Etika dalam Komunikasi Sosial

Etika-Komsos

DEWAN KEPAUSAN UNTUK KOMUNIKASI SOSIAL

ETIKA DALAM KOMUNIKASI SOSIAL

I. PENDAHULUAN

1. Penggunaan sarana komunikasi sosial yang kita lakukan dapat menimbulkan dampak positif atau negatif. Meskipun sering dikatakan – dan kami akan mengatakannya lagi di sini – bahwa “media” menentukan “hal yang baik dan buruk”, mereka bukanlah kekuatan alam yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Karena meskipun tindakan komunikasi sering kali menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan, namun orang tetap dapat memilih apakan akan menggunakan media untuk kebaikan atau kejahatan, dengan cara yang baik atau buruk.

Pilihan-pilihan ini, yang merupakan dasar dari pertanyaan etis, tidak hanya dibuat oleh mereka yang menerima komunikasi – pemirsa, pendengar, pembaca – tetapi juga oleh mereka yang mengendalikan instrumen komunikasi sosial dan menentukan struktur, kebijakan dan isinya. Mereka ini adalah para pejabat publik dan eksekutif perusahaan, anggota dewan direksi, pemilik saluran penyiaran, editor dan direktur penerbitan, pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, produser, penulis, koresponden, dan lain-lain. Bagi mereka, pertanyaan etisnya sangat jelas: apakah media digunakan untuk melakukan kebaikan atau kejahatan?

2. Dampak komunikasi sosial sangatlah kuat. Dengannya, orang berhubungan dengan orang lain dan dengan peristiwa-peristiwa, serta membentuk opini dan nilai-nilai mereka. Mereka tidak hanya mengirimkan dan menerima informasi dan gagasan melalui instrumen-instrumen ini, namun seringkali mereka mengalami hidup itu sendiri sebagai sebuah pengalaman media (lih. Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Aetatis novae, no. 2).

Perubahan teknologi dengan begitu cepat membuat media komunikasi menjadi semakin meluas dan kuat. “Munculnya masyarakat informasi adalah sebuah revolusi budaya yang nyata” (Dewan Kepausan untuk Kebudayaan, Menuju Pendekatan Pastoral terhadap Kebudayaan, no. 9 ); dan inovasi-inovasi menakjubkan di abad ke-20 mungkin hanya merupakan awal dari apa yang akan terjadi di abad yang baru ini.

Luasnya jangkauan dan keragaman media yang dapat diakses oleh orang-orang yang tinggal di negara-negara kaya sudah sangat mencengangkan: buku-buku dan majalah, radio dan televisi, film dan video, rekaman audio, komunikasi elektronik yang ditransmisikan melalui gelombang udara, kabel, satelit dan Internet. Isinya sangat beragam, mulai dari berita hingga hiburan semata, dari doa hingga pornografi, dari kontemplasi hingga kekerasan. Tergantung pada cara mereka menggunakan media, orang dapat mengembangkan empati dan kasih sayang atau mengasingkan diri mereka sendiri dalam dunia narsistik, dunia yang penuh dengan rangsangan yang dampaknya hampir seperti narkotika. Bahkan mereka yang menghindari media pun tidak dapat menghindari kontak dengan orang lain yang sangat dipengaruhi oleh media.

3. Selain alasan-alasan ini, Gereja mempunyai alasan pribadi untuk tertarik pada media komunikasi sosial. Dalam terang iman, sejarah komunikasi manusia dapat dilihat sebagai sebuah perjalanan panjang dari Babel, simbol runtuhnya komunikasi (bdk. Kej 11:4-8), hingga Pentakosta dan karunia bahasa roh (bdk. Kis 2:5-11), di mana komunikasi dipulihkan oleh kuasa Roh yang diutus oleh Sang Putra. Diutus ke dalam dunia untuk mewartakan Kabar Baik (bdk. Mat 28:19-20; Mrk 16:15), Gereja mengemban misi untuk mewartakan Injil sampai akhir zaman. Saat ini, Gereja mengetahui bahwa hal ini membutuhkan penggunaan media komunikasi sosial (lih. Konsili Vatikan II, Inter mirifica, no. 3; Paus Paulus VI, Evangelii nuntiandi, no. 45; Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris missio, no. 37; Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Communio et progresio, no. 126-134, Aetatis novae, no. 11).

Gereja juga mengetahui bahwa ia adalah sebuah communio, suatu persekutuan pribadi-pribadi dan komunitas-komunitas Ekaristi, “yang landasannya terletak pada persekutuan intim Tritunggal” (Aetatis novae, no. 10; lih. Kongregasi Ajaran Iman, Aspek Gereja sebagai persekutuan). Sesungguhnya, semua komunikasi manusia didasarkan pada persekutuan antara Bapa, Putra dan Roh Kudus. Selain itu, persekutuan Tritunggal meluas kepada umat manusia: Putra adalah Sabda, yang secara kekal “diucapkan” oleh Bapa, dan, di dalam Yesus Kristus dan melalui Dia, Putra dan Sabda yang menjadi manusia, Allah mengkomunikasikan diri-Nya sendiri dan keselamatan-Nya kepada semua orang, laki-laki dan perempuan. “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (Ibr 1:1-2). Komunikasi di dalam dan melalui Gereja dimulai di dalam persekutuan kasih di antara Pribadi ilahi dan di dalam komunikasi mereka dengan kita.

4. Pendekatan Gereja terhadap media komunikasi sosial pada dasarnya positif dan menggembirakan. Gereja tidak hanya menghakimi dan mengutuk; sebaliknya, Gereja memandang sarana-sarana ini tidak hanya sebagai hasil dari kejeniusan manusia, tetapi juga sebagai anugerah yang sangat besar dari Allah dan tanda-tanda zaman yang sejati (lih. Inter mirifica, no. 1; Evangelii nuntiandi, no. 45; Redemptoris missio, no. 37). Dokumen ini bertujuan untuk mendukung mereka yang secara profesional terlibat dalam bidang komunikasi, menetapkan prinsip-prinsip positif untuk membantu mereka dalam pekerjaan mereka, sekaligus mendorong dialog di mana semua pihak yang berkepentingan – yaitu sebagian besar umat manusia pada zaman sekarang ini – dapat mengambil bagian. Tujuan-tujuan tersebut menjadi dasar dari dokumen ini.

Kami ulangi: Media tidak melakukan apa pun dengan sendirinya. Media adalah instrumen, sarana yang digunakan sesuai dengan cara yang dipilih orang untuk menggunakannya. Dalam merefleksikan sarana komunikasi sosial, kita harus dengan jujur menjawab pertanyaan “paling mendasar” yang timbul dari kemajuan teknologi: apakah hasilnya adalah manusia menjadi “benar-benar menjadi lebih baik, yaitu lebih dewasa secara spiritual, lebih sadar akan martabat kemanusiaannya, lebih bertanggung jawab, lebih terbuka terhadap orang lain, terutama mereka yang paling membutuhkan dan yang paling lemah, lebih bersedia memberi dan menolong semua orang” (Paus Yohanes Paulus II, Redemptor hominis, no. 15).

Kami percaya bahwa sebagian besar dari orang-orang yang terlibat dalam komunikasi sosial, apa pun perannya, adalah individu-individu yang berpengetahuan luas dan ingin melakukan hal yang benar. Pejabat publik, pengambil keputusan dan pemimpin perusahaan ingin menghormati dan memajukan kepentingan publik sesuai dengan cara mereka memahaminya. Para pembaca, pendengar dan pemirsa ingin menggunakan waktu mereka dengan baik untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi agar dapat menjalani kehidupan yang lebih bermanfaat dan bahagia. Para orang tua ingin apa yang masuk ke rumah mereka melalui media sesuai dengan kepentingan anak-anak mereka. Sebagian besar profesional komunikasi ingin menggunakan bakat mereka untuk melayani umat manusia, dan merasa prihatin dengan meningkatnya tekanan ekonomi dan ideologi yang menurunkan standar etika di berbagai bidang media.

