemikiran kritis. Demikian pula, jika mesin dikatakan beroperasi menggunakan pemikiran logis, harus dijelaskan bahwa ini terbatas pada logika komputasional. Di sisi lain, pada hakikatnya, pemikiran manusia adalah proses kreatif yang menghindari pemrograman dan melampaui batasan.

[←13] Mengenai peran mendasar bahasa dalam membentuk pemahaman, bdk. M. Heidegger, Über den Humanismus, Klostermann, Frankfurt am Main 1949 (en.tr. “Letter on Humanism,” dalam Basic Writings: Martin Heidegger, Routledge, London ‒ New York 2010, 141-182).

[←14] Untuk pembahasan lebih jauh mengenai landasan antropologis dan teologis ini, lihat Kelompok Riset AI dari Pusat Kebudayaan Digital Dikasteri untuk Kebudayaan dan Pendidikan, Encountering Artificial Intelligence: Ethical and Anthropological Investigations (Theological Investigations of Artificial Intelligence 1), MJ. Gaudet, N. Herzfeld, P. Scherz, JJ. Wales, eds., Journal of Moral Theology, Pickwick, Eugene 2024, 43-144.

[←15] Aristoteles, Metaphysics, I.1, 980 a 21.

[←16] Bdk. Agustinus, De Genesi ad litteram libri duodecim III, 20, 30: PL 34, 292: “Manusia diciptakan menurut gambar Allah dalam kaitannya dengan [kemampuan] yang membuatnya lebih unggul daripada binatang yang tidak berakal budi. Dalam hal ini, [kemampuan] tersebut adalah akal budi itu sendiri, atau ‘pikiran’, atau ‘kecerdasan’, apa pun nama lain yang lebih tepat untuk diberikan”; Id., Enarrationes in Psalmos 54, 3: PL 36, 629: “Karena itu, dengan mempertimbangkan segala sesuatu yang dimilikinya, manusia sampai pada kesimpulan bahwa, sejauh ia memiliki kecerdasan, ia membedakan dirinya dari binatang.” Hal ini juga ditegaskan oleh Santo Thomas Aquinas, yang menyatakan bahwa “manusia adalah makhluk paling sempurna di bumi yang dikaruniai kemampuanbergerak, dan tindakan alamiahnya yang tepat adalah intelek,” yang dengannya manusia mengabstraksikan hal-hal dan “menerima dalam pikirannya hal-hal yang benar-benar dapat dipahami” (Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles II, 76).

[←17] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 15: AAS 58 (1966), 1036.

[←18] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-II, q. 49, a. 5, ad 3. Bdk. Ibid ., I, q. 79; II-II, q. 47, a. 3; II-II, q. 49, a. 2. Untuk perspektif kontemporer yang mengambil unsur-unsur tertentu dari perbedaan klasik dan abad pertengahan antara kedua cara berpikir ini, bdk. D. Kahneman, Thinking, Fast and Slow, Farrar, Straus dan Giroux, New York 2011.

[←19] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 76, a. 1, resp.

[←20] Bdk. Irenaeus dari Lyon, Adversus Haereses, V, 6, 1: PG 7(2), 1136-1138.

[←21] Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (8 April 2024), no. 9. Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 213: AAS 112 (2020), 1045: “Intelek dapat menyelidiki realitas berbagai hal melalui refleksi, pengalaman dan dialog, dan mengenali realitas itu, yang melampauinya, sebagai dasar tuntutan moral universal tertentu.”

[←22] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Catatan Doktrinal tentang Beberapa Aspek Evangelisasi (3 Desember 2007), no. 4: AAS 100 (2008), 491-492.

[←23] Katekismus Gereja Katolik, no. 365. Bdk. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 75, a. 4, resp.

[←24] Pada dasarnya, Alkitab “secara umum menganggap manusia sebagai makhluk yang ada di dalam tubuh dan tidak dapat dipikirkan di luar tubuh” (Komisi Kitab Suci Kepausan, Apakah manusia itu?” (Mzm 8:5). Penelusuran antropologis alkitabiah [30 September 2019], n. 19). Lihat Ibid. no. 20-21, 43-44, 48.

[←25] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 22: AAS 58 (1966), 1042: bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Instruksi Dignitas Personae (8 September 2008), no. 7: AAS 100 (2008), 863: “Kristus tidak meremehkan tubuh manusia, tetapi sebaliknya sepenuhnya mengungkapkan makna dan nilainya.”

[←26] Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles II, 81.

[←27] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 15: AAS 58 (1966), 1036.

[←28] Bdk. Thomas Aquinas, Summa Theologiae I, q. 89, a. 1, resp .: “Keberdaan tubuh yang terpisah [dari jiwa] tidaklah sesuai dengan kodratnya […]. Itulah sebabnya jiwa bersatu dengan tubuh agar dapat hidup dan berfungsi sesuai dengan hakikatnya.”

[←29] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 14: AAS 58 (1966), 1035. Bdk. Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (8 April 2024), no. 18.

[←30] Komisi Teologi Internasional, Persekutuan dan Pengelolaan: Manusia yang Diciptakan Menurut Gambar Allah (2004), no. 56. Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 357.

[←31] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Instruksi Dignitas Personae (8 September 2008), no. 5, 8; Dikasteri untuk untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (8 April 2024), no. 15, 24, 53-54.

[←32] Katekismus Gereja Katolik, no. 356. Bdk. Ibid., no. 221.

[←33] Bdk. Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (8 April 2024), no. 13, 26-27.

[←34] Kongregasi untuk Ajaran Iman, Instruksi Donum Veritatis (24 Mei 1990), 6: AAS 82 (1990), 1552. Bdk. Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Veritatis Splendor (6 Agustus 1993), no. 109: AAS 85 (1993), 1219. Bdk. Pseudo-Dionysius Areopagitus, De divinis nominibus, VII, 2: PG 3, 868B-C: “Jiwa manusia juga memiliki akal budi, dan dengannya mereka mengitari dalam diskursus kebenaran tentang segala sesuatu. […] Karena cara di mana mereka mampu mengkonsentrasikan hal yang jamak menjadi satu, mereka juga, dengan cara mereka sendiri dan sejauh yang mereka bisa, layak untuk memiliki konsepsi-konsepsi seperti yang dimiliki oleh para malaikat.”