Isi dari pilihan-pilihan yang tak terhitung jumlahnya yang dibuat oleh mereka yang terkena dampak media berbeda dari satu kelompok ke kelompok lain, dan dari satu individu ke individu lain, namun semua pilihan tersebut memiliki bobot etis dan harus dievaluasi. Untuk memilih dengan benar, seseorang harus mengetahui “prinsip-prinsip tatanan moral dan menerapkannya dengan setia” (Inter mirifica, no. 4).

5. Gereja memberikan banyak kontribusi dalam perdebatan ini.

Gereja menawarkan sebuah tradisi panjang kebijaksanaan moral yang berakar pada wahyu ilahi dan refleksi manusia (lih. Paus Yohanes Paulus II, Fides et ratio, no. 36-48). Sebagian dari hal ini adalah kumpulan ajaran sosial yang substansial dan terus berkembang, yang orientasi teologisnya merupakan koreksi penting terhadap “solusi ateis, yang menghilangkan salah satu komponen mendasar manusia, yaitu komponen spiritual, dan solusi permisif dan konsumerisme, yang dengan berbagai dalih berusaha meyakinkan manusia akan kebebasannya dari semua hukum dan dari Tuhan” (Paus Yohanes Paulus II, Centesimus annus, no. 55). Alih-alih menghakimi media, tradisi ini justru menempatkan diri untuk melayani media. Sebagai contoh, “budaya kebijaksanaan, yang sesuai dengan Gereja, dapat mencegah budaya informasi media menjadi akumulasi fakta-fakta yang tidak berarti” (Paus Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-33, 1999).

Gereja juga memberikan kontribusi lain dalam perdebatan ini. Kontribusi khusus Gereja terhadap urusan-urusan manusia, termasuk dalam bidang komunikasi sosial, adalah “visi tentang martabat pribadi manusia, yang tampak sepenuhnya dalam misteri Sabda yang menjelma” (Centesimus annus, n. 47). Dalam kata-kata Konsili Vatikan II: “Kristus, Adam yang baru, dalam pewahyuan misteri Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya panggilannya yang amat luhur” (Gaudium et spes, no. 22).

II. KOMUNIKASI SOSIAL YANG MELAYANI PRIBADI MANUSIA

6. Mengikuti Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini, Gaudium et spes (lih. no. 30-31), Instruksi Pastoral tentang komunikasi sosial Communio et progressio menjelaskan bahwa media dipanggil untuk melayani martabat manusia dengan membantu orang untuk hidup dengan baik dan bertindak aktif sebagai manusia yang hidup dalam komunitas/masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mendorong semua orang, laki-laki dan perempuan, untuk menyadari martabat mereka sendiri, untuk masuk ke dalam pikiran dan perasaan orang lain, untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama, dan untuk bertumbuh dalam kebebasan pribadi, menghormati kebebasan orang lain dan dalam kapasitas untuk dialog.

Komunikasi sosial memiliki kekuatan yang luar biasa dalam memajukan dan mencapai kebahagiaan manusia. Dengan maksud untuk menawarkan tidak lebih dari sebuah tinjauan umum, kami mengamati di sini, seperti juga yang kami lakukan sebelumnya (bdk. Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Etika dalam Periklanan, no. 4-8), manfaat-manfaat tertentu di bidang ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan keagamaan.

Manfaat di bidang Ekonomi

7. Pasar bukanlah norma moral atau sumber nilai moral, dan ekonomi pasar dapat disalahgunakan; namun, pasar dapat melayani pribadi manusia (bdk. Centesimus annus, 34) dan media memainkan peran yang sangat diperlukan dalam ekonomi pasar. Komunikasi sosial mendukung bisnis dan perdagangan; mereka membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja dan kesejahteraan; mereka mendorong peningkatan kualitas barang dan jasa yang sudah ada dan pengembangan barang dan jasa yang baru; mereka mendorong persaingan yang bertanggung jawab dalam melayani kepentingan publik; dan mereka memungkinkan orang untuk membuat pilihan yang masuk akal karena mereka diberi informasi tentang ketersediaan dan karakteristik produk.

Singkatnya, sistem perekonomian nasional dan internasional yang kompleks saat ini tidak dapat berfungsi tanpa media. Jika kita menghilangkannya, struktur fundamental ekonomi akan runtuh sehingga menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat dan banyak orang.

Manfaat di bidang Politik

8. Komunikasi sosial bermanfaat bagi masyarakat dengan memfasilitasi partisipasi warga negara yang melek informasi dalam proses politik. Media menyatukan orang-orang untuk mengejar tujuan dan sasaran bersama, sehingga membantu mereka membentuk dan mempertahankan komunitas politik yang otentik.

Media sangat diperlukan bagi masyarakat demokratis saat ini. Media memberikan informasi tentang berbagai isu dan peristiwa. Media memungkinkan para pemimpin untuk berkomunikasi secara cepat dan langsung dengan masyarakat mengenai isu-isu yang mendesak. Media merupakan instrumen penting yang dapat diandalkan karena menyoroti ketidakmampuan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga menarik perhatian pada perlunya kompetensi, semangat dan pengabdian pada tugas.

Manfaat di bidang Budaya

9. Sarana komunikasi sosial memberikan kepada masyarakat akses terhadap karya sastra, teater, musik dan seni, yang sebelumnya tidak dapat diakses oleh mereka; dan dengan demikian mendorong perkembangan manusia dalam hal pengetahuan, kebijaksanaan dan keindahan. Kita tidak hanya berbicara tentang karya-karya klasik dan hasil-hasil studi akademis, tetapi juga tentang bentuk-bentuk hiburan populer yang sehat dan informasi berguna yang menyatukan keluarga, membantu orang memecahkan masalah sehari-hari, memberi semangat secara moral kepada orang-orang yang sakit, terisolasi dan lanjut usia, dan membebaskan mereka dari kebosanan hidup.

Media juga memungkinkan kelompok-kelompok etnis untuk melestarikan dan merayakan tradisi budaya mereka, membagikannya kepada orang lain dan mewariskannya kepada generasi baru. Secara khusus, mereka memperkenalkan anak-anak dan kaum muda pada warisan budaya mereka. Para pekerja di bidang komunikasi, dan juga para seniman, melayani kebaikan bersama denganmelestarikan dan memperkaya warisan budaya bangsa dan masyarakat (lih. Paus Yohanes Paulus II, Surat kepada Seniman, no. 4).

Manfaat di bidang Pendidikan

10. Media komunikasi sosial adalah alat pendidikan yang penting dalam berbagai konteks, mulai dari sekolah hingga tempat kerja, dan di berbagai tahap kehidupan: Anak-anak usia pra-sekolah yang diperkenalkan dengan dasar-dasar membaca dan matematika, anak muda yang menerima pelatihan atau kualifikasi profesional, orang lanjut usia yang ingin mempelajari hal-hal baru di tahun-tahun terakhir mereka; mereka dan banyak orang lain mempunyai akses melalui berbagai sumber daya pendidikan yang kaya dan terus berkembang melalui media-media ini.

Media adalah sarana pengajaran di banyak sekolah. Dan di luar ruang kelas, alat komunikasi, termasuk Internet, melintasi hambatan jarak dan isolasi, memberikan kesempatan belajar bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil, kaum religius yang tinggal di biara, orang-orang yang tidak dapat meninggalkan rumah mereka, para narapidana, dan banyak lagi.

Manfaat di bidang Keagamaan

11. Kehidupan beragama dari banyak orang diperkaya secara mendalam oleh media, yang menawarkan berita dan informasi tentang peristiwa, gagasan dan tokoh-tokoh yang berkaitan dengan keagamaan. Media adalah sarana evangelisasi dan katekese. Media menawarkan inspirasi, dorongan dan kesempatan untuk berdoa kepada orang-orang yang terpaksa tinggal di rumah atau di institusi mereka.