[←35] Paus Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), no. 3: AAS 91 (1999), 7.

[←36] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 15: AAS 58 (1966), 1036.

[←37] Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), no. 42: AAS 91 (1999), 38. Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 208: AAS 112 (2020), 1043: “pikiran manusia mampu melampaui berbagai masalah yang mendesak dan memahami kebenaran-kebenaran tertentu yang tidak berubah, baik di masa sekarang maupun di masa lalu. Ketika akal budi menyelidiki hakikat manusia, akal budi menemukan nilai-nilai universal yang berasal dari hakikat yang sama itu”; Ibid ., no. 184: AAS 112 (2020), 1034.

[←38] Bdk. Blaise Pascal, Pensées, no. 267 (ed. Brunschvicg; terjemahan bahasa Inggris Pascal’s Pensées, EP Dutton, New York 1958, 77) : “Langkah terakhir akal budi adalah mengakui bahwa ada hal-hal tak terbatas yang berada di luar nalar”.

[←39] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 15: AAS 58 (1966), 1036. Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Catatan Doktrinal tentang Beberapa Aspek Evangelisasi (3 Desember 2007), no. 4: AAS 100 (2008), 491-492.

[←40] Kapasitas semantik memungkinkan manusia untuk memahami isi pesan yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi apa pun, dengan cara yang terkait dengan struktur material atau empirisnya (seperti kode komputer) dan pada saat yang sama, melampauinya. Dalam hal ini, kecerdasan menjadi kebijaksanaan yang “memungkinkan kita untuk melihat segala sesuatu dengan mata Tuhan, untuk memahami hubungan-hubungan, situasi-situasi, peristiwa-peristiwa, dan menemukan maknanya” (Fransiskus, Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia LVIII [24 Januari 2024]: L’Osservatore Romano, 24 Januari 2024, 8). Kreativitas  memungkinkan kita untuk menghasilkan konten atau ide baru, terutama dengan menawarkan sudut pandang otentik tentang realitas. Kedua kapasitas tersebut bergantung pada keberadaan subjektivitas pribadi agar dapat direalisasikan sepenuhnya.

[←41] Konsili Ekumenis Vatikan II, Deklarasi Dignitatis Humanae (7 Desember 1965), no. 3: AAS 58 (1966), 931.

[←42] Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 184: AAS 112 (2020), 1034: “Kasih itu jauh lebih dari sekadar sentimentalitas subjektif, jika disertai dengan suatu komitmen pada kebenaran Justru hubungannya dengan kebenaran yang membantu kasih menjadi universal dan, dengan demikian, menjaga agar kasih tidak ‘dibatasi pada bidang yang sempit dan tanpa relasi.’ […] Keterbukaan terhadap kebenaran melindungi kasih dari kepercayaan palsu (fideisme) yang ‘merampasnya dari kehidupan manusiawi dan universal.’” Kutipan internal diambil dari Benediktus XVI, Surat Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), no. 2-4: AAS 101 (2009), 642-643.

[←43] Bdk. Komisi Teologi Internasional, Persekutuan dan Pengelolaan: Manusia yang Diciptakan Menurut Gambar Allah (2004), no. 7.

[←44] Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), no. 13: AAS 91 (1999), 15. Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Catatan Doktrinal tentang Beberapa Aspek dari Evangelisasi (3 Desember 2007), no. 4: AAS 100 (2008), 491-492.

[←45] Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), no. 13: AAS 91 (1999), 15.

[←46] Bonaventura dari Bagnoregio, In II Librum Sententiarum, d. I, p. 2, a. 2, q. 1; seperti dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik, no. 293. Bdk. Ibid., no. 294.

[←47] Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 295, 299, 302. Santo Bonaventura mengibaratkan alam semesta dengan “sebuah buku yang merefleksikan, mewakili, dan menggambarkan Penciptanya,” Allah Tritunggal yang mengaruniai keberadaan segala sesuatu (Breviloquium 2.12.1). Bdk. Alain de Lille, De Incarnatione Christi, PL 210, 579a: “Omnis mundi creatura quasi liber et pictura nobis est et speculum.

[←48] Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 67: AAS 107 (2015), 874; Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Laborem Exercens (14 September 1981), no. 6: AAS 73 (1981), 589-592; Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 33-34: AAS 58 (1966), 1052-1053; Komisi Teologi Internasional, Persekutuan dan Pengelolaan: Manusia yang Diciptakan Menurut Gambar Allah (2004), no. 57: “manusia menempati tempat yang unik di alam semesta menurut rencana ilahi: mereka menikmati hak istimewa untuk berpartisipasi dalam pemerintahan ilahi atas ciptaan yang kelihatan. […] Karena kedudukan manusia sebagai penguasa pada hakikatnya adalah sebuah partisipasi dalam pemerintahan ilahi atas ciptaan, maka kita membicarakannya di sini sebagai sebuah bentuk pengelolaan.”

[←49] Bdk. Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Veritatis Splendor (6 Agustus 1993), no. 38-39: AAS 85 (1993), 1164-1165.

[←50] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 33-34: AAS 58 (1966), 1052-1053. Gagasan ini juga tercermin dalam kisah penciptaan, di mana Allah membawa makhluk-makhluk kepada Adam “untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu” (Kej. 2:19), suatu tindakan yang menunjukkan keterlibatan aktif kecerdasan manusia dalam pengelolaan ciptaan Allah. Bdk. Yohanes Krisostomus, Homiliae in Genesim, XIV, 17-21: PG 53, 116-117.

[←51] Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 301.

[←52] Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 302.

[←53] Bonaventura, Breviloquium 2.12.1. Bdk. Ibid, 2.11.2.

[←54] Bdk. Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), no. 236: AAS 105 (2023), 1115; Ibid. Pidato kepada para peserta pertemuan para kapelan dan mereka yang bertanggung jawab atas karya pastoral universitas, yang dipromosikan oleh Dikasteri untuk Kebudayaan dan Pendidikan (24 November 2023): L’Osservatore Romano, 24 November 2023, 7.