Terkadang media memberikan kontribusi terhadap pengayaan spiritual seseorang dengan cara yang luar biasa. Sebagai contoh, khalayak luas di seluruh dunia menyaksikan dan, dalam arti tertentu, berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Gereja yang disiarkan secara rutin melalui satelit dari Roma. Dan, selama bertahun-tahun, media telah menyiarkan kata-kata dan gambar-gambar kunjungan pastoral Bapa Suci kepada jutaan orang.

12. Di semua bidang, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, agama dan lainnya, media komunikasi sosial dapat digunakan untuk membangun dan mendukung komunitas manusia. Bahkan, semua komunikasi harus terbuka untuk persekutuan antar manusia.

“Untuk menjadi saudara dan saudari, kita harus saling mengenal satu sama lain. Untuk itu, adalah…penting untuk berkomunikasi secara lebih luas dan lebih dalam lagi” (Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Hidup Persaudaraan dalam Komunitas, no. 29). Komunikasi dalam pelayanan komunitas yang otentik, “lebih dari sekadar mengungkapkan gagasan atau perasaan hati; komunikasi yang utuh melibatkan pemberian diri yang sejati di bawah dorongan cinta kasih” (Communio et Progressio, no. 11).

Komunikasi seperti itu mengupayakan kesejahteraan dan pemenuhan anggota komunitas dengan tetap menghormati kebaikan semua orang. Namun, konsultasi dan dialog tetap diperlukan untuk memahami kebaikan bersama ini. Inilah sebabnya mengapa sangat penting bagi praktisi komunikasi/pekerja media untuk terlibat dalam dialog semacam itu dan menerima kebenaran tentang apa yang baik. Dengan cara inilah media dapat memenuhi kewajiban mereka untuk “memberikan kesaksian tentang kebenaran tentang kehidupan, tentang martabat manusia, tentang makna sebenarnya dari kebebasan kita dan saling ketergantungan kita” (Paus Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-33, 1999).

III. KOMUNIKASI SOSIAL YANG MERUSAK KEBAIKAN PRIBADI MANUSIA

13. Media juga dapat digunakan untuk menghalangi komunitas dan merusak kebaikan yang tidak terpisahkan dari manusia, baik dengan mengasingkan, meminggirkan dan mengisolasi mereka, atau dengan menarik mereka ke dalam komunitas jahat yang berpusat pada nilai-nilai yang salah dan merusak. Media dapat memicu permusuhan dan konflik, merendahkan orang lain dan menciptakan mentalitas “kita” versus “mereka”; menampilkan sesuatu yang hina dan merendahkan dengan cara yang menarik, mengabaikan atau meremehkan sesuatu yang meninggikan dan memuliakan.

Media dapat menyebarkan informasi palsu dan menyesatkan, mempromosikan hal-hal yang bersifat vulgar dan dangkal. Reduksi terhadap stereotip – berdasarkan ras dan etnis, jenis kelamin dan usia, serta faktor-fkator lainnya, termasuk agama – sayangnya tersebar luar di media. Selain itu, komunikasi sosial juga sering kali mengabaikan hal-hal yang benar-benar baru dan penting, termasuk Kabar Baik Injil, dan berfokus pada apa yang sedang tren dan aneh.

Penyalahgunaan terjadi di setiap bidang yang telah disebutkan di atas.

Penyalahgunaan di bidang Ekonomi

14. Media terkadang digunakan untuk membangun dan mendukung sistem ekonomi yang melayani keserakahan dan ketamakan. Neoliberalisme adalah salah satu contohnya: “Mengacu pada konsepsi manusia tentang ekonomi”, neoliberalisme “menganggap keuntungan dan hukum pasar sebagai parameter absolut dengan mengorbankan martabat dan rasa hormat pribadi manusia dan masyarakat” (Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia in America, no. 56). Dalam situasi seperti itu, sarana komunikasi yang seharusnya bermanfaat bagi semua orang justru dieksploitasi untuk kepentingan segelintir orang.

Proses globalisasi “dapat menciptakan peluang luar biasa untuk kesejahteraan” (Centesimus annus, no. 58). Namun, bersamaan dengan hal ini, dan bahkan sebagai bagian dari proses ini, beberapa negara dan masyarakat dieksploitasi dan dipinggirkan, sehingga semakin jauh tertinggal dalam perjuangan untuk pembangunan. Kantong-kantong kekurangan yang semakin melebar di tengah-tengah kelimpahan ini merupakan lahan subur bagi rasa iri hati, kebencian, ketegangan dan konflik. Hal ini menggarisbawahi perlunya “badan-badan internasional yang kuat untuk mengawasi dan membimbing, yang mengarahkan perekonomian itu sendiri menuju kebaikan bersama” (Centesimus annus, no. 58).

Dalam menghadapi ketidakadilan yang parah, praktisi media tidak cukup hanya mengatakan bahwa tugas mereka adalah melaporkan segala sesuatu sebagaimana adanya. Memang benar bahwa itu adalah tugas mereka. Namun keputusan mereka untuk sepenuhnya mengabaikan aspek-aspek tertentu dari penderitaan manusia mencerminkan mencerminkan selektivitas yang tidak dapat dibenarkan. Lebih jauh lagi, struktur dan kebijakan komunikasi serta distribusi teknologi merupakan faktor-faktor yang menyebabkan sebagian orang menjadi “kaya informasi” dan sebagian lagi “miskin informasi” di zaman di mana kemakmuran dan bahkan kelangsungan hidup bergantung pada informasi.

Dengan demikian, media berkontribusi terhadap ketidakadilan dan ketidakseimbangan yang menyebabkan penderitaan yang sama dengan yang mereka beritakan. “Kita harus mendobrak hambatan dan monopoli yang membuat begitu banyak orang terpinggirkan dalam pembangunan; kita harus memastikan bagi setiap orang – individu dan bangsa – memiliki kondisi dasar untuk berpartisipasi dalam pembangunan” (Centesimus annus, no. 35). Teknologi komunikasi dan informasi, bersama dengan pelatihan untuk menggunakannya, merupakan salah satu persyaratan mendasar tersebut.

Penyalahgunaan di bidang Politik

15. Beberapa politisi yang tidak bermoral menggunakan media untuk menghasut dan menipu, serta untuk mendukung kebijakan yang tidak adil dan rezim yang menindas. Mereka menyampaikan gambaran yang salah tentang lawan-lawan mereka, dan secara sistematis memutarbalikkan dan menyembunyikan kebenaran melalui propaganda dan kebohongan. Alih-alih menyatukan masyarakat, media justru berkontribusi dalam memisahkan mereka, sehingga menciptakan ketegangan dan menimbulkan kecurigaan yang dapat berujung pada konflik.

Bahkan di negara-negara dengan sistem demokrasi, sangatlah umum bagi para pemimpin politik untuk memanipulasi opini publik melalui media, alih-alih mendorong partisipasi yang terinformasi dalam proses politik. Konvensi-konvensi demokrasi dihormati, namun teknik-teknik yang dipinjam dari dunia periklanan dan hubungan masyarakat digunakan atas nama kebijakan yang mengeksploitasi kelompok-kelompok tertentu dan melanggar hak-hak dasar, termasuk hak untuk hidup (Evangelium vitae, no. 70).

Media juga seringkali mempopulerkan relativisme etis dan utilitarianisme yang menjadi ciri budaya kematian saat ini. Mereka mengambil bagian dalam “konspirasi melawan kehidupan” pada zaman ini dengan “menyebarkan opini publik bahwa pola pikir yang menampilkan penggunaan kontrasepsi, sterilisasi, aborsi dan bahkan euthanasia merupakan tanda kemajuan dan penaklukan kebebasan, sambil menggambarkan posisi mendukung kehidupan yang tanpa syarat sebagai musuh kebebasan dan kemajuan” (Evangelium vitae, no. 17).

Penyalahgunaan di bidang Budaya

16. Para kritikus sering kali mengecam kedangkalan dan selera buruk media komunikasi sosial, yang, meskipun tidak dipaksakan menjadi bersifat moderat dan seragam, juga tidak boleh bersifat vulgar dan merendahkan. Mengatakan bahwa media komunikasi sosial mencerminkan selera masyarakan tentu saja bukan merupakan suatu pembenaran, karena media juga memiliki pengaruh besar pada selera masyarakat dan mempunyai kewajiban untuk memperbaikinya, bukan merendahkan.

Masalah ini muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya, alih-alih menjelaskan isu-isu yang rumit secara hati-hati dan jujur, media justru menghindari atau menyederhanakannya secara berlebihan; atau menampilkan dalam program hiburan, tayangan yang menyesatkan dan merendahkan martabat manusia, dengan mengeksploitasi seksualitas dan kekerasan. Adalah tidak bertanggung jawab untuk mengabaikan atau menyangkal fakta bahwa “pornografi dan kekerasan sadis merendahkan seksualitas, memutarbalikkan hubungan antarmanusia, memperbudak individu – khususnya anak-anak dan perempuan –, menghancurkan perkawinan dan kehidupan keluarga, menginspirasi perilaku anti-sosial dan melemahkan serat moral masyarakat.” (Pornografi dan kekerasan dalam sarana komunikasi: tanggapan pastoral, no. 10).

Di tingkat internasional, dominasi budaya yang dipaksakan melalui media komunikasi sosial juga merupakan masalah yang serius dan terus berkembang. Di beberapa tempat, ekspresi budaya tradisional hampir tidak dapat diakses oleh media populer dan terancam punah. Sementara itu, nilai-nilai masyarakat sekuler dan makmur menggantikan nilai-nilai tradisional masyarakat kurang kaya dan kurang berpengaruh. Dalam mengkaji isu-isu ini, perhatian khusus harus diberikan kepada anak-anak dan remaja, dengan menyajikan pertunjukan-pertunjukan yang mendekatkan mereka dengan warisan budaya mereka sendiri.

Komunikasi sebaiknya dilakukan melintasi batas-batas budaya. Masyarakat dapat dan harus belajar dari satu sama lain. Namun, komunikasi antarbudaya tidak boleh merugikan pihak yang kurang kuat. Saat ini, “bahkan budaya yang kurang tersebar luas pun tidak lagi terisolasi. Mereka mendapatkan manfaat dari kontak yang meningkat, namun mereka juga menderita tekanan dari kecenderungan yang kuat menuju keseragaman” (Menuju Pendekatan Pastoral Kebudayaan, no. 33). Fakta bahwa begitu banyak komunikasi yang kini mengalir hanya dalam satu arah, yaitu dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang dan miskin, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan etis yang serius. Apakah yang kaya tidak perlu belajar dari yang miskin? Apakah mereka yang berkuasa tuli terhadap suara mereka yang lemah?

Penyalahgunaan di bidang Pendidikan

17. Alih-alih mempromosikan pendidikan, media komunikasi sosial dapat mengalihkan perhatian orang ke tempat lain dan membuang-buang waktu mereka. Dengan cara ini, anak-anak dan remaja khususnya adalah pihak yang terpengaruh, tetapi orang dewasa juga menderita karena menonton acara yang dangkal dan buruk. Salah satu penyebab penyalahgunaan kepercayaan oleh para pekerja media komunikasi sosial adalah keserakahan yang mengutamakan keuntungan di atas kepentingan orang lain.

Terkadang media juga digunakan sebagai instrumen indoktrinasi, dengan tujuan untuk mengendalikan apa yang perlu diketahui orang dan menolak akses mereka terhadap informasi yang tidak ingin diungkapkan oleh pihak berwenang. Hal ini merupakan penyimpangan terhadap pendidikan yang sejati, yang seharusnya bertujuan untuk memperluas pengetahuan masyarakat, meningkatkan keterampilan mereka, dan membantu mereka mencapai tujuan-tujuan yang bermanfaat, tanpa membatasi wawasan mereka dan memanfaatkan energi mereka untuk melayani ideologi.

Penyalahgunaan di bidang Keagamaan

18. Dalam hubungan antara sarana komunikasi sosial dan agama, terdapat godaan dari kedua belah pihak.

Di pihak media, godaan ini termasuk mengabaikan atau meminggirkan gagasan dan pengalaman keagamaan; memperlakukan agama secara dangkal, bahkan mungkin dengan meremehkan, sebagai tema yang aneh dan tidak patut mendapat perhatian serius; atau mempromosikan busana keagamaan dengan mengorbankan keyakinan tradisional; memperlakukan kelompok-kelompok agama dengan permusuhan; menilai agama dan pengalaman beragama berdasarkan kriteria sekuler dan lebih memilih aliran keagamaan yang sesuai dengan selera sekuler daripada yang lain; dan berusaha untuk membatasi transendensi dalam batas-batas rasionalisme dan skeptisisme. Media komunikasi sosial saat ini sering kali mencerminkan kondisi pasca-modern dari jiwa manusia yang mengurung dirinya sendiri “dalam batas-batas imanensinya sendiri, tanpa referensi apa pun kepada yang transenden” (Fides et ratio, no. 81).

Dari pihak agama, godaan yang mungkin muncul antara lain: memandang dengan negatif dan menghakimi media komunikasi sosial; memahami secara salah bahwa kriteria komunikasi sosial yang masuk akal, seperti objektivitas dan ketidakberpihakan, juga dapat menghambat perlakuan khusus yang menguntungkan kepentingan institusional agama; menyajikan pesan-pesan keagamaan dengan cara yang emosional dan manipulatif, seolah-olah merupakan produk pesaing di pasar yang sudah jenuh; menggunakan media komunikasi sosial sebagai instrumen untuk mengontrol dan mendominasi; menjaga kerahasiaan suatu hal yang tidak perlu atau yang melanggar kebenaran; meremehkan tuntutan Injil akan pertobatan, penyesalan dan pembaharuan hidup, menggantikannya dengan religiositas dangkal yang tidak banyak menuntut orang; mendorong fundamentalisme, fanatisme, dan eksklusivisme agama yang mengobarkan kebencian dan permusuhan terhadap orang lain.

19. Singkatnya, media dapat digunakan untuk kebaikan atau kejahatan – ini adalah masalah pilihan. “Kita tidak boleh lupa bahwa komunikasi yang disampaikan melalui media komunikasi sosial bukanlah suatu kegiatan utilitarian yang bertujuan hanya untuk memotivasi, membujuk atau menjual. Terlebih lagi, media bukanlah wahana ideologi. Media komunikasi sosial terkadang dapat mereduksi umat manusia menjadi unit-unit konsumsi atau kelompok-kelompok kepentingan yang saling bersaing, atau bahkan memanipulasi pemirsa, pembaca atau pendengar hanya sebagai figur yang mereka harapkan manfaatnya, baik terkait dengan penjualan produk atau dengan dukungan politik; hal-hal inilah yang menghancurkan masyarakat. Tugas komunikasi adalah menyatukan orang-orang dan memperkaya kehidupan mereka, bukan mengisolasi dan mengeksploitasi mereka. Jika digunakan dengan benar, media komunikasi sosial dapat membantu menciptakan dan memelihara komunitas umat manusia berdasarkan keadilan dan cinta kasih; dan sejauh hal tersebut dilakukan, media akan menjadi tanda harapan” (Paus Yohanes Paulus II, Pesan untuk Komunikasi Sosial Hari ke-32, 1998).

IV. BEBERAPA PRINSIP ETIKA YANG PENTING

20. Prinsip-prinsip dan standar etika yang penting di bidang lain juga berlaku dalam bidang komunikasi sosial. Prinsip-prinsip etika sosial seperti solidaritas, subsidiaritas, keadilan dan kesetar an, serta akuntabilitas dalam penggunaan sumber daya publik dan pelaksanaan peran yang bergantung pada kepercayaan masyarakat, harus selalu diperhatikan. Komunikasi harus selalu jujur, karena kebenaran merupakan hal yang esensial bagi kebebasan individu dan persekutuan sejati di antara manusia.