[←55] Bdk. J.H. Newman, The Idea of a University Defined and Illustrated, Discourse 5.1, Basil Montagu Pickering, London 1873 3, 99-100; Fransiskus, Pidato kepada para Rektor, Profesor, Mahasiswa dan Staf Universitas dan Lembaga Kepausan Roma (25 Februari 2023): AAS 115 (2023), 316.

[←56] Fransiskus, Pidato kepada Anggota Konfederasi Nasional Pengrajin dan Usaha Kecil dan Menengah (CNA) (15 November 2024): L’Osservatore Romano, 15 November 2024, 8.

[←57] Bdk. Fransiskus, Seruan Apostolik Pasca-Sinode Querida Amazonia (2 Februari 2020), no. 41: AAS 112 (2020), 246; Ibid., Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 146: AAS 107 (2015), 906.

[←58] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 47: AAS 107 (2015), 864. Bdk. Id., Surat Ensiklik Dilexit Nos (24 Oktober 2024), no. 17-24: L’Osservatore Romano, 24 Oktober 2024, 5; Id., Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 47-50: AAS 112 (2020), 985-987.

[←59] Fransiskus, Surat Ensiklik Dilexit Nos (24 Oktober 2024), no. 20: L’Osservatore Romano, 24 Oktober 2024, 5.

[←60] P. Claudel, Conversation sur Jean Racine, Gallimard, Paris 1956, 32: “L’intelligence n’est rien sans la délectation.” Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Dilexit Nos (24 Oktober 2024), no. 13: L’Osservatore Romano, 24 Oktober 2024, 5: “Pikiran dan kemauan digunakan untuk kebaikan yang lebih besar dengan merasakan dan menikmati kebenaran.”

[←61] Dante, Paradiso, Canto XXX: “luce intellettüal, piena d’amore; / cinta di vero ben, pien di letizia; / letizia che trascende ogne dolzore ” (en. tr. The Divine Comedy of Dante Alighieri, CE Norton, tr., Houghton Mifflin, Boston 1920, 232).

[←62] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Deklarasi Dignitatis Humanae (7 Desember 1965), no. 3: AAS 58 (1966), 931: “Tolok ukur hidup manusia yang tertinggi ialah hukum ilahi sendiri, yang bersifat kekal serta obyektif, dan berlaku bagi semua orang, yakni bahwa menurut ketetapan kebijaksanaan dan cinta kasih-Nya Allah mengatur, mengarahkan serta memerintahkan alam semesta dan perjalanan masyarakat manusia. Allah mengikutsertakan manusia dalam hukum-Nya itu, sehingga manusia, berkat penyelenggaraan ilahi yang secara halus mengatur segalanya, dapat semakin menyelami kebenaran yang tak dapat berubah.” Bdk. juga Ibid., Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 16: AAS 58 (1966), 1037.

[←63] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan I, Konstitusi Dogmatis Dei Filius (24 April 1870), no. 4, DH 3016.

[←64] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 110: AAS 107 (2015), 892.

[←65] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 110: AAS 107 (2015), 891. Bdk. Id., Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 204: AAS 112 (2020), 1042.

[←66] Bdk. Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), no. 11: AAS 83 (1991), 807: “Dalam diri manusialah Allah telah memahat gambaran-Nya sendiri (bdk. Kej 1:26). Kepadanyalah Allah mengaruniakan kepadanya martabat yang tiada bandingnya […]. Sesungguhnya, di samping hak-hak yang oleh manusia diperoleh berkat usahanya sendiri, masih ada pula hak-hak lain, yang tidak berhubungan dengan usaha mana pun juga yang dilakukannya, melainkan yang bersumber pada martabatnya sendiri sebagai seorang pribadi.” Bdk. Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 3-4.

[←67] Bdk. Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (8 April 2024), no. 8. Bdk. Ibid., no. 9; Kongregasi untuk Ajaran Iman, Instruksi Dignitas Personae (8 September 2008), no. 22.

[←68] Fransiskus, Pidato kepada Peserta Sidang Pleno Akademi Kepausan untuk Kehidupan (28 Februari 2020): AAS 112 (2024), 310.

[←69] Fransiskus, Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia LVIII (24 Januari 2024): L’Osservatore Romano, 24 Januari 2024, 8.

[←70] Dalam pengertian ini, “Kecerdasan Buatan” dipahami sebagai istilah teknis yang terkait dengan teknologi ini, mengingat bahwa ungkapan tersebut juga digunakan untuk menunjuk pada bidang studi dan bukan hanya aplikasinya.

[←71] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 34-35: AAS 58 (1966), 1052-1053; Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), no. 51: AAS 83 (1991), 856-857.

[←72] Misalnya, lihat dorongan eksplorasi ilmiah dalam Albertus Magnus (De Mineralibus, II, 2, 1) dan apresiasi terhadap seni mekanik dalam Hugh dari St. Victor (Didascalicon, I, 9). Para penulis ini, di antara daftar panjang umat Katolik lainnya yang terlibat dalam penelitian ilmiah dan eksplorasi teknologi, menggambarkan bahwa “iman dan sains dapat dipersatukan dalam kasih, asalkan sains ditempatkan pada pelayanan pria dan wanita di zaman kita dan tidak disalahgunakan untuk menyakiti atau bahkan menghancurkan mereka” (Fransiskus, Pidato kepada Peserta Konferensi Lemaître 2024 dari Observatorium Vatikan [20 Juni 2024]: L’Osservatore Romano, 20 Juni 2024, 8). Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 36: AAS 58 (1966), 1053-1054; Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), no. 2, 106: AAS 91 (1999), 6-7.86-87.

[←73] Katekismus Gereja Katolik, no. 378.

[←74] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 34: AAS 58 (1966), 1053.

[←75] Bdk. Ibid., no. 35: AAS 58 (1966), 1053.

[←76] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 102: AAS 107 (2015), 888.