Etika dalam komunikasi sosial tidak hanya berkaitan dengan apa yang muncul di layar bioskop atau televisi, di siaran radio, di media cetak dan di Internet, tetapi juga berkaitan dengan banyak aspek lainnya. Dimensi etika tidak hanya menyentuh isi komunikasi (pesan) dan proses komunikasi (bagaimana komunikasi dilakukan), tetapi juga pertanyaan-pertanyaan mengenai struktur dan sistem fundamentalnya, yang sering kali menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan distribusi teknologi dan produk-produk yang canggih (siapa yang memiliki banyak informasi, dan siapa yang memiliki sedikit informasi?). Pertanyaan-pertanyaan ini mengarah pada pertanyaan-pertanyaan lain yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi ekonomi dan politik yang berkaitan dengan kepemilikan dan kontrol. Setidaknya dalam masyarakat terbuka dengan ekonomi pasar, pertanyaan etika yang paling penting adalah bagaimana menyeimbangkan antara keuntungan dan pelayanan kepentingan publik, yang dipahami dalam konsep global tentang kebaikan bersama.

Bahkan bagi orang-orang yang berkehendak baik, tidak selalu jelas bagaimana menerapkan prinsip-prinsip dan standar etika pada kasus-kasus tertentu; diperlukanlah refleksi, debat dan dialog. Dan justru dengan harapan dapat mendorong refleksi dan dialog antara para pengambil kebijakan mengenai komunikasi sosial, para profesional di sektor tersebut, orang-orang yang terlibat dalam bidang etika dan moralitas, pengguna, dll, kami menawarkan pertimbangan-pertimbangan berikut dalam dokumen ini.

21. Dalam ketiga bidang ini – pesan, proses, pertanyaan yang berkaitan dengan struktur dan sistem – prinsip etika yang mendasar adalah sebagai berikut: pribadi manusia dan komunitas manusia adalah tujuan dan ukuran penggunaan sarana komunikasi sosial; komunikasi harus dilakukan oleh manusia untuk kepentingan perkembangan orang lain secara seutuhnya.

Perkembangan integral membutuhkan sumber daya material dan produk yang cukup, tetapi juga perhatian pada “dimensi batin” (Sollicitudo rei socialis, no. 29 dan 46). Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang dengan memanfaatkan berbagai macam kekayaan materi, intelektual, emosional, moral dan spiritual. Setiap individu memiliki martabat dan kepentingan yang tidak dapat dicabut dan tidak bisa dikorbankan atas nama kepentingan bersama.

22. Prinsip kedua melengkapi prinsip pertama: kesejahteraan individu tidak dapat diwujudkan secara terpisah dari kesejahteraan umum masyarakat di mana mereka berada. Kebaikan bersama ini harus dipahami secara inklusif sebagai penggabungan total dari tujuan bersama, yang untuk mencapainya semua anggota masyarakat berjuang bersama dan yang menjadi tujuan utama dari keberadaan masyarakat tersebut.

Oleh karena itu, meskipun komunikasi sosial benar-benar memperhatikan kebutuhan dan kepentingan kelompok-kelompok tertentu, komunikasi sosial tidak boleh dilakukan dengan cara yang mengadu domba satu kelompok dengan kelompok lainnya—misalnya, atas nama konflik antar kelas, nasionalisme yang berlebihan, supremasi rasial, pembersihan etnis, dan sejenisnya. Keutamaan solidaritas, “tekad yang teguh dan tekun untuk membaktikan diri demi kebaikan bersama” (Sollicitudo rei socialis, no. 38), harus berlaku di semua bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama.

Para pekerja komunikasi sosial dan para pembuat kebijakan, harus melayani kebutuhan dan kepentingan nyata baik individu maupun kelompok di semua tingkatan. Ada kebutuhan mendesak akan kesetaraan di tingkat internasional, di mana ketimpangan distribusi barang-barang material antara Utara dan Selatan diperparah oleh distribusi yang buruk atas sumber-sumber teknologi komunikasi dan informasi, yang menjadi tumpuan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Masalah serupa juga terjadi di negara-negara kaya, “di mana gencarnya transformasi cara produksi dan konsumsi merendahkan pengetahuan yang diperoleh dan keterampilan profesional yang telah mapan” sehingga “mereka yang tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dapat dengan mudah terpinggirkan” (Centesimus annus, no. 33) .

Oleh karena itu, terdapat kebutuhan mendesak akan partisipasi yang lebih luas dalam pengambilan keputusan, tidak hanya terkait dengan pesan dan proses komunikasi sosial, tetapi juga terkait dengan permasalahan sistem dan alokasi sumber daya. Para pengambil keputusan di bidang ini memiliki kewajiban moral yang serius untuk mengenali kebutuhan dan kepentingan kelompok yang sangat rentan – yaitu kaum miskin, lanjut usia, bayi yang belum lahir, anak-anak dan remaja, kaum tertindas dan terpinggirkan, perempuan dan kaum minoritas, orang sakit dan penyandang disabilitas, serta keluarga dan kelompok-kelompok agama. Khususnya saat ini, komunitas internasional dan kepentingan media komunikasi sosial internasional harus melakukan pendekatan dengan kemurahan hati dan tanpa pengecualian kepada negara-negara dan wilayah-wilayah di mana apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh media komunikasi sosial, membuat mereka ikut menanggung rasa malu karena melanggengkan kejahatan seperti kemiskinan, buta huruf, penindasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia, konflik antar agama dan kelas sosial, serta penindasan terhadap budaya-budaya asli.

23. Meskipun demikian, kami tetap percaya bahwa “solusi terhadap permasalahan yang timbul dari komersialisasi dan privatisasi yang tidak diatur ini tidak terletak pada kontrol negara atas media, namun pada regulasi yang lebih sesuai dengan kriteria pelayanan publik dan tanggung jawab publik yang lebih besar. Perlu dicatat dalam hal ini bahwa, meskipun kerangka hukum dan politik di mana media beroperasi di beberapa negara saat ini sedang mengalami perubahan signifikan ke arah yang lebih baik, di tempat lain intervensi pemerintah masih menjadi instrumen penindasan dan pengucilan.” (Aetatis novae, no. 5).

Kita harus selalu mendukung kebebasan berekspresi, karena “setiap kali manusia, mengikuti kecenderungan kodratinya, bertukar informasi atau mengungkapkan pendapat, mereka menggunakan hak pribadinya dan pada saat yang sama ia juga memenuhi kewajiban sosialnya” (Communio et progressio, no. 45). Namun, jika dilihat dari sudut pandang etika, anggapan ini bukanlah sebuah norma yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Terdapat kasus-kasus yang nyata – misalnya, pencemaran nama baik, fitnah, pesan-pesan yang memicu kebencian dan konflik antar individu dan kelompok, bentuk-bentuk kecabulan dan pornografi, penggambaran kekerasan yang tidak wajar – di mana tidak ada hak untuk mengkomunikasikan hal-hal tersebut. Kebebasan berekspresi juga harus selalu menghormati prinsip-prinsip seperti kebenaran, keadilan dan penghormatan terhadap kehidupan pribadi.

Para profesional komunikasi sosial harus terlibat secara aktif dalam mengembangkan dan meningkatkan kode etik perilaku dalam profesinya, bekerja sama dengan perwakilan masyarakat. Organisasi-organisasi keagamaan dan kelompok-kelompok lain harus berpartisipasi dalam upaya berkelanjutan ini.

24. Prinsip penting lainnya, yang telah disebutkan, berkaitan dengan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan komunikasi. Di semua tingkatan, partisipasi ini harus terorganisir, sistematis, dan benar-benar representatif, dan tidak condong pada kepentingan kelompok tertentu. Prinsip ini juga berlaku, dan bahkan mungkin lebih penting lagi, ketika media komunikasi sosial dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan keuntungan.

Demi kepentingan partisipasi publik, para praktisi komunikasi “harus berusaha untuk berkomunikasi dengan masyarakat, dan bukan hanya berbicara kepada mereka. Hal ini berarti mengetahui kebutuhan masyarakat, menyadari masalah-masalah mereka, dan menyajikan segala bentuk komunikasi dengan kepekaan yang dituntut oleh martabat manusia” (Paus Yohanes Paulus II, Pidato kepada para praktisi media massa, Los Angeles, 15 September 1987).