[←77] Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 105: AAS 107 (2015), 889; Id., Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 27: AAS 112 (2020), 978; Benediktus XVI, Surat Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), no. 23: AAS 101 (2009), 657-658.

[←78] Bdk. Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (8 April 2024), no. 38-39, 47; Kongregasi untuk Ajaran Iman, Instruksi Dignitas Personae (8 September 2008), passim.

[←79] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 35: AAS 58 (1966), 1053. Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 2293.

[←80] Bdk. Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 2-4.

[←81] Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 1749: “Kebebasan menjadikan manusia sebagai subjek moral. Bila ia bertindak dengan bebas, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah bapa dari tindakan-tindakannya sendiri.”

[←82] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 16: AAS 58 (1966), 1037. Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 1776.

[←83] Katekismus Gereja Katolik, no. 1777.

[←84] Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 1779-1781; Fransiskus, Pidato kepada Peserta “Dialog Minerva” (27 Maret 2023): AAS 115 (2023), 463, di mana Bapa Suci mendorong upaya “untuk memastikan bahwa teknologi tetap berpusat pada manusia, berlandaskan etika dan diarahkan kepada kebaikan.”

[←85] Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 166: AAS 112 (2020), 1026-1027; Ibid., Pidato kepada Sidang Pleno Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan (23 September 2024): L’Osservatore Romano, 23 September 2024, 10. Mengenai peran kapasitas manusia untuk bertindak dalam menentukan tujuan khusus tertentu (Zweck) yang dilaksanakan oleh setiap aplikasi teknologi dalam terang tujuan yang lebih luas (Ziel), bdk. F. Dessauer, Streit um die Technik, Herder-Bücherei, Freiburg i. Br. 1959, 70-71.

[←86] Bdk. Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 4: “Teknologi lahir untuk suatu tujuan dan, dalam dampaknya terhadap masyarakat manusia, ia selalu mewakili suatu bentuk tatanan dalam hubungan sosial dan pengaturan kekuasaan, yang memungkinkan beberapa orang untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dan mencegah yang lain melakukan tindakan-tindakan yang berbeda. Secara lebih atau kurang eksplisit, dimensi kekuasaan yang membangun teknologi ini selalu mencakup visi dunia dari mereka yang menciptakan dan mengembangkannya.”

[←87] Fransiskus, Pidato kepada Peserta Sidang Pleno Akademi Kepausan untuk Kehidupan (28 Februari 2020): AAS 112 (2020), 309.

[←88] Bdk. Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 3-4.

[←89] Fransiskus, Pidato kepada Peserta “Dialog Minerva” (27 Maret 2023): AAS 115 (2023), 464. Bdk. Ibid., Surat Ensiklik Fratelli Tutti, no. 212-213: AAS 112 (2020), 1044-1045.

[←90] Bdk. Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Laborem Exercens (14 September 1981), no. 5: AAS 73 (1981), 589; Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 3-4.

[←91] Bdk. Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 2: “Menghadapi keajaiban mesin, yang tampaknya tahu bagaimana memilih secara otonom, kita harus sangat jelas bahwa pengambilan keputusan […] harus selalu diserahkan kepada manusia. Kita akan mengutuk umat manusia ke masa depan tanpa harapan jika kita menghilangkan kemampuan manusia untuk membuat keputusan tentang diri dan kehidupan mereka sendiri, dengan membuat mereka untuk bergantung pada pilihan mesin.”

[←92] Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 2.

[←93] Istilah “bias” dalam dokumen ini mengacu pada bias algoritmik (kesalahan sistematis dan konsisten dalam sistem komputer yang mungkin secara tidak proporsional merugikan kelompok tertentu dengan cara yang tidak diinginkan) atau bias pembelajaran (yang akan menghasilkan pelatihan pada kumpulan data yang bias) dan bukan “vektor bias” dalam jaringan saraf (yang merupakan parameter yang digunakan untuk menyesuaikan keluaran “neuron” agar menyesuaikan dengan data secara lebih akurat).

[←94] Bdk. Fransiskus, Pidato kepada Peserta “Dialog Minerva” (27 Maret 2023): AAS 115 (2023), 464, di mana Bapa Suci mencatat adanya konsensus yang berkembang “mengenai perlunya proses pembangunan yang menghormati nilai-nilai seperti inklusivitas, transparansi, keamanan, kesetaraan, privasi, dan tanggung jawab,” dan juga menyambut baik “upaya organisasi-organisasi internasional untuk mengatur teknologi-teknologi ini sehingga dapat mendorong kemajuan sejati, yang berkontribusi pada dunia yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih tinggi secara integral.”

[←95] Fransiskus, Ucapan Selamat kepada Delegasi “Max Planck Society” (23 Februari 2023): L’Osservatore Romano, 23 Februari 2023, 8.

[←96] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 26: AAS 58 (1966), 1046-1047.

[←97] Fransiskus, Pidato kepada Peserta Seminar “Kesejahteraan Bersama di Era Digital” (27 September 2019): AAS 111 (2019), 1571.

[←98] Bdk. Fransiskus, Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia LVIII (24 Januari 2024): L’Osservatore Romano, 24 Januari 2024, 8. Untuk pembahasan lebih jauh mengenai pertanyaan-pertanyaan etika yang ditimbulkan oleh AI dari perspektif Katolik, lihat Kelompok Riset AI dari Pusat Kebudayaan Digital dari Dikasteri untuk Kebudayaan dan Pendidikan, Encountering Artificial Intelligence: Ethical and Anthropological Investigations (Theological Investigations of Artificial Intelligence 1), MJ Gaudet, N. Herzfeld, P. Scherz, JJ Wales, eds., Journal of Moral Theology, Pickwick, Eugene 2024, 147-253.

[←99] Mengenai pentingnya dialog dalam masyarakat pluralis yang berorientasi pada “etika sosial yang kuat dan kokoh,” lihat Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 211-214: AAS 112 (2020), 1044-1045.

[←100] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 2: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 2.

[←101] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 6: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 3. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 26: AAS 58 (1966), 1046-1047.

[←102] Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 112: AAS 107 (2015), 892-893.

[←103] Fransiskus, Pidato kepada Peserta “Dialog Minerva” (27 Maret 2023): AAS 115 (2023), 464.

[←104] Bdk. Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Etika dalam Internet (22 Februari 2002), no. 10.

[←105] Fransiskus, Seruan Pasca-Sinode Christus Vivit (25 Maret 2019), no. 89: AAS 111 (2019), 413-414; mengutip Dokumen Akhir Sidang Umum Biasa XV Sinode Para Uskup (27 Oktober 2018), no. 24: AAS 110 (2018), 1593. Bdk. Benediktus XVI, Pidato kepada Peserta Kongres Internasional tentang Hukum Moral Alamiah (12 Februari 2017): AAS 99 (2007), 245.

[←106] Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 105-114: AAS 107 (2015), 889-893; Id., Seruan Apostolik Laudate Deum (4 Oktober 2023), no. 20-33: AAS 115 (2023), 1047-1050.

[←107] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 105: AAS 107 (2015), 889. Bdk. Id., Seruan Apostolik Laudate Deum (4 Oktober 2023), no. 20-21: AAS 115 (2023), 1047.

[←108] Bdk. Fransiskus, Pidato kepada Peserta Sidang Pleno Akademi Kepausan untuk Kehidupan (28 Februari 2020): AAS 112 (2020), 308-309.

[←109] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 2: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 2.

[←110] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 112: AAS 107 (2015), 892.

[←111] Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 101, 103, 111, 115, 167: AAS 112 (2020), 1004-1005, 1007-1009, 1027.

[←112] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 26: AAS 58 (1966), 1046-1047; bdk. Leo XIII, Surat Ensiklik Rerum Novarum (15 Mei 1891), no. 35: Acta Leonis XIII, 11 (1892), 123.

[←113] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 12: AAS 58 (1966), 1034.

[←114] Bdk. Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja (2004), no. 149.

[←115] Konsili Ekumenis Vatikan II, Deklarasi Dignitatis Humanae (7 Desember 1965), no. 3: AAS 58 (1966), 931. Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 50: AAS 112 (2020), 986-987.

[←116] Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 50: AAS 112 (2020), 986-987.

[←117] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 47: AAS 107 (2015), 865. Bdk. Id., Seruan Apostolik Christus Vivit (25 Maret 2019), no. 88-89: AAS 111 (2019), 413-414.

[←118] Bdk. Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), no. 88: AAS 105 (2013), 1057.

[←119] Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 47: AAS 112 (2020), 985.

[←120] Bdk. Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 2.

[←121] Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 50: AAS 112 (2020), 986-987.

[←122] Bdk. Edith Stein, Zum Problem der Einfühlung, Buchdruckerei des Waisenhauses, Halle 1917 (en. tr. On the Problem of Empathy, ICS Publications, Washington DC 1989).

[←123] Bdk. Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), no. 88: AAS 105 (2013), 1057: “[Banyak orang] ingin hubungan interpersonal mereka disediakan oleh peralatan yang canggih, dengan layar dan sistem yang dapat dihidupkan dan dimatikan menurut perintah. Sementara itu, Injil mengundang kita terus-menerus menghadapi risiko perjumpaan tatap muka dengan orang lain, dengan kehadiran fisik mereka yang menantang kita, dengan rasa sakit mereka dan permintaan mereka, dengan sukacita mereka yang menulari kita dalam interaksi kita yang akrab dan berkesinambungan. Iman sejati akan Putra Allah yang menjelma tidak bisa dilepaskan dari pemberian diri, dari keanggotaan dalam komunitas, dari pelayanan, dari rekonsiliasi dengan orang lain.” Bdk. juga Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 24: AAS 58 (1966), 1044-1045.

[←124] Bdk. Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (8 April 2024), no. 1.

[←125] Bdk. Fransiskus, Pidato kepada Peserta Seminar “Kesejahteraan Umum di Era Digital” (27 September 2019): AAS 111 (2019), 1570; Ibid., Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 18, 124-129: AAS 107 (2015), 854.897-899.

[←126] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 5: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 3.

[←127] Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), no. 209: AAS 105 (2013), 1107.

[←128] Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 4. Mengenai ajaran Paus Fransiskus tentang AI dalam kaitannya dengan “paradigma teknokratis,” bdk. Ibid., Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 106-114: AAS 107 (2015), 889-893.

[←129] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 26: AAS 58 (1966), 1046-1047.; seperti dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik, no. 1912. Bdk. Yohanes XXIII, Surat Ensiklik Mater et Magistra (15 Mei 1961), no. 219: AAS 53 (1961), 453.

[←130] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), par 64: AAS 58 (1966), 1086.

[←131] Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 162: AAS 112 (2020), 1025. Bdk. Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Laborem Exercens (14 September 1981), no. 6: AAS 73 (1981), 591: “Pekerjaan adalah ‘untuk manusia’ dan bukan manusia ‘untuk pekerjaan’. Melalui kesimpulan ini, kita dengan tepat mengakui keutamaan makna subjektif kerja atas makna objektif.”

[←132] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 128: AAS 107 (2015), 898. Bdk. Id., Seruan Apostolik Amoris Laetitia (19 Maret 2016), no. 24: AAS 108 (2016), 319-320.

[←133] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 5: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 3.

[←134] Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Evangelium Vitae (25 Maret 1995), no. 89: AAS 87 (1995), 502.

[←135] Ibid.

[←136] Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 67: AAS 112 (2020), 993; sebagaimana dikutip dalam Id., Pesan Hari Orang Sakit Sedunia XXXI (11 Februari 2023): L’Osservatore Romano, 10 Januari 2023, 8.

[←137] Fransiskus, Pesan untuk Hari Orang Sakit Sedunia XXXII (11 Februari 2024): L’Osservatore Romano, 13 Januari 2024, 12.

[←138] Fransiskus, Pidato kepada Korps Diplomatik yang Diakreditasi Tahta Suci (11 Januari 2016): AAS 108 (2016), 120. Bdk. Id., Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 18: AAS 112 (2020), 975; Id., Pesan Hari Orang Sakit Sedunia XXXII (11 Februari 2024): L’Osservatore Romano, 13 Januari 2024, 12.