Jumlah penjualan, peringkat penilaian penonton, dan status “box office”, bersama dengan riset pasar, terkadang merupakan indikator terbaik dari sentimen publik, bahkan pada kenyataannya hanya itulah indikator-indikator yang diperlukan agar hukum pasar dapat berfungsi. Tidak diragukan lagi, dengan cara ini suara pasar dapat didengar. Namun demikian, pengambilan keputusan mengenai konten dan orientasi media tidak boleh hanya bergantung pada faktor pasar dan ekonomi, yaitu keuntungan, karena hal ini tidak dapat diandalkan untuk melindungi kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sah kelompok minoritas pada khususnya.

Sampai batas tertentu, keberatan ini dapat ditanggapi dengan konsep “ceruk (niche)”, yang menyatakan bahwa beberapa majalah, program, stasiun radio dan lembaga penyiaran ditujukan untuk jenis audiens tertentu. Pendekatan ini sah-sah saja sampai batas tertentu. Namun diversifikasi dan spesialisasi, yaitu pengorganisasian media komunikasi sosial untuk memenuhi harapan audiens yang terfragmentasi menjadi unit-unit yang lebih kecil berdasarkan faktor ekonomi dan pola konsumsi, tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Media komunikasi sosial harus tetap menjadi “Areopagus” (lih. Redemptoris missio. 37), sebuah forum untuk pertukaran gagasan dan informasi, yang mempertemukan beragam individu dan kelompok, memajukan solidaritas dan perdamaian. Internet, khususnya, menimbulkan beberapa kekhawatiran mengenai “konsekuensi-konsekuensi radikal baru yang ditimbulkannya: hilangnya nilai intrinsik dari sarana informasi, keseragaman pesan yang tidak terdiferensiasi yang kemudian direduksi menjadi informasi murni, kurangnya umpan balik yang bertanggung jawab, dan melemahnya hubungan antarpribadi” (Menuju Pendekatan Pastoral Keudayaan, no. 9).

25. Para profesional media komunikasi sosialbukanlah satu-satunya yang mempunyai kewajiban etis. Masyarakat – para pengguna – juga mempunyai kewajiban tersebut. Para praktisi media yang berusaha memenuhi tanggung jawab mereka layak mendapatkan publik yang sadar akan kewajiban mereka sendiri.

Kewajiban pertama dari para pengguna komunikasi sosial adalah melakukan pemilahan dan seleksi. Mereka harus mendapatkan informasi yang jelas tentang media tersebut – strukturnya, cara kerjanya dan kontennya – dan membuat pilihan yang bertanggung jawab sesuai dengan kriteria etika yang baik tentang apa yang harus dibaca, ditonton atau didengarkan. Saat ini, setiap orang membutuhkan bentuk-bentuk literasi media (pendidikan media) yang berkelanjutan, baik melalui pembelajaran secara pribadi atau partisipasi dalam program yang terorganisir, atau keduanya. Lebih dari sekedar teknik pengajaran, literasi media komunikasi sosial membantu membangkitkan selera yang baik dan penilaian moral yang jujur dalam diri seseorang. Ini adalah semacam pembentukan hati nurani.

Melalui sekolah-sekolah dan program-program pembinaannya, Gereja hendaknya menawarkan literasi media semacam ini (bdk. Aetatis novae, no. 28; Communio et progressio, no. 107). Kata-kata berikut ini, yang awalnya ditujukan kepada Lembaga-lembaga Hidup Bakti, mempunyai penerapan yang lebih luas: “Komunitas, yang sadar akan pengaruh media komunikasi sosial, mendidik dirinya sendiri untuk menggunakan media tersebut demi pertumbuhan pribadi dan komunitas dengan kejernihan injili dan kebebasan batin dari mereka yang telah belajar mengenal Kristus (bdk. Gal 4:17-23). Pada kenyataannya, media menawarkan dan sering kali memaksakan mentalitas dan model hidup yang bertentangan dengan Injil. Dalam hal ini, banyak orang memerlukan pelatihan mendalam mengenai penerimaan dan penggunaan media komunikasi sosical ini secara kritis dan bermanfaat. Mengapa tidak menjadikan hal ini sebagai bahan evaluasi, verifikasi dan perencanaan dalam pertemuan-pertemuan komunitas secara berkala?” (Kongregasi Institut Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Hidup Persaudaraan dalam Komunitas, no. 34).

Demikian pula, orang tua mempunyai kewajiban untuk membantu anak-anak mereka belajar bagaimana mengevaluasi dan menggunakan media, dengan membentuk hati nurani mereka secara benar dan mengembangkan rasa kritis mereka (lih. Familiaris consortio, no. 76). Demi anak-anak mereka dan juga diri mereka sendiri, orang tua harus belajar menjadi pemirsa, pendengar, dan pembaca yang cerdik, bentindak sebagai teladan dalam penggunaan media secara bijaksana di rumah. Sesuai dengan usia dan keadaan mereka, anak-anak dan remaja harus diarahkan pada literasi media, menghindari godaan untuk bersikap pasif dan tidak kritis, tekanan teman sebaya dan eksploitasi komersial. Keluarga, yaitu orang tua dan anak-anaknya, akan merasakan manfaat yang besar jika berkumpul dalam kelompok untuk mempelajari dan mendiskusikan masalah dan peluang yang diciptakan oleh komunikasi sosial.

26. Selain mempromosikan literasi media, lembaga-lembaga, organisasi-organisasi dan program-program Gereja mempunyai tanggung jawab yang penting sehubungan dengan komunikasi sosial.

Pertama, praktik komunikasi Gereja hendaknya menjadi teladan dan mencerminkan standar tertinggi dalam hal kejujuran, tanggung jawab, kepekaan terhadap hak asasi manusia serta asas-asas dan norma-norma yang terkait lainnya. Selain itu, media-media komunikasi sosial yang dimiliki Gereja harus berusaha untuk mengkomunikasikan kepenuhan kebenaran tentang makna kehidupan dan sejarah manusia, khususnya yang terkandung dalam Sabda Allah yang diwahyukan dan diungkapkan dalam ajaran Magisterium. Para gembala hendaknya mendorong penggunaan media-media komunikasi sosial untuk mewartakan Injil (lih. Kanon 822 § 1).

Mereka yang mewakili Gereja harus jujur dan langsung dalam berurusan dengan para jurnalis. Meskipun pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan “terkadang memalukan atau menggangu, terutama ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut sama sekali tidak sesuai dengan pesan yang harus kita sampaikan,” haruslah diingat bahwa “kebanyakan orang di zaman kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang meresahkan semacam itu” (Dewan Kepausan untuk Kebudayaan, Menuju pendekatan pastoral terhadap kebudayaan, no. 34). Mereka yang berbicara atas nama Gereja harus memberikan jawaban yang dapat dipercaya dan jujur terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tampaknya tidak nyaman ini.

Umat Katolik, seperti warga negara lainnya, mempunyai hak untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas dan dengan demikian juga meiliki hak untuk mengakses media komunikasi sosial. Hak untuk berekspresi mencakup hak untuk menyatakan pendapat demi kebaikan Gereja, dengan memperhatikan integritas iman dan moral, menghormati para gembala dan mempertimbangkan kebaikan bersama serta martabat manusia (bdk. Kanon 212 § 3; Kanon 227). Namun demikian, tidak seorang pun memiliki hak untuk berbicara atas nama Gereja, atau jika mereka melakukannya, mereka harus diberi wewenang untuk itu. Pendapat-pendapat pribadi tidak boleh disampaikan sebagai bagian dari ajaran Gereja (lih. kanon 227).