[←139] Bdk. Fransiskus, Pidato kepada Peserta “Dialog Minerva” (27 Maret 2023): AAS 115 (2023), 465; Ibid., Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 2.

[←140] Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 105, 107: AAS 107 (2015), 889-890; Ibid., Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 18-21: AAS 112 (2020), 975-976; Ibid., Pidato kepada Peserta “Dialog Minerva” (27 Maret 2023): AAS 115 (2023), 465.

[←141] Fransiskus, Pidato kepada Peserta Pertemuan yang disponsori oleh Komisi Amal dan Kesehatan Konferensi Waligereja Italia (10 Februari 2017): AAS 109 (2017), 243. Bdk. di tempat yang sama, 242-243: “Jika ada satu sektor di mana ‘budaya membuang’ terwujud nyata dengan konsekuensi-konsekuensinya yang menyakitkan, itu adalah sektor layanan kesehatan. Ketika orang sakit tidak ditempatkan di pusat perhatian dan martabatnya tidak diperhatikan, maka akan timbul sikap-sikap yang bahkan dapat mengarah pada praktik mengambil keuntungan atas kemalangan orang lain. Dan ini sangat serius! […] Penerapan pendekatan bisnis pada sektor layanan kesehatan, jika diterapkan tanpa pertimbangan […] dapat berisiko membuang manusia.”

[←142] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 5: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 3.

[←143] Konsili Ekumenis Vatikan II, Deklarasi Gravissimum Educationis (28 Oktober 1965), no. 1: AAS 58 (1966), 729.

[←144] Kongregasi Pendidikan Katolik, Petunjuk Penggunaan Pembelajaran Jarak Jauh di Universitas dan Fakultas Gerejawi, I. Cf. Konsili Ekumenis Vatikan II, Deklarasi Gravissimum Educationis (28 Oktober 1965), no. 1: AAS 58 (1966), 729; Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LXIX (1 Januari 2016), 6: AAS 108 (2016), 57-58.

[←145] Fransiskus, Pidato kepada Anggota Proyek Peneliti Global untuk Memajukan Pendidikan Katolik (20 April 2022): AAS 114 (2022), 580.

[←146] Bdk. Paulus VI, Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), no. 41: AAS 68 (1976), 31, mengutip Id., Pidato kepada Anggota “Consilium de Laicis” (2 Oktober 1974): AAS 66 (1974), 568: “jika [orang masa kini] mendengarkan guru, itu karena mereka adalah saksi.”

[←147] J.H. Newman, The Idea of a University Defined and Illustrated, Discourse 6.1, London 1873, 125-126.

[←148] Fransiskus, Pertemuan dengan para Mahasiswa Kolese Barbarigo di Padua dalam rangka 100 tahun berdirinya (23 Maret 2019): L’Osservatore Romano, 24 Maret 2019, 8. Bdk. Ibid., Pidato kepada para Rektor, Guru Besar, Mahasiswa dan Staf Universitas dan Lembaga Kepausan Roma (25 Februari 2023): AAS 115 (2023), 316.

[←149] Fransiskus, Seruan Apostolik Pasca-Sinode Christus Vivit (25 Maret 2019), no. 86: AAS 111 (2019), 413, mengutip Sidang Umum Biasa XV Sinode Para Uskup, Dokumen Akhir (27 Oktober 2018), no. 21: AAS 110 (2018), 1592.

[←150] J.H. Newman, The Idea of a University Defined and Illustrated, Discourse 7.6, Basil Montagu Pickering, London 1873, 167.

[←151] Bdk. Fransiskus, Seruan Apostolik Christus Vivit (25 Maret 2019), no. 88: AAS 111 (2019), 413.

[←152] Dalam dokumen kebijakan tahun 2023 tentang penggunaan AI generatif dalam pendidikan dan penelitian, UNESCO mencatat: “Salah satu pertanyaan utama [tentang penggunaan AI generatif (GenAI) dalam pendidikan dan penelitian] adalah apakah manusia pada akhirnya dapat menyerahkan tingkat dasar proses berpikir dan proses perolehan keterampilan kepada AI, dan lebih berfokus pada kemampuan kognitif tingkat tinggi berdasarkan respons yang disediakan oleh AI. Menulis, misalnya, sering dikaitkan dengan penataan pemikiran. Dengan GenAI […], penulis masa kini dapat memulai dengan kerangka yang terstruktur dengan baik yang disediakan oleh algoritma. Beberapa ahli mengkarakterisasikan penggunaan GenAI untuk menghasilkan teks dengan cara semacam ini sebagai ‘menulis tanpa berpikir’” (UNESCO, Panduan untuk AI Generatif dalam Pendidikan dan Penelitian [2023], 37-38). Filsuf Jerman-Amerika Hannah Arendt meramalkan kemungkinan seperti itu dalam bukunya yang terbitan tahun 1959, The Human Condition, dan memperingatkan: “Jika ternyata benar bahwa pengetahuan (dalam arti ketrampilan) dan pemikiran telah terpisah untuk selamanya, maka kita memang akan menjadi budak yang tidak berguna, bukan dari mesin melainkan dari ketrampilan kita” (Ibid., The Human Condition, University of Chicago Press, Chicago 2018, 3).

[←153] Fransiskus, Seruan Apostolik Amoris Laetitia (19 Maret 2016), no. 262: AAS 108 (2016), 417.

[←154] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 7: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 3; bdk. Id., Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 167: AAS 107 (2015), 914.

[←155] Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik Ex Corde Ecclesiae (15 Agustus 1990), 7: AAS 82 (1990), 1479.

[←156] Fransiskus, Konstitusi Apostolik Veritatis Gaudium (29 Januari 2018), 4c: AAS 110 (2018), 9-10.

[←157] Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024) : L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 3.

[←158] Misalnya, hal ini dapat membantu orang mengakses “berbagai sumber daya yang dimiliki manusia untuk mendorong kemajuan dalam pengetahuan akan kebenaran” yang terkandung dalam karya-karya filsafat (Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Fides et Ratio [14 September 1998], no. 3: AAS 91 [1999], 7). Bdk. Ibid., no. 4: AAS 91 (1999), 7-8.

[←159] Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (8 April 2024), no. 43. Bdk. Ibid., no. 61-62.

[←160] Fransiskus, Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia LVIII (24 Januari 2024): L’Osservatore Romano, 24 Januari 2024, 8.

[←161] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), par 25: AAS 58 (1966), 1053; bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), passim : AAS 112 (2020), 969-1074.

[←162] Bdk. Fransiskus, Seruan Pasca-Sinode Christus Vivit (25 Maret 2019), no. 89: AAS 111 (2019), 414; Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), no. 25: AAS 91 (1999), 25-26: “Tidak ada seorang pun yang bisa sungguh-sungguh acuh tak acuh terhadap kebenaran pengetahuannya. […] Inilah yang diajarkan Santo Agustinus ketika ia menulis: ‘Saya telah bertemu banyak orang yang ingin menipu, tetapi tidak seorang pun yang ingin ditipu’”; mengutip Agustinus dari Hippo, Confessiones, X, 23, 33: PL 32, 794.

[←163] Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (4 April 2024), no. 62.

[←164] Benediktus XVI, Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia XLIII (24 Mei 2009): L’Osservatore Romano, 24 Januari 2009, 8.

[←165] Bdk. Dikasteri untuk Komunikasi, Menuju Kehadiran Penuh: Sebuah Refleksi Pastoral tentang Keterlibatan dalam Media Sosial (28 Mei 2023), no. 41; Konsili Ekumenis Vatikan II, Dekrit Inter Mirifica (4 Desember 1963), no. 4, 8-12: AAS 56 (1964), 146, 148-149.

[←166] Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (4 April 2024), no. 1, 6, 16, 24.

[←167] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, (7 Desember 1965), no. 26: AAS 58 (1966), 1046. Bdk. Leo XIII, Surat Ensiklik Rerum Novarum (15 Mei 1891), no. 40: Acta Leonis XIII, 11 (1892), 127: “Tidak seorang pun boleh diizinkan melanggar tanpa dihukum martabat manusia, yang oleh Allah sendiri diperlakukan dengan penuh hormat”; sebagaimana dikutip dalam Surat Ensiklik Yohanes Paulus II Centesimus Annus (1 Mei 1991), no. 9: AAS 83 (1991), 804.

[←168] Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 2477, 2489; kan. 220 CIC ; kan. 23 CCEO ; Yohanes Paulus II, Pidato pada Konferensi Umum Ketiga Episkopat Amerika Latin (28 Januari 1979), III.1-2: Insegnamenti II/1 (1979), 202-203.

[←169] Bdk. Misi Pengamat Tetap Takhta Suci untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pernyataan Takhta Suci pada Diskusi Tematik tentang Langkah-Langkah Perlucutan Senjata dan Langkah-langkah Keamanan Internasional Lainnya (24 Oktober 2022): “Penghormatan terhadap martabat manusia di ruang digital mengharuskan Negara untuk juga menghormati hak atas privasi, melindungi warga negara dari pengawasan yang mengganggu dan memungkinkan mereka untuk menjaga informasi pribadi mereka dari akses yang tidak sah.”

[←170] Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 42: AAS 112 (2020), 984.

[←171] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 5: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 3.

[←172] Fransiskus, Pidato kepada Peserta “Dialog Minerva” (27 Maret 2023): AAS 115 (2023), 465.

[←173] Laporan Sementara 2023 dari Badan Penasihat PBB tentang AI mencantumkan “harapan awal untuk peran AI dalam mengatasi perubahan iklim” (Badan Penasihat PBB tentang AI, Laporan Sementara: Mengatur AI untuk Kemanusiaan [Desember 2023], 3). Dokumen tersebut mencatat bahwa “bersama dengan sistem prediktif yang dapat mengubah data menjadi wawasan dan wawasan menjadi tindakan, perangkat berbasis AI dapat membantu mengembangkan strategi dan investasi baru untuk mengurangi emisi, memengaruhi investasi sektor swasta baru dalam mencapai net zero, melindungi keanekaragaman hayati, dan membangun ketahanan sosial dalam skala yang luas” (Ibid.).

[←174]Cloud” mengacu pada jaringan server fisik yang tersebar di seluruh dunia yang memungkinkan pengguna untuk menyimpan, memproses, dan mengelola data mereka dari jarak jauh, tanpa memerlukan ruang penyimpanan atau daya komputasi di perangkat lokal.

[←175] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 9: AAS 107 (2015), 850.

[←176] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 106: AAS 107 (2015), 890.

[←177] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 60: AAS 107 (2015), 870.

[←178] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 3, 13: AAS 107 (2015), 848 dan 852.

[←179] Agustinus dari Hippo, De Civitate Dei, XIX, 13, 1: PL 41, 640.

[←180] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 77-82: AAS 58 (1966), 1100-1107; Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 256-262: AAS 112 (2020), 1060-1063; Dikasteri Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (4 April 2024), no. 38-39; Katekismus Gereja Katolik, no. 2302-2317.

[←181] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 78: AAS 58 (1966), 1101.

[←182] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 6: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 3.

[←183] Bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 2308-2310.

[←184] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 80-81: AAS 58 (1966), 1103-1105.

[←185] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia LVII (1 Januari 2024), no. 6: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 3. Bdk. Ibid.Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 2: “Kita perlu memastikan dan menjaga ruang bagi kontrol manusia yang tepat atas pilihan yang dibuat oleh program kecerdasan buatan: martabat manusia itu sendiri bergantung padanya.”