Gereja akan terlayani dengan lebih baik jika mereka yang mereka yang memegang jabatan dan menjalankan fungsi-funsi atas namanya dilatih dalam hal komunikasi. Hal ini tidak hanya berlaku bagi para seminaris, orang-orang yang sedang dalam pembinaan dalam komunitas-komunitas religius, dan kaum awam muda Katolik, tetapi juga bagi semua personiel Gereja pada umumnya. Jika media bersifat “netral, terbuka dan jujur”, media tersebut menawarkan kepada umat Kristiani yang telah dipersiapkan dengan baik “peran misionaris di garis depan” dan pentinglah bagi mereka ini untuk “didukung dan dilatih dengan baik”. Para gembala juga harus memberikan bimbingan kepada jemaatnya mengenai media dan pesan-pesan mereka yang terkadang sumbang dan bahkan merusak (lih. Kanon 822 § 2, § 3).

Pertimbangan-pertimbangan semacam ini juga berlaku untuk komunikasi internal di dalam Gereja. Pertukaran informasi dan pendapat secara dua arah antara para gembala dan umat beriman, kebebasan berekspresi yang peka terhadap kesejahteraan komunitas dan peran Magisterium dalam memajukannya, serta opini publik yang bertanggung jawab merupakan ekspresi penting dari “hak fundamental untuk berdialog dan memperoleh informasi di dalam Gereja” (Aetatis novae, no. 10; lih. Communio et Progressio, no. 20).

Hak berekspresi harus dilaksanakan dengan menghormati kebenaran yang diwahyukan dan doktrin Gereja serta hak-hak gerejawi lainnya (lih. Kanon 212 § 1, § 2, § 3, Kanon 220). Seperti komunitas dan institusi lainnya, Gereja terkadang juga perlu, bahkan sering kali diwajibkan, untuk menjaga kerahasiaan dan kebijaksanaan. Namun, hal ini tidak boleh dilakukan untuk tujuan manipulasi dan kontrol. Dalam konteks persekutuan iman, “para pelayan, yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani saudara-saudara mereka, supaya semua yang termasuk Umat Allah, dan karena itu mempunyai martabat kristiani sejati, dengan bebas dan teratur bekerja sama untuk mencarai tujuan yang sama, dan dengan demikian mencapai keselamatan” (Lumen gentium, no. 18). Penggunaan yang benar dari media komunikasi sosial merupakan salah satu cara untuk mewujudkan visi tersebut.

V. KESIMPULAN

27. Saat kita mendekati milenium ketiga era Kristiani sekarang ini, umat manusia sedang dalam proses menciptakan jaringan global untuk transmisi informasi, gagasan, dan pertimbangan nilai secara instan di bidang ilmu pengetahuan, perdagangan, pendidikan, hiburan, politik, seni, agama dan bidang-bidang lainnya.

Jaringan ini sudah dapat diakses secara langsung oleh banyak orang di rumah, sekolah, dan tempat kerja, di mana pun mereka berada. Sudah menjadi hal biasa untuk menyaksikan peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain secara real time, baik itu pertandingan olahraga maupun perang.

Kini kita bisa mendapatkan akses secara langsung ke data yang sebelumnya berada di luar jangkauan banyak peneliti dan mahasiswa. Seseorang dapat mencapai puncak kejeniusan dan kebajikan manusia atau tenggelam ke dalam jurang kemerosotan, hanya dengan duduk sendirian di depan layar dan keyboardnya. Teknologi komunikasi terus menerus membuat terobosan-terobosan baru, dengan potensi yang sangat besar untuk dampak yang baik dan buruk. Seiring dengan meningkatnya interaktivitas, perbedaan antara para praktisi komunikasi dan pengguna komunikasi semakin kabur. Penelitian yang berkelanjutan diperlukan untuk mengetahui dampak, dan khususnya implikasi etis, dari media komunikasi sosial yang baru dan yang sedang berkembang.

28. Meskipun memiliki kekuatan yang sangat besar, media komunikasi hanyalah, dan akan tetap begitu, sarana – yaitu instrumen, alat yang dapat digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Terserah kita untuk memilih. Media membutuhkan etika baru; mereka memerlukan penerapan dari prinsip-prinsip yang sudah ada dalam situasi yang baru. Ini adalah tugas di mana setiap orang mempunyai perannya masing-masing. Etika di media bukan hanya urusan para spesialis, baik mereka yang berkecimpung dalam bidang komunikasi sosial maupun filsafat moral. Sebaliknya, refleksi dan dialog yang didorong dan didukung oleh dokumen ini harus bersifat terbuka bagi semua orang.

29. Komunikasi sosial dapat mempersatukan orang-orang dalam komunitas yang mempunyai simpati dan kepentingan yang sama. Apakah komunitas-komunitas ini akan berlandaskan pada keadilan, kesopanan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia? Akankah mereka berkomitmen untuk melayani kebaikan bersama? Atau apakah mereka akan menjadi egois dan mementingkan diri sendiri, berkomitmen pada kepentingan kelompok tertentu—ekonomi, ras, politik dan bahkan agama—dengan mengorbankan kelompok lain? Akankah teknologi baru ini bermanfaat bagi semua bangsa dan masyarakat, dengan tetap menghormati tradisi budaya masing-masing ? Atau akankah teknologi ini menjadi alat untuk membuat orang yang kaya menjadi semakin kaya dan orang yang berkuasa menjadi semakin berkuasa? Kita harus memilih.

Media komunikasi juga dapat digunakan untuk memisahkan dan mengisolasi. Teknologi semakin memungkinkan orang untuk mendapatkan informasi dan layanan yang dirancang khusus untuk mereka. Ada manfaat nyata dari hal ini, namun tak pelak lagi muncul pertanyaan: apakah publik di masa depan akan terdiri dari orang-orang yang hanya mendengarkan satu pihak saja? Meskipun teknologi baru dapat mendorong otonomi individu, namun teknologi tersebut juga mempunyai implikasi lain yang berbeda dan kurang diinginkan. Alih-alih menjadi komunitas global, “jaringan” masa depan bisa berubah menjadi jaringan yang luas dan terfragmentasi dari individu-individu yang terisolasi – manusia menjadi seperti lebah di dalam selnya – yang berinteraksi melalui data dan bukannya berinteraksi secara langsung satu sama lain. Apa yang akan terjadi pada solidaritas, demikian juga apa yang akan terjadi pada cinta kasih di dunia seperti ini?

Dalam kasus terbaik, komunikasi antarmanusia memiliki keterbatasan yang serius, kurang lebih tidak sempurna dan berisiko gagal. Sulit bagi orang untuk berkomunikasi secara konkret dan jujur satu sama lain dengan cara yang tidak merugikan siapa pun dan memberikan manfaat terbaik bagi semua orang. Terlebih lagi, dalam dunia media, kesulitan intrinsik dalam komunikasi sering kali diperparah oleh ideologi, keinginan mendapatkan keuntungan dan kontrol politik, persaingan, konflik antar kelompok, dan masalah sosial lainnya. Media komunikasi sosial saat ini meningkatkan dimensi komunikasi, kuantitas dan kecepatannya, namun tidak mengurangi kerapuhannya, sensitivitasnya atau kecenderungannya untuk gagal dalam menghubungan satu pikiran dengan pikiran lainnya dan satu hati dengan hati lainnya.

30. Seperti yang telah kami katakan, sumbangan khusus yang diberikan oleh Gereja dalam perdebatan mengenai hal-hal ini adalah visi tentang pribadi manusia dan martabatnya yang tiada bandingannya dan hak-haknya yang tidak dapat diganggu gugat, dan visi tentang komunitas manusia yang anggota-anggotanya dipersatukan dalam solidaritas untuk mencari kebaikan bersama. Kedua visi ini menjadi sangat mendesak “ketika kita terpaksa mengakui sifat fragmentaris dari proposisi yang mengangkat hal-hal yang fana menjadi nilai, dalam ilusi bahwa kita akan mencapai makna sejati dari eksistensi” : tanpa adanya visi-visi ini, “banyak orang menjalani hidup mereka hampir ke ambang jurang, tanpa mengetahui apa yang akan mereka hadapi” (Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio, no. 6).