[←186] Fransiskus, Pidato pada Sesi G7 tentang Kecerdasan Buatan di Borgo Egnazia (Puglia) (14 Juni 2024): L’Osservatore Romano, 14 Juni 2024, 2. Bdk. Misi Pengamat Tetap Takhta Suci untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pernyataan Takhta Suci kepada Kelompok Kerja II tentang Teknologi Baru di Komisi Perlucutan Senjata PBB (3 April 2024): “Pengembangan dan penggunaan sistem senjata otonom mematikan (LAWS) tanpa kendali manusia yang memadai akan menimbulkan masalah etika mendasar, karena sistem seperti itu tidak akan pernah bisa menjadi subjek yang bertanggung jawab secara moral dan mampu menghormati hukum kemanusiaan internasional.”

[←187] Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 258: AAS 112 (2020), 1061. Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 80: AAS 58 (1966), 1103-1104.

[←188] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 80: AAS 58 (1966), 1103-1104.

[←189] Bdk. Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 6: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 3: “Kita tidak dapat mengabaikan kemungkinan bahwa senjata canggih jatuh ke tangan yang salah, yang memfasilitasi, misalnya, serangan teroris atau intervensi yang bertujuan untuk mengganggu stabilitas lembaga-lembaga pemerintahan yang sah. Singkatnya, dunia tidak membutuhkan teknologi baru yang berkontribusi pada perkembangan pasar dan perdagangan senjata yang tidak adil, yang mendorong kegilaan perang.”

[←190] Yohanes Paulus II, Tindakan Percayakan kepada Maria untuk Yubileum Para Uskup (8 Oktober 2000), no. 3: Insegnamenti XXIII/2 (200), 565.

[←191] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 79: AAS 107 (2015), 878.

[←192] Bdk. Benediktus XVI, Surat Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), no. 51: AAS 101 (2009), 687.

[←193] Bdk. Dikasteri untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dignitas Infinita (8 April 2024), no. 38-39.

[←194] Bdk. Agustinus dari Hippo, Confessiones I, 1, 1: PL 32, 661.

[←195] Bdk. Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (30 Desember 1987), no. 28: AAS 80 (1988), 548: “[S]ekarang ini terdapat suatu pemahaman yang lebih baik bahwa semata-mata penumpukan barang-barang dan jasa-jasa […] tidaklah cukup bagi perwujudan kebahagiaan manusiawi. [Oleh karena itu], tersedianya berbagai manfaat nyata yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, termasuk ilmu-ilmu komputer, tidak serta merta membawa pembebasan dari segala bentuk perbudakan. Sebaliknya, […] jika seluruh sumber daya dan potensi yang ada pada manusia tidak diatur oleh pemahaman moral dan orientasi pada kebaikan sejati umat manusia, maka dengan mudah hal itu akan berbalik melawan manusia dan menindasnya.” Bdk. Ibid., no. 29, 37: AAS 80 (1988), 550-551.563-564.

[←196] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 14: AAS 58 (1966), 1036.

[←197] Fransiskus, Surat Ensiklik Dilexit Nos (24 Oktober 2024), no. 18: L’Osservatore Romano, 24 Oktober 2024, 5.

[←198] Fransiskus, Surat Ensiklik Dilexit Nos (24 Oktober 2024), no. 27: L’Osservatore Romano, 24 Oktober 2024, 6.

[←199] Fransiskus, Surat Ensiklik Dilexit Nos (24 Oktober 2024), no. 25: L’Osservatore Romano, 24 Oktober 2024, 5-6.

[←200] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 105: AAS 107 (2015), 889. Bdk. Romano Guardini, Das Ende der Neuzeit, Würzburg 1965, 87 dst. (en. tr. The End of the Modern World, Wilmington 1998, 82-83).

[←201] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (7 Desember 1965), no. 34: AAS 58 (1966), 1053.

[←202] Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Redemptor Hominis (4 Maret 1979), no. 15: AAS 71 (1979), 287-288.

[←203] N. Berdyaev, “Man and Machine”, dalam C. Mitcham – R. Mackey, eds., Philosophy and Technology: Readings in the Philosophical Problems of Technology, New York 1983, 212-213.

[←204] N. Berdyaev, “Man and Machine”, 210.

[←205] G. Bernanos, “La révolution de la liberté” (1944), dalam Id., Le Chemin de la Croix-des-Âmes, Rocher 1987, 829.

[←206] Bdk. Fransiskus, Pertemuan dengan para Mahasiswa Kolese Barbarigo Padua dalam rangka 100 tahun berdirinya (23 Maret 2019): L’Osservatore Romano, 24 Maret 2019, 8. Bdk. Ibid., Pidato kepada para Rektor, Profesor, Mahasiswa dan Staf Universitas dan Lembaga Kepausan Roma (25 Februari 2023).

[←207] Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 112: AAS 107 (2015), 892-893.

[←208] Bdk. Bonaventura, Hex. XIX, 3; Fransiskus, Surat Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), no. 50: AAS 112 (2020), 986: “Akumulasi informasi yang melimpah yang membanjiri kita tidak berarti lebih banyak kebijaksanaan. Kebijaksanaan tidak lahir dari pencarian bersemangat di internet, atau dari setumpuk informasi yang tidak terjamin kebenarannya. Dengan cara itu seseorang tidak menjadi matang berhadapan dengan kebenaran.”

[←209] Fransiskus, Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia LVIII (24 Januari 2024): L’Osservatore Romano, 24 Januari 2024, 8.

[←210] Ibid.

[←211] Ibid.

[←212] Fransiskus, Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate (19 Maret 2018), no. 37: AAS 110 (2018), 1121.

[←213] Fransiskus, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia LVII (1 Januari 2024), no. 6: L’Osservatore Romano, 14 Desember 2023, 3. Bdk. Id., Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 112: AAS 107 (2015), 892-893; Id., Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate (19 Maret 2018), no. 46: AAS 110 (2018), 1123-1124.

[←214] Bdk. Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), no. 112: AAS 107 (2015), 892-893.

[←215] Bdk. Fransiskus, Pidato kepada Peserta Seminar “Kesejahteraan Umum di Era Digital” (27 September 2019) : AAS 111 (2019), 1570-1571.

Teks ini merupakan hasil terjemahan dari versi bahasa Inggris
dengan mempertimbangkan versi bahasa Prancis dan Italia sebagai pembanding.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.