Dalam menghadapi krisis ini, Gereja tampil sebagai “ahli dalam kemanusiaan” dan keahlian tersebut “mendorongnya untuk memperluas misi religiusnya ke dalam berbagai bidang” kegiatan manusia (Sollicitudo rei socialis, no. 41; lih. Paus Paulus VI, Populorum progressio, no. 13). Gereja tidak bisa menyimpan untuk dirinya sendiri kebenaran tentang pribadi manusia dan komunitasnya. Gereja harus membagikannya dengan bebas, dengan selalu menyadari bahwa orang dapat dengan mudah mengatakan tidak terhadap kebenaran dan terhadap Gereja sendiri.

Dalam upaya untuk mendorong dan menjunjung standar-standar etika yang tinggi dalam penggunaan media komunikasi sosial, Gereja mengupayakan dialog dan kolaborasi dengan pihak-pihak lain: dengan para pejabat publik, yang mempunyai tugas khusus untuk melindungi dan memajukan kebaikan bersama dari komunitas politik; dengan laki-laki dan perempuan dari dunia budaya dan seni; dengan para cendekiawan dan guru yang terlibat dalam pelatihan para praktisi komunikasi dan khalayak di masa depan; dengan anggota gereja-gereja dan kelompok-kelompok agama lain yang memiliki keinginan yang sama untuk menggunakan media demi kemuliaan Allah dan dalam pelayanan umat manusia (lih. Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Kriteria untuk Kerja Sama Ekumenis dan Antaragama di Bidang Komunikasi Sosial); dan khususnya dengan para profesional komunikasi – yaitu penulis, editor, jurnalis, koresponden, aktor, produser, staf teknis – bersama dengan pemilik, pengelola dan pengambil keputusan di bidang ini.

31. Terlepas dari keterbatasan-keterbatasannya, komunikasi mengandung sesuatu mirip dengan aktivitas kreatif Tuhan. “Dengan penuh kasih, Sang seniman ilahi menyampaikan kepada seniman manusia”, dan, bisa dikatakan juga kepada para praktisi komunikasi, “percikan dari kebijaksanaan ilahi-Nya yang transenden.” Dengan memahami hal ini, para seniman dan praktisi komunikasi dapat “memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri, panggilan dan misi mereka” (Yohanes Paulus II, Surat kepada para Seniman, 1).

Para praktisi komunikasi Kristen pada khususnya mengemban tugas kenabian, sebuah panggilan: untuk berbicara menentang tuhan-tuhan palsu dan berhala-berhala masa kini – seperti materialisme, hedonisme, konsumerisme, nasionalisme yang sempit, dan sebagainya –; menjunjung tinggi kebenaran moral yang didasarkan pada martabat dan hak asasi manusia, keberpihakan pada orang miskin, tujuan universal dari harta benda, cinta kasih terhadap musuh, dan penghormatan tanpa syarat terhadap kehidupan manusia sejak saat pembuahan hingga kematian alamiahnya; serta mengejar tujuan perwujudan Kerajaan yang paling sempurna di dunia ini, sambil tetap menyadari bahwa, pada akhir zaman, Yesus akan memulihkan segala sesuatu dan membawanya kembali kepada Bapa (lih. 1 Kor 15:24).

32. Meskipun refleksi ini ditujukan kepada semua orang yang berkehendak baik, dan tidak hanya kepada umat Katolik, namun sebagai kesimpulan, pantaslah untuk menyebut Yesus sebagai teladan bagi para praktisi komunikasi. “Pada zaman akhir ini”, Allah Bapa “telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (Ibr 1:2); dan Anak Allah menyampaikan kepada kita sekarang dan selamanya kasih Bapa dan makna utama dari hidup kita.

“Selama keberadaan-Nya di dunia, Kristus menyatakan diri-Nya sebagai “Komunikator” yang sempurna. Melalui inkarnasi-Nya, Ia menjadi serupa dengan mereka yang akan menerima pesan-Nya, dan Ia menyampaikan pesan-Nya bukan hanya melalui perkataan tetapi juga dengan seluruh cara hidup-Nya. Ia berbicara sepenuhnya dengan terlibat dalam kondisi nyata umat-Nya, memberitakan warta keselamatan ilahi kepada semua orang tanpa membeda-bedakan dan dengan penuh kuasa dan ketekunan, serta menyesuaikan diri dengan cara berbicara dan cara berpikir mereka” (Communio et progressio, no. 11).

Sepanjang kehidupan publik Yesus, banyak orang berduyun-duyun datang untuk mendengarkan Dia berkhotbah dan mengajar (bdk. Mat 8:1.18; lih. Mrk 2:2; 4:1; Luk 5:1, dst.), dan Ia mengajar mereka “sebagai orang yang berkuasa” (Mat 7:29; lih. Mrk 1:22; Luk 4:32). Dia berbicara kepada mereka tentang Bapa dan pada saat yang sama mengarahkan mereka kepada diri-Nya sendiri, dengan mengatakan: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6) dan “barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9). Dia tidak membuang waktu untuk berbicara sia-sia atau untuk membalas dendam, bahkan ketika Dia dituduh dan dihukum (bdk. Mat 21:6-63; 27:12-14; Mrk 15:5; 15:61). Sebab “makanan”-Nya adalah melakukan kehendak Bapa yang mengutus-Nya (bdk. Yoh 4:34) dan segala sesuatu yang dikatakan dan dilakukan-Nya mengacu pada hal ini.

Pengajaran Yesus seringkali berbentuk perumpamaan dan kisah-kisah nyata yang mengungkapkan kebenaran yang mendalam dalam istilah-istilah sehari-hari yang sederhana. Tidak hanya perkataan-Nya, tetapi juga tindakan-tindakan-Nya, khususnya mukjizat-mukjizat-Nya, merupakan tindakan komunikasi, yang menunjukkan identitas-Nya dan memanifestasikan kuasa Allah (bdk. Evangelii nuntiandi, no. 12). Dalam berkomunikasi, Ia menunjukkan rasa hormat kepada para pendengarnya, simpati terhadap situasi dan kebutuhan mereka, belas kasihan terhadap penderitaan mereka (bdk. Luk 7:13), serta tekad yang kuat untuk mengatakan kepada mereka apa yang perlu mereka dengar, sehingga dapat menarik perhatian mereka dan membantu mereka menerima pesan tersebut, tanpa paksaan, kompromi, tipu daya atau pun manipulasi. Dia mengundang orang lain untuk membuka pikiran dan hati mereka kepada-Nya, karena Ia mengetahui bahwa dengan cara inilah mereka akan tertarik kepada-Nya dan kepada Bapa (bdk. Yoh 3:1-15; 4:7-26).

Yesus mengajarkan bahwa komunikasi adalah sebuah tindakan moral: “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik, dan orang yang jahat mengeluargakan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman” (Mat 12:34-37). Yesus dengan tegas memperingatkan agar tidak menyesatkan “anak-anak kecil” dan mengatakan bahwa barangsiapa melakukannya, “lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut” (Mrk 9:42; lih Mat 18:6; Luk 17:2). Yesus adalah seorang yang jujur, seorang yang dapat dikatakan “tipu daya tidak ada dalam mulutnya”, dan sekali lagi: “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil” (1 Ptr 2:22-23). Ia menuntut keterusterangan dan kejujuran pada orang lain, sambil mengutuk kemunafikan, ketidakjujuran dan segala bentuk komunikasi yang salah dan menyimpang: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya; jika tidak, hendaklah kamu katakan : tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat 5:37).

33. Yesus adalah model dan teladan komunikasi kita. Bagi mereka yang bekerja di bidang komunikasi sosial, baik sebagai pengambil keputusan, progesional media maupun pengguna, kesimpulannya jelas: “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota […] Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Ef 4:25-29). Pelayanan kepada pribadi manusia melalui pembangunan komunitas manusia berdasarkan solidaritas, keadilan dan cinta kasih, serta penyampaian kebenaran tentang kehidupan manusia dan pemenuhan akhirnya di dalam Allah telah, sedang dan akan tetap menjadi inti dari etika dalam media.

Kota Vatikan, 4 Juni 2000, Hari Komunikasi Sedunia, Yubileum para Jurnalis.

John P. Foley
Ketua

Pierfranco Pastore,
Sekretaris

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.